Seorang gadis dengan rambut brunette-nya berada dalam posisi duduk di sebrangnya. Kedua kakinya yang jenjang tersilang, mengekspos keindahannya. Sementara tangan kirinya sibuk mengetikan sesuatu pada ponselnya dengan tangan kanan yang memegang sebuah rokok. Sesekali gadis itu menghisap rokoknya lalu menghembuskan asapnya ke udara dengan santai. Sesekali dia juga melemparkan senyuman menggoda ke arahnya.
Nara menghembuskan napas jengkel, sejujurnya dia juga sangat ingin merokok sekarang tetapi dia masih punya otak untuk tidak melakukan hal itu di dalam ruangan. Hal yang lebih buruk baginya adalah berada dalam situasi menunggu dengan hanya berdua saja dengan gadis itu disana. Entah kebetulan atau bagaimana tetapi yang pasti Nara bisa menebak bahwa perempuan itu punya urusan yang sama dengannya.
“Siapa namamu?” tiba-tiba saja perempuan itu mengajaknya bicara, sepertinya dia sudah bosan dengan ponselnya dan memilih fokus dengan dunia nyata.
Nara hanya melirik sebentar sebelum akhirnya memutuskan menjawab. “Nara.”
“Okay, semoga kita mendapatkan tahun yang menyenangkan disini ya,” katanya dengan nada manis yang dibuat-buat, Nara langsung mencebik sebagai reaksi balasan.
“Tidakkah kau penasaran dengan aku?” tanya perempuan itu lagi setelah Nara memutuskan untuk mengabaikannya.
“Untuk?”
“Ini hal dasar lho, kalau ada seseorang yang menanyakan namamu sudah jadi peraturan tak tertulis kalau kau juga harus menanyakan nama mereka. Ibumu tidak mengajarkan tatakrama ya?” sahut perempuan itu lagi, tetapi sekarang nada bicaranya berubah menjadi jengkel barangkali karena melihat Nara yang sedari awal tidak tertarik untuk mengobrol dengannya sama sekali.
“Mungkin. Tapi aku yakin kalau aku tidak butuh tahu namamu. Kita tidak akan bergaul dalam lingkup sosial yang sama,” timpal Nara santai.
Sebelum perempuan itu bisa membalas komentar pedas Nara, seseorang keluar dari ruangan administrasi dan berdeham untuk mengalihkan perhatian mereka berdua.
“Nara Dragnells?” Nara langsung berdiri menghampiri si petugas administrasi dan melupakan keberadaan perempuan dibelakangnya. “Proses administrasinya sudah selesai dan kamu sudah bisa kembali bergabung menjadi mahasiswa kami. Dan … Elise Northway?”
Perempuan yang beberapa saat lalu sempat berdebat dengannya ikut berdiri dan menghampiri, membuat Nara hanya menghela napas berat. “Proses administrasimu juga sudah selesai.”
***
Esther memutar-mutar ballpoint di tangannya dengan resah. Pembicaraannya dengan Vinson masih mengisi seluruh pemikirannya. Kejadian itu sudah lewat dua hari, dan Esther juga sengaja tidak melakukan kontak apa pun dengan pria itu. Selama itu pula dia belum mendengar kabar burung aneh. Kemungkinan besar Vinson hanya mencoba untuk mengelabui dan mengancamnya saja.
Tetapi selain daripada bagian menyebalkan yang terjadi antara dia dan Vinson. Esther tidak bisa membuang sosok Gaara. Banyak kejadian gila terjadi padanya hanya dalam rentang satu hari, dan hal itu dia dapati dari sosok berandal kampus yang liar. Sejak ciuman panas yang diberikan oleh Gaara padanya, Esther jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apa semua itu terjadi secara kebetulan dan tidak melibatkan perasaan macam dia punya daya pikat tersendiri di mata Gaara? Ataukah memang pria itu hanya tukang nyosor saja sehingga bisa dengan bebas mencium gadis mana pun yang berkeliaran di kediamannya di pagi hari?
Dia tidak perlu merasa terkejut sebenarnya ketika Gaara mengabaikannya seolah mereka tidak pernah bersinggungan. Dia sudah menduga hal itu terjadi, tapi rasanya agak kecewa saja begitu dia sadar bahwa hanya dia yang memikirkan Gaara akhir-akhir ini seperti orang yang betulan kasmaran.
Suara gedebug terdengar dari sisi kanan kursi yang Esther duduki membuat Esther dipaksa untuk kembali ke alam nyata, dia melirik dan mendapati seorang lelaki tinggi, dengan kulit yang agak kecoklatan dan rambut yang diikat asal dibelakang kepala. Dari ekor matanya Esther memperhatikan pria itu langsung jatuh tertidur di bangkunya setelah meletakan kepalanya di atas meja begitu saja tanpa peduli kepalanya meniduri buku milik Esther.
“Permisi,” dengan suara pelan dan sentuhan kecil di bahu Esther mencoba untuk mengambil bukunya.
