مشاركة

Ditinggal

مؤلف: Jana Indria
last update آخر تحديث: 2025-07-05 01:00:56

“Mmm …..”

Ketika kesadaran Firli kembali, segera di sambut bau antiseptik yang tajam menusuk hidungnya.

“Mbok ….”

Firli membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya lampu neon yang berpendar di langit-langit putih.

Ia mengenali ruangan steril itu sebagai kamar perawatan rumah sakit. Sebuah selang infus tertancap di punggung tangannya, menyalurkan cairan bening ke dalam pembuluh darahnya.

“Mboook ….”

Dengan suara yang terdengar seperti suara rintihan, Firli berusaha membangunkan mbok Na yang tertidur di samping ranjangnya.

“Iya, Nya ….”

Dengan agak tergesa, Mbok bangun dan langsung memfokuskan dirinya pada Firli.

“Haus, Mbok ….”

Mbok Na langsung menyiapkan apa yang di inginkan oleh Firli, dan membantu majikannya itu untuk meminumnya.

Selesai minum tanpa sengaja mata Firli menoleh ke samping, dan pemandangan di sana membuat napasnya seketika tercekat.

“Mas Varel ….” ujarnya pelan, melihat sosok yang berada di atas sofa kulit berwarna hijau lumut yang terletak di sudut ruangan, Varel tertidur dengan posisi yang tidak nyaman. Ia masih mengenakan kemeja kantor birunya yang kini tampak sangat kusut, dengan dasi yang sudah dilonggarkan. Salah satu lengannya menjuntai ke bawah, nyaris menyentuh lantai. Wajahnya, yang biasanya tampak tegas dan berwibawa, kini terlihat sangat lelah dalam tidurnya. Ada garis-garis kelelahan di sekitar matanya, dan napasnya terdengar teratur dan dalam.

“Den Varel datang sekitar jam sembilan malam, Nya. Tidak sempat bertemu dengan dokter.”

Firli menganggukkkan kepalanya samar Namun masih mampu di lihat oleh mbok Na yang kembali duduk di kursi sebelah ranjang Firli.

Melihatnya kondisi tidur suaminya seperti itu, sebuah perasaan kompleks menyeruak di hati Firli, menggeser sedikit rasa sakitnya. Lelaki itu pasti panik saat dikabari dirinya yang pingsan. Dia pasti bergegas datang ke sini, mengabaikan pekerjaannya, dan menunggunya dengan cemas hingga tertidur karena kelelahan.

Ada secuil kelegaan melihat bukti kepedulian itu. Namun, kelegaan itu segera di lalap oleh kesedihan yang lebih besar.

Lelaki yang sama, yang tampak begitu khawatir padanya, adalah lelaki yang sama yang menyimpan cinta untuk wanita lain di relung hatinya yang terdalam. Lelaki yang membangun istananya, sekaligus menghancurkannya dalam satu malam.

“Bagaimana denganku, Mas ….”

Firli memalingkan wajahnya, membiarkan air mata mengalir tanpa suara di pipinya. Ia tidak sanggup lagi menatap Varel. Kini, di setiap napas suaminya, Firli merasa seperti alarm pengingat akan pengkhianatan itu. Ia tidak tahu harus bagaimana saat Varel bangun nanti.

“Apakah nanti yang harus aku lakukan, apakah aku harus berteriak? Menangis? Atau diam seribu bahasa dan berpura-pura semuanya baik-baik saja?” tanya Firli hingga akhirnya rasa lelah yang luar biasa, baik fisik maupun emosional, menariknya kembali ke dalam tidur yang gelisah.

“Sudah bangun Nya?!” tanya Mbok Na, dengan membawa nampan nasi yang baru saja dia terima dari petugas rumah sakit, pagi itu.

Tiara terbangun perlahan, merasakan tubuhnya sedikit lebih bugar. Hal pertama yang ia cari adalah sosok di sofa. Kosong. Sofa itu kini rapi, tidak ada lagi jejak Varel di sana. Hanya ada bekas lekukan samar di bantalannya. Kehampaan yang ia rasakan semalam kini terasa semakin nyata dan dingin.

“Den Varel tadi pergi pagi pagi sekali, Nya. Masih mampir ke rumah karena ada berkas berkas yang perlu di ambil, katanya.”

