Hujan baru saja reda di Jakarta, menyisakan aroma petrichor yang merayap naik bahkan menembus lipatan tembok yang berlapis di ruang tamu sebuah rumah mewah yang baru saja ditempati selama hampir dua tahun.
Firli, ratu di rumah tersebut kini menatap tamu yang tak dia undang, dengan hati yang tak tenang. Dia tak menyukai perempuan di hadapannya, setidaknya, begitulah yang ia yakini hingga lima menit yang lalu. Firli memegang cangkir porselen berisi teh kamomil yang panasnya mulai turun itu hingga terasa bergetar. Ia kemudian meletakkannya di atas meja kopi marmer sebelum jemarinya yang gemetar tak membuatnya jatuh. “Jadi ….” Tiara memulai lagi, suaranya yang halus Namun penuh racun kini mulai lagi memecah keheningan. Ia menyilangkan kakinya yang dibungkus dengan rok panjang lebar, gerakannya terlihat penuh perhitungan. "Aku rasa kamu sudah mengerti posisi ku saat ini, Firli," sambungnya dengan dagu terangkat, penuh kesombongan. Firli menelan ludah. Kopi yang baru saja dia minum seperti hanya melewati kerongkongannya yang terasa sekering gurun pasir. Perempuan cantik itu tersenyum, walau terlihat kebingungan di wajahnya, seperti sedang mencoba mencari kata kata yang pas, menarik napas yang terasa berat dan menyakitkan. "Anda ternyata tidak sesederhana ucapan yang anda lontarkan. Saya yakin Anda pasti salah Alamat. Saya percaya suami saya, dia tidak mungkin ...." "Tidak mungkin apa?" potong Tiara, di iringi tawa kecil mengejek, yang terdengar seperti denting kaca yang retak. "Tidak mungkin punya kekasih masa kecil, bahkan sebelum ia bertemu denganmu? Tidak mungkin menghabiskan tiga malam dalam seminggu di rumahku? Tidak mungkin menjanjikan posisi Nyonya Arya Dharma yang sesungguhnya padaku? Itukan maksudmu tadi?!" Tiara kembali menarik sudut bibirnya, pandangan, kedua matanya seolah habis menelan Firli dari atas ke bawah. Setiap pertanyaan yang keluar dari mulut Tiara terasa seperti belati kecil nan tajam yang menghunjam langsung ke jantung Firli. Saat perempuan di hadapannya mengatakan lima tahun, sedangkan mereka baru menikah selama dua tahun. Matematika sederhana itu membuat kepalanya seketika bodoh. Terlihat sangat ironi, seluruh hidupnya selama dua tahun ini terasa seperti fatamorgana yang indah. Selama ini pernikahan yang ia kira di bangun di atas cinta, ternyata hanya sebuah anomali dalam cerita cinta orang lain. "Tidak …! Ini tidak mungkin!!” Terlihat ragu, Firli menggelengkan kepalanya berulang kali, kedua tangannya saling meremas, tanpa dia sadari. “Varel mencintaiku," bisik Firli, sesaat kemudian, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri dari pada untuk membantah Tiara. Tiara tersenyum, senyum yang tidak diketahui artinya, bahkan tampak seperti seringai yang menakutkan. "Tentu saja dia mencintaimu ….” Firli seketika mendongakkan kepala, mendengar apa yang di katakana oleh tamunya itu. “Mungkin … dia mencintai dengan caranya sendiri. Aku akui kalau kamu adalah istri yang sempurna. Lembut, penurut, pandai menjaga citra keluarga. Kamu adalah pelabuhan yang tenang. Tapi …-“ “Firli …, jangan terlalu naif, kamu harus tahu, bahkan seorang pilot terhebat pun sesekali butuh badai untuk membuatnya merasa hidup. Dan saat ini .... akulah badai itu." Dengan senyum yang terlihat sangat tipis itu, Tiara mencondongkan tubuhnya ke depan. Tatapan kedua mata yang di lindungi oleh contactlens berwarna coklat itu, intens, seolah ingin mengupas setiap lapisan pertahanan diri Firli hingga ke terasa ke tulang. "Dengar … saya datang ke sini bukan untuk berdebat tentang perasaan. Ini tentang logika. Tentang masa depan. Varel adalah CEO dari PT D'Angkasa. Posisi itu menuntut citra yang solid. Sebuah perceraian akan menjadi skandal yang merusak. Tapi di sisi lain, keluarga saya tidak akan selamanya menerima status saya yang kata orang hanya menjadi simpanan ….