Masuk“Nyonya ada di dalam kan, Pak?!” tanya Varel pada salah satu satpam yang membantunya membukakan pintu mobil.
“Maap Den, saya baru datang karena tadi masih antar anak ke rumah sakit, tadi wanto yang jaga, tapi orangnya sudah pulang,” jawab Satpam itu dengan sedikit membungkukkan badannya. Varel tak menjawab, dia melangkahkan kakinya menuju pintu dan membukanya dengan agak kasar. Ia melangkah masuk, melepas sepatu pantofelnya dengan gerakan yang sudah seperti ritual. "Firli, aku pulang!" serunya, sebuah kalimat yang selalu menjadi penanda dirinya baru pulang. Namun, tidak ada jawaban. Biasanya, aroma masakan Firli atau setidaknya sahutan hangat dari ruang keluarga akan menyambutnya. Malam ini, yang menyambutnya hanyalah hening yang ganjil. Lampu ruang tengah memang menyala, tetapi terasa dingin dan kosong. Perasaan Varel mulai tidak enak. Ini bukan keheningan yang damai, melainkan keheningan yang memekakkan. "Mbok Na?" panggilnya lagi, kali ini menyebut nama asisten rumah tangga mereka. Sosok mbok Na muncul dari arah dapur, langkahnya pelan dan wajahnya tertunduk. Wanita paruh baya yang biasanya ceria itu kini tampak ragu-ragu. "Iya ..... Den Varel, sudah pulang," sapanya pelan, nyaris berbisik. "Iya, Mbok. Istriku ke mana? Tumben sepi sekali, masih sakit ya?" tanya Varel sambil meletakkan tas kerjanya di sofa. Mbok Na tidak langsung menjawab. Dengan kedua tangannya, ia meremas-remas ujung daster batiknya, sebuah gestur gugup yang sangat Varel kenali. "Itu, Den... Nyonya Firli ...." Jantung Varel mulai berdetak lebih cepat. "Firli kenapa, Mbok? Dia baik-baik saja, kan?" "Non Firli pergi, Den. Tadi sore, sekitar jam empat," jawab mbok Na akhirnya, matanya menatap lantai, seolah tak berani menatap Varel. "Mbok sudah coba tanya mau ke mana, tapi Nyonya Firli hanya diam dan kelihatan .... sedih sekali." Dunia Varel seakan berhenti berputar. Pergi? Apa maksudnya ini? "Pergi ke mana? Ke rumah orang tuanya? Apa ada keadaan darurat?" Varel memberondong dengan pertanyaan, logikanya berusaha mencari penjelasan yang paling masuk akal. Mbok Na menggeleng pelan. "Mbok tidak tahu, Den. Tapi ..... Nyonya Firli meninggalkan sesuatu untuk Aden di kamar tidur." Varel melesat mauk ke dalam kamar. Matanya langsung tertuju ke kasur, di sana ada lembaran kertas, tepatnya di ata bantal. "Varel, Aku melihatmu di kantor tadi. Aku rasa … aku sudah mendapatkan semua jawaban yang kubutuhkan. Aku butuh waktu. Aku pergi dulu. Jangan cari aku." Firli. "Oh tidak ....!" Entah kenapa firasatnya mengatakan kalau Firli melihatnya saat sedang menenangkan Tiara. "Ini salah paham," gumamnya pada keheningan. "Firli, ini semua salah paham." Rasa panik mulai menjalari pembuluh darahnya. Ia merogoh ponsel dari saku celananya, jarinya dengan cepat mencari nama "Istriku❤️" di daftar kontak. Panggilan pertama, nada sambung terdengar. Varel menahan napas. Satu detik. Dua detik. Sepuluh detik. Panggilan itu tidak di angkat dan di alihkan ke pesan suara. Varel mencoba lagi. Kali ini, hasilnya berbeda. