BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU
"Ning … Ning," teriakku.Setelah berdebat tadi, aku memang meninggalkan dia untuk keluar jalan-jalan, tentunya bersama Ida. Setidaknya pusing di kepala ini langsung hilang ketika melihat senyum manisnya."Ke mana, sih, perempuan ini? Selalu saja bikin aku emosi.""Assalamu'alaikum." Tidak berapa lama Ning datang."Astaga, suami pulang bukannya di rumah malah kelayapan."Ning hanya diam saja, sama sekali tidak menjawab ucapanku. Dia langsung pergi ke belakang mengambil segelas air putih untukku, dan masih tetap diam.Sok-sok'an ngambek segala. Memangnya aku peduli. Harusnya 'kan aku yang marah.Coba saja Ida yang menyambutku saat pulang ke rumah, pasti rasa lelahku langsung hilang. Tidak seperti sekarang, aku merasa tidak nyaman berada di rumah.***Pagi yang kunanti telah tiba. Waktu yang selalu membuat semangat karena akan bertemu dengan pujaan hati.Ida Indriyani … sedetikpun rasanya enggan untuk menghilangkan bayangannya dari pikiranku.Hari ini aku sengaja bangun lebih awal dari biasanya agar bisa lebih lama berduaan dengan Ida.Suara kicau burung menyahut siulanku yang berirama lagu cinta. Saat ini aku merasa seperti jaman ABG dulu.Hah … cinta memang tidak memandang usia. Begitu indah.Aku segera keluar dari kamar untuk sarapan. Seperti biasa, tumis sawi putih dan sebungkus kerupuk. Sudah tiga hari ini menunya sama.D*s*r perempuan tidak bisa membahagiakan suami, dari masakannya saja tidak menghargai lelahku banting tulang. Masa' iya ganti menu masakan dua atau tiga hari sekali. Uang yang aku kasih buat apa?.Sawi putih, bayam, kangkung, itu melulu. Mentang-mentang nanam sayur sendiri, Ning jadi seenaknya menyiapkan menu makan untukku."Ning … Ningrum …."Dari tadi aku tidak melihat dia. Biasanya sudah mondar-mandir sampai bikin mata ini sepet melihatnya."Sudahlah, memang lebih baik tidak melihatnya. Mending sarapan di luar bersama Ida." Aku pun segera meninggalkan meja makan.Saat hendak menutup pintu, aku melihat sebuah kertas yang menempel di gagang pintu. Segera mengambil dan membaca tulisan yang tertera.(Mas, aku izin keluar. Sarapan sudah aku siapkan. Maaf kalau tidak pamit langsung, tadi Mas Heru belum bangun.)Aku membuang kertas tersebut, bagiku tidak penting Ning mau ke mana. Tidak izin pun aku tidak akan khawatir.-"Mas Heru, tumben pagi banget jemputnya?" Ida yang belum selesai dandan kaget melihatku sudah di depan pintu kontrakannya."Sengaja mau kasih kamu kejutan. Mas mau ngajakin kamu sarapan di luar, Da.""Tunggu sebentar, ya, Mas. Aku selesein dulu dandannya. Masa' iya masih pakai roll rambut begini.""Mau pakai roll, mau ngga sisiran, kamu tetap terlihat cantik, Da. Ini yang bikin Mas tidak bisa melupakan kamu.""Gombal, ah."Mungkin saat ini aku sudah seperti orang tidak waras, senyum-senyum sendiri duduk di teras menunggu Ida selesai dandan. Entah kenapa, Ida selalu bisa membuatku bahagia.Suatu saat nanti, aku akan meminangmu, Da."Ayo, Mas. Aku sudah siap." Ida keluar dengan tatanan rambut berbeda. Biasanya dikuncir ke atas dengan poni depan. Hari ini rambutnya dibiarkan tergerai. Sungguh perempuan ini sangat memesona. Bau parfumnya pun membuat hasrat kelelakianku meronta.Rasanya mata ini enggan berkedip melihat Ida yang sangat cantik."Sampai kapan bengong seperti itu, Mas."Aku tersipu malu dibuatnya. "Kamu cantik sekali, Da.""Apa ngga bosen bilang seperti itu setiap hari. Jadi perempuan memang harus pandai merawat diri. Makanya kalau skincare sama make-upku habis, Mas Heru harus ngasih uang untuk beli. Biar aku selalu tampil cantik.""Jangan khawatir. Apa, sih, yang ngga buat kamu."