-" Tiara seperti sengaja tak melanjutkan ucapannya, wajah itu kini tak lagi datar, ada emosi yang tersimpan mulai tak rapi letaknya. Jantung Firli berdebar begitu kencang, rasanya seperti akan meledak dari rongga dada. Tanpa sengaja ia menatap nanar pada foto pernikahan mereka yang terpajang anggun di atas perapian elektrik. Varel yang gagah dalam setelan tuksedo, memeluknya dengan senyum yang dulu ia yakini hanya untuknya. Namun kini senyum itu tampak seperti sembilu yang dengan teganya menghujam jantungnya dengan kejam. "A -pa ... apa mau Anda?" tanya Firli akhirnya, setelah dengan susah payah mengumpulkan kembali asa yang terberai tadi, walau suara nyaris tak terdengar. Tanpa Firli tahu, ada senyum puas di wajah Tiara yang dia tunjukkan tanpa rasa malu. “Di sinilah momen itu tiba,” ujarnya tanpa bersuara. Tiara merasa di atas angin, saatnya kini dia menunjukkan kekuasaan penuh yang ia genggam. “Aku tahu kamu pasti sudah menuduhku sebagai perebut laki orang, tapi aku tidak sejahat itu … aku datang untuk menawarkan solusi," ujar Tiara, nadanya berubah menjadi lebih formal, seolah sedang mempresentasikan sebuah proposal bisnis. "Aku yakin solusi ini nantinya akan menguntungkan semua pihak. Varel tidak perlu kehilangan citranya, aku pasti mendapatkan status yang aku dan keluargaku inginkan, dan kamu... yaaa, kamu tetap bisa menjadi Nyonya Varel Arya Dharma." Firli mengerutkan kening, kedua matanya menyipit, sepertinya perempuan ini sedang menerka nerka hingga terlihat jelas di wajahnya, seolah ada kabut kebingungan menyelimuti otaknya yang sudah terasa penuh. Sesaat kemudian Tiara mulai menegakkan punggungnya, dengan kedua mata menatap lurus ke mata Firli, seperti sedang menyiapkan pukulannya yang terakhir. "Pilihannya ada di tanganmu, Firli. Kamu punya dua opsi. Pertama, ceraikan Varel dan berikan aku jalan untuk menjadi satu-satunya istrinya. Tentu saja … dengan kompensasi yang sangat layak yang aku akan atur untukmu." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata 'kompensasi' terasa seperti sebuah hinaan, melengkapi Ultimatum yang sudah meluncur dari bibirnya dengan dingin dan presisi yang mematikan. "Atau opsi kedua," lanjutnya, matanya berkilat penuh kemenangan. "Terima kenyataan ini. Mari kita berdamai, kamu harus terima saya sebagai istri kedua, mudah bukan?!." Dengan wajah datar, Firli merasa dunianya kini berhenti berputar. Udara di dalam paru-parunya terasa tiba tiba tersedot habis. Istri kedua?! Sebuah konsep yang hanya pernah ia dengar dari berita atau sinetron drama, kini di tawarkan kepadanya seperti pilihan menu di restoran. Kehormatan dan harga dirinya seolah diinjak-injak di atas karpet Persia yang mahal itu. Ia menatap Tiara, wanita yang dengan percaya diri datang untuk mengklaim separuh atau mungkin seluruh diri suaminya. “Pulanglah Tiara, kamu tanyakan apa yang kamu mau pada Varel, aku janji, akan terima setiap keputusan yang dia ambil tentang aku, nantinya ….” Firli