Sebelum pulang, Evan naik ke atas kursi. Tera terkesiap. Tanpa ia duga, Evan mencium pipinya. Matanya terbelalak, mengarah kepada Hayati yang melihatnya dengan tatapan tidak suka.
*** “Bu, bagaimana dengan biaya rumah sakit ini?” todong Tera begitu Sanad dan keluarga kecilnya menghilang di balik pintu.Fatima duduk di kursi samping ranjang Tera. Kursi yang diduduki Evam sebelumnya. “Biaya perawatanmu kami yang tanggung. Kami minta maaf atas kejadian itu. Beruntung kamu masih bisa diselamatkan.”Tera menghela napas lega. “Syukurlah. Kamar seluas ini, saya tidak sanggup membayarnya.”“Nak, kamu tinggal di mana?”Seketika Tera terdiam. Wajahnya mendadak datar. “Supaya kami bisa memberi tahu keluargamu. Keluargamu pasti sangat mengkhawatirkanmu. Atau kamu bisa menelpon mereka dulu.”Tera menggeleng. “Tidak perlu.Terima kasih banyak atas perawatannya. Hanya Allah yang mampu membalas kebaikan ibu.”Fatima mengerutkan kening. Ia mencium ada yang disembunyikan Tera, tetapi tidak pantas orang asing sepertinya mengorek lebih dalam lagi.“Kalau boleh tau, pekerjaanmu apa, Nak?” “Nelayan, Bu,” jawab Tera singkat.Fatima mengangguk. “Evan sangat imut ya, Bu.” Tera mengalihkan pembicaraan. Ia tahu, Fatima merasa tidak puas dengan jawabannya. Fatima menghela napas. “Cucuku yang baik. Di usianya yang kecil, dia telah kehilangan ibu kandungnya.”Tera tersentak. “Jadi Hayati …? Ibunya meninggal kenapa?”“Karena kecelakaan. Mereka pergi bertiga. Ibu Evan meninggal di tempat, sedang Sanad mengalami luka-luka yang cukup serius. Hanya Evan yang terlihat baik-baik saja, tapi sampai sekarang dia tidak bisa berbicara.” Fatima tersenyum haru. “Hari ini, pertama kalinya kami mendengar suaranya. Memanggilmu Mama.” Fatima terkekeh. Tera tersenyum canggung. “Evan sepertinya menyukaimu. Kami telah menyewakan banyak pengasuh, tapi tidak ada yang tahan dengan sikap penolakan Evan. Bahkan Hayati, ibu sambungnya, Evan juga tidak menyukai. Tiba-tiba hari ini dia menyukaimu. Ini sebuah keberkahan buat kami. Terima kasih ya, Nak.”Tera tersenyum ragu. Lengkungan bibirnya hanyalah berupa ukiran patah. “Saya merasa tidak layak menerima ucapan terima kasih Ibu, karena saya tidak melakukan apa-apa. Saya tidak mengerti mengapa Evan menyukai saya.”Fatima tersenyum lebar, menatap haru. “Andai boleh meminta, jadilah pengasuh buat Evan.”Tera tersentak. “Bu, saya orang asing.”“Saya sadar itu. Tapi saya kenal cucu saya. Dia lebih peka dengan perilaku orang lain.”Tera termangu. Skenario apa yang dijalaninya? Di saat ibu kandungnya tidak percaya dengannya, di belahan lainnya ada orang yang begitu percaya padanya?“Saya sadar, pasti kamu juga mempunyai pekerjaan. Jika kamu mau menjadi pengasuh Evan, saya akan menggaji dua kali lipat dari penghasilanmu.”Tera meneguk salivanya. Ia menerka-nerka berapa Fatima sanggup membayarnya? Padahal dia memiliki Teratai produksi yang menghasilkan puluhan juta perbulan, sudah menggaji puluhan karyawan. Belum lagi penghasilan dari budidaya teratai dan mungkur peninggalan bapaknya. Namun, tidak mungkin ia membicarakan itu pada Fatima, yang dikenalnya hanya beberapa jam yang lalu. Selain itu, ia tidak ingin Fatima tahu kalau dirinya orang yang terusir dari keluarga.“Baiklah!”Fatima tersentak. “Maksudmu?”“Saya terima tawaran Ibu. Menjadi pengasuh Evan.”Fatima mengerutkan kening. “Saya ngerti jika Ibu heran dengan penerimaan saya yang begitu mudahnya. Saya tidak akan meminta Ibu mempercayai saya. Silakan Ibu pikirkan lagi, jika memang ingin mempekerjakan saya. Saya tidak masalah, jika Ibu menarik tawaran itu.”