Share

Formalitas saja

Author: Jana Indria
last update Last Updated: 2025-07-05 01:21:30

“Kita pulang, Pak …” pinta Firli dari kursi belakang.

“Nya … siap!!” ujar Pak Mat dari kursi di belakang kemudi

.

“Kok sebentar, Nya? Bapak nggak ada di tempat ya?” tanya pak Mat lagi, Namun tak ada jawaban.

Hingga akhirnya Pak Mat tertegun sesaat, ketika tanpa sengaja pandangan matanya melirik ke arah di mana Nyonya majikannya yang sedang menagis, berada.

Dan selama perjalanan pulang dari kantor Varel adalah sebuah jeda yang waktu yang kosong dalam diam. Firli berulang kali mengusap wajahnya yang basah, kedua matanya menatap ke luar jendela kaca, semuanya tampak bergerak dalam kecepatan penuh, namun di dalam benak Firli, waktu telah berhenti pada satu adegan di mana saat tadi Varel yang memeluk Tiara dengan kelembutan yang seharusnya menjadi miliknya. Pemandangan itu terpatri di matanya, sebuah gambar beku yang membakar semua harapan yang tersisa.

Bahkan saat sampai di rumah pun, Firli terlihat datar, tak ada semangat.

“Assalamualaikum ….”

Dengan satu tangan mendorong pintu, Firli di sambut oleh keheningan. Rumah yang dulu ia tata dengan penuh cinta, kini terasa seperti sebuah museum. Setiap sudut menyimpan kenangan yang kini terasa menyakitkan. Foto pernikahan mereka di dinding ruang tamu seolah mengejeknya, menampilkan senyum bahagia dua orang yang kini tidak ada lagi cinta di antaranya. Aroma kopi Varel yang seolah masih tertinggal di udara kemarin kini terasa menyesakkan.

“Aku bukan wanita miskin, juga bukan wanita bodoh apalagi wanita yang buruk rupa, bukan aku, sakit ini akan menghilang dengan sendirinya, sedih ini hanya sebentar !” serunya menyemangati diri sendiri, kemudian membuang napas kasar, dan tersenyum walau tampak sangat di paksakan.

Di sinilah keputusannya mengeras menjadi baja. Ia tidak akan tinggal di sini. Ia tidak akan menunggu suaminya pulang untuk meminta penjelasan atau memulai pertengkaran yang sia-sia. Ia telah melihat kebenarannya dengan mata kepala sendiri. Ia tidak akan menjadi penghalang.

Jika Varel menginginkan Tiara, maka Varel akan mendapatkannya. Firli memilih untuk mengalah. Bukan karena ia lemah, tetapi karena ia sudah terlalu lelah untuk berjuang demi sesuatu yang telah hilang. Ia akan pergi.

Langkah membawanya ke arah tangga, di mana ia di sambut oleh kehadiran Mbok Na, pembantu rumah tangga yang telah bekerja padanya sejak awal pernikahan.

"Lo, Nya … Nyonya Firli sudah pulang?” sapa Mbok Na dengan logat Jawa yang kental dan penuh kekhawatiran, bertanya dengan mengikuti langkah Firli yang naik tangga menuju ke kamar pribadinya.

“Nyonya belum makan, ya? Saya siapkan ya?”

Lagi, mbok Na bertanya, namun kali ini dia tak menunggu Firli menjawab, Perempuan separuh baya itu seketika membalikkan badannya kembali menuruni tangga.

Dan tak butuh waktu lama. Mbok sudah kembali ke kamar Firli dengan sepiring nasi lengkap dengan lauk, sayur dan segelas air mineral.

“Nya …. Makan dulu, kasihan bayinya, maukan?”

Pertanyaan sederhana yang tulus itu meruntuhkan dinding pertahanan terakhir Firli. Ia menatap wajah Mbok Na yang memancarkan kehangatan seorang ibu, dan tanpa bisa ditahan, isak tangis yang sejak tadi ia pendam akhirnya pecah lagi. Ia tidak menceritakan detailnya, ia tidak sanggup. Ia hanya terisak sambil memeluk wanita tua itu.