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan..." Ponselnya di matikan. Firli benar-benar memutus aksesnya. Varel terduduk lemas di kursi makan. Kelelahan akibat pekerjaan seketika sirna, di gantikan oleh gelombang keputusasaan yang dingin. Pesan singkat di tangannya terasa membakar. Di sekelilingnya, rumah yang mereka bangun bersama terasa asing dan luas. Setiap sudut yang biasanya menyimpan kehangatan kini hanya memantulkan bayangan kehampaan. Kemudian tanpa pikir panjang lagi, Varel juga menghubungi Ayah mertua dan Mas Dion, kakaknya Firli. Untuk menanyakan keberadaan istrinya. Namun semua tak ada hasil. Tak ada yang tahu kemana perginya Firli, yang ada malah dirinya di introgasi tentang alasan kenapa istrinya pergi. "Sayang, kamu di mana ....." Luruh .... Varel jatuh terduduk di lantai. Istrinya telah pergi meninggalkannya. Belum sempat dia minta maaf dan bercerita tentang apa yang terjadi akhir akhir ini. Hingga membuatnya terpaksa mengacuhkan, Namun, ternyata Firli sudah mendahului meninggalkannya. Lagi! Tangis Varel terdengar oleh Mbok di dapur, hingga membuat Mbok juga bersedih bila ingat kepergian Nyonyanya yang sudah dia anggap seperti keluarga sendiri. Dengan mata yang basah, Mbok memulai melakukan aktifitasnya seperti biasa, seperti saat Nyonyanya masih ada. Hingga matanya melihat ponsel Nyonyanya di atas kertas di meja dapur. "Nyonya, kok seperti ini ...." ujarnya setelah membaca apa yang tertulis di kertas yang berada di bawahnya ponsel milik Firli, tangisnya jadi tak terbendung lagi. Hingga dia memutuskan meletakkan ponsel milik nyonyanya, dan kertas berisi pesan di atas meja makan, dan memilih untuk pulang saja tanpa pamit pada majikannya. **** "Mbok ...! Ponsel ini Firli berikan buat Mbok. Itu pesan yang ia tulis di atas kertas ini." ujar Varel di depan Pak To dan Mbok. Sengaja pagi itu dia datang ke rumah Mbok, untuk memberikan amanat Firli. "Terima kasih, Den." Mbok menerima ponsel milik nyonyanya dengan tangan sedikit gemetar, kedua matanya sudah berkaca kaca. "Apakah Nyonya akan kembali, Den?" tanya Mbok yang menemui Varel di temani suaminya. Kesedihan terasa sekali saat itu. Hingga membuat Varel tampak kembali menyesali diri. "Kira kira Mbok tahu nggak, kalau Firli pergi ke mana?" Bukannya menjawab, Varel malah balik bertanya. "Saya nggak tahu, Den, kemarin itu dari rumah sakit pamitnya ke saya, cuman mau ke kantornya Den. Mau ngabarin kalau sedang hamil. Nyonya tampak bahagia sekali saat itu, Den. Nyonya pamit sembari terus menerus mengelus perutnya." Cerita Mbok sambil mengusap kasar air matanya yang jatuh di pipi. Varel kembali tertunduk mendengar jawaban Mbok. Menyesal, itu mungkin yang sedang di rasakan oleh Varel, hingga suasana hening tercipta “Besok kembali bekerja di rumah ya, Mbok. Saya masih butuh ….” Pesan Varel, setelah sekian lama terdiam, akhirnya Varel pamit pada keluarga Pak To. Perjalanan pulang dari rumah Mbok Na terasa seperti melintasi terowongan tak berujung. Varel mengemudi dengan tatapan kosong, dengan pikirannya yang berkecamuk hebat. Kata-kata Mbok Na terus terngiang, berputar-putar seperti kaset rusak di mana setiap putarannya menusuk lebih dalam. “Mau ngabarin kalau sedang hamil.” “Nyonya tampak bahagia sekali saat itu, Den.” “Nyonya pamit sembari terus menerus mengelus perutnya.” Setiap kalimat yang di ucapkan Mbok Nah terasa seperti belati, membuatnya tanpa sadar mencengkeram kemudi semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Kita sudah menunggunya bersama, tapi kau membawanya menjauh dariku!!” teriaknya