BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU
"M-Mas Heru …. Aku tidak salah lihat 'kan? Barusan benar-benar Mas Heru. Istri? Dia menyebut perempuan yang dibonceng dengan sebutan istri. Lantas aku ini?"Aku yang baru saja turun ke jalan menghibur pengendara yang berhenti di lampu merah mendapat kejutan yang membuat hati ini tercabik, teriris. Begitu sakit.Menangis? Tidak, bahkan aku tidak mampu menangis. Aku menepuk dada ini berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesak yang tak mampu kubendung."Ning, kamu kenapa? Sakit?" tanya Bu Wati–ibu badut yang memberiku pekerjaan."Sa-sakit? Saya tidak apa-apa, Bu. Cuma sedikit nyeri saja perutnya, mungkin karena barusan bayi di dalam perut nendang." Aku berusaha tersenyum, meski hatiku menangis dan hancur."Benar? Kalau memang sedang tidak enak badan, jangan dipaksain. Kamu bisa mulai jadi badut kapan saja, yang penting kesehatanmu, Ning."Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh cengeng, aku perempuan kuat.Aku berusaha melupakan apa yang kulihat tadi, meski tetap saja bayangan Mas Heru bersama perempuan yang entah wajahnya seperti apa terus bergelayut di pikiran."Ning baik-baik saja, kok. Ayo, Bu, kita menghibur pengendara lagi."Aku segera berlari di depan lampu merah dan mulai menari ala badut yang biasa dilakukan Bu Wati. Tangan di pinggang dengan pinggul dan perut digoyang ke kanan dan ke kiri.Aku berusaha tersenyum lebar di depan para pengendara tanpa menghiraukan air mata yang jatuh bercucuran meski sudah kutahan sekuat tenaga.Ternyata seperti ini kelakuan Mas Heru. Dia memiliki perempuan lain disaat aku–istrinya sedang mengandung darah dagingnya. Pantas saja sikap Mas Heru sangat tidak peduli padaku, ternyata karena ada perempuan lain di hatinya.Astaghfirullah ….Kalau aku menjadi lemah karena semua ini, yang ada akan menghancurkan diri sendiri dan bayiku.-"Bu, saya nitip kostum badutnya sama Bu Wati saja, ya. Boleh 'kan?""Boleh, Ning. Besok Ibu bawakan lagi seperti tadi.""Terima kasih, ya, Bu. Maaf jadi ngerepotin. Ini sedikit dari Ning karena Ibu sudah memberi pinjaman kostum badut." Aku memberikan uang dua puluh lima ribu pada Bu Wati. Seharian ini aku dapat uang enam puluh lima ribu. Alhamdulillah, karena akhirnya aku bisa memiliki penghasilan dari jerih payah sendiri."Uang ini hak kamu karena seharian sudah panas-panasan mencari rezeki. Ibu salut sama kamu, Ning. Hamil besar, tapi semangatmu luar biasa." Bu Wati mengembalikan uang tersebut ke tangankuAku memang harus semangat, apalagi setelah melihat kelakuan Mas Heru seperti tadi.Akan aku buktikan bahwa aku mampu menghidupi diriku dan juga bayi ini tanpa harus mengandalkan uang pemberian Mas Heru. Saat ini aku harus bisa mandiri lagi seperti dulu. Dan menyiapkan mental kalau akhirnya rumah tanggaku dengan Mas Heru tidak bisa dipertahankan.Tidak ada seorang istri yang menginginkan rumah tangganya hancur, pun denganku. Tapi saat ini aku memang harus memupus sendiri keadaan ini. Dari sikap dan cara Mas Heru memperlakukan aku, ditambah dengan perselingkuhan yang kulihat dengan mata kepala sendiri. Rasanya sulit kalau rumah tanggaku akan tetap baik-baik saja."Ning tidak tahu harus dengan cara apa membalas kebaikan Bu Wati." Dalam keadaan hati yang hancur karena suamiku, Allah mempertemukan aku dengan orang baik seperti Bu Wati.Semua tidak ada yang kebetulan. Ujian ini harus aku hadapi."Kamu tidak perlu membalas apapun pada Ibu, Ning. Rezeki ini datangnya dari Gusti Allah. Ibu hanya melakukan yang memang semestinya. Sebagai manusia kita harus saling membantu. Ya sudah, sekarang kamu pulang, sudah sore."