“Saya tidak mencurigaimu. Namun … ini … Tidakkah kamu memikirkan pekerjaanmu dulu, atau mengabari keluargamu dulu. Ingat, menjadi pengasuh Evan berarti kamu harus tinggal bersama kami.”“Saya tidak mempunyai keluarga. Mulai sekarang, Evan keluarga saya.” *** Tok tok. Sanad yang baru saja terlelap, terlonjak mendengar bunyi ketukan di pintu kamarnya. Hayati yang tidur di sampingnya ikut terbangun karena gerakannya. Sanad turun dari ranjangnya. Hayati mengikuti, karena ia tahu siapa yang mengetuk pintu.Evan langsung menarik tangan Sanad begitu pintu terbuka. “Evan, Papa capek sekali. Kamu tidak tidur di sini saja, ya. Tidur sama Papa Mama.”Evan menggeleng. Hayati berjongkok. Ia hendak memegang bahu Evan, tapi anak itu segera mundur. “Evan, tidur bareng Papa Mama di sini, ya,” bujuk Hayati lembut. Evan menggeleng. Ia kembali menarik tangan Sanad, kali ini lebih keras, sehingga badan Sanad bergerak. “Iya iya!” Sanad akhirnya mengikuti kemauan putranya. Hayati menatap pasrah punggung suami dan anak sambungnya yang menjauh. Sudah hampir dua tahun, ia menikah dengan Sanad, tetapi sampai sekarang belum berhasil meraih hati kedua laki-laki itu. ***"Masuk!" titah Sanad tanpa mengalihkan perhatiannya dari sebuah dokumen. "Pak!"Sanad langsung berdiri begitu melihat seseorang di belakang Hayati. "Gimana sudah kau dapatkan informasinya?" Sanad mempersilakan duduk dengan isyarat tangan begitu informan itu mengangguk. Ia juga memerintahkan Hayati keluar. Informan duduk sambil meletakkan sebuah amplop coklat dan plastik kecil ke atas meja. Sanad mengambil dan membukanya. "Benar dia asli Bangkau. Dia sulung dari empat orang bersaudara. Satu orang adiknya perempuannya sudah menikah, satu kuliah, dan satu lagi masih mondok. Tera bukan perempuan biasa. Dia pemilik Teratai Produksi yang memproduksi kerupuk dari ikan gabus." informan itu membuka plastik, ia mengeluarkan sebungkus kerupuk dan menyerahkan kepada Sanad. "Ini kerupuk favorit ibu," gumam Sanad setelah memperhatikan kemasan transparan. "Kemasannya jelek banget.""Tapi hasil penjualannya lumayan tinggi. Teratai Produksi sudah memiliki puluhan karyawan. Masalah kualitas, mungkin mereka menyesuaikan standar pangsa pasar mereka yang hanya beredar di sekitar Hulu sungai sini." Informan itu mengambil sebungkus lainnya yang masih mentah. "Kalau ini sudah bagus. Ini sudah mereka jual secara online dan lumayan laris."Sanad menganggukan kepala ketika menyentuh kerupuk mentah kemasan standing pouch tertulis merk Teratai, sedang sebelahnya transparan."Jika kamu bilang benar, kenapa dia mau menjadi pengasuh Evan tanpa meminta tarif gaji?""Dia diusir ibunya."Sanad tersentak. "Dia tertangkap basah, berbuat mesum dengan iparnya. Dan iparnya …."Lagi-lagi Sanad dikejutkan dengan informasi baru.“Iparnya ini mantan Tera. Dan menurut sumber yang didapatkan, Tera banyak membantu biaya pendidikan mantan sampai lulus kuliah. Tetapi mantannya menikahi Kembang Ilung, adiknya Tera.”“Ada laki-laki tidak tau diri begitu?”Informan mengeluarkan sebungkus kerupuk lagi dan meletakkan di depan Sanad, setelah menggeser kerupuk lainnya. “Ini produk baru. Produk ini baru diedarkan dua hari yang lalu.”Kening Sanad mengerut tajam. “Berarti sudah ada yang mengelola Teratai Produksi?”Informan mengangguk. “Adiknya dengan suami.”Sanad mengambil kerupuk itu dan mencermatinya. “Kemasannya lebih bagus daripada keluaran Tera.”