Share

BAB 03

Bagaikan Menu Warteg

BAB 03

"Assalamualaikum."ucap seorang laki-laki.

Dan kami semua langsung menoleh kearah pintu.

Ketika melihat pintu, semua orang menjawab sallam secara bersamaan.

Disana berdiri seorang laki-laki, berwajah tampan dan bertubuh kekar.

"Waalaikum sallam, ayo silahkan masuk Nak." Ucap Paman.

"Seno, ayo duduk di sebelah gadis itu"perintah Pak Tejo.

Laki-laki itu langsung duduk di sebelah ku.

Dan si Mbah Pon langsung berbisik di telinga ku.

"Gantengkan, cucu Mbah."bisiknya.

Aku hanya tersenyum kearah Mbah Pon.

"Nak, kenalkan ini Tutik anak Bapak yang akan jadi pendamping mu." Ucap paman sambil menunjuk kearah ku.

Mas Seno langsung menoleh kearah ku dan menyodorkan tangannya.

"Seno."ucapnya, aku menjabat tangannya sambil menyebutkan namaku.

Setelah perkenalan singkat, Bibik dan Bu Ratih membawa sebuah kotak perhiasan kecil yang aku yakini itu berisi cincin pertunangan kami.

"Nak, sematkan cincin ini di tangan Tutik."ucap Bu Ratih.

Lalu Mas Seno mengambil cincin dari kotak perhiasan yang dibawa Bu Ratih.

"Nduk, ulurkan tangan mu kepada nak Seno."perintah Bibik.

Aku sangat gugup, jantungku berdegup kencang. Sepertinya Bibik tahu jika aku gugup.

Lalu Bibik meraih tanganku dan mengulurkan kearah mas Seno, agar Mas Seno bisa menyematkan cincin di jari ku.

Mas Seno, terlihat santai, mungkin karena ini bukan yang pertama baginya.

Setelah selesai menyematkan cincin di jemariku, Mas Seno tersenyum kearah ku.

Lalu Bibik menyuruhku untuk menyematkan cincin di jari Mas Seno.

Tanpa di minta mas Seno sudah mengulurkan tangannya kearah ku, dengan gugup aku sematkan cincin di jari manis Mas Seno.

Dan lagi-lagi Mas Seno tersenyum manis kepada ku.

Aku semakin kikuk dan gugup di buatnya.

Setelah selesai acara tukar cincin, semua keluarga mulai membahas tanggal pernikahan.

Mbah Pon diminta memberi masukan, karena orang yang di tuakan.

"Menurut Mbah lebih cepat lebih baik, karena Seno juga sudah tidak muda lagi dan Mbah lihat Tutik juga sudah cukup matang untuk berumah tangga." Usul Mbah Pon.

"Bagaimana menurut kalian berdua?"tanya Pak Tejo kepada kami

"Kalau Seno sich Pak ngikut aja."jawabnya santai

"Tutik, bagaimana? Setuju atau tidak jika pernikahannya di percepat?"tanya Pak Tejo.

Aku diam, bingung harus menjawab apa? Aku takut jika aku menjawab sesuai isi hati mereka akan kecewa.

Sepertinya Bibik tahu jika aku sedang bingung, Bibik mendekat kearah ku dan duduk di samping ku.

"Nduk, jawab saja dengan jujur, kami pasti menerima apapun jawaban mu."ucap Bibik sambil menggenggam tanganku.

Aku lihat raut wajah paman tampak sedikit cemas.

Karena aku tidak ingin melihat mereka kecewa akhirnya aku menyetujui keputusan itu.

"Tutik, ngikut saja Pak."jawab ku.

Paman terlihat lega dan wajahnya berbinar.

"Alhamdulillah."ucap semua serempak.

"Jadi acaranya minggu depan dan sederhana saja agar kita tidak terlalu repot, bagaimana menurut mu Tejo, Sardi?" Tanya Mbah Pon

"Kalau aku sich terserah Sardi saja Buk, maunya bagaimana?"jawab Pak Tejo sambil melihat kearah Paman.

"Kalau saya lebih suka sederhana Buk, jadi persiapan pernikahannya tidak terlalu repot."jawab Paman.

"Baiklah karena semua sudah setuju. Jadi pernikahannya minggu depan."ucao Mbah Pon.

Semua mengangguk menandakan setuju.

Setelah berembuk, Paman mengajak mereka untuk menyantap hidangan yang di sediakan.

