공유

Hamil

작가: Jana Indria
last update 최신 업데이트: 2025-07-05 01:10:31

“Mbok .... nanti pulang ke rumah pakai taksi ya, biar aku pesankan nanti, aku mau ke kantornya Mas Varel, aku tak ingin bahagia sendiri menerima kabar bahagia ini.”

“Iya, Nya …” jawab Mbok Na dengan kedua tangan yang cekatan membereskan barang barang keperluan majikannya, agar kamar yang dia tempati saat ini kembali ke asal.

Tak bisa dia pungkiri kalau saat ini dia merasa ada secercah harapan yang nekat mulai tumbuh di dalam hatinya yang terluka. Seorang anak, buah hati mereka. Ini bukan lagi sekadar tentang dirinya, Varel, dan Tiara. Kini ada kehidupan baru yang menjadi pengikat takdir mereka.

“Mungkin ini adalah tanda dari-Mu ya …. Allah, sebuah kesempatan kedua. Varel harus tahu. Kabar ini pasti akan mengubah segalanya. Seorang anak akan mengingatkan Varel akan sumpah mereka, akan masa depan yang pernah mereka rancang bersama.”

Firli tersenyum, harapan itu walau terasa rapuh, Namun begitu kuat hingga mendorongnya untuk bergerak.

Setelah memastikan Mbok Na sampai di rumah dengan menggunakan taksi yang dia pesan dari aplikasi, Firli kemudian meminta pada supirnya untuk mengantarkan ke kantor suaminya.

Di sepanjang perjalanan, tangannya tak pernah lepas dari perutnya yang masih rata, seolah sedang melindungi rahasia paling berharga di dunia.

“Apa yang harus kulakukan agar ini menjadi kejutan manis untuknya nanti ya?!”

Firli merangkai adegan di dalam kepalanya, membayangkan bagaimana ia akan memberitahu Varel. Mungkin ia akan meletakkan hasil tes samar dari rumah sakit di atas mejanya. Ia membayangkan ekspresi Varel yang terkejut, yang perlahan akan berubah menjadi penyesalan, lalu kebahagiaan yang tulus.

Dalam fantasi rapuh itu, Firli berharap Varel akan memeluknya erat, meminta maaf atas segalanya, dan berjanji akan memperbaiki keretakan di antara mereka. Tiara akan menjadi masa lalu, dan anak mereka akan menjadi fajar yang baru.

Mobil berhenti di depan lobi gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja. Firli melangkah keluar, setelah pak Mat membukakan pintu untuknya.

“Tunggu saya ….” pesan Firli yang kemudian melangkah melewati meja receptionis yang karyawannya menganggukkan kepala saat dirinya lewat.

Walau sebenarnya dia merasa kecil di tengah kesibukan para profesional berbusana rapi yang berlalu-lalang. Udara dingin dari pendingin ruangan menyambut seketika, kontras dengan kegelisahan hangat yang menjalari tubuhnya.

Dengan langkah tegar yang di paksakan, ia menuju lift khusus, jantungnya berdebar kencang seiring setiap orang yang ia lewati.

Ting …!!

Lift berhenti dan pintunya terbuka, seketika Firli sudah berada di lantai teratas, menciptakan lorong menuju ruangan Varel yang di rasa Firli lebih panjang dari biasanya. Suara ketukan papan ketik dan dering telepon yang sayup-sayup menjadi musik latar perjalanannya.

“Suamiku ada kan, Sin?!” tanya Firli pada seorang perempuan yang sedang duduk di belakang meja dekat pintu yang di atasnya tertulis Varel Arya Dharma - Chief Executive Officer, dengan plakat perak berkilauan.

Namun belum juga ada jawaban dari si sekretaris, Firli sudah melangkah mendekati pintu, wajahnya yang sebenarnya terlihat nervous, dia tutupi dengan senyuman, tangan kanannya terangkat, siap untuk mengetuk. Namun, gerakannya terhenti. Pintu itu tidak tertutup rapat, menyisakan celah selebar beberapa sentimeter. Dari celah itu, terdengar isak tangis tertahan, suara seorang wanita.