-"Bagus, kelayapan terus. Kenapa ngga sekalian minggat saja kamu, Ning. Lihat, sudah jam berapa sekarang?"Tadinya aku hanya ingin menjadi badut sampai siang hari saja, agar saat Mas Heru pulang, aku sudah ada di rumah. Tapi setelah melihat perbuatan Mas Heru tadi pagi, aku memilih menghabiskan waktuku di jalanan mencari rezeki. Siapa yang akan memikirkan aku, kalau bukan diriku sendiri."Heh, kalau suami bicara itu di dengarkan, jangan nyelonong saja. Lama-lama kesabaranku habis menghadapi sikap kamu, Ning," protes Mas Heru ketika aku lebih memilih menghindar daripada menanggapi ocehannya.Aku memang bukan istri yang sempurna, tapi selama ini aku sudah berusaha menjadi istri yang semestinya. Ternyata semua itu tidak pernah ada artinya di mata Mas Heru."Aku lapar, tolong masak yang enak dikit! Jangan masak sayuran yang kamu petik dari nanam sendiri terus-terusan. Kamu pikir aku tidak bosan. Jangan lupa masakin air, mau mandi, gerah banget seharian banting tulang. Eh … istri enak-enak kelayapan."Aku langsung mengambil selembar kertas dan bolpoin. Segera menulis daftar belanja yang dibutuhkan untuk masak enak seperti yang diinginkan Mas Heru. Aku juga menuliskan semua harga belanjaan tersebut dan memberikan catatan pada Mas Heru–suami yang tidak pernah berpikir bagaimana susahnya aku memutar otak agar uang pemberiannya cukup.Cukup? Sama sekali tidak. Tapi aku berusaha untuk menerima pemberiannya dengan ikhlas. Itupun masih terbantu dengan sayuran dan juga cabai serta beberapa empon-empon yang bisa aku tanam sendiri di samping rumah."Apa ini?" tanya Mas Heru ketika membaca tulisan di selembar kertas yang ada di tangannya."Kamu masih bisa baca 'kan Mas? Masih jelas 'kan melihat tulisan itu?""Kamu pikir aku buta, aku tanya untuk apa kamu kasih aku tulisan ngga penting seperti ini?""Kalau menurut kamu apa yang aku tulis itu tidak penting, tidak usah menuntut makan enak dengan uang tujuh puluh ribu per minggu yang kamu kasih ke aku. Betapa tidak bersyukurnya kamu, Mas. Selama ini aku selalu berusaha menyiapkan masakan meski ala kadarnya. Kalau mau mandi air hangat, Mas Heru bisa masak sendiri dengan tungku dari batu bata yang ku susun di belakang rumah.""Kamu …." Mas Heru menatap nyalang sembari meremas kertas di tangannya.Aku meninggalkan Mas Heru berjalan menuju meja makan. Membuka tudung saji dan mengambil masakan tadi pagi yang ternyata masih utuh. Segera menghangatkan kembali sayur tersebut untuk makan malam.Semoga bayi dalam kandunganku selalu sehat.BersambungBADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Ada apa dengan Ning? Sikapnya tiba-tiba berubah. Apa dia kesurupan karena seharian kelayapan?" ucapku sendiri sambil berusaha menghidupkan kayu bakar untuk masak air. Berkali-kali berusaha, tapi tetap saja tidak bisa. Sampai-sampai mataku perih. Hah … d*s*r istri tidak tahu diri. Disuruh menyiapkan air panas tidak mau, disuruh masak enak malah ngasih kertas. Apa, sih, mau dia?Coba sedang tidak hamil, sudah ku'tinggalkan saat ini juga. Hampir lima belas menit, masih saja aku tidak bisa menghidupkan apinya. Emosiku sudah sampai di ubun-ubun. Capek pulang kerja bukannya dilayani, malah disuruh masak air sendiri. Aku segera melempar kayu yang ada di depanku dan beranjak masuk untuk menyuruh Ning yang masak air. Karena itu sudah menjadi tugasnya.Ning yang baru saja keluar dari kamar mandi terlihat sangat santai, sama sekali tidak merasa bersalah telah menyuruhku mengerjakan tugas yang sudah menjadi tugasnya. Aku menarik tangan Ning mengajak