Setelah selesai makan, mereka lanjut ngobrol di ruang tamu, sedangkan aku duduk di ruang tengah.

Ketika aku sedang melamun, aku di kejutkan dengan suara Mas Seno.

"Boleh Mas duduk?"tanyanya meminta ijin duduk disamping ku.

Aku lalu mengangguk. Dan Mas Seno langsung menghempaskan bokongnya di samping ku.

"Ngelamun apa?"tanyanya datar

"Eeehhhmmm..."jawabku gugup

"Gak usah di pikirin perjodohan ini, kita jalani saja."ucapnya datar

"Mas, boleh aku bertanya?"ucapku

Mas Seno mengangguk

"Kenapa Mas mau di jodohkan? Orang seperti Mas pasti banyak yang suka? Tapi mengapa Mas terima perjodohan ini?"tanyaku penasaran

"Ya karena aku tahu pilihan orang tua itu pasti yang terbaik untukku."jawabnya datar

"Tapi Mas, di kota pasti banyak wanita cantik, mengapa malah mas di jodohkan dengan gadis kampung seperti aku?"ucapku

"Bapak dan Ibuk lebih suka jika aku menikah dengan gadis yang sederhana."jawabnya

"Jadi karena itu Mas menerima perjodohan ini?"tanyaku

"Iya... Dan aku juga tahu jika kamu menerima perjodohan ini juga karena Paman dan Bibik mu kan!"ucapnya tanpa basa-basi

Aku terkejut Mas Seno tahu alasan ku menerima perjodohan ini.

"Sudah kita jalani saja perjodohan ini, kita mencoba saling membuka hati, jika dengan berjalannya waktu kita tetap tidak bisa saling mencintai kita bisa jujur kepada mereka."ucapnya dengan santai

"Apa dengan kita berkata jujur kepada mereka tidak membuat mereka kecewa?"tanya ku

"Ya setidaknya kita sudah melakukan apa yang mereka inginkan jadi jika kita bercerai dan berkata jujur pasti mereka akan mengerti."jawabnya enteng.

Aku bingung dengan Mas Seno. Entah orang seperti apa yang ada di samping ku ini.

Ketika aku akan menjawab ucapan Mas Seno.

Bibik memanggil kami, karena keluarga Mas Seno akan pulang.

Sebenarnya Paman menawari mereka untuk menginap, karena perjalanan pulang ke kota membutuhkan waktu sekitar empat jam.

Namun pak Tejo menolak secara halus, dengan alasan Dia bisa gantian menyetir dengan Mas Seno.

Setelah mengantar mereka ke mobil dan mereka pergi. kami kembali masuk kedalam rumah.

Ketika di dalam rumah, Paman dan Bibik menyuruhku duduk di tengah mereka.

"Nduk, Bapak dan Bibik sangat bahagia hari ini."ucap paman.

"Iya Nduk, Bibik tidak percaya anak Bibik sebentar lagi sudah mau menikah."imbuh Bibik.

"Nduk, jadilah istri yang Solehah, berbakti kepada suami, dan anggap mertua mu seperti orang tua mu."ucap Bibik

"Iya Bik."jawab ku

"Nduk, nanti sering-sering lah menjenguk kami, karena kamu tahu kami hanya memiliki kamu."ucap paman dengan mata berkaca-kaca.

Paman dan Bibik tidak memiliki keturunan, karena itulah aku sangat di manja dan di sayangi layaknya anak kandung oleh mereka.

"Iya Pak, Tutik pasti sering menjenguk Bapak dan Bibik."jawabku.

Bu Ratih dan Mbah Pon memang sudah memberitahu ku jika nanti setelah menikah aku akan langsung di boyong ke kota, karena toko Mas Seno tidak ada yang mengurus.

"Ya sudah kalau gitu Nduk, istirahat sana sudah malam."perintah Bibik.

Aku lalu bangkit dan pamit untuk ke kamar.

Setelah di dalam kamar, mataku enggan terpejam.

Air mata yang sedari tadi ku tahan akhirnya jatuh juga, aku hanya bisa menangis untuk meluapkan rasa sesak yang ada di dada, jujur perjodohan ini membuat ku takut, apa lagi dengan sikap Mas Seno menganggap pernikahan seperti mainan.

💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞

Waktu berjalan begitu cepat tinggal dua hari lagi menjelang hari pernikahan ku.

Paman dan Bibik sibuk menyiapkan segala sesuatu yang di butuhkan.