Mbok Na seketika langsung menyampaikan pesan dari majikannya, saat melihat Nyonyanya memandangi tempat bekas tidur Varel, dengan tatapan nanar.

“Mungkin dia datang hanya untuk formalitas, Mbok … bukan benar benar yang peduli,” bisiknya dengan wajah yang kembali basah.

Hati Firli seperti tak terima, menerima kenyataan Varel sudah kembali bekerja, kembali ke kehidupannya yang normal, seolah-olah istrinya yang sedang sakit hanyalah gangguan kecil. Rasa ditinggalkan menusuknya dengan tajam.

“Jadi beginikah rasanya cinta sendiri?” tanya Firli, bermonolog dengan dirinya sendiri.

“Nya … makan ya, tadi perawatnya berpesan agar di makan, biar lambungnya isi,” pinta Mbok Na, yang kemudain membantu Firli menambahkan bantal di belakang punggungnya agar bisa mempunyai posisi duduk yang lebih enak.

Firli dengan berat hati menerima suapan Mbok Na, walau selera makannya sudah hilang akibat sakit hati yang dia rasakan berulang kali, apalagi saat melihat lelakinya hanya menunjukkan kepedulian sesaat, Varel kembali meninggalkannya sendirian.

Pintu ruangan terbuka pelan. Seorang dokter wanita paruh baya yang ramah masuk sambil tersenyum, seorang perawat Wanita berkerudung melangkah di belakangnya, dengan tangan kanan membawa sebuah map di tangannya.

"Selamat pagi, Bu Firli. Saya Dokter Anisa. Bagaimana perasaannya pagi ini?" sapanya dengan lembut, memandangi Firli dengan senyumnya yang lembut.

"Sudah lebih baik, Dok," jawab Firli dengan suara serak, mencoba menutupi kehampaan di matanya.

"Syukurlah," kata Dokter Anisa sambil membuka mapnya dan membaca beberapa catatan.

"Suaminya ke mana? Kok nggak dampingi?!”

“Sudah berangkat ke kantor, Dok. Apakah perlu saya suruh datang sekarang?!” tanya Firli, dengan wajah datar, tak ada harapan.

“Nggak usah, nggak pa pa kok,” jawab Dokter dengan tangan bergerak lincah memeriksa Firli dengan menggunakan alat alat kedokteran.

“Kemarin tekanan darah Anda memang sempat turun drastis, kemungkinan karena syok dan kelelahan. Kami sudah melakukan serangkaian pemeriksaan untuk memastikan tidak ada yang serius."

Firli hanya mengangguk pasrah, menunggu vonis atas kondisi fisiknya, tidak menyadari bahwa vonis terbesar dalam hidupnya akan segera tiba.

Dokter Anisa mengangkat wajahnya dari map, senyumnya kini lebih lebar dan penuh arti. Ia menatap Firli dengan sorot mata yang hangat.

"Bu Firli, tenang saja, tidak ada yang perlu di khawatirkan mengenai kondisi Anda. Pingsan karena kelelahan dan sedikit syok cukup umum terjadi pada kondisi seperti ini."

Jeda sejenak, sang dokter seolah ingin memastikan pasiennya untuk siap mendengar kalimat berikutnya.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan darah dan urin semalam .... selamat, Ibu positif hamil. Usia kandungannya diperkirakan sudah memasuki enam minggu,” tambah sang Dokter, terlihat tidak menyadari bagaimana wajah Firli seketika berubah, seperti ada badai yang sedang berkecamuk di dalam dirinya.

“Hamil …. “

Tangan Firli secara refleks bergerak ke perutnya yang masih rata. Di sana, di dalam rahimnya, tumbuh buah cintanya dengan Varel. Sebuah kehidupan baru, sebuah ikatan yang tidak akan pernah bisa diputuskan oleh perceraian atau kehadiran wanita lain.

“Aku sudah menunggumu selama ini, tapi ….?!”

Ini seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan dalam hidupnya. Namun, saat ini, kabar itu terasa seperti sauh yang berat, menenggelamkannya lebih dalam ke lautan keputusasaan. Di tengah reruntuhan hatinya, sebuah kehidupan baru berdenyut, menuntut sebuah jawaban atas pilihan yang tidak ia miliki.

“Alhamdulillah Nya …. Akhirnya Allah menjawab doa doa Nyonya dan Aden,” seru Mbok Na dengan mata yang sudah berkaca kaca.