-Sepanjang perjalanan tanganku tak lepas menggenggam tangan Ida, sesekali aku mencium tangannya yang sangat harum."Kita mau sarapan di mana, Mas?" tanya Ida dengan dagu bersandar di pundak. Sekali saja menoleh, wajahku bisa menempel di pipinya."Soto ayam dekat perempatan depan. Rasanya enak banget soto di sana.""Mass, ada badut." Tiba-tiba Ida memelukku sangat erat ketika kami berhenti di lampu merah dan melihat badut sedang menari dengan menggoyangkan perutnya yang buncit."Kenapa, Da. Iya itu badut.""Aku paling takut sama badut, Mas. Dulu waktu kecil sering ditakut-takuti dengan boneka badut. Makanya sampai sekarang rasanya ngeri kalau lihat badut."Jadi ternyata Ida takut dengan badut."Kamu tenang saja. Kan ada Mas di sini. Lagipula itu di dalamnya orang, Da."Saat kami tengah bicara, badut tersebut berjalan semakin dekat ke arah kami. Dia membawa sebuah toples mengarahkan ke setiap pengendara yang berhenti.Tiba-tiba badut tersebut berdiri persis di depan motor kami, dia menatapku. Tapi anehnya dia tidak menyodorkan toples.Aku segera mengambil uang di saku jaket agar badutnya segera pergi. Kasihan Ida kalau dia terlalu lama ketakutan.Aku menyodorkan uang lembaran dua ribu rupiah, tapi badut tersebut tidak menggubris uangku. Dia masih saja menatapku, bahkan sampai lampu sudah berubah hijau, badut itu tetap berdiri di depan motor."Tolong minggir, kami mau lewat. Istri saya sudah ketakutan melihat kamu," terangku sembari membunyikan klakson berkali-kali.Akhirnya badut itu pun berjalan minggir memberi jalan untuk kami lewat."D*s*r badut aneh," gerutuku kesal.BersambungBADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"M-Mas Heru …. Aku tidak salah lihat 'kan? Barusan benar-benar Mas Heru. Istri? Dia menyebut perempuan yang dibonceng dengan sebutan istri. Lantas aku ini?"Aku yang baru saja turun ke jalan menghibur pengendara yang berhenti di lampu merah mendapat kejutan yang membuat hati ini tercabik, teriris. Begitu sakit.Menangis? Tidak, bahkan aku tidak mampu menangis. Aku menepuk dada ini berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesak yang tak mampu kubendung. "Ning, kamu kenapa? Sakit?" tanya Bu Wati–ibu badut yang memberiku pekerjaan."Sa-sakit? Saya tidak apa-apa, Bu. Cuma sedikit nyeri saja perutnya, mungkin karena barusan bayi di dalam perut nendang." Aku berusaha tersenyum, meski hatiku menangis dan hancur."Benar? Kalau memang sedang tidak enak badan, jangan dipaksain. Kamu bisa mulai jadi badut kapan saja, yang penting kesehatanmu, Ning."Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh cengeng, aku perempuan kuat. Aku berusaha melupakan apa yang kulihat