"Sudah, Nya … kalau ingin cerita, si mbok siap mendengarkan, keluarkan semua nya. Jangan ada yang bikin sakit hati."

Mbok Na, dengan kearifannya, tidak banyak bertanya. Ia hanya mengelus punggung Firli dengan lembut.

Setelah beberapa saat, Firli melepaskan pelukannya, wajahnya basah oleh air mata namun matanya memancarkan tekad baru.

"Mbok … tolong bantu saya siapkan beberapa barang. Saya… saya harus pergi untuk sementara."

Mbok Na menatapnya dengan pandangan sedih namun penuh pengertian. Ia mengangguk pelan.

"Nyonya mau pergi ke mana? Kalau mau pergi makan dulu ya, Nya, biar bayinya nggak kenapa kenapa,” ujar Mbok, kedua mata nya sudah berkaca kaca.

"Ke luar kota, Mbok. Butuh waktu sendiri," jawab Firli lirih.

Tanpa banyak bicara lagi, Mbok Na membantu megepak barang, membiarkannya makan walau hanya beberapa suap.

Mereka bergerak dalam keheningan yang penuh makna di dalam kamar tidur yang luas itu. Firli membuka lemari, tangannya secara otomatis hanya menyentuh sisi miliknya, mengabaikan deretan kemeja dan jas Varel. Ia hanya mengambil beberapa helai pakaian sederhana, pakaian yang nyaman. Ia meninggalkan semua gaun mahal dan perhiasan pemberian Varel. Barang-barang itu milik istri Varel Adyatama, dan ia merasa bukan lagi orang itu.

Mbok Na dengan cekatan melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam sebuah koper berukuran sedang. Sementara itu, Firli mengumpulkan barang-barang pribadinya seperti dokumen penting, buku tabungan atas namanya sendiri, dan beberapa buku favorit. Matanya sempat tertuju pada foto hasil USG yang masih tergeletak di dalam tasnya. Dengan tangan gemetar, ia mengambilnya dan menyelipkannya dengan hati-hati di antara tumpukan bajunya—satu-satunya harapan di tengah keputusasaannya.

Terakhir, ia duduk di meja rias dan menulis sebuah surat pendek di atas secarik kertas. Tulisannya tegas, tanpa getaran.

"Varel, Aku melihatmu di kantor tadi. Aku rasa … aku sudah mendapatkan semua jawaban yang kubutuhkan. Aku butuh waktu. Aku pergi dulu. Jangan cari aku."

Firli.

Ia meletakkan surat itu di tengah ranjang, di atas bantal sisi Varel. Setelah koper siap, Firli menarik napas dalam- dalam. Ia memandang berkeliling untuk terakhir kalinya.

“Selamat tinggal, rumah. Selamat tinggal, kenangan.” Firli berbisik dengan mata menyapu sekeliling rumah untuk terakhir kalinya.

Di depan pintu, ia berpamitan pada Mbok Na.

"Mbok, tolong jaga diri baik-baik. Kalau Varel bertanya, katakan saja kalau aku sudah menulis pesan padanya, kuletakkan di dalam kamar."

"Baik Nya ….” Mbok menjawab sembari sesekali menghapus air matanya dengan ujung baju yang dia pakai.

“Nyonya Firli juga jaga diri baik-baik, ya. Jangan lupa makan, ingat ada bayi yang harus di jaga," pesan Mbok Na, matanya berkaca-kaca. Ia memberikan sebuah pelukan terakhir yang hangat.

Firli melangkah keluar dari pintu, menyeret kopernya, dan tidak menoleh ke belakang lagi. Ia memesan taksi online, dan saat mobil itu tiba, ia masuk tanpa ragu.

Saat mobil mulai melaju, membawanya menjauh dari kompleks perumahan yang sudah sangat familier baginya.

“Semangat Firli, jika cinta ini bukan milikmu maka ai akan lepas juga, walau dengan berbagai cara,” bisik Firli, bermonolog, dengan tangan kanan mengelus perlahan perutnya yang masih terasa datar.