Firli terdiam, bingung, pikirannya penuh dengan pertanyaan pertanyaan yang tak juga ada jawabannya

“Kalau infusnya sudah habis, nanti siang boleh pulang kok … tapi hati hati ya, jaga baik baik kandungannya, karena usianya masih muda,” pesan Dokter yang kemudain beranjak meninggalkan dengan tetap di ikuti oleh perawat tadi.

استمر في قراءة هذا الكتاب مجانا
امسح الكود لتنزيل التطبيق

أحدث فصل

  • Bagaimana Denganku   80. Istri ke dua

    Cerita itu begitu tidak masuk akal, begitu manipulatif, hingga Vani hanya bisa menatapnya dengan mulut sedikit terbuka."Tapi ternyata," lanjut Sinta sambil tersenyum dan meraih tangan Rio di atas meja, "hatinya tidak bisa berpaling dariku. Dan aku juga begitu. Kami sadar, kami tidak bisa hidup tanpa satu sama lain, terutama demi kebahagiaan putri kami, Laras.""Lalu... kenapa saya harus ada di sini?" tanya Vani, mulai merasa muak."Karena," kata Sinta, kini menatap Vani dengan tatapan yang aneh, campuran antara kasihan dan penawaran. "Di saat yang sama... Mas Rio juga merasa ada 'sesuatu' yang istimewa denganmu, Vani. Dia bilang kau wanita yang sangat baik, ceria, dan membawa energi positif yang sudah lama hilang dari hidupnya.""Setelah kami berdiskusi panjang, menimbang semuanya dari hati ke hati... saya..." Sinta menarik napas dalam-dalam. "Saya... mengikhlaskan hubungan kalian.""Maaf, Mbak?" Vani benar-benar tidak mengerti. "Mengikhlaskan bagaimana?"Sinta tersenyum, senyum ya

  • Bagaimana Denganku   79. Sinta yang menyuruhnya

    "Van, kau masih terlihat murung," tegur Varel saat ia masuk ke ruangan kakaknya untuk meminta tanda tangan. "Ini sudah hari Rabu. Seharusnya semangatmu sudah kembali setelah akhir pekan.""Aku tidak murung, Mas. Hanya fokus bekerja," jawab Vani, menghindari tatapan kakaknya."Bukan soal pekerjaan, kan?" pancing Varel lembut. "Ini soal... Adam?" tanya Vani terdiam, tangannya berhenti bergerak di atas dokumen. "Aku tidak tahu, Mas! Aku bingung!" akhirnya ia mengaku. "Aku pikir setelah percakapan kami di pesta, semuanya akan baik-baik saja. Tapi dia kembali diam. Mungkin... mungkin aku salah mengartikan semuanya."Wajah Vani seketika luruh, tak mampu lagi menyimpan beban yang sudah tiga hari dia simpan sendiri."Beri dia waktu, Van," nasihat Varel. "Adam itu orang yang sangat hati-hati, apalagi soal hati. Mungkin dia juga sedang berpikir.""Atau mungkin dia sudah berubah pikiran," bisik Vani lebih pada dirinya sendiri.****Saat jam makan siang tiba, Vani memutuskan untuk membawa mak

  • Bagaimana Denganku   78 Kencan kedua

    Di tengah obrolan keluarga besar yang sedang menikmati kopi dan sisa kue, Adam bangkit dari kursinya dan berjalan dengan sopan menghampiri Hendra Wijaya, yang sedang berbicara serius dengan Pak Surya. Varel, yang duduk di dekat ayahnya, ikut memperhatikan."Permisi, Om Hendra, Om Surya," sapa Adam dengan hormat."Ya, Dam? Ada apa?" tanya Hendra, menatapnya dengan pandangan seorang calon mertua yang waspada."Mohon izin, Om," Adam memulai, suaranya terdengar mantap dan penuh rasa hormat, sebuah gestur yang terasa begitu klasik namun tulus. "Tadi saya sudah mengajak Vani untuk mampir ke kafe sebentar setelah acara ini selesai. Ada beberapa hal penting yang perlu kami bicarakan dengan tenang dan serius."Semua obrolan di sekitar mereka seketika mereda. Semua mata kini tertuju pada Adam dan Hendra. Vani, yang duduk di dekat ibunya, merasa jantungnya akan melompat keluar dari dadanya."Karena itu," lanjut Adam, sama sekali tidak terintimidasi oleh perhatian itu, "mungkin saya akan mengan