“Tiara ….”

Naluri menyuruhnya pergi, tetapi kakinya seolah terpaku di lantai. Dengan tatapan nanar, Firli mendekatkan diri, mengintip melalui celah sempit itu. Kembali …, dia merasa dunianya runtuh untuk kedua kalinya dalam dua puluh empat jam.

“Bu ….”

Rangkulan Sinta - sekretaris suaminya - datang di saat tepat, saat kedua kakinya terasa tak sanggup lagi menopang badannya yang seketika terasa tak bertulang.

Pemandangan di dalam ruangan itu adalah pukulan telak tanpa suara bagaimana Tiara sedang menangis di dalam pelukan Varel, bukan pelukan canggung atau formal, melainkan sebuah dekapan yang erat, intim, dan penuh perlindungan. Tangan Varel mengusap punggung Tiara dengan lembut berulang kali, sementara kepalanya bersandar di puncak kepala wanita itu, seolah sedang menghirup aroma rambutnya. Itu adalah gestur milik seseorang yang sedang menenangkan belahan jiwanya.

"Sudah, jangan menangis lagi," suara Varel terdengar lembut, sebuah nada yang dulu hanya di peruntukkan bagi Firli.

“Kamu harus membuat keputusan, Rel … aku tak mau selamanya seperti ini,” sahut Tiara dengan suara serak.

"Tenang, Tiara … Aku tahu ini tidak mudah untukmu, tapi kita akan lewati ini bersama. Aku janji," ujar Varel, dengan sungguh sungguh.

“Mari, Bu ….”

Sinta menarik badan Firli ke kursi miliknya, entah kenapa matanya ikut berkaca kaca saat melihat adegan di dalam ruangan, tadi. Namun istri CEO-nya itu menolak tanpa bersuara, dan memilih melangkah pergi.

“Kita.”

Satu kata itu menghancurkan sisa-sisa harapan Firli menjadi debu. Tidak ada "kita" yang menyertakan dirinya. "Kita" itu adalah Varel dan Tiara. Fantasi yang ia bangun selama perjalanan tadi pecah berkeping-keping, menampakkan realitas yang kejam.

Ia bukanlah penyelamat pernikahan ini, ia adalah pengganti, ia adalah penghalang bagi kebahagiaan suaminya dengan wanita lain

“Bu …. Minum dulu.” Sinta menawarkan botol tanggung bersegel yang berisi air mineral.

Firli tak peduli, terus melangkah perlahan, tangannya membekap mulutnya sendiri untuk meredam jeritan yang mendesak keluar dari paru-parunya. Rasa mual yang ia kira sebagai gejala kehamilan kini terasa seperti racun yang membakar kerongkongannya. Kabar bahagia yang ia bawa di dalam tasnya, yang ia genggam erat sebagai jimat keberuntungan, kini terasa seperti bara api yang membakar tangannya.

“Kuatkan aku …. Allah Hanya padu mu pasrahkan diriku!”

Firli berjalan kembali menyusuri lorong panjang itu, tatapannya kosong, langkahnya tak menentu. Ia tidak merasakan apa-apa selain kehampaan yang dingin. Lift yang membawanya turun terasa seperti sebuah peti yang menenggelamkannya ke dasar jurang.

Saat ia kembali melangkah kembali ke lobi, di mana supirnya menunggu, kali ini kota itu terasa seperti dunia yang berbeda. Ia tidak lagi melihatnya dengan harapan. Tangannya kembali memeluk perutnya, Namun kali ini bukan untuk melindungi sebuah harapan, melainkan untuk melindungi satu-satunya hal yang tersisa di dunia ini yang benar-benar menjadi miliknya.

“Kamu hanya milikku.”