dengan emosi. Kebahagiaan!! Firli sedang membawa kebahagiaan terbesar dalam hidup mereka, dan pada saat yang sama, Varel justru menghancurkannya dengan sebuah kesalahpahaman bodoh. Ia memukul setir mobil dengan keras. Satu kali. Dua kali. Raungan frustrasi akhirnya lolos dari tenggorokannya, sebuah suara serak yang penuh dengan penyesalan dan kemarahan pada diri sendiri. “Bodoh! Kau bodoh, Varel! Dia membawa anakmu ... anak kita ... dan kau membiarkannya melihat pemandangan itu,” bisiknya pada dirinya sendiri, pasrah dan putus asa, terlihat jelas di wajahnya.Cerita itu begitu tidak masuk akal, begitu manipulatif, hingga Vani hanya bisa menatapnya dengan mulut sedikit terbuka."Tapi ternyata," lanjut Sinta sambil tersenyum dan meraih tangan Rio di atas meja, "hatinya tidak bisa berpaling dariku. Dan aku juga begitu. Kami sadar, kami tidak bisa hidup tanpa satu sama lain, terutama demi kebahagiaan putri kami, Laras.""Lalu... kenapa saya harus ada di sini?" tanya Vani, mulai merasa muak."Karena," kata Sinta, kini menatap Vani dengan tatapan yang aneh, campuran antara kasihan dan penawaran. "Di saat yang sama... Mas Rio juga merasa ada 'sesuatu' yang istimewa denganmu, Vani. Dia bilang kau wanita yang sangat baik, ceria, dan membawa energi positif yang sudah lama hilang dari hidupnya.""Setelah kami berdiskusi panjang, menimbang semuanya dari hati ke hati... saya..." Sinta menarik napas dalam-dalam. "Saya... mengikhlaskan hubungan kalian.""Maaf, Mbak?" Vani benar-benar tidak mengerti. "Mengikhlaskan bagaimana?"Sinta tersenyum, senyum ya
"Van, kau masih terlihat murung," tegur Varel saat ia masuk ke ruangan kakaknya untuk meminta tanda tangan. "Ini sudah hari Rabu. Seharusnya semangatmu sudah kembali setelah akhir pekan.""Aku tidak murung, Mas. Hanya fokus bekerja," jawab Vani, menghindari tatapan kakaknya."Bukan soal pekerjaan, kan?" pancing Varel lembut. "Ini soal... Adam?" tanya Vani terdiam, tangannya berhenti bergerak di atas dokumen. "Aku tidak tahu, Mas! Aku bingung!" akhirnya ia mengaku. "Aku pikir setelah percakapan kami di pesta, semuanya akan baik-baik saja. Tapi dia kembali diam. Mungkin... mungkin aku salah mengartikan semuanya."Wajah Vani seketika luruh, tak mampu lagi menyimpan beban yang sudah tiga hari dia simpan sendiri."Beri dia waktu, Van," nasihat Varel. "Adam itu orang yang sangat hati-hati, apalagi soal hati. Mungkin dia juga sedang berpikir.""Atau mungkin dia sudah berubah pikiran," bisik Vani lebih pada dirinya sendiri.****Saat jam makan siang tiba, Vani memutuskan untuk membawa mak
Di tengah obrolan keluarga besar yang sedang menikmati kopi dan sisa kue, Adam bangkit dari kursinya dan berjalan dengan sopan menghampiri Hendra Wijaya, yang sedang berbicara serius dengan Pak Surya. Varel, yang duduk di dekat ayahnya, ikut memperhatikan."Permisi, Om Hendra, Om Surya," sapa Adam dengan hormat."Ya, Dam? Ada apa?" tanya Hendra, menatapnya dengan pandangan seorang calon mertua yang waspada."Mohon izin, Om," Adam memulai, suaranya terdengar mantap dan penuh rasa hormat, sebuah gestur yang terasa begitu klasik namun tulus. "Tadi saya sudah mengajak Vani untuk mampir ke kafe sebentar setelah acara ini selesai. Ada beberapa hal penting yang perlu kami bicarakan dengan tenang dan serius."Semua obrolan di sekitar mereka seketika mereda. Semua mata kini tertuju pada Adam dan Hendra. Vani, yang duduk di dekat ibunya, merasa jantungnya akan melompat keluar dari dadanya."Karena itu," lanjut Adam, sama sekali tidak terintimidasi oleh perhatian itu, "mungkin saya akan mengan