“Benar. Tapi menurut penjual itu.” Informan menunjuk kerupuk itu dengan dagu. “Pejualan menurun drastis, karena rasa dan harga yang berbeda. Harga naik, tapi kualitas rasa menurun.”Sanad termangu. Ia kembali mengambil kerupuk keluaran dari Tera dan membandingkan dengan keluaran baru. “Itu artinya, resepnya hanya dipegang oleh Tera?”Informan mengangguk. “Dan seorang perempuan yang bekerja di bagian dapur, Acil Nurul. Acil Nurul resmi mengundurkan diri, sehari setelah hilangnya Tera.”Sanad tersenyum miring. “Menarik. Sepertinya Acil Nurul pekerja setia.”Informan mengiyakan. “Bukannya hanya Acil Nurul, melainkan putranya juga beberapa orang keluar dari Teratai Produksi.”“WOW.”“Bapak akan lebih kaget lagi, kalau tau siapa mantan yang sekarang jadi ipar dan pengelola Teratai Produksi.”Sanad menghadap lurus. "Mantan dia, Arbain, manajer pusat minimarket Bapak dan sekarang dia telah memasukkan produk barunya ke seluruh minimarket Bapak.”***Evan langsung berlari ke arah Tera begitu masuk ke ruang inap Tera. "Mama." Ia menengadahkan kepalanya, menatap Tera yang duduk di atas ranjang. Tera menatap haru. Jatuh butiran bening di kelopak matanya. "Mulai sekarang, kamu keluargaku. Aku akan menjagamu dengan sepenuh hati, meski mempertaruhkan nyawaku." Sanad dan ibunya saling bersitatap.Tera terkekeh, melihat Evan yang memamerkan gigi putihnya. Ia mencubit pelan pipi Evan yang bening. "Imut sekali." "Kalau sudah, kita pulang sekarang," ucap Hayati. Evan mengulurkan tangannya. Tera tertawa kecil. Ia menyambut uluran tangan itu, lalu turun dari ranjang. ***Terima kasih ♥️ semoga tetap suka. Jangan subscribe untuk info update terbaru."Kamu pakai parfum apa?" tanya Sanad. "Parfum yang kamu kasih." "Aku suka wanginya." Sanad tergoda membaui aroma lembut di leher Tera. Tera merasakan bulu romanya merinding. Kehangatan napas Sanad menimbulkan reaksi alamiah yang membuat Sanad semakin bersemangat."San, hati-hati, kamu tidak bisa mandi lo." Tera mengingatkan.Tera menghempaskan napasnya. Ia segera bangkit, dan menurunkan kakinya ke lantai. "Aku pingin lihat Evan. Kok nggak ada suaranya." Tangan Sanad menyambar pinggangnya. "Tadi dia sama Lilac.""Aku pingin lihat, khawatir badannya bentol-bentol."Sanad menarik bahunya hingga terbaring. Seketika tubuhnya terkunci oleh sebelah tangan kekar."Tadi aku sudah minta Lilac agar mengolesi kulitnya dengan lotion anti nyamuk." Sanad meletakkan bibirnya di leher Tera. "San, kamu berani berendam di tengah malam? Bukan mandi di kolam rumah lo.""Kita mandi bersama.""San …." Mendadak bibirnya terkunci oleh
"Benarkah? Janji?!""Iya …."*** Kamar Tera kini dihiasi layaknya kamar pengantin. Ada sedikit berbeda di kamar Tera dibanding kamar pengantin umumnya. Di zaman sekarang, pengantin lebih banyak menggunakan ranjang modern tipe divan bed, sedang Tera memilih tipe ranjang kelambu. Ranjang yang memiliki kanopi supaya bisa dipasang kelambu. Dulu orang Bangkau banyak memakai tipe ini, mengingat kampung mereka banyak nyamuk. Perlahan ranjang kelambu kekurangan peminatnya, karena ranjang divan bed setiap masa desainnya semakin modern dan untuk menghiasi kamar pun semakin banyak kreasinya. Soal nyamuk, itu nanti dipikirkan, yang penting terlebih dahulu menikmati sebagai sepasang raja ratu, meski hanya sehari.Berbeda dengan Tera, mengingat Sanad bukanlah orang Bangkau, tentu nyamuk bukanlah perkara bisa dianggap enteng. Pertama kali yang dipikirkannya bagaimana supaya suaminya bisa tidur dengan nyaman tanpa adanya gangguan nyamuk. Menggunakan obat nyamuk sepanjang malam bukanlah pilihan ya