Firli terus mengusap perlahan perutnya selama dalam perjalan pulang, anak ini bukan lagi jembatan untuk dirinya kembali pada Varel. Anak ini adalah alasannya untuk bertahan hidup sendiri. Rahasia kehamilannya, yang tadinya akan menjadi kabar bahagia, kini ia tutup rapat-rapat di dalam hatinya yang hancur, menjadi sumber kekuatannya seorang.

“Selamat berbahagia Varel ….” bisiknya pelan.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Bagaimana Denganku   71 Bagaimana caranya?

    Vani tidak sanggup mendengar lebih jauh lagi. Kakinya terasa lemas. Rujuk. Demi anak. Jadi... selama ini, saat Rio mendekatinya, saat ia mengiriminya pesan-pesan manis, saat mereka makan siang bersama... di saat yang sama, ia juga sedang dalam proses rujuk dengan mantan istrinya?Pikiran-pikiran buruk menyerbunya. Jadi... selama ini dia mendekatiku untuk apa? Sebagai pelarian? Sebagai pengisi waktu luang sebelum kembali ke istrinya? Atau... atau jangan-jangan, dia hanya ingin membuat mantan istrinya cemburu, menunjukkan bahwa dia masih laku di pasaran?Ia merasa mual. Ia merasa telah dimanfaatkan. Ia merasa seperti orang paling bodoh dan paling naif di seluruh dunia. Ia perlahan melangkah mundur, kembali ke kamarnya, tanpa menimbulkan suara. Ia tidak mau mereka tahu ia telah mendengar semuanya.****Ia merebahkan diri di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Semua kepingan puzzel kini terasa menyakitkan. Pantas saja Rio tidak pernah benar-benar serius. Pantas sa

  • Bagaimana Denganku   70 Rasanya mau gila

    Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang penuh semangat. Proyek Sentul berjalan lancar, proposal kafe Firli sedang dalam tahap pengembangan yang seru, dan akhir pekan sudah di depan mata. Namun bagi Vani Wijaya, pagi itu terasa berat dan kelabu, mencerminkan hatinya yang sedang mendung.Sudah seminggu berlalu sejak kencan makan malamnya dengan Adam. Dan selama tujuh hari itu, dunia digitalnya yang biasanya ramai kini sunyi senyap. Tidak ada lagi pesan selamat pagi yang jenaka. Tidak ada lagi kiriman bunga aster putih. Tidak ada lagi ajakan makan siang dadakan. Adam benar-benar menghilang dari radarnya. Dan kesunyian itu, ironisnya, terasa jauh lebih bising daripada perhatiannya dulu."Pagi, Van," sapa Varel saat tiba di kantor. Ia meletakkan tas kerjanya dan menatap adiknya yang tampak kurang tidur. "Kau masih terlihat murung. Ini sudah seminggu. Ada masalah di pekerjaan yang tidak kau ceritakan padaku?"Vani memaksakan seulas senyum. "Pagi, Mas. Tidak ada masalah. Semuanya aman terke

  • Bagaimana Denganku   69 Pelit

    Rio tertawa kecil, seolah Vani baru saja melontarkan lelucon. "Loh, kan kamu yang mengajak makan siang tadi. Aturan mainnya kan begitu sekarang, siapa yang mengajak, dia yang mentraktir. Itu baru adil dan modern. Aku tidak mau di cap sebagai pria yang kesannya memanfaatkan wanita. Emansipasi, kan?"Penjelasan itu begitu lancar, begitu meyakinkan, hingga untuk sesaat Vani nyaris percaya. Tapi hatinya merasakan ada yang salah. Ia merasa sedikit syok. Ia pernah di traktir teman pria, sering. Ia juga pernah mentraktir, tentu saja. Tapi cara Rio melakukannya, dengan justifikasi 'modern' dan 'adil', terasa seperti sebuah dalih. Terasa... perhitungan.Namun, ia tidak mau terlihat bodoh atau kuno. Dengan cepat, ia menutupi keterkejutannya dengan senyum yang di paksakan."Oh... tentu saja! Hahaha, aku lupa," katanya, tawanya terdengar sumbang di telinganya sendiri. "Benar juga katamu. Siap, biar aku yang urus."Ia mengeluarkan kartu debit dari dompetnya. Saat ia menyerahkan kartu itu pada p

