Triiing ….!!
Gemerincing kunci mobil Tiara yang menjauh, kini terdengar seperti lonceng kematian bagi dunia Firli. Yang kemudian perlahan sirna bersama deru mobil, menciptakan keheningan ruang tamu yang mendadak terasa begitu luas dan dingin, bahkan Firli merasa saat ini pun dirinya sedang dikhianati oleh pendingin ruangan yang bersekongkol dengan kehancuran hatinya. “Benarkah apa yang Tiara katakan tentangmu? Benarkah kau belum utuh untuk kumiliki?!” Terdengar sangat menyayat hati, rintihan Firli yang diucap disertai isakan itu, sangat menggambarkan lukisan hati yang dia alami. Di benaknya, kata-kata Tiara berputar tanpa henti, tajam dan berbisa seperti belati yang terus ditikamkan ke ulu hati. "Aku berikan kau pilihan, Firli. Kau ceraikan Varel dan pergi dari hidupnya, dengan kompensasi yang pasti tak akan membuatmu menyesal seumur hidup atau …. kau rela aku jadi yang kedua. Walau sebenarnya, akulah yang pertama yang kembali ke tempat nya." Kalimat yang terucap dengan di ikuti oleh senyum sinis yang meremehkan. Namun, yang paling menghancurkan bukanlah ultimatum itu sendiri, melainkan penjelasan yang menyertainya. Penjelasan tentang bagaimana Varel, suaminya yang ia puja, ternyata tak pernah benar-benar melepaskan Tiara, cinta masa lalunya. "Kau pikir kamulah cintanya yang sejati?" tawa Tiara terdengar lagi di telinga Firli. "Dia bersamaku, Firli. Membangun kembali apa yang sempat hancur. Dia bilang dia hanya butuh waktu untuk melepasmu secara baik-baik. Kamu... kamu hanya persinggahannya." “Aku tak menyangka kamu akan mendustaiku se dalam ini?! Aku tak mau menjadi pengganti, aku tak mau di duakan!!” rintih Firli dengan air mata yang sudah tak mampu dia tahan lagi, tak ada yang bisa dia lakukan selain itu. Kata-kata Tiara terus terasa bergema, membentur setiap keping kenangan indah yang pernah ia rajut bersama Varel. Tiba-tiba, semua terasa palsu. Berkelebat bayangan bagaimana ciuman hangat Varel yang ia tinggalkan di keningnya setiap pagi, hangatnya genggaman tangan yang menenangkan saat Firli merasa cemas, atau pada saat mereka tak ingin jauh satu dengan yang lainnya, bahkan kenangan kenangan manis sebelum dan sesudah janji suci yang diucapkan di depan penghulu - kini terlapisi noda pengkhianatan yang menjijikkan. Dunia yang ia bangun bata demi bata di atas fondasi bernama Varel dengan banyak doa yang dia panjatkan, seolah sengaja terlihat megah, Namun ternyata … akhirnya akan menimbun ia hidup-hidup. “Mbok Na ….!!” Dengan napas Firli yang entah kenapa menjadi sesak. Ia memanggil pembantunya dengan tangan kanan mencengkeram dada, berusaha menarik udara banyak banyak, namun yang masuk hanyalah kehampaan yang membakar paru-parunya. Ruangan ini pun terasa mulai berputar pelan. Bingkai-bingkai foto di dinding tempat terpajangnya potret pernikahannya, foto liburan mereka yang ceria, semuanya melebur menjadi satu pusaran warna yang kabur. