Share

Mama

"Mama …."

Itulah kalimat yang terdengar di telinga Tera saat pertama kali matanya terbuka. Ia masih keheranan, mencoba mengenali ruangan yang dilihatnya juga seorang anak laki-laki kecil nan imut berusia sekitar lima tahun berambut keriting. 

Pintu kamar kecil terbuka, muncul seorang perempuan melewati paruh baya memakai kerudung lebar berwarna merah maroon. 

"Kamu sudah bangun, Nak. Syukurlah. Saya panggil dokter dulu," ucap ibu itu sambil memencet tombol di dekat kepalanya. 

“Ini rumah sakit? Bagaimana saya sampai di sini?” tanya Tera keheranan. Wajahnya meringis membayangkan harus membayar ruang rawat inap semewah itu. Ia juga mencermati bagian sikunya yang ditutupi kain kasa. Bahkan dahinya juga ditutupi plester. 

“Mama!” Bocah itu kembali memanggilnya. 

Seketika perempuan berkerudung itu tersentak. “Kamu sudah bisa ngomong, Cu!” 

“Mama!” Kali ini, bocah itu memegang tangan Tera. 

“Mama?” ulang Tera, masih diselimuti kebingungan. 

Tera menatap heran. Ia beralih ke perempuan  itu minta penjelasan. 

“Sebentar. Kita hubungi Papa dulu, ya!” bujuk perempuan baya itu. 

Bocah itu mengangguk bahagia. 

Tak lama datang seorang dokter bersama seorang perawat. Perempuan itu membawa cucunya menjauh. “Biarkan dokter memeriksa dia dulu!”

Anak itu patuh. 

“Keadaannya sudah membaik. Kita lihat sampai besok, jika makin membaik, dia boleh pulang,” lapor dokter itu setelah selesai melakukan pemeriksaan.

“Terima kasih, Dokter,” ucap perempuan paruh baya itu. Dokter dan perawat itu undur diri.

“Terima kasih, Dok,” imbuh Tera. 

“Bu bisa jelaskan kepada saya apa yang terjadi?” tanya Tera. 

Bocah itu kembali mendekat. Kali ini ia duduk di sebuah kursi. Ia mencium pipi Tera. Tera terkesiap. 

“Nanti aku jelaskan, ya. Setelah ayah Evan datang?” jawab perempuan itu.

“Ayah Evan?” ulang Tera. 

“Oh iya. Kenalkan aku Fatima. Ini Evan Hara cucuku, biasa dipanggil Evan. Namamu?”

“Nama saya Teratai. Biasa dipanggil Tera,” jawab Tera canggung

“Baiklah, saya juga panggil kamu Tera.”

“Mama,” oceh kembali anak yang disebut Evan itu. Kembali Tera diserbu keheranan.

“Nak Tera, kemarin yang menabrak kamu itu mobil kami,” jelaskan Fatima.

Tera tersentak. Ia baru teringat kecelakaan yang menimpanya di saat hujan setelah diusir ibu kandungnya.

“Tempat kejadian itu sunyi. Tidak ada rumah penduduk di sana, jadi kami tidak tahu harus bagaimana mencari identitasmu. Selain itu, kami khawatir jika terlambat memberikan pertolongan padamu, khawatir bisa mengancam nyawamu. Karena itulah, kami langsung membawamu ke rumah sakit ini.”

 Pintu terbuka, disusul dengan kemunculan seorang laki-laki berperawakan tinggi, mengenakan kemeja putih yang dilapisi rumpi. Di belakang laki-laki itu seorang perempuan cantik, mengenakan blazer warna hitam menutup kaos warna putih. Rambut panjang terurai, sedikit bergelombang di ujungnya, melengkapi kecantikan wanita itu. Tera merasakan tubuhnya menciut. Kecantikan wanita itu benar-benar mengintimidasi kulit dekilnya. 

Tanpa suara Evan berlari menyusul laki-laki yang baru datang. 

“Bagaimana keadaannya, Ma?” tanya laki-laki itu setelah mengangkat Evan. Perempuan cantik itu mengiringinya, lalu mencium tangan Fatima.

“Alhamdulillah, dokter mengatakan tadi dia sudah baikan. Kemungkinan besok dia sudah bisa pulang.”

Laki-laki hanya menjawab dengan anggukan. Tera mengernyit. Ia bertanya-tanya, mungkinkah laki-laki itu pelit suara?

“Nak Tera, kenalkan ini anak ibu, namanya Sanad Gandaria, ayah Evan.”