  • Bagaimana Denganku   77 Mauuuu

    Ia sengaja menoleh pada Vani yang berdiri mematung di dekat meja minuman di mana di sana juga ada Vero dan pacarnya.“Ini Vani, ini Vero dan kekasihnya Vero, mereka semua adalah adik iparnya Firli.”Mitha tersenyum sangat manis pada Vani, Vero dan Dira."Hai, Vani. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Adam banyak cerita tentangmu." Mitha menjabat tangan Vani sedikit lama, sembari memberikan senyum yang menurut Vani, berbeda, terasa sangat menyakitkan hatinyaPernyataan itu bagaikan belati bagi Vani. Jadi Adam sudah menceritakan tentang penolakannya pada wanita ini? Mereka sedekat itu?Vani hanya bisa memaksakan seulas senyum tipis dan menjawab lirih, "Hai. Vani." Ia bahkan tidak sanggup menatap mata Mitha. Ia langsung menundukkan wajahnya. "Maaf, Kak, Mbak Inge, aku... aku mau ke dalam sebentar, mau periksa Fatih."Ia berbalik dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah, melarikan diri dari pemandangan yang menyakitkan itu.****Di dalam rumah yang lebih sepi, Vani bersandar di dindin

  • Bagaimana Denganku   76 Mitha

    Mohon dimaklumi, otor salah bab, harusnya sebelum sub judul Mitha ada 1 bab lagi jadi terpaksa aku perbaki, maap yaLangit tampak cerah dan bersahabat, seolah ikut merestui perayaan ulang tahun pertama Fatih, putra Dion dan Inge. Di kediaman Dion yang asri, halaman belakang telah disulap menjadi sebuah taman bermain impian anak-anak. Puluhan balon aneka warna menari-nari ditiup angin, pita-pita berkilauan terpasang di setiap sudut, dan beberapa spanduk besar bergambar karakter kartun favorit Fatih—seekor bayi singa yang lucu—terpampang dengan bangga.Rombongan pertama yang tiba, tentu saja, adalah "Tim Katering dan Logistik" dari rumah Varel. Dua mobil masuk perlahan ke halaman, satu SUV hitam gagah milik Adam, dan satu lagi mobil sedan milik Varel. Pemandangan yang terjadi selanjutnya adalah sebuah gotong royong keluarga yang hangat dan sedikit kacau."Oke, tim, dengarkan instruksinya!" seru Dion, bertingkah seperti seorang komandan lapangan. "Semua makanan diletakkan di meja pra

  • Bagaimana Denganku   75 . Si penyelamat

    Menjelang siang harinya, dapur itu tampak seperti sebuah pabrik kue yang baru saja menyelesaikan produksi besar-besaran. Di atas meja makan, meja dapur, bahkan di beberapa kursi, berjajar puluhan kotak berisi aneka macam hidangan. Ada kue ulang tahun utama tiga lapis yang megah dengan hiasan hewan-hewan dari fondan. Ada puluhan cupcake dengan hiasan serupa. Ada loyang-loyang besar berisi macaroni schotel, risoles, dan pastel. Ada juga beberapa nampan besar berisi sate ayam dan sate kambing lengkap dengan bumbu kacang dan lontong. Mereka semua berdiri menatap hasil karya mereka dengan napas terengah-engah dan wajah puas. "Sayang..." panggil Varel pelan. "Aku rasa... kita sedikit berlebihan." "Tidak ada kata berlebihan untuk ulang tahun pertama keponakan kesayanganku!" jawab Firli dengan bangga. "Aku setuju dengan Kak Firli," timpal Vero. "Tapi pertanyaannya sekarang adalah... bagaimana cara kita membawa semua harta karun ini ke rumah Mas Dion nanti?" Semua orang terdiam. Me

فصول أخرى
استكشاف وقراءة روايات جيدة مجانية
الوصول المجاني إلى عدد كبير من الروايات الجيدة على تطبيق GoodNovel. تنزيل الكتب التي تحبها وقراءتها كلما وأينما أردت
اقرأ الكتب مجانا في التطبيق
امسح الكود للقراءة على التطبيق
DMCA.com Protection Status