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Ada apa dengan Ning? Sikapnya tiba-tiba berubah. Apa dia kesurupan karena seharian kelayapan?" ucapku sendiri sambil berusaha menghidupkan kayu bakar untuk masak air. Berkali-kali berusaha, tapi tetap saja tidak bisa. Sampai-sampai mataku perih. Hah … d*s*r istri tidak tahu diri. Disuruh menyiapkan air panas tidak mau, disuruh masak enak malah ngasih kertas. Apa, sih, mau dia?Coba sedang tidak hamil, sudah ku'tinggalkan saat ini juga. Hampir lima belas menit, masih saja aku tidak bisa menghidupkan apinya. Emosiku sudah sampai di ubun-ubun. Capek pulang kerja bukannya dilayani, malah disuruh masak air sendiri. Aku segera melempar kayu yang ada di depanku dan beranjak masuk untuk menyuruh Ning yang masak air. Karena itu sudah menjadi tugasnya.Ning yang baru saja keluar dari kamar mandi terlihat sangat santai, sama sekali tidak merasa bersalah telah menyuruhku mengerjakan tugas yang sudah menjadi tugasnya. Aku menarik tangan Ning mengajak
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSelama menikah, baru kali ini aku keluar rumah tanpa izin pada suami. Aku tahu ini salah, tapi aku juga punya batas kesabaran. Mengatur napas untuk melegakan sesak di dada, rasanya seperti terhimpit batu besar. Aku tidak pernah menyangka, pria yang pernah berjanji akan selalu menjaga dan menyayangiku di hadapan bapak dan emak tega mengingkari. Seandainya kedua orang tuaku masih ada, pasti mereka tidak akan membiarkan Mas Heru menyakiti aku seperti ini. "Ning, dari kemarin Ibu lihat kamu banyak melamun. Ada yang sedang kamu pikirkan?"Aku menoleh ke arah Bu Wati yang sedang menatapku. Seperti biasa, aku mengumbar senyum mengembang. "Ning baik-baik saja, Bu. Biasa, Ibu hamil bawaannya ngga menentu.""Ya sudah … kalau memang belum siap terbuka sama Ibu. Tapi kalau kamu memang sudah tidak kuat, Ibu siap menjadi pendengar segala keluh kesahmu, Ning. Apalagi orang hamil tidak boleh banyak pikiran, nanti berpengaruh pada bayinya," ucap Bu
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Terus ini gimana, Mas? Masa' iya aku ikut dorong motor sampai tempat kerja, yang ada kakiku gempor," protes Ida. "Lagian istrimu itu ngapain pakai ngambil kunci motor segala?" sambungnya lagi.Ning memang keterlaluan, aku tidak habis pikir dia menjadi badut jalanan seperti itu, memalukan. "Kamu naik angkutan saja, ya. Biar Mas dorong sendiri motornya."Ida menyembulkan napas, "ya sudah, Mas Heru cariin aku taksi. Kalau naik jalur ngga bisa turun sampai depan pabrik."Aku pun segera mencarikan Ida taksi biar dia tidak telat masuk kerjanya. "Aku duluan, ya, Mas," pamit Ida ketika taksinya sudah datang. Si*lan, gara-gara Ning aku harus dorong motor. Berduaan dengan Ida pun gagal. Ternyata dua hari ini Ning tidak ada di rumah karena menjadi badut? Berarti badut yang kemarin itu dia juga? Astaga … kok bisa aku sampai tidak mengenalinya. Sekarang Ning sudah tahu kalau aku memiliki perempuan lain di belakang dia. Pantas saja sikapnya sangat ane
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Ternyata perempuan itu lebih berarti daripada aku dan anak kita, Mas. Kamu lebih memilih pergi meninggalkan kami," ucapku tanpa beranjak dari tempat duduk setelah Mas Heru benar-benar meninggalkan rumah.Laki-laki yang pernah mengucap janji suci, berjanji di depan bapak telah mengingkari ucapannya sendiri. Tidak ada maksud menjadi istri pembangkang, membantah dan berani menantang suami. Tapi Mas Heru sudah sangat keterlaluan. Bukan kata maaf yang terucap atas perbuatan yang dia lakukan, melainkan masih saja menyalahkanku. "Kita pasti mampu menghadapi semua ini, Nak. Ibu akan selalu menjagamu. Maafin Ibu belum bisa memberikan yang terbaik." ***Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan berwudhu untuk menjalankan salat sunah tahajud. Hanya dengan mengadu dan berkeluh kesah pada Rabb'ku hati ini menjadi tenang. Menguntai sebuah doa dan harapan, memohon ampun atas segala kesalahan. Aku pasrahkan hidu