Tera hanya menganggukkan kepala sebagai penghormatan. Sekarang ia bisa menduga kalau perempuan cantik itu istri Sanad dan ibunya Evan. Namun, kenapa Evan tidak mendekati wanita itu? 

Ia berharap Sanad tidak mengulurkan tangan kepadanya. Sayangnya, doanya tidak dikabulkan.

“Panggil saja saya Sanad.” Sanad mengulurkan tangan padanya. 

Ia tidak bisa mencegah wajahnya untuk tidak meringis. Tangan terulur dengan terkepal, enggan membuka. Ia malah menarik tangannya, dan menyembunyikan dalam selimut yang menutupi kakinya. “Maaf, Pak. Saya seorang nelayan, tangan saya sangat kasar."

“Oh.” Sanad menarik tangannya dengan salah tingkah. Evan tersenyum melihat ayahnya. 

“Mama!” Evan menyingkap selimut Tera, menarik keluar tangannya. Dengan kebingungan ia menuruti saja tindakan Evan. Betapa terkejutnya, ternyata tangannya diulurkan ke arah Sanad.

Mata Sanad membelalak. Mulutnya membuka, tapi tak kunjung bersuara. Ia menatap ibunya penuh tanya, yang dijawab dengan anggukan dan mata berkaca-kaca. Wanita cantik itu juga terlihat bahagia. 

“Mama!” 

Sanad masih terpasung syok. Tatapannya beralih antara putranya dan tangan Tera yang terulur. 

“Mama!” Evan kembali bersuara. 

Tanpa peduli dengan wajah Tera yang enggan, Sanad menyambut uluran tangan itu. Sesaat ia terkejut. Kekasaran tangan perempuan itu melebihi seorang buruh di perusahaannya.

Tera langsung menyembunyikan tangannya. 

Sanad berjongkok, memegang kedua bahu putranya. “Kamu bisa ngomong, Sayang?” 

Mata Tera membesar. Ia tidak menyangka bocah seimut itu tidak bisa bersuara. 

“Mama.”

Sanad langsung memeluk tubuh mungil itu. Mata Sanad berkaca-kaca menatap putranya. “Coba panggil Papa.”

Evan diam. Fatima ikut berjongkok. “Coba ucap papa.” 

Evan terlihat hanya memainkan bibirnya. Fatima dan Sanad saling bersitatap, lalu beralih ke arah Tera yang masih diselimuti kebingungan.

***

“Bu, bisa kita bicara sebentar di luar?” tanya Sanad. Tera menoleh, ia tidak menyangka, laki-laki kaku itu ternyata bisa bersikap lembut pada ibunya.

Fatima mengangguk.

Sanad kembali menjongkok. “Papa mau bicara sama nenek sebentar. Evan di sini dulu ya..”

Evan mengangguk. Sanad mendudukkan ke atas sofa, tetapi anak itu turun, lalu naik ke kursi di samping Tera. Kening Sanad mengerut tajam dengan tingkah putranya, lalu beralih ke Tera yang tak kalah herannya. Tera merasakan, kepalanya kusut memuntal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab.

Sanad dan Fatima telah keluar. Perempuan cantik itu mendekati Tera dan mengulurkan tangan.

“Perkenalkan saya Hayati, istri Sanad, ayah Evan.”

Tera menyambut uluran tangan itu canggung. “Tera.” Retina matanya sempat menangkap tangan Hayati yang mengusap. Ia dapat memahami, jika Hayati kaget dengan kekasaran tangannya. 

Tangan kasar sebuah kelaziman bagi orang Bangkau sebagai seorang nelayan, yang kesehariannya bersentuhan dengan pisau dan ikan. Titik saraf nyeri sudah kebal dengan tusukan duri-duri ikan, sayatan pisau, juga kutu air yang menambah nilai estetik di tangan orang Bangkau, tak terkecuali Tera. Waktu kecil, tiap hari ia mengolesi telapak tangannya dengan salep anti kutu air. Sesekali ia mengolesi dengan minyak jelantah, lalu memanggangnya di atas bara api. Kini Tera sudah kebal. Kulit sudah kadung menebal. 

Hayati mendekati Evan. Ia mengelus rambut Evan, tetapi bocah itu bergeming. Satu pertanyaan lagi memuntal kepala Tera yang sudah kusut. 

Hayati bukan ibu Evan?

