مشاركة

Kesedihan Firli

مؤلف: Jana Indria
last update آخر تحديث: 2025-07-03 21:55:04

Triiing ….!!

Gemerincing kunci mobil Tiara yang menjauh, kini terdengar seperti lonceng kematian bagi dunia Firli. Yang kemudian perlahan sirna bersama deru mobil, menciptakan keheningan ruang tamu yang mendadak terasa begitu luas dan dingin, bahkan Firli merasa saat ini pun dirinya sedang dikhianati oleh pendingin ruangan yang bersekongkol dengan kehancuran hatinya.

“Benarkah apa yang Tiara katakan tentangmu? Benarkah kau belum utuh untuk kumiliki?!”

Terdengar sangat menyayat hati, rintihan Firli yang diucap disertai isakan itu, sangat menggambarkan lukisan hati yang dia alami.

Di benaknya, kata-kata Tiara berputar tanpa henti, tajam dan berbisa seperti belati yang terus ditikamkan ke ulu hati.

"Aku berikan kau pilihan, Firli. Kau ceraikan Varel dan pergi dari hidupnya, dengan kompensasi yang pasti tak akan membuatmu menyesal seumur hidup atau …. kau rela aku jadi yang kedua. Walau sebenarnya, akulah yang pertama yang kembali ke tempat nya."

Kalimat yang terucap dengan di ikuti oleh senyum sinis yang meremehkan.

Namun, yang paling menghancurkan bukanlah ultimatum itu sendiri, melainkan penjelasan yang menyertainya. Penjelasan tentang bagaimana Varel, suaminya yang ia puja, ternyata tak pernah benar-benar melepaskan Tiara, cinta masa lalunya.

"Kau pikir kamulah cintanya yang sejati?" tawa Tiara terdengar lagi di telinga Firli.

"Dia bersamaku, Firli. Membangun kembali apa yang sempat hancur. Dia bilang dia hanya butuh waktu untuk melepasmu secara baik-baik. Kamu... kamu hanya persinggahannya."

“Aku tak menyangka kamu akan mendustaiku se dalam ini?! Aku tak mau menjadi pengganti, aku tak mau di duakan!!” rintih Firli dengan air mata yang sudah tak mampu dia tahan lagi, tak ada yang bisa dia lakukan selain itu.

Kata-kata Tiara terus terasa bergema, membentur setiap keping kenangan indah yang pernah ia rajut bersama Varel.

Tiba-tiba, semua terasa palsu. Berkelebat bayangan bagaimana ciuman hangat Varel yang ia tinggalkan di keningnya setiap pagi, hangatnya genggaman tangan yang menenangkan saat Firli merasa cemas, atau pada saat mereka tak ingin jauh satu dengan yang lainnya, bahkan kenangan kenangan manis sebelum dan sesudah janji suci yang diucapkan di depan penghulu - kini terlapisi noda pengkhianatan yang menjijikkan.

Dunia yang ia bangun bata demi bata di atas fondasi bernama Varel dengan banyak doa yang dia panjatkan, seolah sengaja terlihat megah, Namun ternyata … akhirnya akan menimbun ia hidup-hidup.

“Mbok Na ….!!”

Dengan napas Firli yang entah kenapa menjadi sesak. Ia memanggil pembantunya dengan tangan kanan mencengkeram dada, berusaha menarik udara banyak banyak, namun yang masuk hanyalah kehampaan yang membakar paru-parunya.

Ruangan ini pun terasa mulai berputar pelan. Bingkai-bingkai foto di dinding tempat terpajangnya potret pernikahannya, foto liburan mereka yang ceria, semuanya melebur menjadi satu pusaran warna yang kabur. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah kubah kaca, melihat dunianya hancur di luar sana, sementara ia di dalam perlahan mati lemas.

“Mboook ….!!”

Firli kembali mencoba sekuat tenaga yang ada untuk memanggil perempuan separuh baya yang selama ini menemaninya. Ia mencoba bangkit, entah untuk apa. Mungkin untuk lari, mungkin hanya untuk sekadar bergerak agar tidak mati rasa.

