“Mmm …..”
Ketika kesadaran Firli kembali, segera di sambut bau antiseptik yang tajam menusuk hidungnya. “Mbok ….” Firli membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya lampu neon yang berpendar di langit-langit putih. Ia mengenali ruangan steril itu sebagai kamar perawatan rumah sakit. Sebuah selang infus tertancap di punggung tangannya, menyalurkan cairan bening ke dalam pembuluh darahnya. “Mboook ….” Dengan suara yang terdengar seperti suara rintihan, Firli berusaha membangunkan mbok Na yang tertidur di samping ranjangnya. “Iya, Nya ….” Dengan agak tergesa, Mbok bangun dan langsung memfokuskan dirinya pada Firli. “Haus, Mbok ….” Mbok Na langsung menyiapkan apa yang di inginkan oleh Firli, dan membantu majikannya itu untuk meminumnya. Selesai minum tanpa sengaja mata Firli menoleh ke samping, dan pemandangan di sana membuat napasnya seketika tercekat. “Mas Varel ….” ujarnya pelan, melihat sosok yang berada di atas sofa kulit berwarna hijau lumut yang terletak di sudut ruangan, Varel tertidur dengan posisi yang tidak nyaman. Ia masih mengenakan kemeja kantor birunya yang kini tampak sangat kusut, dengan dasi yang sudah dilonggarkan. Salah satu lengannya menjuntai ke bawah, nyaris menyentuh lantai. Wajahnya, yang biasanya tampak tegas dan berwibawa, kini terlihat sangat lelah dalam tidurnya. Ada garis-garis kelelahan di sekitar matanya, dan napasnya terdengar teratur dan dalam. “Den Varel datang sekitar jam sembilan malam, Nya. Tidak sempat bertemu dengan dokter.” Firli menganggukkkan kepalanya samar Namun masih mampu di lihat oleh mbok Na yang kembali duduk di kursi sebelah ranjang Firli. Melihatnya kondisi tidur suaminya seperti itu, sebuah perasaan kompleks menyeruak di hati Firli, menggeser sedikit rasa sakitnya. Lelaki itu pasti panik saat dikabari dirinya yang pingsan. Dia pasti bergegas datang ke sini, mengabaikan pekerjaannya, dan menunggunya dengan cemas hingga tertidur karena kelelahan. Ada secuil kelegaan melihat bukti kepedulian itu. Namun, kelegaan itu segera di lalap oleh kesedihan yang lebih besar. Lelaki yang sama, yang tampak begitu khawatir padanya, adalah lelaki yang sama yang menyimpan cinta untuk wanita lain di relung hatinya yang terdalam. Lelaki yang membangun istananya, sekaligus menghancurkannya dalam satu malam. “Bagaimana denganku, Mas ….” Firli memalingkan wajahnya, membiarkan air mata mengalir tanpa suara di pipinya. Ia tidak sanggup lagi menatap Varel. Kini, di setiap napas suaminya, Firli merasa seperti alarm pengingat akan pengkhianatan itu. Ia tidak tahu harus bagaimana saat Varel bangun nanti. “Apakah nanti yang harus aku lakukan, apakah aku harus berteriak? Menangis? Atau diam seribu bahasa dan berpura-pura semuanya baik-baik saja?” tanya Firli hingga akhirnya rasa lelah yang luar biasa, baik fisik maupun emosional, menariknya kembali ke dalam tidur yang gelisah. “Sudah bangun Nya?!” tanya Mbok Na, dengan membawa nampan nasi yang baru saja dia terima dari petugas rumah sakit, pagi itu. Tiara terbangun perlahan, merasakan tubuhnya sedikit lebih bugar. Hal pertama yang ia cari adalah sosok di sofa. Kosong. Sofa itu kini rapi, tidak ada lagi jejak Varel di sana. Hanya ada bekas lekukan samar di bantalannya. Kehampaan yang ia rasakan semalam kini terasa semakin nyata dan dingin. “Den Varel tadi pergi pagi pagi sekali, Nya. Masih mampir