“Mbok .... nanti pulang ke rumah pakai taksi ya, biar aku pesankan nanti, aku mau ke kantornya Mas Varel, aku tak ingin bahagia sendiri menerima kabar bahagia ini.”
“Iya, Nya …” jawab Mbok Na dengan kedua tangan yang cekatan membereskan barang barang keperluan majikannya, agar kamar yang dia tempati saat ini kembali ke asal. Tak bisa dia pungkiri kalau saat ini dia merasa ada secercah harapan yang nekat mulai tumbuh di dalam hatinya yang terluka. Seorang anak, buah hati mereka. Ini bukan lagi sekadar tentang dirinya, Varel, dan Tiara. Kini ada kehidupan baru yang menjadi pengikat takdir mereka. “Mungkin ini adalah tanda dari-Mu ya …. Allah, sebuah kesempatan kedua. Varel harus tahu. Kabar ini pasti akan mengubah segalanya. Seorang anak akan mengingatkan Varel akan sumpah mereka, akan masa depan yang pernah mereka rancang bersama.” Firli tersenyum, harapan itu walau terasa rapuh, Namun begitu kuat hingga mendorongnya untuk bergerak. Setelah memastikan Mbok Na sampai di rumah dengan menggunakan taksi yang dia pesan dari aplikasi, Firli kemudian meminta pada supirnya untuk mengantarkan ke kantor suaminya. Di sepanjang perjalanan, tangannya tak pernah lepas dari perutnya yang masih rata, seolah sedang melindungi rahasia paling berharga di dunia. “Apa yang harus kulakukan agar ini menjadi kejutan manis untuknya nanti ya?!” Firli merangkai adegan di dalam kepalanya, membayangkan bagaimana ia akan memberitahu Varel. Mungkin ia akan meletakkan hasil tes samar dari rumah sakit di atas mejanya. Ia membayangkan ekspresi Varel yang terkejut, yang perlahan akan berubah menjadi penyesalan, lalu kebahagiaan yang tulus. Dalam fantasi rapuh itu, Firli berharap Varel akan memeluknya erat, meminta maaf atas segalanya, dan berjanji akan memperbaiki keretakan di antara mereka. Tiara akan menjadi masa lalu, dan anak mereka akan menjadi fajar yang baru. Mobil berhenti di depan lobi gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja. Firli melangkah keluar, setelah pak Mat membukakan pintu untuknya. “Tunggu saya ….” pesan Firli yang kemudian melangkah melewati meja receptionis yang karyawannya menganggukkan kepala saat dirinya lewat. Walau sebenarnya dia merasa kecil di tengah kesibukan para profesional berbusana rapi yang berlalu-lalang. Udara dingin dari pendingin ruangan menyambut seketika, kontras dengan kegelisahan hangat yang menjalari tubuhnya. Dengan langkah tegar yang di paksakan, ia menuju lift khusus, jantungnya berdebar kencang seiring setiap orang yang ia lewati. Ting …!! Lift berhenti dan pintunya terbuka, seketika Firli sudah berada di lantai teratas, menciptakan lorong menuju ruangan Varel yang di rasa Firli lebih panjang dari biasanya. Suara ketukan papan ketik dan dering telepon yang sayup-sayup menjadi musik latar perjalanannya. “Suamiku ada kan, Sin?!” tanya Firli pada seorang perempuan yang sedang duduk di belakang meja dekat pintu yang di atasnya tertulis Varel Arya Dharma - Chief Executive Officer, dengan plakat perak berkilauan. Namun belum juga ada jawaban dari si sekretaris, Firli sudah melangkah mendekati pintu, wajahnya yang sebenarnya terlihat nervous, dia tutupi dengan senyuman, tangan kanannya terangkat, siap untuk mengetuk. Namun, gerakannya terhenti. Pintu itu tidak tertutup rapat, menyisakan celah selebar beberapa sentimeter. Dari celah itu, terdengar isak tangis tertahan, suara seorang wanita. “Tiara ….” Naluri menyuruhnya pergi, tetapi kakinya seolah terpaku di lantai. Dengan tatapan nanar, Firli mendekatkan diri, mengintip melalui celah sempit itu. Kembali …, dia merasa dunianya runtuh untuk kedua kalinya dalam dua puluh empat jam. “Bu ….” Rangkulan Sinta - sekretaris suaminya - datang di saat tepat, saat kedua kakinya terasa tak sanggup lagi menopang badannya yang seketika terasa tak bertulang. Pemandangan di dalam ruangan itu adalah pukulan telak tanpa suara bagaimana Tiara sedang menangis di dalam pelukan Varel, bukan pelukan canggung atau formal, melainkan sebuah dekapan yang erat, intim, dan penuh perlindungan. Tangan Varel mengusap punggung Tiara dengan lembut berulang kali, sementara kepalanya bersandar di puncak kepala wanita itu, seolah sedang menghirup aroma rambutnya. Itu adalah gestur milik seseorang yang sedang menenangkan