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah kubah kaca, melihat dunianya hancur di luar sana, sementara ia di dalam perlahan mati lemas. “Mboook ….!!” Firli kembali mencoba sekuat tenaga yang ada untuk memanggil perempuan separuh baya yang selama ini menemaninya. Ia mencoba bangkit, entah untuk apa. Mungkin untuk lari, mungkin hanya untuk sekadar bergerak agar tidak mati rasa. Namun, kekuatan terakhir di tungkainya seakan menguap. Pandangannya menggelap dari tepi, menyisakan satu titik cahaya yang semakin mengecil, dan kemudian... hitam. Tubuhnya yang lunglai luruh dari sofa, terhempas ke lantai pualam yang dingin tanpa perlawanan. Sementara itu, dari arah dapur, Mbok Na yang tadi sempat menguping pembicaraan antara tamu dan majikannya, melangkah perlahan dengan nampan di tangannya, setelah sebelumnya menghapus air matanya dengan kasar. Di atas nampannya ada segelas teh melati hangat dan beberapa potong kue lapis, kudapan favorit Nyonya majikannya. "Nya ... ini tehnya," panggil Mbok Na lembut saat memasuki ruang tamu. “Nya ….” Sekali lagi Mbok Na memanggil nyonyanya yang tak terlihat di ruang tamu. “Nyonya ke mana?!” bisiknya sembari terus menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, dia berusaha melongokkan kepalanya lebih jauh. Matanya menyapu sofa, kosong hingga akhirnya pandangannya turun ke bawah dan seketika membuat jantungnya serasa berhenti berdetak. "Astagfirullah!" Nampan di tangannya jatuh berdebam. Gelas teh pecah berkeping-keping, airnya yang hangat membasahi karpet, menyebarkan aroma melati yang kontras dengan suasana mencekam itu. Mbok Na bergegas menghampiri sosok yang tergeletak tak berdaya di lantai. "Nya ….? Nyonya Firli!" Ia mengguncang pelan bahu majikannya. Wajah Firli tampak pucat pasi, bibirnya sedikit membiru, dengan jejak air mata yang sudah mengering di pipinya. "Ya Gusti, Nyonya kenapa?" Kepala Mbok Na berputar cepat. Kepanikan mulai merayapinya. Apa yang terjadi? Tadi Non Firli baik-baik saja sebelum perempuan beraura dingin itu datang. Apa yang dikatakan perempuan tadi hingga membuat majikannya yang selalu tegar itu kini jatuh tak sadarkan diri? Pikiran tuanya mencoba merangkai teka-teki, Namun yang ia temukan hanyalah kebingungan dan ketakutan yang luar biasa. "Tolong! Tolong!" teriaknya panik, melangkah cepat membuka pintu rumah untuk memanggil pak satpam dan supir yang biasanya selalu ada di gardu pagar. “Tolooong!!” Tak butuh waktu yang lama, tiga orang pria itu pun berlarian menghampiri Mbok dengan wajah kaget. “Ada apa, Mbok, kenapa teriak teriak seperti itu!” tanya Wanto, orang yang pertama kali sampai di dekat mbok yang sudah menangis. “Nyonya pingsan, cepat bawa ke rumah sakit!!” Seketika dua satpam masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Mbok, sedangkan pak Mat, supir keluarga itu tiba tiba membelokkan langkahnya, berinisiatip untuk membuka pagar dan segera menyiapkan mobil untuk membawa Nyonya mereka ke rumah sakit. “Cepaat – cepat!!” Dan benar saja, baru saja pak Mat menyiapkan mobil, Wanto dan Ruslan datang dengan membawa Nyonya di rengkuhan tangan mereka. “Hati hati, Mbok ….” ujar Ruslan yang menyerahkan bagian kepala Firli ke mbok Na yang sudah ada dalam mobil, di jok kedua. Dalam kebingungannya, satu nama yang terlintas di benak Mbok. Nama yang seharusnya menjadi pelindung bagi perempuan yang kini pingsan di pangkuannya. “Wanto, segera hubungi Den Varel, dan memintanya untuk segera datang ke rumah sakit …!!” Jawaban Wanto yang menyanggupi permintaan mbok Na, sekaligus menutup pintu mobil agar segera berangkat ke rumah sakit. "Den Varel! Ya Allah, di