Tera memiliki otak kritis. Kesehariannya bersama alam telah mengajarkan banyak padanya. Ia sangat bersyukur dengan karunia itu. Namun, kini ia menyesalinya. Mengapa ia terjebak dengan berbagai pertanyaan yang tidak ada hubungan dengannya?

***

“Apa Ibu sudah tahu siapa perempuan itu?” tanya Sanad pada ibunya ketika mereka sudah di luar.

“Namanya Tera.”

“Iya, siapa pun itu,” sahut Sanad cuek. Fatima menggelengkan kepala dengan sikap putranya.

“Belum! Saat dia sadar, Ibu memanggil dokter, jadi masih belum ada kesempatan berbicara banyak dengannya.”

“Berarti dia juga belum berbicara banyak dengan Evan?”

Fatima menggeleng. “Saat itu Ibu baru keluar dari kamar kecil. Dia terjaga dengan masih kebingungan. Evan sudah memanggilnya Mama.”

Sanad mengerutkan kening. “Ini suatu keanehan, tetapi patut disyukuri. Perempuan itu membuat Evan bisa berbicara, padahal kita sudah sekian lama berusaha supaya Evan mau bicara dengan berbagai cara, tapi selalu gagal.”

Fatima mengangguk. “Ibu akan mengusahakan dia tinggal bersama kita, menjadi pengasuh Evan. Sepertinya Evan sangat menyukainya.”

Kening Sanad menukik tajam. Bagaimana bisa putranya bisa menyukai perempuan yang tidak memperlihatkan sisi kewanitaan. Dari bahunya saja, Sanad tahu perempuan itu bertubuh kekar meski kurus. Kulit hitam nyaris serupa dengan gosong. Wajah berminyak dan jerawat di sana sini. Apa yang disukai Evan dari perempuan itu? Dibanding Hayati, istrinya, tentu Hayati lebih feminim dan lembut. 

“Aku setuju dengan pendapat Ibu, tapi dia orang asing. Kita tidak bisa percaya begitu saja.”

“Jangan buruk sangka begitu. Evan memang polos, tapi bukan berarti dia bisa jatuh cinta begitu saja. Kamu lupa, kita telah mencoba puluhan pengasuh, tapi tidak ada yang cocok dengannya. Sedang Tera, baru saja ia membuka mata, Evan langsung menyukainya.”

“Tapi … dilihat dari tubuhnya, aku rasa dia sudah mempunyai pekerjaan. Apa dia bilang tadi seorang nelayan? Berarti bukan berasal daerah kejadian kecelakaan?” 

“Iya. kalau memang dia seorang nelayan, berarti dia dari Bangkau atau ke situ, dua desa sebelum kejadian.”

“Ngapain dia bersepeda hujan-hujanan di malam hari pula? Ibu tidak curiga?”

Fatima menggeleng-gelengkan kepala. “Mengapa dari awal, kamu terlihat tidak menyukainya.”

“Bukan begitu. Bagaimanapun dia orang asing. Bagaimana kalau dia sengaja melakukannya untuk memeras kita?”

Fatima menghempaskan napasnya. “Sudahlah, berbicara denganmu tidak ada muaranya. Kamu pulanglah, bawa Evan. Ibu ingin berbicara banyak dengan Tera. Siapa tahu Ibu bisa menahannya,” tukas Fatima tanpa menunggu respon putranya.

***

“Sekarang Papa Mama sudah datang, Evan pulang dulu ya,” bujuk Fatima sambil memegang pundak cucunya.

Evan diam. Ia memainkan bibirnya. Ia menoleh ke arah Tera yang juga menatapnya. Masih dengan keheranan.

“Tante Tera masih sakit.”

“Mama.”

“Iya, Mama.” Fatima mengalah. “Mama Tera masih sakit. Biarkan dia istirahat. Evan pulang dulu dengan Papa Mama, ya.”

Evan masih merapatkan bibirnya.

“Ya?! Evan cucu Oma yang baik dan patuh. Evan pulang dulu, ya. Besok ke sini lagi, ya.”

Evan mengangguk pelan, setelah lama terdiam.

“Cucu Nenek yang pinter.” 

Tera menatap Fatima memeluk cucunya dengan haru. Pertanyaan makin menumpuk di kepalanya. Apa yang terjadi dengan Evan?

Sebelum pulang, Evan naik ke atas kursi. Tera terkesiap. Tanpa ia duga, Evan mencium pipinya. Matanya terbelalak, mengarah kepada Hayati yang melihatnya dengan tatapan tidak suka. 

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status