Mendengar suara Esther lelaki itu berbalik padanya, dan sejujurnya saat itu Esther terkejut bukan main tatkala kedua mata mereka berdua beradu pandang. Lelaki itu tidak tersenyum dan tidak terlihat kesal meskipun Esther sudah menganggu tidurnya.
Merasa canggung dengan situasi yang ada, Esther hanya tersenyum padanya.
“Kau putri sulungnya Pak Zeref,” kata lelaki itu yang serta merta membuat Esther terkejut karena dia mengetahui apa yang berusaha dia sembunyikan rapat-rapat.
“Maaf, kau meniduri buku milikku,” sahut Esther yang membuat pria itu langsung beringsut dari posisinya dan memberikan bukunya.
“Aku Nara Dragnells,” ujar pria itu menyodorkan tangannya. Esther hanya melongo menatap tangan yang terulur kepadanya. Tidak yakin apa yang ingin dilakukan oleh si pria yang mengaku bernama Nara Dragnells ini kepadanya. Setelah beberapa saat tangannya tergantung tanpa sambutan di udara, pria itu kembali buka suara lagi. “Apa kau tidak akan menjabat tanganku?”
“A—Ah, maaf,” sahut Esther cepat dan langsung meraih tangan pria yang warnanya sangat kontras dengan kulit tangannya yang berwarna putih. “Esther Rodrigo.”
“Kau sudah punya patner untuk kelas ini?” Esther memberinya pandangan kosong. Patner? Selama ini Esther yang berusaha terlihat tidak mencolok selalu menghabiskan waktunya sendirian di kelas. Terlebih dia juga setengah dikucilkan, jadi buat Esther memiliki patner sudah terdengar seperti sesuatu yang asing buatnya.
“Tidak, sebenarnya aku—”
“Baiklah kalau begitu mulai sekarang aku akan jadi patnermu dikelas yang sama,” potong pria itu cepat sebelum Esther sempat menyelesaikan kalimat yang hendak dia ucapkan. “Aku mau tidur siang, jika ada tugas kelompok bangunkan saja aku, oke?”
Sebelum Esther bisa memprotes, lelaki aneh itu kembali sudah tertidur pulas tanpa gangguan. Esther benar-benar takjub dengan kemampuannya yang bisa langsung nyenyak hanya dalam waktu singkat sekaligus bingung dengan kepribadiannya yang tiba-tiba saja menawarkan diri menjadi patner Esther saat dirinya selalu sendirian dalam kesempatan apapun.
***
“Kenapa kau tidak bangunkan aku? Sudah berpesan untuk bangunkan aku kalau ada tugas kelompok,” keluh Nara begitu mereka keluar dari kelas.
“Maafkan aku, kau terlihat tidur sangat pulas jadi aku tidak tega membangunkanmu,” sahut Esther jujur. Sebetulnya selain tidak tega dia belum pernah berinteraksi dengan seorang pria secara bebas. Agak aneh baginya untuk tiba-tiba bertingkah seperti mereka kawan lama padahal kenyataannya mereka baru berkenalan beberapa jam yang lalu.
“Pokoknya nanti jangan segan-segan untuk bangunkan aku di kelas, oke?” ujar pria itu bersungguh-sungguh.
“Baiklah,” sahut Esther yang sejujurnya tidak terlalu mengambil pusing. Terlebih mereka mungkin hanya punya beberapa kelas yang sama dan tidak seluruhnya akan terus bersama.
“Sampai nanti Esther,” kata lelaki itu sebelum mereka berpisah.
Sepeninggal Nara, Esther masih punya satu kelas lagi untuk dia ikuti. Namun sebelum itu, dia merasa kepalanya sedikit pusing. Terkadang di beberapa kesempatan Esther kerap mengalami rasa sakit kepala yang luar biasa yang membuatnya sedikit kesulitan beraktivitas. Dia mencoba mencari obat di tasnya tetapi sebanyak apa pun usaha yang dia lakukan dia tidak dapat menemukan obatnya. Hasilnya tidak ada pilihan lain selain pergi ke klinik kampus dan meminta aspirin untuk meredakan sakit kepalanya.
Dengan langkah terseok-seok, Esther mencoba mencapai klinik sambil menahan rasa sakit dikepalanya.
“Permisi saya mau minta aspirin,” ujar Esther seraya membuka pintu klinik dan menemukan ruangan itu kosong melompong. Petugas kesehatan yang biasanya berjaga tidak ada di tempat. Meski situasinya aneh, Esther memutuskan untuk masuk ke dalam dan mulai mencari apa yang dia butuhkan. Ketika telah mendapatkan apa yang dia cari, Esther segera menelannya dan bermaksud beristirahat sebentar selagi menunggu obatnya berekasi.
Namun alangkah terkejutnya Esther ketika dia menarik tirai tempat tidur.
Kedua mata gadis itu terbelalak lebar atas pemandangan yang dia lihat disana. Ini gila! Bagaimana bisa mereka …
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s