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSelama menikah, baru kali ini aku keluar rumah tanpa izin pada suami. Aku tahu ini salah, tapi aku juga punya batas kesabaran. Mengatur napas untuk melegakan sesak di dada, rasanya seperti terhimpit batu besar. Aku tidak pernah menyangka, pria yang pernah berjanji akan selalu menjaga dan menyayangiku di hadapan bapak dan emak tega mengingkari. Seandainya kedua orang tuaku masih ada, pasti mereka tidak akan membiarkan Mas Heru menyakiti aku seperti ini. "Ning, dari kemarin Ibu lihat kamu banyak melamun. Ada yang sedang kamu pikirkan?"Aku menoleh ke arah Bu Wati yang sedang menatapku. Seperti biasa, aku mengumbar senyum mengembang. "Ning baik-baik saja, Bu. Biasa, Ibu hamil bawaannya ngga menentu.""Ya sudah … kalau memang belum siap terbuka sama Ibu. Tapi kalau kamu memang sudah tidak kuat, Ibu siap menjadi pendengar segala keluh kesahmu, Ning. Apalagi orang hamil tidak boleh banyak pikiran, nanti berpengaruh pada bayinya," ucap Bu
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Terus ini gimana, Mas? Masa' iya aku ikut dorong motor sampai tempat kerja, yang ada kakiku gempor," protes Ida. "Lagian istrimu itu ngapain pakai ngambil kunci motor segala?" sambungnya lagi.Ning memang keterlaluan, aku tidak habis pikir dia menjadi badut jalanan seperti itu, memalukan. "Kamu naik angkutan saja, ya. Biar Mas dorong sendiri motornya."Ida menyembulkan napas, "ya sudah, Mas Heru cariin aku taksi. Kalau naik jalur ngga bisa turun sampai depan pabrik."Aku pun segera mencarikan Ida taksi biar dia tidak telat masuk kerjanya. "Aku duluan, ya, Mas," pamit Ida ketika taksinya sudah datang. Si*lan, gara-gara Ning aku harus dorong motor. Berduaan dengan Ida pun gagal. Ternyata dua hari ini Ning tidak ada di rumah karena menjadi badut? Berarti badut yang kemarin itu dia juga? Astaga … kok bisa aku sampai tidak mengenalinya. Sekarang Ning sudah tahu kalau aku memiliki perempuan lain di belakang dia. Pantas saja sikapnya sangat ane
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Ternyata perempuan itu lebih berarti daripada aku dan anak kita, Mas. Kamu lebih memilih pergi meninggalkan kami," ucapku tanpa beranjak dari tempat duduk setelah Mas Heru benar-benar meninggalkan rumah.Laki-laki yang pernah mengucap janji suci, berjanji di depan bapak telah mengingkari ucapannya sendiri. Tidak ada maksud menjadi istri pembangkang, membantah dan berani menantang suami. Tapi Mas Heru sudah sangat keterlaluan. Bukan kata maaf yang terucap atas perbuatan yang dia lakukan, melainkan masih saja menyalahkanku. "Kita pasti mampu menghadapi semua ini, Nak. Ibu akan selalu menjagamu. Maafin Ibu belum bisa memberikan yang terbaik." ***Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan berwudhu untuk menjalankan salat sunah tahajud. Hanya dengan mengadu dan berkeluh kesah pada Rabb'ku hati ini menjadi tenang. Menguntai sebuah doa dan harapan, memohon ampun atas segala kesalahan. Aku pasrahkan hidu