mana Den Varel..." rintih Mbok Na, suaranya parau oleh tangis dan kebingungan, dengan kedua mata sesekali melirik ke jalan membiarkan tangan kanannya membenahi kerudung yang di pakai oleh Firli. “Kenapa Nyonya begini, Mbok? Bukannya saat menerima tamu tadi masih terlihat sehat dan bugar, kok tiba tiba jadi sakit?!” tanya pak Mat tanpa menoleh, Namun terdengar sangat mengkhawatirkan keberadaan Firli saat ini. “Aku nggak tahu, Mat ….” jawab Mbok, lirih Namun masih bisa di dengar jelas oleh Pak Mat.Vani tidak sanggup mendengar lebih jauh lagi. Kakinya terasa lemas. Rujuk. Demi anak. Jadi... selama ini, saat Rio mendekatinya, saat ia mengiriminya pesan-pesan manis, saat mereka makan siang bersama... di saat yang sama, ia juga sedang dalam proses rujuk dengan mantan istrinya?Pikiran-pikiran buruk menyerbunya. Jadi... selama ini dia mendekatiku untuk apa? Sebagai pelarian? Sebagai pengisi waktu luang sebelum kembali ke istrinya? Atau... atau jangan-jangan, dia hanya ingin membuat mantan istrinya cemburu, menunjukkan bahwa dia masih laku di pasaran?Ia merasa mual. Ia merasa telah dimanfaatkan. Ia merasa seperti orang paling bodoh dan paling naif di seluruh dunia. Ia perlahan melangkah mundur, kembali ke kamarnya, tanpa menimbulkan suara. Ia tidak mau mereka tahu ia telah mendengar semuanya.****Ia merebahkan diri di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Semua kepingan puzzel kini terasa menyakitkan. Pantas saja Rio tidak pernah benar-benar serius. Pantas sa
Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang penuh semangat. Proyek Sentul berjalan lancar, proposal kafe Firli sedang dalam tahap pengembangan yang seru, dan akhir pekan sudah di depan mata. Namun bagi Vani Wijaya, pagi itu terasa berat dan kelabu, mencerminkan hatinya yang sedang mendung.Sudah seminggu berlalu sejak kencan makan malamnya dengan Adam. Dan selama tujuh hari itu, dunia digitalnya yang biasanya ramai kini sunyi senyap. Tidak ada lagi pesan selamat pagi yang jenaka. Tidak ada lagi kiriman bunga aster putih. Tidak ada lagi ajakan makan siang dadakan. Adam benar-benar menghilang dari radarnya. Dan kesunyian itu, ironisnya, terasa jauh lebih bising daripada perhatiannya dulu."Pagi, Van," sapa Varel saat tiba di kantor. Ia meletakkan tas kerjanya dan menatap adiknya yang tampak kurang tidur. "Kau masih terlihat murung. Ini sudah seminggu. Ada masalah di pekerjaan yang tidak kau ceritakan padaku?"Vani memaksakan seulas senyum. "Pagi, Mas. Tidak ada masalah. Semuanya aman terke
Rio tertawa kecil, seolah Vani baru saja melontarkan lelucon. "Loh, kan kamu yang mengajak makan siang tadi. Aturan mainnya kan begitu sekarang, siapa yang mengajak, dia yang mentraktir. Itu baru adil dan modern. Aku tidak mau di cap sebagai pria yang kesannya memanfaatkan wanita. Emansipasi, kan?"Penjelasan itu begitu lancar, begitu meyakinkan, hingga untuk sesaat Vani nyaris percaya. Tapi hatinya merasakan ada yang salah. Ia merasa sedikit syok. Ia pernah di traktir teman pria, sering. Ia juga pernah mentraktir, tentu saja. Tapi cara Rio melakukannya, dengan justifikasi 'modern' dan 'adil', terasa seperti sebuah dalih. Terasa... perhitungan.Namun, ia tidak mau terlihat bodoh atau kuno. Dengan cepat, ia menutupi keterkejutannya dengan senyum yang di paksakan."Oh... tentu saja! Hahaha, aku lupa," katanya, tawanya terdengar sumbang di telinganya sendiri. "Benar juga katamu. Siap, biar aku yang urus."Ia mengeluarkan kartu debit dari dompetnya. Saat ia menyerahkan kartu itu pada p