memberikan keputusan akhir, entah apa yang ada dalam pikirannya hingga bisa memberikan keputusan yang mampu membuat Tiara terdiam sesaat dengan wajah tak percaya. Braagh …!! Dengan hentakan kasar, Tiara menutup pintu hingga terdengar suara bedebum yang memekakkan telinga. Dengan tatapan nanar, Firli pandangi sekelilingnya, rumah yang awalnya terasa sangat nyaman baginya kini terlihat seperti sangkar emas. Semuanya terasa palsu. Semuanya kini tercemar oleh kebohongan. Di tengah keheningan yang memekakkan, Firli tidak bisa menjawab. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap cermin sempurna kehidupannya yang kini telah retak, memperlihatkan kenyataan yang mengerikan di balik cinta. Dan ia tahu, apa pun keputusannya nanti, hidupnya tidak akan pernah sama. “Penipu ….”Vani tidak sanggup mendengar lebih jauh lagi. Kakinya terasa lemas. Rujuk. Demi anak. Jadi... selama ini, saat Rio mendekatinya, saat ia mengiriminya pesan-pesan manis, saat mereka makan siang bersama... di saat yang sama, ia juga sedang dalam proses rujuk dengan mantan istrinya?Pikiran-pikiran buruk menyerbunya. Jadi... selama ini dia mendekatiku untuk apa? Sebagai pelarian? Sebagai pengisi waktu luang sebelum kembali ke istrinya? Atau... atau jangan-jangan, dia hanya ingin membuat mantan istrinya cemburu, menunjukkan bahwa dia masih laku di pasaran?Ia merasa mual. Ia merasa telah dimanfaatkan. Ia merasa seperti orang paling bodoh dan paling naif di seluruh dunia. Ia perlahan melangkah mundur, kembali ke kamarnya, tanpa menimbulkan suara. Ia tidak mau mereka tahu ia telah mendengar semuanya.****Ia merebahkan diri di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Semua kepingan puzzel kini terasa menyakitkan. Pantas saja Rio tidak pernah benar-benar serius. Pantas sa
Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang penuh semangat. Proyek Sentul berjalan lancar, proposal kafe Firli sedang dalam tahap pengembangan yang seru, dan akhir pekan sudah di depan mata. Namun bagi Vani Wijaya, pagi itu terasa berat dan kelabu, mencerminkan hatinya yang sedang mendung.Sudah seminggu berlalu sejak kencan makan malamnya dengan Adam. Dan selama tujuh hari itu, dunia digitalnya yang biasanya ramai kini sunyi senyap. Tidak ada lagi pesan selamat pagi yang jenaka. Tidak ada lagi kiriman bunga aster putih. Tidak ada lagi ajakan makan siang dadakan. Adam benar-benar menghilang dari radarnya. Dan kesunyian itu, ironisnya, terasa jauh lebih bising daripada perhatiannya dulu."Pagi, Van," sapa Varel saat tiba di kantor. Ia meletakkan tas kerjanya dan menatap adiknya yang tampak kurang tidur. "Kau masih terlihat murung. Ini sudah seminggu. Ada masalah di pekerjaan yang tidak kau ceritakan padaku?"Vani memaksakan seulas senyum. "Pagi, Mas. Tidak ada masalah. Semuanya aman terke
Rio tertawa kecil, seolah Vani baru saja melontarkan lelucon. "Loh, kan kamu yang mengajak makan siang tadi. Aturan mainnya kan begitu sekarang, siapa yang mengajak, dia yang mentraktir. Itu baru adil dan modern. Aku tidak mau di cap sebagai pria yang kesannya memanfaatkan wanita. Emansipasi, kan?"Penjelasan itu begitu lancar, begitu meyakinkan, hingga untuk sesaat Vani nyaris percaya. Tapi hatinya merasakan ada yang salah. Ia merasa sedikit syok. Ia pernah di traktir teman pria, sering. Ia juga pernah mentraktir, tentu saja. Tapi cara Rio melakukannya, dengan justifikasi 'modern' dan 'adil', terasa seperti sebuah dalih. Terasa... perhitungan.Namun, ia tidak mau terlihat bodoh atau kuno. Dengan cepat, ia menutupi keterkejutannya dengan senyum yang di paksakan."Oh... tentu saja! Hahaha, aku lupa," katanya, tawanya terdengar sumbang di telinganya sendiri. "Benar juga katamu. Siap, biar aku yang urus."Ia mengeluarkan kartu debit dari dompetnya. Saat ia menyerahkan kartu itu pada p