"Nduk, nanti malam kita kerumah Paman dan bibik mu."ucap Paman.

"Untuk apa kita kesana Pak? Bukankah mereka tidak pernah peduli dengan Tutik."protes ku.

"Nduk, tidak baik menyimpan dendam seperti itu, bagaimana pun juga mereka adalah saudara Ibumu."jawab Paman.

"Tapi Pak. Mereka sendiri yang mengatakan jika Tutik bukan bagian dari keluarga mereka. Dan mereka juga mengatakan jika Tutik anak pembawa sial."ucapku dengan air mata yang mengalir.

Aku ingat betul dengan ucapan Paman Rudi dan Bibik Sari waktu di pemakaman kedua orang tuaku.

Mereka mengatakan jika aku adalah penyebab kematian orang tuaku dan karena aku Ibuku lebih memilih Bapak dari pada keluarganya.

Kata Paman Sardi, Ibuku membohongi Nenek dengan mengatakan jika Ibu telah hamil duluan. sehingga Nenek dengan terpaksa menikahkan mereka.

Setelah ijab qobul dan acar selesei Ibu dan Bapak baru berkata jujur, jika Ibu tidak hamil.

Nenek sangat murka mendengar kebohongan Ibu, Nenek langsung jatuh tak sadarkan diri dan setelah di larikan ke rumah sakit ternyata nyawa Nenek tidak tertolong.

Paman Rudi dan Bibik Sari langsung mengusir Ibu dan Bapak dari rumah.

Mereka tidak menganggap Ibu sebagai saudara lagi.

Setelah itu Bapak dan Ibu pergi dari kampung dan merantau ke kota.

Satu tahun setelah itu aku lahir, Ibu dan Bapak membawa ku kembali ke kampung.

Kami hidup sangat bahagia, aku di besarkan dengan penuh kasih sayang, Hingga musibah itu datang, waktu itu aku umur delapan tahun.

Kejadian naas terjadi pas hari minggu, hari dimana kami menghabiskan waktu bersama, kami baru pulang dari sebuah tempat pariwisata, kami sangat bahagia, kami berjalan beriringan, Ibu dan Bapak bergandengan tangan.

Ibu melarang ku menggandeng tangan Bapak, kata Ibu.

"Nduk, kamu jalan sendiri ya... Ibu sama Bapak mau berduaan"canda Ibu.

"Iya... Iya.... Ibu pengen pacaran seperti yang di tivi-tivi itukan..."jawabku. Lalu kami tertawa bersama.

Tanpa kami sadari di belakang kami ada sebuah mobil melaju dengan sangat kencang dan langsung menabrak Ibu dan Bapak. Ibu meninggal di tempat sedangkan Bapak meninggal ketika di perjalanan menuju rumah sakit.

Sedangkan mobil yang menabrak mereka menghantap pohon besar dan mobil itu terbakar karena benturan yang sangat keras.

Ketika di pemakaman Paman Rudi dan Bibik Sari memaki ku.

"He! Tutik lihat karena kamu sok-sokan ngajak liburan Ibumu jadi meninggal."ucap Paman Rudi dengan nada tinggi.

"Iya kamu itu sama Bapak mu sama!  Pembawa sial."imbuh Bik Sari.

Aku semakin terisak sambil memeluk gundukan tanah itu.

"Ingat ya! Jangan pernah kamu datang kerumah kami atau menganggap kami Paman dan Bibik mu!"ujar Bik Sari ketus.

"Sudah cukup! Apa kalian tidak malu jadi tontonan begini!"hardik Paman Sardi

"Halah! Kamu itu Sardi. Jangan sok jadi pahlawan! Kamu urus itu keponakan pembawa sial itu! dan ingat! Jangan pernah meminta bantuan biaya kepada kami!"jawab Paman Rudi marah

"Apa kalian tidak ada rasa simpati sedikit pun dengan anak ini? Dimana hati nurani kalian?" Ucap Paman Sardi geram

"Kami tidak sedikit pun bersimpati dengan anak ini! Bagi kami anak ini adalah anak pembawa sial!"jawab paman Rudi

Karena suasana semakin panas, beberapa warga yang masih ada di pemakaman melerai mereka.

Paman Sardi dan istrinya langsung membawa ku pulang kerumah mereka.

Dan setelah hari itu sampai detik ini Paman Rudi maupun Bibik Sari tidak pernah sekalipun menjengukku, bahkan bertemu di jalan pun mereka tidak mau menyapaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status