Jumat pagi terasa sibuk dan penuh energi. Semua orang seolah berlari mengejar tenggat waktu sebelum akhir pekan tiba. Semua orang, kecuali Vani Wijaya. Di tengah hiruk pikuk kantor, dunianya terasa sunyi. Vas bunga di mejanya masih kosong. Layar ponselnya gelap tanpa notifikasi personal. Keheningan dari Adam terasa semakin memekakkan telinga dari hari ke hari."Pagi, Van," sapa Varel saat ia tiba, meletakkan tas kerjanya. "Nanti siang ada meeting virtual penting dengan klien dari Singapura jam satu. Tolong siapkan semua materi presentasi yang sudah kita revisi kemarin, ya.""Pagi, Mas. Siap," jawab Vani singkat, suaranya datar.Varel berhenti sejenak, menatap adiknya. "Kau masih murung? Ini sudah hari Jumat. Seharusnya semangat menyambut akhir pekan.""Hanya sedikit lelah, Mas. Tidak apa-apa. Nanti materinya aku siapkan," jawab Vani, matanya tak lepas dari layar komputernya, menghindari tatapan kakaknya.Varel menghela napas. Ia tahu adiknya sedang tidak baik-baik saja, tapi ia juga
Semua mata tertuju pada Dira, yang hanya bisa tersenyum malu."Dan Dira ini," lanjut Vero, "adalah sahabatku sejak zaman SMA, yang entah kenapa, setelah bertahun-tahun aku kode-kodein, akhirnya kemarin lusa sadar juga kalau aku ini adalah pria paling keren di alam semesta dan setuju untuk menjadi kekasih hatiku!"Pengumuman itu di sambut dengan keheningan sesaat, yang kemudian pecah menjadi seruan kaget dan gembira."APA?! SERIUS?!" pekik Liani, wajahnya langsung berseri-seri. Ia segera bangkit dan memeluk Dira. "Dira! Ya ampun, sayang, kamu makin cantik saja! Tante pangling! Selamat ya, nak! Akhirnya anak Tante yang paling bandel ini ada yang mau juga.""Terima kasih, Tante," jawab Dira malu-malu."Selamat, bro," kata Varel sambil menepuk bahu adiknya. "Aku tidak percaya ada wanita yang mau denganmu. Akhirnya laku juga kau." Varel melanjutkan ucapannya yang langsung di balas dengan wajah yang tidak enak di lihat milik VeroFirli ikut memeluk Dira. "Selamat datang di keluarga kami
Senin pagi datang dengan kejam, seperti yang selalu dilakukannya. Bagi sebagian besar karyawan di D Angkasa Corp, itu adalah awal dari seminggu yang sibuk. Namun bagi Vani Wijaya, Senin itu terasa berbeda. Ada kesunyian yang aneh dan memekakkan telinga.Seperti biasa, ia tiba di kantor lebih dulu dari Varel. Ia menyalakan komputer, memeriksa jadwal, dan menyiapkan semua dokumen untuk rapat pagi kakaknya. Namun, ada satu hal yang hilang. Vas bunga kecil di sudut mejanya kini kosong. Tidak ada lagi buket aster putih segar yang menyambutnya."Loh, Van, hari ini nggak ada kiriman bunga?" sapa Danise, sekretaris lain yang mejanya tak jauh darinya, saat ia datang. "Tumben sekali. Penggemar rahasiamu lagi cuti, ya?"Vani mencoba tertawa, namun yang keluar hanyalah senyum kaku. "Mungkin dia sadar aku alergi serbuk sari, Mbak," jawabnya, nadanya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan."Oh, masa? Sayang sekali, padahal bunganya cantik-cantik," sahut Danise, tidak menyadari nada di balik