Kedua matanya menatap lurus ke depan. Cahaya lampu jalanan menyapu interior mobil, menerangi wajahnya yang pucat Namun dihiasi sorot mata yang tabah. Ia akan pergi ke tempat di mana ia bisa bernapas lagi, memulai segalanya dari nol, hanya berdua dengan rahasia kecil yang kini menjadi satu-satunya kekuatannya.

"My baby, ...." ucap Firli, dengan kedua tangan mengelus elus lembut di perutnya l.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bagaimana Denganku   6. Dion datang

    Kini bukan lagi tangis kesedihan, melainkan tangis amarah dan ketakutan. Ketakutan akan kehilangan dua orang yang paling berharga dalam hidupnya sekaligus.Varel membuka pintu rumah. Keheningan yang kemarin terasa namun hari ini terasa lebih mematikan. Rumah ini bukan lagi sekadar kosong, tetapi telah menjadi monumen kesalahannya. Setiap sudut kini berteriak menuduhnya sebagai pengkhianat!!Langkahnya membawanya kembali ke kamar tidur. Matanya terpaku pada sisi tempat tidur milik Firli. Ia bisa membayangkan Firli duduk di sana, tersenyum sambil mengelus perutnya, merencanakan cara terbaik untuk memberinya kejutan.Varel mendekat, tangannya gemetar saat menyentuh bantal yang semalam menjadi alas surat perpisahan itu. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari sisa aroma parfum Firli, Namun yang tercium hanyalah aroma dingin dari seprei yang tak tersentuh.Beban itu menjadi terlalu berat.Kakinya lemas. Varel luruh ke lantai, punggungnya bersandar pada sisi ranjang. Kepalanya tertu

  • Bagaimana Denganku   Formalitas saja

    “Kita pulang, Pak …” pinta Firli dari kursi belakang.“Nya … siap!!” ujar Pak Mat dari kursi di belakang kemudi. “Kok sebentar, Nya? Bapak nggak ada di tempat ya?” tanya pak Mat lagi, Namun tak ada jawaban.Hingga akhirnya Pak Mat tertegun sesaat, ketika tanpa sengaja pandangan matanya melirik ke arah di mana Nyonya majikannya yang sedang menagis, berada.Dan selama perjalanan pulang dari kantor Varel adalah sebuah jeda yang waktu yang kosong dalam diam. Firli berulang kali mengusap wajahnya yang basah, kedua matanya menatap ke luar jendela kaca, semuanya tampak bergerak dalam kecepatan penuh, namun di dalam benak Firli, waktu telah berhenti pada satu adegan di mana saat tadi Varel yang memeluk Tiara dengan kelembutan yang seharusnya menjadi miliknya. Pemandangan itu terpatri di matanya, sebuah gambar beku yang membakar semua harapan yang tersisa.Bahkan saat sampai di rumah pun, Firli terlihat datar, tak ada semangat.“Assalamualaikum ….”Dengan satu tangan mendorong pintu, Firli d

  • Bagaimana Denganku   Hamil

    “Mbok .... nanti pulang ke rumah pakai taksi ya, biar aku pesankan nanti, aku mau ke kantornya Mas Varel, aku tak ingin bahagia sendiri menerima kabar bahagia ini.”“Iya, Nya …” jawab Mbok Na dengan kedua tangan yang cekatan membereskan barang barang keperluan majikannya, agar kamar yang dia tempati saat ini kembali ke asal.Tak bisa dia pungkiri kalau saat ini dia merasa ada secercah harapan yang nekat mulai tumbuh di dalam hatinya yang terluka. Seorang anak, buah hati mereka. Ini bukan lagi sekadar tentang dirinya, Varel, dan Tiara. Kini ada kehidupan baru yang menjadi pengikat takdir mereka.“Mungkin ini adalah tanda dari-Mu ya …. Allah, sebuah kesempatan kedua. Varel harus tahu. Kabar ini pasti akan mengubah segalanya. Seorang anak akan mengingatkan Varel akan sumpah mereka, akan masa depan yang pernah mereka rancang bersama.”Firli tersenyum, harapan itu walau terasa rapuh, Namun begitu kuat hingga mendorongnya untuk bergerak.Setelah memastikan Mbok Na sampai di rumah dengan