Namun, kekuatan terakhir di tungkainya seakan menguap. Pandangannya menggelap dari tepi, menyisakan satu titik cahaya yang semakin mengecil, dan kemudian... hitam. Tubuhnya yang lunglai luruh dari sofa, terhempas ke lantai pualam yang dingin tanpa perlawanan.

Sementara itu, dari arah dapur, Mbok Na yang tadi sempat menguping pembicaraan antara tamu dan majikannya, melangkah perlahan dengan nampan di tangannya, setelah sebelumnya menghapus air matanya dengan kasar. Di atas nampannya ada segelas teh melati hangat dan beberapa potong kue lapis, kudapan favorit Nyonya majikannya.

"Nya ... ini tehnya," panggil Mbok Na lembut saat memasuki ruang tamu.

“Nya ….”

Sekali lagi Mbok Na memanggil nyonyanya yang tak terlihat di ruang tamu.

“Nyonya ke mana?!” bisiknya sembari terus menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, dia berusaha melongokkan kepalanya lebih jauh. Matanya menyapu sofa, kosong hingga akhirnya pandangannya turun ke bawah dan seketika membuat jantungnya serasa berhenti berdetak.

"Astagfirullah!"

Nampan di tangannya jatuh berdebam. Gelas teh pecah berkeping-keping, airnya yang hangat membasahi karpet, menyebarkan aroma melati yang kontras dengan suasana mencekam itu. Mbok Na bergegas menghampiri sosok yang tergeletak tak berdaya di lantai.

"Nya ….? Nyonya Firli!"

Ia mengguncang pelan bahu majikannya. Wajah Firli tampak pucat pasi, bibirnya sedikit membiru, dengan jejak air mata yang sudah mengering di pipinya.

"Ya Gusti, Nyonya kenapa?"

Kepala Mbok Na berputar cepat. Kepanikan mulai merayapinya. Apa yang terjadi? Tadi Non Firli baik-baik saja sebelum perempuan beraura dingin itu datang. Apa yang dikatakan perempuan tadi hingga membuat majikannya yang selalu tegar itu kini jatuh tak sadarkan diri? Pikiran tuanya mencoba merangkai teka-teki, Namun yang ia temukan hanyalah kebingungan dan ketakutan yang luar biasa.

"Tolong! Tolong!" teriaknya panik, melangkah cepat membuka pintu rumah untuk memanggil pak satpam dan supir yang biasanya selalu ada di gardu pagar.

“Tolooong!!”

Tak butuh waktu yang lama, tiga orang pria itu pun berlarian menghampiri Mbok dengan wajah kaget.

“Ada apa, Mbok, kenapa teriak teriak seperti itu!” tanya Wanto, orang yang pertama kali sampai di dekat mbok yang sudah menangis.

“Nyonya pingsan, cepat bawa ke rumah sakit!!”

Seketika dua satpam masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Mbok, sedangkan pak Mat, supir keluarga itu tiba tiba membelokkan langkahnya, berinisiatip untuk membuka pagar dan segera menyiapkan mobil untuk membawa Nyonya mereka ke rumah sakit.

“Cepaat – cepat!!”

Dan benar saja, baru saja pak Mat menyiapkan mobil, Wanto dan Ruslan datang dengan membawa Nyonya di rengkuhan tangan mereka.

“Hati hati, Mbok ….” ujar Ruslan yang menyerahkan bagian kepala Firli ke mbok Na yang sudah ada dalam mobil, di jok kedua.

Dalam kebingungannya, satu nama yang terlintas di benak Mbok. Nama yang seharusnya menjadi pelindung bagi perempuan yang kini pingsan di pangkuannya.

“Wanto, segera hubungi Den Varel, dan memintanya untuk segera datang ke rumah sakit …!!”

Jawaban Wanto yang menyanggupi permintaan mbok Na, sekaligus menutup pintu mobil agar segera berangkat ke rumah sakit.

"Den Varel! Ya Allah, di mana Den Varel..." rintih Mbok Na, suaranya parau oleh tangis dan kebingungan, dengan kedua mata sesekali melirik ke jalan membiarkan tangan kanannya membenahi kerudung yang di pakai oleh Firli.

“Kenapa Nyonya begini, Mbok? Bukannya saat menerima tamu tadi masih terlihat sehat dan bugar, kok tiba tiba jadi sakit?!” tanya pak Mat tanpa menoleh, Namun terdengar sangat mengkhawatirkan keberadaan Firli saat ini.