ke rumah karena ada berkas berkas yang perlu di ambil, katanya.” Mbok Na seketika langsung menyampaikan pesan dari majikannya, saat melihat Nyonyanya memandangi tempat bekas tidur Varel, dengan tatapan nanar. “Mungkin dia datang hanya untuk formalitas, Mbok … bukan benar benar yang peduli,” bisiknya dengan wajah yang kembali basah. Hati Firli seperti tak terima, menerima kenyataan Varel sudah kembali bekerja, kembali ke kehidupannya yang normal, seolah-olah istrinya yang sedang sakit hanyalah gangguan kecil. Rasa ditinggalkan menusuknya dengan tajam. “Jadi beginikah rasanya cinta sendiri?” tanya Firli, bermonolog dengan dirinya sendiri. “Nya … makan ya, tadi perawatnya berpesan agar di makan, biar lambungnya isi,” pinta Mbok Na, yang kemudain membantu Firli menambahkan bantal di belakang punggungnya agar bisa mempunyai posisi duduk yang lebih enak. Firli dengan berat hati menerima suapan Mbok Na, walau selera makannya sudah hilang akibat sakit hati yang dia rasakan berulang kali, apalagi saat melihat lelakinya hanya menunjukkan kepedulian sesaat, Varel kembali meninggalkannya sendirian. Pintu ruangan terbuka pelan. Seorang dokter wanita paruh baya yang ramah masuk sambil tersenyum, seorang perawat Wanita berkerudung melangkah di belakangnya, dengan tangan kanan membawa sebuah map di tangannya. "Selamat pagi, Bu Firli. Saya Dokter Anisa. Bagaimana perasaannya pagi ini?" sapanya dengan lembut, memandangi Firli dengan senyumnya yang lembut. "Sudah lebih baik, Dok," jawab Firli dengan suara serak, mencoba menutupi kehampaan di matanya. "Syukurlah," kata Dokter Anisa sambil membuka mapnya dan membaca beberapa catatan. "Suaminya ke mana? Kok nggak dampingi?!” “Sudah berangkat ke kantor, Dok. Apakah perlu saya suruh datang sekarang?!” tanya Firli, dengan wajah datar, tak ada harapan. “Nggak usah, nggak pa pa kok,” jawab Dokter dengan tangan bergerak lincah memeriksa Firli dengan menggunakan alat alat kedokteran. “Kemarin tekanan darah Anda memang sempat turun drastis, kemungkinan karena syok dan kelelahan. Kami sudah melakukan serangkaian pemeriksaan untuk memastikan tidak ada yang serius." Firli hanya mengangguk pasrah, menunggu vonis atas kondisi fisiknya, tidak menyadari bahwa vonis terbesar dalam hidupnya akan segera tiba. Dokter Anisa mengangkat wajahnya dari map, senyumnya kini lebih lebar dan penuh arti. Ia menatap Firli dengan sorot mata yang hangat. "Bu Firli, tenang saja, tidak ada yang perlu di khawatirkan mengenai kondisi Anda. Pingsan karena kelelahan dan sedikit syok cukup umum terjadi pada kondisi seperti ini." Jeda sejenak, sang dokter seolah ingin memastikan pasiennya untuk siap mendengar kalimat berikutnya. "Berdasarkan hasil pemeriksaan darah dan urin semalam .... selamat, Ibu positif hamil. Usia kandungannya diperkirakan sudah memasuki enam minggu,” tambah sang Dokter, terlihat tidak menyadari bagaimana wajah Firli seketika berubah, seperti ada badai yang sedang berkecamuk di dalam dirinya. “Hamil …. “ Tangan Firli secara refleks bergerak ke perutnya yang masih rata. Di sana, di dalam rahimnya, tumbuh buah cintanya dengan Varel. Sebuah kehidupan baru, sebuah ikatan yang tidak akan pernah bisa diputuskan oleh perceraian atau kehadiran wanita lain. “Aku sudah menunggumu selama ini, tapi ….?!” Ini seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan dalam