  • Bagaimana Denganku   Ditinggal

    “Mmm …..”Ketika kesadaran Firli kembali, segera di sambut bau antiseptik yang tajam menusuk hidungnya.“Mbok ….”Firli membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya lampu neon yang berpendar di langit-langit putih.Ia mengenali ruangan steril itu sebagai kamar perawatan rumah sakit. Sebuah selang infus tertancap di punggung tangannya, menyalurkan cairan bening ke dalam pembuluh darahnya.“Mboook ….”Dengan suara yang terdengar seperti suara rintihan, Firli berusaha membangunkan mbok Na yang tertidur di samping ranjangnya.“Iya, Nya ….”Dengan agak tergesa, Mbok bangun dan langsung memfokuskan dirinya pada Firli.“Haus, Mbok ….”Mbok Na langsung menyiapkan apa yang di inginkan oleh Firli, dan membantu majikannya itu untuk meminumnya.Selesai minum tanpa sengaja mata Firli menoleh ke samping, dan pemandangan di sana membuat napasnya seketika tercekat. “Mas Varel ….” ujarnya pelan, melihat sosok yang berada di atas sofa kulit berwarna hijau lumut

  • Bagaimana Denganku   Kesedihan Firli

    Triiing ….!!Gemerincing kunci mobil Tiara yang menjauh, kini terdengar seperti lonceng kematian bagi dunia Firli. Yang kemudian perlahan sirna bersama deru mobil, menciptakan keheningan ruang tamu yang mendadak terasa begitu luas dan dingin, bahkan Firli merasa saat ini pun dirinya sedang dikhianati oleh pendingin ruangan yang bersekongkol dengan kehancuran hatinya.“Benarkah apa yang Tiara katakan tentangmu? Benarkah kau belum utuh untuk kumiliki?!”Terdengar sangat menyayat hati, rintihan Firli yang diucap disertai isakan itu, sangat menggambarkan lukisan hati yang dia alami.Di benaknya, kata-kata Tiara berputar tanpa henti, tajam dan berbisa seperti belati yang terus ditikamkan ke ulu hati."Aku berikan kau pilihan, Firli. Kau ceraikan Varel dan pergi dari hidupnya, dengan kompensasi yang pasti tak akan membuatmu menyesal seumur hidup atau …. kau rela aku jadi yang kedua. Walau sebenarnya, akulah yang pertama yang kembali ke tempat nya."Kalimat yang terucap dengan di ikuti oleh

  • Bagaimana Denganku   1. Retak

    Hujan baru saja reda di Jakarta, menyisakan aroma petrichor yang merayap naik bahkan menembus lipatan tembok yang berlapis di ruang tamu sebuah rumah mewah yang baru saja ditempati selama hampir dua tahun. Firli, ratu di rumah tersebut kini menatap tamu yang tak dia undang, dengan hati yang tak tenang. Dia tak menyukai perempuan di hadapannya, setidaknya, begitulah yang ia yakini hingga lima menit yang lalu.Firli memegang cangkir porselen berisi teh kamomil yang panasnya mulai turun itu hingga terasa bergetar. Ia kemudian meletakkannya di atas meja kopi marmer sebelum jemarinya yang gemetar tak membuatnya jatuh.“Jadi ….”Tiara memulai lagi, suaranya yang halus Namun penuh racun kini mulai lagi memecah keheningan. Ia menyilangkan kakinya yang dibungkus dengan rok panjang lebar, gerakannya terlihat penuh perhitungan."Aku rasa kamu sudah mengerti posisi ku saat ini, Firli," sambungnya dengan dagu terangkat, penuh kesombongan.Firli menelan ludah. Kopi yang baru saja dia minum sepert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status