“Aku nggak tahu, Mat ….” jawab Mbok, lirih Namun masih bisa di dengar jelas oleh Pak Mat.

استمر في قراءة هذا الكتاب مجانا
امسح الكود لتنزيل التطبيق

أحدث فصل

  • Bagaimana Denganku   80. Istri ke dua

    Cerita itu begitu tidak masuk akal, begitu manipulatif, hingga Vani hanya bisa menatapnya dengan mulut sedikit terbuka."Tapi ternyata," lanjut Sinta sambil tersenyum dan meraih tangan Rio di atas meja, "hatinya tidak bisa berpaling dariku. Dan aku juga begitu. Kami sadar, kami tidak bisa hidup tanpa satu sama lain, terutama demi kebahagiaan putri kami, Laras.""Lalu... kenapa saya harus ada di sini?" tanya Vani, mulai merasa muak."Karena," kata Sinta, kini menatap Vani dengan tatapan yang aneh, campuran antara kasihan dan penawaran. "Di saat yang sama... Mas Rio juga merasa ada 'sesuatu' yang istimewa denganmu, Vani. Dia bilang kau wanita yang sangat baik, ceria, dan membawa energi positif yang sudah lama hilang dari hidupnya.""Setelah kami berdiskusi panjang, menimbang semuanya dari hati ke hati... saya..." Sinta menarik napas dalam-dalam. "Saya... mengikhlaskan hubungan kalian.""Maaf, Mbak?" Vani benar-benar tidak mengerti. "Mengikhlaskan bagaimana?"Sinta tersenyum, senyum ya

  • Bagaimana Denganku   79. Sinta yang menyuruhnya

    "Van, kau masih terlihat murung," tegur Varel saat ia masuk ke ruangan kakaknya untuk meminta tanda tangan. "Ini sudah hari Rabu. Seharusnya semangatmu sudah kembali setelah akhir pekan.""Aku tidak murung, Mas. Hanya fokus bekerja," jawab Vani, menghindari tatapan kakaknya."Bukan soal pekerjaan, kan?" pancing Varel lembut. "Ini soal... Adam?" tanya Vani terdiam, tangannya berhenti bergerak di atas dokumen. "Aku tidak tahu, Mas! Aku bingung!" akhirnya ia mengaku. "Aku pikir setelah percakapan kami di pesta, semuanya akan baik-baik saja. Tapi dia kembali diam. Mungkin... mungkin aku salah mengartikan semuanya."Wajah Vani seketika luruh, tak mampu lagi menyimpan beban yang sudah tiga hari dia simpan sendiri."Beri dia waktu, Van," nasihat Varel. "Adam itu orang yang sangat hati-hati, apalagi soal hati. Mungkin dia juga sedang berpikir.""Atau mungkin dia sudah berubah pikiran," bisik Vani lebih pada dirinya sendiri.****Saat jam makan siang tiba, Vani memutuskan untuk membawa mak

  • Bagaimana Denganku   78 Kencan kedua

    Di tengah obrolan keluarga besar yang sedang menikmati kopi dan sisa kue, Adam bangkit dari kursinya dan berjalan dengan sopan menghampiri Hendra Wijaya, yang sedang berbicara serius dengan Pak Surya. Varel, yang duduk di dekat ayahnya, ikut memperhatikan."Permisi, Om Hendra, Om Surya," sapa Adam dengan hormat."Ya, Dam? Ada apa?" tanya Hendra, menatapnya dengan pandangan seorang calon mertua yang waspada."Mohon izin, Om," Adam memulai, suaranya terdengar mantap dan penuh rasa hormat, sebuah gestur yang terasa begitu klasik namun tulus. "Tadi saya sudah mengajak Vani untuk mampir ke kafe sebentar setelah acara ini selesai. Ada beberapa hal penting yang perlu kami bicarakan dengan tenang dan serius."Semua obrolan di sekitar mereka seketika mereda. Semua mata kini tertuju pada Adam dan Hendra. Vani, yang duduk di dekat ibunya, merasa jantungnya akan melompat keluar dari dadanya."Karena itu," lanjut Adam, sama sekali tidak terintimidasi oleh perhatian itu, "mungkin saya akan mengan