hidupnya. Namun, saat ini, kabar itu terasa seperti sauh yang berat, menenggelamkannya lebih dalam ke lautan keputusasaan. Di tengah reruntuhan hatinya, sebuah kehidupan baru berdenyut, menuntut sebuah jawaban atas pilihan yang tidak ia miliki. “Alhamdulillah Nya …. Akhirnya Allah menjawab doa doa Nyonya dan Aden,” seru Mbok Na dengan mata yang sudah berkaca kaca. Firli terdiam, bingung, pikirannya penuh dengan pertanyaan pertanyaan yang tak juga ada jawabannya “Kalau infusnya sudah habis, nanti siang boleh pulang kok … tapi hati hati ya, jaga baik baik kandungannya, karena usianya masih muda,” pesan Dokter yang kemudain beranjak meninggalkan dengan tetap di ikuti oleh perawat tadi.Vani tidak sanggup mendengar lebih jauh lagi. Kakinya terasa lemas. Rujuk. Demi anak. Jadi... selama ini, saat Rio mendekatinya, saat ia mengiriminya pesan-pesan manis, saat mereka makan siang bersama... di saat yang sama, ia juga sedang dalam proses rujuk dengan mantan istrinya?Pikiran-pikiran buruk menyerbunya. Jadi... selama ini dia mendekatiku untuk apa? Sebagai pelarian? Sebagai pengisi waktu luang sebelum kembali ke istrinya? Atau... atau jangan-jangan, dia hanya ingin membuat mantan istrinya cemburu, menunjukkan bahwa dia masih laku di pasaran?Ia merasa mual. Ia merasa telah dimanfaatkan. Ia merasa seperti orang paling bodoh dan paling naif di seluruh dunia. Ia perlahan melangkah mundur, kembali ke kamarnya, tanpa menimbulkan suara. Ia tidak mau mereka tahu ia telah mendengar semuanya.****Ia merebahkan diri di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Semua kepingan puzzel kini terasa menyakitkan. Pantas saja Rio tidak pernah benar-benar serius. Pantas sa
Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang penuh semangat. Proyek Sentul berjalan lancar, proposal kafe Firli sedang dalam tahap pengembangan yang seru, dan akhir pekan sudah di depan mata. Namun bagi Vani Wijaya, pagi itu terasa berat dan kelabu, mencerminkan hatinya yang sedang mendung.Sudah seminggu berlalu sejak kencan makan malamnya dengan Adam. Dan selama tujuh hari itu, dunia digitalnya yang biasanya ramai kini sunyi senyap. Tidak ada lagi pesan selamat pagi yang jenaka. Tidak ada lagi kiriman bunga aster putih. Tidak ada lagi ajakan makan siang dadakan. Adam benar-benar menghilang dari radarnya. Dan kesunyian itu, ironisnya, terasa jauh lebih bising daripada perhatiannya dulu."Pagi, Van," sapa Varel saat tiba di kantor. Ia meletakkan tas kerjanya dan menatap adiknya yang tampak kurang tidur. "Kau masih terlihat murung. Ini sudah seminggu. Ada masalah di pekerjaan yang tidak kau ceritakan padaku?"Vani memaksakan seulas senyum. "Pagi, Mas. Tidak ada masalah. Semuanya aman terke
Rio tertawa kecil, seolah Vani baru saja melontarkan lelucon. "Loh, kan kamu yang mengajak makan siang tadi. Aturan mainnya kan begitu sekarang, siapa yang mengajak, dia yang mentraktir. Itu baru adil dan modern. Aku tidak mau di cap sebagai pria yang kesannya memanfaatkan wanita. Emansipasi, kan?"Penjelasan itu begitu lancar, begitu meyakinkan, hingga untuk sesaat Vani nyaris percaya. Tapi hatinya merasakan ada yang salah. Ia merasa sedikit syok. Ia pernah di traktir teman pria, sering. Ia juga pernah mentraktir, tentu saja. Tapi cara Rio melakukannya, dengan justifikasi 'modern' dan 'adil', terasa seperti sebuah dalih. Terasa... perhitungan.Namun, ia tidak mau terlihat bodoh atau kuno. Dengan cepat, ia menutupi keterkejutannya dengan senyum yang di paksakan."Oh... tentu saja! Hahaha, aku lupa," katanya, tawanya terdengar sumbang di telinganya sendiri. "Benar juga katamu. Siap, biar aku yang urus."Ia mengeluarkan kartu debit dari dompetnya. Saat ia menyerahkan kartu itu pada p
