Share

Bab 5 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku

BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU

"M-Mas Heru …. Aku tidak salah lihat 'kan? Barusan benar-benar Mas Heru. Istri? Dia menyebut perempuan yang dibonceng dengan sebutan istri. Lantas aku ini?"

Aku yang baru saja turun ke jalan menghibur pengendara yang berhenti di lampu merah mendapat kejutan yang membuat hati ini tercabik, teriris. Begitu sakit.

Menangis? Tidak, bahkan aku tidak mampu menangis. Aku menepuk dada ini berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesak yang tak mampu kubendung.

"Ning, kamu kenapa? Sakit?" tanya Bu Wati–ibu badut yang memberiku pekerjaan.

"Sa-sakit? Saya tidak apa-apa, Bu. Cuma sedikit nyeri saja perutnya, mungkin karena barusan bayi di dalam perut nendang." Aku berusaha tersenyum, meski hatiku menangis dan hancur.

"Benar? Kalau memang sedang tidak enak badan, jangan dipaksain. Kamu bisa mulai jadi badut kapan saja, yang penting kesehatanmu, Ning."

Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh cengeng, aku perempuan kuat.

Aku berusaha melupakan apa yang kulihat tadi, meski tetap saja bayangan Mas Heru bersama perempuan yang entah wajahnya seperti apa terus bergelayut di pikiran.

"Ning baik-baik saja, kok. Ayo, Bu, kita menghibur pengendara lagi."

Aku segera berlari di depan lampu merah dan mulai menari ala badut yang biasa dilakukan Bu Wati. Tangan di pinggang dengan pinggul dan perut digoyang ke kanan dan ke kiri.

Aku berusaha tersenyum lebar di depan para pengendara tanpa menghiraukan air mata yang jatuh bercucuran meski sudah kutahan sekuat tenaga.

Ternyata seperti ini kelakuan Mas Heru. Dia memiliki perempuan lain disaat aku–istrinya sedang mengandung darah dagingnya. Pantas saja sikap Mas Heru sangat tidak peduli padaku, ternyata karena ada perempuan lain di hatinya.

Astaghfirullah ….

Kalau aku menjadi lemah karena semua ini, yang ada akan menghancurkan diri sendiri dan bayiku.

-

"Bu, saya nitip kostum badutnya sama Bu Wati saja, ya. Boleh 'kan?"

"Boleh, Ning. Besok Ibu bawakan lagi seperti tadi."

"Terima kasih, ya, Bu. Maaf jadi ngerepotin. Ini sedikit dari Ning karena Ibu sudah memberi pinjaman kostum badut." Aku memberikan uang dua puluh lima ribu pada Bu Wati. Seharian ini aku dapat uang enam puluh lima ribu. Alhamdulillah, karena akhirnya aku bisa memiliki penghasilan dari jerih payah sendiri.

"Uang ini hak kamu karena seharian sudah panas-panasan mencari rezeki. Ibu salut sama kamu, Ning. Hamil besar, tapi semangatmu luar biasa." Bu Wati mengembalikan uang tersebut ke tanganku

Aku memang harus semangat, apalagi setelah melihat kelakuan Mas Heru seperti tadi.

Akan aku buktikan bahwa aku mampu menghidupi diriku dan juga bayi ini tanpa harus mengandalkan uang pemberian Mas Heru. Saat ini aku harus bisa mandiri lagi seperti dulu. Dan menyiapkan mental kalau akhirnya rumah tanggaku dengan Mas Heru tidak bisa dipertahankan.

Tidak ada seorang istri yang menginginkan rumah tangganya hancur, pun denganku. Tapi saat ini aku memang harus memupus sendiri keadaan ini. Dari sikap dan cara Mas Heru memperlakukan aku, ditambah dengan perselingkuhan yang kulihat dengan mata kepala sendiri. Rasanya sulit kalau rumah tanggaku akan tetap baik-baik saja.

"Ning tidak tahu harus dengan cara apa membalas kebaikan Bu Wati." Dalam keadaan hati yang hancur karena suamiku, Allah mempertemukan aku dengan orang baik seperti Bu Wati.

Semua tidak ada yang kebetulan. Ujian ini harus aku hadapi.

"Kamu tidak perlu membalas apapun pada Ibu, Ning. Rezeki ini datangnya dari Gusti Allah. Ibu hanya melakukan yang memang semestinya. Sebagai manusia kita harus saling membantu. Ya sudah, sekarang kamu pulang, sudah sore."

-

"Bagus, kelayapan terus. Kenapa ngga sekalian minggat saja kamu, Ning. Lihat, sudah jam berapa sekarang?"

Tadinya aku hanya ingin menjadi badut sampai siang hari saja, agar saat Mas Heru pulang, aku sudah ada di rumah. Tapi setelah melihat perbuatan Mas Heru tadi pagi, aku memilih menghabiskan waktuku di jalanan mencari rezeki. Siapa yang akan memikirkan aku, kalau bukan diriku sendiri.

"Heh, kalau suami bicara itu di dengarkan, jangan nyelonong saja. Lama-lama kesabaranku habis menghadapi sikap kamu, Ning," protes Mas Heru ketika aku lebih memilih menghindar daripada menanggapi ocehannya.

Aku memang bukan istri yang sempurna, tapi selama ini aku sudah berusaha menjadi istri yang semestinya. Ternyata semua itu tidak pernah ada artinya di mata Mas Heru.

"Aku lapar, tolong masak yang enak dikit! Jangan masak sayuran yang kamu petik dari nanam sendiri terus-terusan. Kamu pikir aku tidak bosan. Jangan lupa masakin air, mau mandi, gerah banget seharian banting tulang. Eh … istri enak-enak kelayapan."

Aku langsung mengambil selembar kertas dan bolpoin. Segera menulis daftar belanja yang dibutuhkan untuk masak enak seperti yang diinginkan Mas Heru. Aku juga menuliskan semua harga belanjaan tersebut dan memberikan catatan pada Mas Heru–suami yang tidak pernah berpikir bagaimana susahnya aku memutar otak agar uang pemberiannya cukup.

Cukup? Sama sekali tidak. Tapi aku berusaha untuk menerima pemberiannya dengan ikhlas. Itupun masih terbantu dengan sayuran dan juga cabai serta beberapa empon-empon yang bisa aku tanam sendiri di samping rumah.

"Apa ini?" tanya Mas Heru ketika membaca tulisan di selembar kertas yang ada di tangannya.

"Kamu masih bisa baca 'kan Mas? Masih jelas 'kan melihat tulisan itu?"

"Kamu pikir aku buta, aku tanya untuk apa kamu kasih aku tulisan ngga penting seperti ini?"

"Kalau menurut kamu apa yang aku tulis itu tidak penting, tidak usah menuntut makan enak dengan uang tujuh puluh ribu per minggu yang kamu kasih ke aku. Betapa tidak bersyukurnya kamu, Mas. Selama ini aku selalu berusaha menyiapkan masakan meski ala kadarnya. Kalau mau mandi air hangat, Mas Heru bisa masak sendiri dengan tungku dari batu bata yang ku susun di belakang rumah."

"Kamu …." Mas Heru menatap nyalang sembari meremas kertas di tangannya.

Aku meninggalkan Mas Heru berjalan menuju meja makan. Membuka tudung saji dan mengambil masakan tadi pagi yang ternyata masih utuh. Segera menghangatkan kembali sayur tersebut untuk makan malam.

Semoga bayi dalam kandunganku selalu sehat.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status