"Cil." Tera ikutan menangis. "Kenapa ngungkit itu, kan jadi nangis." Ia mengusap wajahnya kasar.Kembang mengambilkan tisu, lalu meletakkan di tengah-tengah."Terima lah dia. Dilihat kesungguhannya ingin beli Teratai Kedua, terlihat dia sangat ingin membahagiakanmu. Masalah perbedaan, asal sama-sama mau berusaha dan terbuka, seiring waktu kalian akan bisa saling mengimbangi.""Cil." Tera meletakkan wajahnya di pangkuan Acil Nurul. Tangisnya makin menderu. Bastiah dan Kembang ikut mengusap wajahnya. Air mata Acil Nurul tak henti-hentinya mengalir. Sebelah tangannya membelai rambut Tera. "Doa Acil akan selalu menyertaimu."***Hari lamaran tiba. Mengingat Bastiah sering menyebut perbedaan, Sanad mengantisipasi dengan hanya melibatkan keluarga dari pihak ibunya yang berada di Baruh Kambang. Secara kelas social mereka tidak terlalu berbeda. Ditambah Muallim Ibrahim, keluarga Tera yang tinggal di Baruh Kambang mem
“Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Malam ini aku akan ke sini.”“Jangan!” jawab Tera cepat. "Kenapa?" "Kamu lihatlah, bagaimana mereka," bisik Tera sambil mengerling ke arah kumpulan tetangga. "Tapi masih banyak yang harus kita bicarakan.""Kita bisa bicara lewat telepon kan?""Iya, sih. Tapi ….""Ayo lah …."Akhirnya mau tak mau, Sanad harus mau menuruti Tera. Benar saja, begitu mobil Sanad menjauh, ibu-ibu di kumpulan itu langsung memberondongnya. Mereka mengikuti Tera sampai ke dalam rumah. "Bagaimana keadaanmu, Tera? Alhamdulillah, akhirnya bisa pulang," ucap salah seorang ibu yang muka cemongnya dengan pupur basah. "Aku nggak menyangka lo, Tera. Kamu kemarin sudah kayak mayat," imbuh seorang perempuan muda. "Oh iya, laki-laki tadi menyelamatkanmu kemarin kan? Dia siapa? Jangan katakan dia langganan kerupukmu!""Mulai," batin Tera. Bastiah datang membawa
"Jangan khawatir. Aku hanya butuh akuisisi. Produksinya tetap mereka yang tangani, kamu hanya bertanggungjawab bagian pengembangan." Tera menghela napasnya. "Tapi … apa aku bisa? Teratai Produksi yang sempat jaya bertahun-tahun, sekarang kolaps padahal ditangani seorang sarjana. Rudi cerita produksi Teratai Kedua juga mengalami kemunduran, apa aku bisa membangkitkannya, padahal kamu telah mengeluarkan banyak biaya." "Kamu pasti bisa. Kamu dengarkan Mama sudah menawarkan tempat untukmu, tinggal produksi saja lagi dengan kualitas sebaik mungkin." "Aku takut mengecewakan."Sanad meraih bahu Tera. "Aku percaya kamu pasti bisa.""Coba saja, Tera. Nanti aku langsung akan cek barangnya, aku tidak akan segan menolak, kalau memang itu tidak layak bertengger di minimarket kami."Tera mengangguk. "Terima kasih, Bu.""Semangatlah." Sanad mendekatkan wajahnya ke telinga Tera. "Ini kesempatanmu membuktikan diri kalau kamu layak jadi istri Sanad."Tera berdecak. Fatima tersenyum penuh arti. Tapi