Jumat pagi terasa sibuk dan penuh energi. Semua orang seolah berlari mengejar tenggat waktu sebelum akhir pekan tiba. Semua orang, kecuali Vani Wijaya. Di tengah hiruk pikuk kantor, dunianya terasa sunyi. Vas bunga di mejanya masih kosong. Layar ponselnya gelap tanpa notifikasi personal. Keheningan dari Adam terasa semakin memekakkan telinga dari hari ke hari."Pagi, Van," sapa Varel saat ia tiba, meletakkan tas kerjanya. "Nanti siang ada meeting virtual penting dengan klien dari Singapura jam satu. Tolong siapkan semua materi presentasi yang sudah kita revisi kemarin, ya.""Pagi, Mas. Siap," jawab Vani singkat, suaranya datar.Varel berhenti sejenak, menatap adiknya. "Kau masih murung? Ini sudah hari Jumat. Seharusnya semangat menyambut akhir pekan.""Hanya sedikit lelah, Mas. Tidak apa-apa. Nanti materinya aku siapkan," jawab Vani, matanya tak lepas dari layar komputernya, menghindari tatapan kakaknya.Varel menghela napas. Ia tahu adiknya sedang tidak baik-baik saja, tapi ia juga
Semua mata tertuju pada Dira, yang hanya bisa tersenyum malu."Dan Dira ini," lanjut Vero, "adalah sahabatku sejak zaman SMA, yang entah kenapa, setelah bertahun-tahun aku kode-kodein, akhirnya kemarin lusa sadar juga kalau aku ini adalah pria paling keren di alam semesta dan setuju untuk menjadi kekasih hatiku!"Pengumuman itu di sambut dengan keheningan sesaat, yang kemudian pecah menjadi seruan kaget dan gembira."APA?! SERIUS?!" pekik Liani, wajahnya langsung berseri-seri. Ia segera bangkit dan memeluk Dira. "Dira! Ya ampun, sayang, kamu makin cantik saja! Tante pangling! Selamat ya, nak! Akhirnya anak Tante yang paling bandel ini ada yang mau juga.""Terima kasih, Tante," jawab Dira malu-malu."Selamat, bro," kata Varel sambil menepuk bahu adiknya. "Aku tidak percaya ada wanita yang mau denganmu. Akhirnya laku juga kau." Varel melanjutkan ucapannya yang langsung di balas dengan wajah yang tidak enak di lihat milik VeroFirli ikut memeluk Dira. "Selamat datang di keluarga kami
Senin pagi datang dengan kejam, seperti yang selalu dilakukannya. Bagi sebagian besar karyawan di D Angkasa Corp, itu adalah awal dari seminggu yang sibuk. Namun bagi Vani Wijaya, Senin itu terasa berbeda. Ada kesunyian yang aneh dan memekakkan telinga.Seperti biasa, ia tiba di kantor lebih dulu dari Varel. Ia menyalakan komputer, memeriksa jadwal, dan menyiapkan semua dokumen untuk rapat pagi kakaknya. Namun, ada satu hal yang hilang. Vas bunga kecil di sudut mejanya kini kosong. Tidak ada lagi buket aster putih segar yang menyambutnya."Loh, Van, hari ini nggak ada kiriman bunga?" sapa Danise, sekretaris lain yang mejanya tak jauh darinya, saat ia datang. "Tumben sekali. Penggemar rahasiamu lagi cuti, ya?"Vani mencoba tertawa, namun yang keluar hanyalah senyum kaku. "Mungkin dia sadar aku alergi serbuk sari, Mbak," jawabnya, nadanya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan."Oh, masa? Sayang sekali, padahal bunganya cantik-cantik," sahut Danise, tidak menyadari nada di balik