Share

Bab 6 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku

BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU

"Ada apa dengan Ning? Sikapnya tiba-tiba berubah. Apa dia kesurupan karena seharian kelayapan?" ucapku sendiri sambil berusaha menghidupkan kayu bakar untuk masak air. Berkali-kali berusaha, tapi tetap saja tidak bisa. Sampai-sampai mataku perih.

Hah … d*s*r istri tidak tahu diri. Disuruh menyiapkan air panas tidak mau, disuruh masak enak malah ngasih kertas. Apa, sih, mau dia?

Coba sedang tidak hamil, sudah ku'tinggalkan saat ini juga.

Hampir lima belas menit, masih saja aku tidak bisa menghidupkan apinya. Emosiku sudah sampai di ubun-ubun. Capek pulang kerja bukannya dilayani, malah disuruh masak air sendiri.

Aku segera melempar kayu yang ada di depanku dan beranjak masuk untuk menyuruh Ning yang masak air. Karena itu sudah menjadi tugasnya.

Ning yang baru saja keluar dari kamar mandi terlihat sangat santai, sama sekali tidak merasa bersalah telah menyuruhku mengerjakan tugas yang sudah menjadi tugasnya.

Aku menarik tangan Ning mengajak dia ke belakang. "Cepet masakin aku air!" bentakku.

Ning justru melengos, membuatku semakin kesal dibuatnya.

"Istri ngga becus, kurang enak apa kamu, Ning? Setiap hari duduk manis di rumah. Ngga merasa capek harus kerja mencari uang. Sekarang disuruh melayani suami saja tidak mau. Ada apa dengan kamu?"

Ning menatapku tanpa bicara sepatah katapun. Dia segera berjongkok dan mulai menghidupkan api. Tidak ada satu menit, api pun menyala. "Istri tidak becus? Sekarang siapa yang tidak becus? Masak air dengan kayu saja kamu tidak bisa. Ini baru hal kecil, bagaimana dengan hal besar yang menyangkut soal rumah tangga?"

Dari awal Ning pulang, dia terus membantah ucapanku. Tidak biasanya dia seperti ini.

Lihat saja, minggu ini aku tidak akan memberimu uang, Ning. Biar kapok.

Tok tok tok

Terdengar suara ketukan pintu yang membuat Ning langsung berjalan ke depan. Aku pun menyusul langkahnya, penasaran siapa yang datang.

"Assalamu'alaikum, Mbak Ning," ucap Bu Ewih tetangga tak jauh dari rumah kami yang sekaligus Bu RT.

"Wa'alaikumsalam, Bu. Ada apa, ya? Silahkan masuk!"

Aku pun balik badan dan duduk di ruang tengah ketika Bu Ewih masuk. Sudah bisa ditebak pasti kedatangannya ke sini ada hubungannya dengan uang.

Tidak meleset dugaanku, Bu Ewih memberitahu maksud kedatangannya. Dia meminta iuran untuk pembangunan taman.

Ning menoleh ke arahku yang memang terlihat dari ruang tamu. Pasti sebentar lagi dia ngemis-ngemis minta uang untuk bayar iuran. Tapi sayangnya aku tidak akan memberi uang seperserpun pada Ning. Biar dia mikir, tanpa uang dariku dia bisa apa. Sebagai pelajaran karena tadi dia berani membantahku.

"Sebentar, ya, Bu. Saya ambilkan uangnya dulu." Ning berjalan melewatiku begitu saja. Tidak berapa lama dia balik lagi dengan membawa uang di tangannya.

"Ini, Bu, lima puluh ribu. Tapi maaf, uangnya receh," terang Ning.

"Tidak apa-apa, Mbak Ning. Terima kasih banyak atas bantuannya. Semoga menjadi amal Mbak Ning sekeluarga."

Ning punya uang? Harusnya 'kan sudah habis hari kemarin uang pemberian dariku.

"Pantes, uang baru berapa hari sudah bilang habis. Ternyata sebagian kamu tilep, Ning."

Lagi-lagi Ning hanya diam. Sikapnya yang berubah justru membuatku penuh tanda tanya. Tidak biasanya sikap Ning seperti ini.

***

Ini hari kedua Ning pagi-pagi sudah tidak ada di rumah. Tapi kali ini dia tidak pamit lewat surat seperti kemarin, dia juga tidak menyiapkan sarapan seperti biasanya.

"Sudah berani kur*ng aj*r sekarang kamu, Ning. Sebenarnya dia pergi ke mana dua hari ini? Apa Ning punya selingkuhan? Jangan-jangan, bayi dalam kandungannya bukan anakku? Awas saja kalau sampai terbukti."

Ting

Notif pesan masuk dari Ida. Aku pun segera membukanya.

[Mas, aku sudah siap. Cepetan ke sini.]

[Iya, Ida sayang. Ini Mas baru mau berangkat. Tunggu, ya,] balasku tak lupa menambahkan emot love.

Sepanjang perjalanan menuju kontrakan Ida, mulutku terus mengumpat, kesal dengan sikap Ning. Dia sudah tidak menghormatiku sebagai suami.

-

Ida melambaikan tangan saat aku baru saja masuk di halaman. Dia sudah menunggu di teras. Hati yang tadinya emosi, seketika adem melihat wajahnya yang selalu berseri-seri.

Memang perempuan seperti Ida yang bisa membuat hari-hariku selalu bahagia.

Sebenarnya kalau Ning memang terbukti selingkuh, justru sangat menguntungkan untukku. Karena aku bisa menceraikan dia dengan alasan tersebut, dan menjadikan Ida sebagai ratu di hatiku.

Perfect. Kenapa tadi aku mesti mikirin Ning pergi ke mana segala. Bagus 'kan kalau dia beneran selingkuh.

"Mas, Mas Heru. Ngelamunin apa, sih?" Tepukan tangan Ida seketika membuyarkan pikiranku.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status