belahan jiwanya. "Sudah, jangan menangis lagi," suara Varel terdengar lembut, sebuah nada yang dulu hanya di peruntukkan bagi Firli. “Kamu harus membuat keputusan, Rel … aku tak mau selamanya seperti ini,” sahut Tiara dengan suara serak. "Tenang, Tiara … Aku tahu ini tidak mudah untukmu, tapi kita akan lewati ini bersama. Aku janji," ujar Varel, dengan sungguh sungguh. “Mari, Bu ….” Sinta menarik badan Firli ke kursi miliknya, entah kenapa matanya ikut berkaca kaca saat melihat adegan di dalam ruangan, tadi. Namun istri CEO-nya itu menolak tanpa bersuara, dan memilih melangkah pergi. “Kita.” Satu kata itu menghancurkan sisa-sisa harapan Firli menjadi debu. Tidak ada "kita" yang menyertakan dirinya. "Kita" itu adalah Varel dan Tiara. Fantasi yang ia bangun selama perjalanan tadi pecah berkeping-keping, menampakkan realitas yang kejam. Ia bukanlah penyelamat pernikahan ini, ia adalah pengganti, ia adalah penghalang bagi kebahagiaan suaminya dengan wanita lain “Bu …. Minum dulu.” Sinta menawarkan botol tanggung bersegel yang berisi air mineral. Firli tak peduli, terus melangkah perlahan, tangannya membekap mulutnya sendiri untuk meredam jeritan yang mendesak keluar dari paru-parunya. Rasa mual yang ia kira sebagai gejala kehamilan kini terasa seperti racun yang membakar kerongkongannya. Kabar bahagia yang ia bawa di dalam tasnya, yang ia genggam erat sebagai jimat keberuntungan, kini terasa seperti bara api yang membakar tangannya. “Kuatkan aku …. Allah Hanya padu mu pasrahkan diriku!” Firli berjalan kembali menyusuri lorong panjang itu, tatapannya kosong, langkahnya tak menentu. Ia tidak merasakan apa-apa selain kehampaan yang dingin. Lift yang membawanya turun terasa seperti sebuah peti yang menenggelamkannya ke dasar jurang. Saat ia kembali melangkah kembali ke lobi, di mana supirnya menunggu, kali ini kota itu terasa seperti dunia yang berbeda. Ia tidak lagi melihatnya dengan harapan. Tangannya kembali memeluk perutnya, Namun kali ini bukan untuk melindungi sebuah harapan, melainkan untuk melindungi satu-satunya hal yang tersisa di dunia ini yang benar-benar menjadi miliknya. “Kamu hanya milikku.” Firli terus mengusap perlahan perutnya selama dalam perjalan pulang, anak ini bukan lagi jembatan untuk dirinya kembali pada Varel. Anak ini adalah alasannya untuk bertahan hidup sendiri. Rahasia kehamilannya, yang tadinya akan menjadi kabar bahagia, kini ia tutup rapat-rapat di dalam hatinya yang hancur, menjadi sumber kekuatannya seorang. “Selamat berbahagia Varel ….” bisiknya pelan.Kini bukan lagi tangis kesedihan, melainkan tangis amarah dan ketakutan. Ketakutan akan kehilangan dua orang yang paling berharga dalam hidupnya sekaligus.Varel membuka pintu rumah. Keheningan yang kemarin terasa namun hari ini terasa lebih mematikan. Rumah ini bukan lagi sekadar kosong, tetapi telah menjadi monumen kesalahannya. Setiap sudut kini berteriak menuduhnya sebagai pengkhianat!!Langkahnya membawanya kembali ke kamar tidur. Matanya terpaku pada sisi tempat tidur milik Firli. Ia bisa membayangkan Firli duduk di sana, tersenyum sambil mengelus perutnya, merencanakan cara terbaik untuk memberinya kejutan.Varel mendekat, tangannya gemetar saat menyentuh bantal yang semalam menjadi alas surat perpisahan itu. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari sisa aroma parfum Firli, Namun yang tercium hanyalah aroma dingin dari seprei yang tak tersentuh.Beban itu menjadi terlalu berat.Kakinya lemas. Varel luruh ke lantai, punggungnya bersandar pada sisi ranjang. Kepalanya tertu
“Kita pulang, Pak …” pinta Firli dari kursi belakang.“Nya … siap!!” ujar Pak Mat dari kursi di belakang kemudi. “Kok sebentar, Nya? Bapak nggak ada di tempat ya?” tanya pak Mat lagi, Namun tak ada jawaban.Hingga akhirnya Pak Mat tertegun sesaat, ketika tanpa sengaja pandangan matanya melirik ke arah di mana Nyonya majikannya yang sedang menagis, berada.Dan selama perjalanan pulang dari kantor Varel adalah sebuah jeda yang waktu yang kosong dalam diam. Firli berulang kali mengusap wajahnya yang basah, kedua matanya menatap ke luar jendela kaca, semuanya tampak bergerak dalam kecepatan penuh, namun di dalam benak Firli, waktu telah berhenti pada satu adegan di mana saat tadi Varel yang memeluk Tiara dengan kelembutan yang seharusnya menjadi miliknya. Pemandangan itu terpatri di matanya, sebuah gambar beku yang membakar semua harapan yang tersisa.Bahkan saat sampai di rumah pun, Firli terlihat datar, tak ada semangat.“Assalamualaikum ….”Dengan satu tangan mendorong pintu, Firli d