Ia sengaja menoleh pada Vani yang berdiri mematung di dekat meja minuman di mana di sana juga ada Vero dan pacarnya.“Ini Vani, ini Vero dan kekasihnya Vero, mereka semua adalah adik iparnya Firli.”Mitha tersenyum sangat manis pada Vani, Vero dan Dira."Hai, Vani. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Adam banyak cerita tentangmu." Mitha menjabat tangan Vani sedikit lama, sembari memberikan senyum yang menurut Vani, berbeda, terasa sangat menyakitkan hatinyaPernyataan itu bagaikan belati bagi Vani. Jadi Adam sudah menceritakan tentang penolakannya pada wanita ini? Mereka sedekat itu?Vani hanya bisa memaksakan seulas senyum tipis dan menjawab lirih, "Hai. Vani." Ia bahkan tidak sanggup menatap mata Mitha. Ia langsung menundukkan wajahnya. "Maaf, Kak, Mbak Inge, aku... aku mau ke dalam sebentar, mau periksa Fatih."Ia berbalik dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah, melarikan diri dari pemandangan yang menyakitkan itu.****Di dalam rumah yang lebih sepi, Vani bersandar di dindin
Mohon dimaklumi, otor salah bab, harusnya sebelum sub judul Mitha ada 1 bab lagi jadi terpaksa aku perbaki, maap yaLangit tampak cerah dan bersahabat, seolah ikut merestui perayaan ulang tahun pertama Fatih, putra Dion dan Inge. Di kediaman Dion yang asri, halaman belakang telah disulap menjadi sebuah taman bermain impian anak-anak. Puluhan balon aneka warna menari-nari ditiup angin, pita-pita berkilauan terpasang di setiap sudut, dan beberapa spanduk besar bergambar karakter kartun favorit Fatih—seekor bayi singa yang lucu—terpampang dengan bangga.Rombongan pertama yang tiba, tentu saja, adalah "Tim Katering dan Logistik" dari rumah Varel. Dua mobil masuk perlahan ke halaman, satu SUV hitam gagah milik Adam, dan satu lagi mobil sedan milik Varel. Pemandangan yang terjadi selanjutnya adalah sebuah gotong royong keluarga yang hangat dan sedikit kacau."Oke, tim, dengarkan instruksinya!" seru Dion, bertingkah seperti seorang komandan lapangan. "Semua makanan diletakkan di meja pra
Menjelang siang harinya, dapur itu tampak seperti sebuah pabrik kue yang baru saja menyelesaikan produksi besar-besaran. Di atas meja makan, meja dapur, bahkan di beberapa kursi, berjajar puluhan kotak berisi aneka macam hidangan. Ada kue ulang tahun utama tiga lapis yang megah dengan hiasan hewan-hewan dari fondan. Ada puluhan cupcake dengan hiasan serupa. Ada loyang-loyang besar berisi macaroni schotel, risoles, dan pastel. Ada juga beberapa nampan besar berisi sate ayam dan sate kambing lengkap dengan bumbu kacang dan lontong. Mereka semua berdiri menatap hasil karya mereka dengan napas terengah-engah dan wajah puas. "Sayang..." panggil Varel pelan. "Aku rasa... kita sedikit berlebihan." "Tidak ada kata berlebihan untuk ulang tahun pertama keponakan kesayanganku!" jawab Firli dengan bangga. "Aku setuju dengan Kak Firli," timpal Vero. "Tapi pertanyaannya sekarang adalah... bagaimana cara kita membawa semua harta karun ini ke rumah Mas Dion nanti?" Semua orang terdiam. Me