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Da, Ida …," panggilku sambil mengetuk pintu berkali-kali. Pagi-pagi buta aku sudah menyambangi kontrakannya. Tidak berapa lama Ida pun membuka pintu, wajahnya masih terlihat ngantuk. "Astaga, Mas Heru. Ngapain pagi begini sudah ke sini. Aku juga belum mandi, baru bangun tidur.""Boleh aku masuk dulu. Ngga enak kalau dilihatin orang." Aku celingak celinguk mengamati sekitar kontrakan Ida. "Cepetan!"Aku pun segera memasukkan barang-barangku.Semalam terpaksa aku tidur di pos ronda tak jauh dari kontrakan Ida, karena bingung mesti ke mana. "Da, aku nitip mandi, ya.""Hem … malah repot sendiri 'kan sekarang. Harusnya Mas Heru tidak usah pakai acara pergi dari rumah segala. Mestinya badut itu yang keluar. Sekarang dia malah enak-enakkan tinggal di rumah kamu.""Ngga pa-pa, Da. Ini juga untuk sementara saja. Besok setelah Ning melahirkan, aku akan ceraikan dia. Dan rumah itu akan aku minta." Terpaksa berbohong, padahal rumah tersebut memang mi
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSebenarnya aku malu harus meladeni kekonyolanmu itu, Mas. Tapi ucapan demi ucapan yang kamu lontarkan selalu menyakitkan. Memberi sedikit pelajaran memang harus aku lakukan. "Cepat kamu ambil kunci motorku!" Mas Heru menarik kasar baju badutku dari belakang. Untung saja aku bisa mengimbangi badan sehingga tidak terjengkang."Jangan kasar sama perempuan, apalagi dia sedang hamil," balas Bu Wati yang tiba-tiba datang mem*k*l keras kepala Mas Heru."Tidak usah ikut campur perempuan tua. Ini urusanku dengan badut g*la itu," ucap Mas Heru seraya menunjukku.PLAKKKPLAKKKDua tamparan keras membuat pipi Mas Heru seketika memerah. "Badut gil*? Lagi-lagi kamu mengucapkan kata-kata itu. Bukannya kamu yang tidak w*ras? Aku, yang kamu sebut g*la tak lain Ibu dari darah dagingmu." Mas Heru memegang pipinya dengan wajah penuh amarah. "Aku tidak yakin itu anakku, bisa saja 'kan selama ini kamu juga memiliki selingkuhan. Aku 'kan jarang di rumah.
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Ngga usah bicara apapun, Mas. Urus sendiri, tuh, motor kamu." Ida meremas kesal tangannya, dia terlihat sangat marah. "Da, kamu mau ninggalin Mas sendirian di sini? Ini kuncinya belum bisa diambil." Aku berusaha mengejar langkah Ida yang hendak menyeberang."Aku 'kan sudah bilang, urus sendiri. Lagian kamu itu benar-benar kurang kerjaan, ya, Mas. Nyari makan siang saja sampai ke sini. Aku yakin, kamu memang sengaja pengen ketemu si badut g*la itu."Niatku memang ingin memberi pelajaran pada Ning, tapi aku tidak menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. Bahkan Ning berani sekali men*njokku sampai memar seperti ini. "Oke, Mas minta maaf. Tapi bantuin Mas ngambil kuncinya, ya. Biar kita bisa cepat balik ke pabrik.""Apa?" ucap Ida dengan mata melotot. "Maksudnya aku mesti turun ke selokan dan ngambil kuncinya? Begitu?""Tepat, kamu memang perempuan cerdas. Mas belum bilang saja, kamu sudah tahu. Tolong, ya." Aku menangkupkan kedua tangan, mem
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGDari tadi menunggu Bu Wati, tapi beliau tidak balik-balik. Akhirnya aku pun berusaha mencari ke kamar mandi seperti pamitnya. Kakiku terhenti ketika melihat Bu Wati dan pria yang mengejarnya seperti sedang berdebat. Pria tersebut berkali-kali memegang tangan Bu Wati, tapi dengan cepat pula Bu Wati selalu menarik tangannya kembali. Takut terjadi apa-apa dengan Bu Wati, aku pun berjalan mendekati mereka. "Maaf, Bu. Ada apa ini?" tanyaku yang membuat mereka langsung terdiam. "Ning khawatir karena dari tadi Bu Wati tidak balik. Makanya saya mencari Ibu," terangku."Tidak ada apa-apa, Ning. Ibu baik-baik saja. Ayo kita balik ke tempat tadi," ajaknya."Tunggu! Tolong terima uang ini. Ibu jangan jadi badut lagi!" ucap pria tersebut sembari meraih tangan Bu Wati dan meletakkan sebuah amplop cokelat.Tiba-tiba Bu Wati meletakkan amplop tersebut di atas tanganku. "Uang ini untuk kamu saja, Ning. Buat modal usaha biar kamu tidak perlu panas-pa