“Mbok .... nanti pulang ke rumah pakai taksi ya, biar aku pesankan nanti, aku mau ke kantornya Mas Varel, aku tak ingin bahagia sendiri menerima kabar bahagia ini.”“Iya, Nya …” jawab Mbok Na dengan kedua tangan yang cekatan membereskan barang barang keperluan majikannya, agar kamar yang dia tempati saat ini kembali ke asal.Tak bisa dia pungkiri kalau saat ini dia merasa ada secercah harapan yang nekat mulai tumbuh di dalam hatinya yang terluka. Seorang anak, buah hati mereka. Ini bukan lagi sekadar tentang dirinya, Varel, dan Tiara. Kini ada kehidupan baru yang menjadi pengikat takdir mereka.“Mungkin ini adalah tanda dari-Mu ya …. Allah, sebuah kesempatan kedua. Varel harus tahu. Kabar ini pasti akan mengubah segalanya. Seorang anak akan mengingatkan Varel akan sumpah mereka, akan masa depan yang pernah mereka rancang bersama.”Firli tersenyum, harapan itu walau terasa rapuh, Namun begitu kuat hingga mendorongnya untuk bergerak.Setelah memastikan Mbok Na sampai di rumah dengan
“Mmm …..”Ketika kesadaran Firli kembali, segera di sambut bau antiseptik yang tajam menusuk hidungnya.“Mbok ….”Firli membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya lampu neon yang berpendar di langit-langit putih.Ia mengenali ruangan steril itu sebagai kamar perawatan rumah sakit. Sebuah selang infus tertancap di punggung tangannya, menyalurkan cairan bening ke dalam pembuluh darahnya.“Mboook ….”Dengan suara yang terdengar seperti suara rintihan, Firli berusaha membangunkan mbok Na yang tertidur di samping ranjangnya.“Iya, Nya ….”Dengan agak tergesa, Mbok bangun dan langsung memfokuskan dirinya pada Firli.“Haus, Mbok ….”Mbok Na langsung menyiapkan apa yang di inginkan oleh Firli, dan membantu majikannya itu untuk meminumnya.Selesai minum tanpa sengaja mata Firli menoleh ke samping, dan pemandangan di sana membuat napasnya seketika tercekat. “Mas Varel ….” ujarnya pelan, melihat sosok yang berada di atas sofa kulit berwarna hijau lumut
Triiing ….!!Gemerincing kunci mobil Tiara yang menjauh, kini terdengar seperti lonceng kematian bagi dunia Firli. Yang kemudian perlahan sirna bersama deru mobil, menciptakan keheningan ruang tamu yang mendadak terasa begitu luas dan dingin, bahkan Firli merasa saat ini pun dirinya sedang dikhianati oleh pendingin ruangan yang bersekongkol dengan kehancuran hatinya.“Benarkah apa yang Tiara katakan tentangmu? Benarkah kau belum utuh untuk kumiliki?!”Terdengar sangat menyayat hati, rintihan Firli yang diucap disertai isakan itu, sangat menggambarkan lukisan hati yang dia alami.Di benaknya, kata-kata Tiara berputar tanpa henti, tajam dan berbisa seperti belati yang terus ditikamkan ke ulu hati."Aku berikan kau pilihan, Firli. Kau ceraikan Varel dan pergi dari hidupnya, dengan kompensasi yang pasti tak akan membuatmu menyesal seumur hidup atau …. kau rela aku jadi yang kedua. Walau sebenarnya, akulah yang pertama yang kembali ke tempat nya."Kalimat yang terucap dengan di ikuti oleh
Hujan baru saja reda di Jakarta, menyisakan aroma petrichor yang merayap naik bahkan menembus lipatan tembok yang berlapis di ruang tamu sebuah rumah mewah yang baru saja ditempati selama hampir dua tahun. Firli, ratu di rumah tersebut kini menatap tamu yang tak dia undang, dengan hati yang tak tenang. Dia tak menyukai perempuan di hadapannya, setidaknya, begitulah yang ia yakini hingga lima menit yang lalu.Firli memegang cangkir porselen berisi teh kamomil yang panasnya mulai turun itu hingga terasa bergetar. Ia kemudian meletakkannya di atas meja kopi marmer sebelum jemarinya yang gemetar tak membuatnya jatuh.“Jadi ….”Tiara memulai lagi, suaranya yang halus Namun penuh racun kini mulai lagi memecah keheningan. Ia menyilangkan kakinya yang dibungkus dengan rok panjang lebar, gerakannya terlihat penuh perhitungan."Aku rasa kamu sudah mengerti posisi ku saat ini, Firli," sambungnya dengan dagu terangkat, penuh kesombongan.Firli menelan ludah. Kopi yang baru saja dia minum sepert