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Da, Ida …," panggilku sambil mengetuk pintu berkali-kali. Pagi-pagi buta aku sudah menyambangi kontrakannya. Tidak berapa lama Ida pun membuka pintu, wajahnya masih terlihat ngantuk. "Astaga, Mas Heru. Ngapain pagi begini sudah ke sini. Aku juga belum mandi, baru bangun tidur.""Boleh aku masuk dulu. Ngga enak kalau dilihatin orang." Aku celingak celinguk mengamati sekitar kontrakan Ida. "Cepetan!"Aku pun segera memasukkan barang-barangku.Semalam terpaksa aku tidur di pos ronda tak jauh dari kontrakan Ida, karena bingung mesti ke mana. "Da, aku nitip mandi, ya.""Hem … malah repot sendiri 'kan sekarang. Harusnya Mas Heru tidak usah pakai acara pergi dari rumah segala. Mestinya badut itu yang keluar. Sekarang dia malah enak-enakkan tinggal di rumah kamu.""Ngga pa-pa, Da. Ini juga untuk sementara saja. Besok setelah Ning melahirkan, aku akan ceraikan dia. Dan rumah itu akan aku minta." Terpaksa berbohong, padahal rumah tersebut memang mi
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSebenarnya aku malu harus meladeni kekonyolanmu itu, Mas. Tapi ucapan demi ucapan yang kamu lontarkan selalu menyakitkan. Memberi sedikit pelajaran memang harus aku lakukan. "Cepat kamu ambil kunci motorku!" Mas Heru menarik kasar baju badutku dari belakang. Untung saja aku bisa mengimbangi badan sehingga tidak terjengkang."Jangan kasar sama perempuan, apalagi dia sedang hamil," balas Bu Wati yang tiba-tiba datang mem*k*l keras kepala Mas Heru."Tidak usah ikut campur perempuan tua. Ini urusanku dengan badut g*la itu," ucap Mas Heru seraya menunjukku.PLAKKKPLAKKKDua tamparan keras membuat pipi Mas Heru seketika memerah. "Badut gil*? Lagi-lagi kamu mengucapkan kata-kata itu. Bukannya kamu yang tidak w*ras? Aku, yang kamu sebut g*la tak lain Ibu dari darah dagingmu." Mas Heru memegang pipinya dengan wajah penuh amarah. "Aku tidak yakin itu anakku, bisa saja 'kan selama ini kamu juga memiliki selingkuhan. Aku 'kan jarang di rumah.
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Ngga usah bicara apapun, Mas. Urus sendiri, tuh, motor kamu." Ida meremas kesal tangannya, dia terlihat sangat marah. "Da, kamu mau ninggalin Mas sendirian di sini? Ini kuncinya belum bisa diambil." Aku berusaha mengejar langkah Ida yang hendak menyeberang."Aku 'kan sudah bilang, urus sendiri. Lagian kamu itu benar-benar kurang kerjaan, ya, Mas. Nyari makan siang saja sampai ke sini. Aku yakin, kamu memang sengaja pengen ketemu si badut g*la itu."Niatku memang ingin memberi pelajaran pada Ning, tapi aku tidak menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. Bahkan Ning berani sekali men*njokku sampai memar seperti ini. "Oke, Mas minta maaf. Tapi bantuin Mas ngambil kuncinya, ya. Biar kita bisa cepat balik ke pabrik.""Apa?" ucap Ida dengan mata melotot. "Maksudnya aku mesti turun ke selokan dan ngambil kuncinya? Begitu?""Tepat, kamu memang perempuan cerdas. Mas belum bilang saja, kamu sudah tahu. Tolong, ya." Aku menangkupkan kedua tangan, mem