  • Bagaimana Denganku   77 Mauuuu

    Ia sengaja menoleh pada Vani yang berdiri mematung di dekat meja minuman di mana di sana juga ada Vero dan pacarnya.“Ini Vani, ini Vero dan kekasihnya Vero, mereka semua adalah adik iparnya Firli.”Mitha tersenyum sangat manis pada Vani, Vero dan Dira."Hai, Vani. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Adam banyak cerita tentangmu." Mitha menjabat tangan Vani sedikit lama, sembari memberikan senyum yang menurut Vani, berbeda, terasa sangat menyakitkan hatinyaPernyataan itu bagaikan belati bagi Vani. Jadi Adam sudah menceritakan tentang penolakannya pada wanita ini? Mereka sedekat itu?Vani hanya bisa memaksakan seulas senyum tipis dan menjawab lirih, "Hai. Vani." Ia bahkan tidak sanggup menatap mata Mitha. Ia langsung menundukkan wajahnya. "Maaf, Kak, Mbak Inge, aku... aku mau ke dalam sebentar, mau periksa Fatih."Ia berbalik dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah, melarikan diri dari pemandangan yang menyakitkan itu.****Di dalam rumah yang lebih sepi, Vani bersandar di dindin

  • Bagaimana Denganku   76 Mitha

    Mohon dimaklumi, otor salah bab, harusnya sebelum sub judul Mitha ada 1 bab lagi jadi terpaksa aku perbaki, maap yaLangit tampak cerah dan bersahabat, seolah ikut merestui perayaan ulang tahun pertama Fatih, putra Dion dan Inge. Di kediaman Dion yang asri, halaman belakang telah disulap menjadi sebuah taman bermain impian anak-anak. Puluhan balon aneka warna menari-nari ditiup angin, pita-pita berkilauan terpasang di setiap sudut, dan beberapa spanduk besar bergambar karakter kartun favorit Fatih—seekor bayi singa yang lucu—terpampang dengan bangga.Rombongan pertama yang tiba, tentu saja, adalah "Tim Katering dan Logistik" dari rumah Varel. Dua mobil masuk perlahan ke halaman, satu SUV hitam gagah milik Adam, dan satu lagi mobil sedan milik Varel. Pemandangan yang terjadi selanjutnya adalah sebuah gotong royong keluarga yang hangat dan sedikit kacau."Oke, tim, dengarkan instruksinya!" seru Dion, bertingkah seperti seorang komandan lapangan. "Semua makanan diletakkan di meja pra

  • Bagaimana Denganku   75 . Si penyelamat

    Menjelang siang harinya, dapur itu tampak seperti sebuah pabrik kue yang baru saja menyelesaikan produksi besar-besaran. Di atas meja makan, meja dapur, bahkan di beberapa kursi, berjajar puluhan kotak berisi aneka macam hidangan. Ada kue ulang tahun utama tiga lapis yang megah dengan hiasan hewan-hewan dari fondan. Ada puluhan cupcake dengan hiasan serupa. Ada loyang-loyang besar berisi macaroni schotel, risoles, dan pastel. Ada juga beberapa nampan besar berisi sate ayam dan sate kambing lengkap dengan bumbu kacang dan lontong. Mereka semua berdiri menatap hasil karya mereka dengan napas terengah-engah dan wajah puas. "Sayang..." panggil Varel pelan. "Aku rasa... kita sedikit berlebihan." "Tidak ada kata berlebihan untuk ulang tahun pertama keponakan kesayanganku!" jawab Firli dengan bangga. "Aku setuju dengan Kak Firli," timpal Vero. "Tapi pertanyaannya sekarang adalah... bagaimana cara kita membawa semua harta karun ini ke rumah Mas Dion nanti?" Semua orang terdiam. Me

فصول أخرى
استكشاف وقراءة روايات جيدة مجانية
الوصول المجاني إلى عدد كبير من الروايات الجيدة على تطبيق GoodNovel. تنزيل الكتب التي تحبها وقراءتها كلما وأينما أردت
اقرأ الكتب مجانا في التطبيق
امسح الكود للقراءة على التطبيق
DMCA.com Protection Status