  • Bagaimana Denganku   68. Cari Teman

    Jumat pagi terasa sibuk dan penuh energi. Semua orang seolah berlari mengejar tenggat waktu sebelum akhir pekan tiba. Semua orang, kecuali Vani Wijaya. Di tengah hiruk pikuk kantor, dunianya terasa sunyi. Vas bunga di mejanya masih kosong. Layar ponselnya gelap tanpa notifikasi personal. Keheningan dari Adam terasa semakin memekakkan telinga dari hari ke hari."Pagi, Van," sapa Varel saat ia tiba, meletakkan tas kerjanya. "Nanti siang ada meeting virtual penting dengan klien dari Singapura jam satu. Tolong siapkan semua materi presentasi yang sudah kita revisi kemarin, ya.""Pagi, Mas. Siap," jawab Vani singkat, suaranya datar.Varel berhenti sejenak, menatap adiknya. "Kau masih murung? Ini sudah hari Jumat. Seharusnya semangat menyambut akhir pekan.""Hanya sedikit lelah, Mas. Tidak apa-apa. Nanti materinya aku siapkan," jawab Vani, matanya tak lepas dari layar komputernya, menghindari tatapan kakaknya.Varel menghela napas. Ia tahu adiknya sedang tidak baik-baik saja, tapi ia juga

  • Bagaimana Denganku   67. Biarkan takdir

    Semua mata tertuju pada Dira, yang hanya bisa tersenyum malu."Dan Dira ini," lanjut Vero, "adalah sahabatku sejak zaman SMA, yang entah kenapa, setelah bertahun-tahun aku kode-kodein, akhirnya kemarin lusa sadar juga kalau aku ini adalah pria paling keren di alam semesta dan setuju untuk menjadi kekasih hatiku!"Pengumuman itu di sambut dengan keheningan sesaat, yang kemudian pecah menjadi seruan kaget dan gembira."APA?! SERIUS?!" pekik Liani, wajahnya langsung berseri-seri. Ia segera bangkit dan memeluk Dira. "Dira! Ya ampun, sayang, kamu makin cantik saja! Tante pangling! Selamat ya, nak! Akhirnya anak Tante yang paling bandel ini ada yang mau juga.""Terima kasih, Tante," jawab Dira malu-malu."Selamat, bro," kata Varel sambil menepuk bahu adiknya. "Aku tidak percaya ada wanita yang mau denganmu. Akhirnya laku juga kau." Varel melanjutkan ucapannya yang langsung di balas dengan wajah yang tidak enak di lihat milik VeroFirli ikut memeluk Dira. "Selamat datang di keluarga kami

  • Bagaimana Denganku   66 Personil baru

    Senin pagi datang dengan kejam, seperti yang selalu dilakukannya. Bagi sebagian besar karyawan di D Angkasa Corp, itu adalah awal dari seminggu yang sibuk. Namun bagi Vani Wijaya, Senin itu terasa berbeda. Ada kesunyian yang aneh dan memekakkan telinga.Seperti biasa, ia tiba di kantor lebih dulu dari Varel. Ia menyalakan komputer, memeriksa jadwal, dan menyiapkan semua dokumen untuk rapat pagi kakaknya. Namun, ada satu hal yang hilang. Vas bunga kecil di sudut mejanya kini kosong. Tidak ada lagi buket aster putih segar yang menyambutnya."Loh, Van, hari ini nggak ada kiriman bunga?" sapa Danise, sekretaris lain yang mejanya tak jauh darinya, saat ia datang. "Tumben sekali. Penggemar rahasiamu lagi cuti, ya?"Vani mencoba tertawa, namun yang keluar hanyalah senyum kaku. "Mungkin dia sadar aku alergi serbuk sari, Mbak," jawabnya, nadanya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan."Oh, masa? Sayang sekali, padahal bunganya cantik-cantik," sahut Danise, tidak menyadari nada di balik

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status