LOGINSebulan telah berlalu sejak semua badai itu mereda. Kota kini kembali menjadi tenang. Kehidupan perlahan berjalan seperti semula. Namun di hati Badai dan Valeri, gema dari perjalanan panjang, pertarungan nyawa, dan persahabatan yang tumbuh tak akan pernah hilang. Hari itu, langit sore Jakarta begitu cerah, dihiasi semburat jingga yang hangat. Di pusat kota, sebuah kafe kecil bergaya Eropa berdiri anggun di sudut jalan, dengan jendela kaca yang memantulkan cahaya senja. Aroma kopi dan kue manis berpadu menciptakan rasa damai yang sempurna. Badai duduk di sudut dekat jendela, mengenakan kemeja putih dan jas biru muda sederhana..Wajah tampannya terlihat tegas, namun ada kegugupan yang tak biasa yang tak mampu disembunyikan. Pintu kafe terbuka pelan. Valeri melangkah masuk dengan balutan gaun merah muda yang menawan, rambutnya terurai lembut, dan senyum manis langsung membuat hati Badai bergetar. Tatapan mereka bertemu, dan waktu seperti berhenti sesaat. "Maaaaf, aku sedikit terlambat
Langit Jakarta sore itu berwarna jingga keemasan ketika roda pesawat khusus yang membawa Badai Lesmana, Valerie Marcel, Mellisa, Nilam dan dua perwira tinggi kepolisian, menyentuh landasan. Suara deru mesin terasa seperti menghapus semua kepenatan perjalanan panjang yang mereka tempuh dari Mumbai. Di balik pintu kaca bandara, beberapa wajah penuh rindu tampak gelisah. Hilda, Rayhan, dan beberapa teman kuliah Valeri berdiri sambil memegang buket bunga dan poster bertuliskan "Welcome Back Valeri!" Wajah mereka berseri-seri walau sedikit sembap bekas tangis bahagia. Tak jauh dari sana, Badai juga telah dinanti Pak Hendra dan Ibu Lestari - orang tua angkatnya yang sederhana namun penuh cinta. Hilda dan Faisal, adik-adik Badai, ikut berdiri sambil menatap penuh harap ke arah landasan. Ketika pintu pesawat terbuka, udara Jakarta yang hangat menyapa mereka. Badai, melangkah turun lebih dulu dengan langkah mantap, meski ada bekas perban di bahu kirinya. Valeri menyusul di belakang, senyu
Tiga hari telah berlalu sejak malam penuh darah dan peluru itu. Senja Mumbai kini terasa hangat, seakan kota ini ikut merayakan hadirnya babak baru setelah badai panjang.Ballroom megah di pusat kota dipenuhi tamu-tamu penting, diplomat, pejabat tinggi, hingga awak media yang menunggu momen bersejarah malam itu.Badai dan Valeri hadir dengan pakaian formal elegan. Luka-luka mereka belum pulih sepenuhnya, namun sorot mata keduanya sudah kembali tajam - bukan lagi sebagai buronan, tetapi sebagai pahlawan yang diakui oleh dua negara.Di sudut ruangan , Mellisa berdiri bersama Nilam, wajahnya penuh haru saat melihat putrinya kini menjadi simbol keberanian.Acara dimulai dengan pidato penuh wibawa dari Kepala Menteri Maharashtra, Vinod Kapor. Suaranya mantap, tapi ada getaran emosi yang tak bisa ia sembunyikan."Malam ini, kita bukan hanya merayakan keberhasilan membongkar sindikat yang mengancam negara ini. Kita juga memberi penghormatan setinggi-tingginya kepada seorang sahabat... Ashok
Tiba-tiba suara langkah kaki cepat terdengar. Valeri muncul dari sisi kontainer dengan pistol teracung."Waktumu berakhir disini, Dinesh. Jangan coba-coba melarikan diri."Dinesh memutar tubuh, menembakkan pelurunya secara liar. Peluru menghantam tiang besi, memercikkan api. Valeri melompat ke arah samping, berguling, dan melesatkan dua peluru yang mengenai lengan Dinesh, membuat senjatanya terlepas.Dinesh mengerang, tapi sebelum sempat bergerak, Sunil Khan muncul dari sisi lain. "Kau tidak punya jalan untuk lolos dari hukum, Dinesh!"Putus asa, Dinesh berlari sambil menyerang Sunil Khan dengan tinju keras. Mereka bertarung sengit di tepi dermaga - pukulan, tendangan, hingga kepala Dinesh nyaris menghantam pagar besi.Sunil yang terluka sempat terdesak, tapi Valeri dengan gerakan cepat menendang punggung Dinesh, menjatuhkannya ke lantai kayu dermaga.Dinesh berusaha meraih pisau di ikat pinggangnya, namun kaki Valeri sudah lebih cepat, , menendang pisau itu jatuh ke laut. Dalam hitu
Badai dan Valeri menyerbu masuk, senjata terarah pada tiga sosok di ujung ruangan: Manoj Shetty, Dinesh Verma, dan Rakit Sharma yang pucat ketakutan.Manoj menggenggam pistol, matanya merah penuh kebencian. Dinesh, dengan darah menetes di pelipisnya, menatap Badai dan Valeri dengan amarah membara."Kalian..."desis Dinesh. "Buronan sialan! Kalian pikir sudah menang?"Badai menarik napas panjang. "Tidak ada yang menang malam ini, Dinesh. Semua tentang keadilan dan kebenaran sesungguhnya."Manoj mengangkat pistol nya, tapi Valeri lebih cepat.Bang!Tembakannya mengenai senjata Manoj, membuat pistol itu terlempar.Sunil Khan masuk bersama beberapa polisi, mengepung ruangan. "Turunkan senjata kalian! Ini perintah!"Namun Manoj hanya tertawa, gila."Kalian pikir ini sudah selesai? Lihat saja permainan selanjutnya!""BUNUH MEREKA!!" teriak Manoj Shetty. wajahnya dipenuhi kebencian. Dinesh dan Rakit, sudah dalam posisi bertahan, senjata serbu di tangan mereka meluncurkan rentetan peluru mema
Seminggu setelah Tewasnya Dorna Dee dalam Pertarungan di Dermaga.Di sebuah gedung tua di pinggiran Mumbai, Manoj Shetty duduk di kursi kulit yang tampak lusuh namun masih menyisakan aroma cerutu mahal. Asap rokok memenuhi ruangan, menari di bawah cahaya lampu redup yang menggantung. Di depannya, Dinesh Verma mondar-mandir gelisah, sementara Rakit Sharma, asisten pribadi Vinod Kapor yang berkhianat duduk dengan wajah pucat pasi."Situasi kita semakin buruk," Dinesh membuka suara dengan nada geram. "Alvaro dan Desi sudah tertangkap di Jakarta. Vinod Kapor berhasil diselamatkan. Sekarang pemerintah pusat turun tangan langsung. Kita sudah jadi buronan."Rakit angkat bicara dengan suara gemetar, "Tapi... Polisi sudah menemukan beberapa gudang senjata kita. Mereka akan menyerang markas ini kapan saja. Kita harus keluar dari India."Manoj menatapnya tajam hingga Rakit tak berani menatap balik. "Keluar? Tidak. Aku tidak akan lari seperti pengecut. Kita hancurkan mereka dulu sebelum mereka sa