Jumat pagi terasa sibuk dan penuh energi. Semua orang seolah berlari mengejar tenggat waktu sebelum akhir pekan tiba. Semua orang, kecuali Vani Wijaya. Di tengah hiruk pikuk kantor, dunianya terasa sunyi. Vas bunga di mejanya masih kosong. Layar ponselnya gelap tanpa notifikasi personal. Keheningan dari Adam terasa semakin memekakkan telinga dari hari ke hari."Pagi, Van," sapa Varel saat ia tiba, meletakkan tas kerjanya. "Nanti siang ada meeting virtual penting dengan klien dari Singapura jam satu. Tolong siapkan semua materi presentasi yang sudah kita revisi kemarin, ya.""Pagi, Mas. Siap," jawab Vani singkat, suaranya datar.Varel berhenti sejenak, menatap adiknya. "Kau masih murung? Ini sudah hari Jumat. Seharusnya semangat menyambut akhir pekan.""Hanya sedikit lelah, Mas. Tidak apa-apa. Nanti materinya aku siapkan," jawab Vani, matanya tak lepas dari layar komputernya, menghindari tatapan kakaknya.Varel menghela napas. Ia tahu adiknya sedang tidak baik-baik saja, tapi ia juga
Semua mata tertuju pada Dira, yang hanya bisa tersenyum malu."Dan Dira ini," lanjut Vero, "adalah sahabatku sejak zaman SMA, yang entah kenapa, setelah bertahun-tahun aku kode-kodein, akhirnya kemarin lusa sadar juga kalau aku ini adalah pria paling keren di alam semesta dan setuju untuk menjadi kekasih hatiku!"Pengumuman itu di sambut dengan keheningan sesaat, yang kemudian pecah menjadi seruan kaget dan gembira."APA?! SERIUS?!" pekik Liani, wajahnya langsung berseri-seri. Ia segera bangkit dan memeluk Dira. "Dira! Ya ampun, sayang, kamu makin cantik saja! Tante pangling! Selamat ya, nak! Akhirnya anak Tante yang paling bandel ini ada yang mau juga.""Terima kasih, Tante," jawab Dira malu-malu."Selamat, bro," kata Varel sambil menepuk bahu adiknya. "Aku tidak percaya ada wanita yang mau denganmu. Akhirnya laku juga kau." Varel melanjutkan ucapannya yang langsung di balas dengan wajah yang tidak enak di lihat milik VeroFirli ikut memeluk Dira. "Selamat datang di keluarga kami
Senin pagi datang dengan kejam, seperti yang selalu dilakukannya. Bagi sebagian besar karyawan di D Angkasa Corp, itu adalah awal dari seminggu yang sibuk. Namun bagi Vani Wijaya, Senin itu terasa berbeda. Ada kesunyian yang aneh dan memekakkan telinga.Seperti biasa, ia tiba di kantor lebih dulu dari Varel. Ia menyalakan komputer, memeriksa jadwal, dan menyiapkan semua dokumen untuk rapat pagi kakaknya. Namun, ada satu hal yang hilang. Vas bunga kecil di sudut mejanya kini kosong. Tidak ada lagi buket aster putih segar yang menyambutnya."Loh, Van, hari ini nggak ada kiriman bunga?" sapa Danise, sekretaris lain yang mejanya tak jauh darinya, saat ia datang. "Tumben sekali. Penggemar rahasiamu lagi cuti, ya?"Vani mencoba tertawa, namun yang keluar hanyalah senyum kaku. "Mungkin dia sadar aku alergi serbuk sari, Mbak," jawabnya, nadanya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan."Oh, masa? Sayang sekali, padahal bunganya cantik-cantik," sahut Danise, tidak menyadari nada di balik