"Belum apa-apa sudah nyusur. Tera, kamu dan dia jauh banget. Dia orang kota, kita orang kampung. Orang kampung masih polos. Bagaimana kamu bisa hidup sebebas dia? Belum jadi istri sudah berani cium. Kamu juga, diam aja dicium," gerutu Bastiah. Elang tertawa. "Siapa bilang orang kampung itu masih polos? Sekarang informasi mudah diakses, jadi hal semacam itu bukan lagi hal tabu. Ibu saja yang tidak memperhatikan perubahan zaman.""Pokoknya aku tak suka dengan orang kota. Mereka nggak akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kita.""Sudahlah, Bu. Kenapa sih selalu maunya punya Ibu yang dijalankan?" sanggah Elang."Bukan begitu. Orang tua itu sudah banyak makan asam garam," sahut Bastiah. "Aku tau. Tapi Kak Tera juga sudah dewasa. Apa yang terjadi nanti, tentu dia sudah siap menghadapinya. Yang merepotkan, jika Ibu bersikukuh dengan pendapat Ibu, tiba-tiba nanti dia mengalami hal buruk, maka beban yang dirasakan Kak Tera akan terasa lebih be
"Dia Elang, adikku. Yang masih kuliah di Bjb." Tera mengenalkan. "Evan ingat tidak?"Evan mengangguk. "Om Elang." "Pintar!" Tera mengeratkan pelukannya.Kedua lelaki itu saling berjabat tangan dan mengenalkan diri. "Akhirnya aku bisa bertemu dengan Anda," ucap Elang nada membuat Tera mengernyit. Mata tajamnya menatap penuh selidik. "Elang, apaan sih kamu?" tegur Tera. "Tidak apa. Aku hanya ingin memastikan orang yang dekat dengan kakakku itu orang baik. Aku tidak ingin kejadian dulu terulang lagi," sahut Elang sambil mengerling ke arah Arbain. "Ngomong apa kamu, Lang?" sela Bastiah. "Oh iya, Nak Sanad. Ini agak kasar, tapi Ibu minta kamu jangan terlalu dekat dengan Teratai. Teratai telah bertunangan dan kamu juga telah beristri. Sebagai seorang ibu, tentu aku tidak ingin putriku jadi perusak rumah tangga orang lain.""Ibu ngomong apa sih?" seru Teratai. Ia mengerling ke arah Evan. Sanad mendekati
Tera membuka mulut, tetapi menutup kembali. Tidak memungkinkan ia membela diri di saat sama-sama emosi. Selain itu, ia tidak tahu betul bagaimana hubungan Sanad dengan Hayati. Sanad belum bercerita kalau sudah bercerai dengan Hayati. "Terserah Ibu lah," ucapnya akhirnya, lalu menutup diri. Dalam selimut ia masih saja mendengar wejangan Bastiah. "Tera, aku tahu perlakuan laki-laki itu sangat baik padamu, tapi jangan jadi perusak rumah tangga orang. Selain itu, sebesar apa pun ia mencintaimu, kalian dari kasta yang berbeda. Aku sudah dengar dari Arbain. Dia putra bosnya yang memiliki banyak minimarket. Dari segi keturunan, mereka juga dari kaum bangsawan, bergelar Gusti."Tera tercenung. Ia masih belum berani berharap pada Sanad. Namun membayangkan perbedaan yang sangat jauh membuat nyalinya ciut. Bahkan berbanding dengan Evan saja dia masih ketinggalan jauh. Antara langit dan bumi. Ia sering menemani Evan ke berbagai acara keluarga, rata-rata mereka baik dan ramah, tapi itu dulu h
"San, aku ingin bicara denganmu. Ada waktu?" tanya Rudi.Sanad mengerutkan keningnya. Sesaat ia menoleh ke arah Tera. Gadis itu terlihat cemas. Ia juga menoleh ke Bastiah."Asal tidak sekarang, kapan?""Nanti kasih kabar, jika kamu punya waktu."***Sepeninggalan Sanad, Bastiah membuka kulkas. Sesaat matanya membesar. Melihat kulkas yang terisi penuh. Mulai roti, buah, cake, susu cair, yogurt, teh botol dan air mineral. "Kalian mau jualan?" ejek Bastiah. Tera menengok sebentar, tapi lalu kembali berpaling. Bahkan menoleh pun masih terasa sakit.Rudi duduk berhadapan dengan Tera yang sedang menyuap buburnya. "Bubur sumsumnya tidak dimakan?" tanya Rudi."Habiskan ini dulu. Sayang, sudah terlanjur. Itu kan masih belum bergerak, nggak papa disimpan lama." Rudi terkekeh. Tera memang selalu begitu, penuh dengan pertimbangan. Tidak bisa kah di saat sakit seperti ini mengutamakan rasa