“Ini …?” Bastiah mengeluarkan satu bungkus.“Iya. Acil Nurul edarkan dengan mengambil pasaran yang sebelumnya milik Rudi." Seringai senyum licik terbit di bibir Kembang. "Ceritanya setia, mana? Malah bikin produk sendiri. Awas saja, kamu Rud! Kamu pikir aku bisa diam?!”***Keane sengaja melambatkan laju mobilnya. Dari kejauhan ia sudah melihat Rudi mendekati Tera yang duduk di depan gedung sekolahan Evan. “Tuan?!” “Biarkan saja. Kita pantau dari sini,” titah Sanad, tanpa mengalihkan perhatiannya dari Tera dan Rudi. Rudi mendekat, Tera masih asik mengukir tanah dengan kayu ranting yang entah ia dapatkan di mana. Terlihat Tera tersentak ketika menyadari kehadiran Rudi. “Benar, kamu Tera kan?” “Maaf, kamu siapa?” Tera pura-pura tidak mengenali.“Benar, kamu Tera. Suaramu memang Tera. Tatapanmu juga. Kamu mungkin bisa mengubah penampilanmu, tapi aku akan tetap mengenalimu.”Tera berdiri. Tera menengok ke kiri dan ke kanan.“Ikut aku,” ucap Tera setelah yakin tidak ada Keane. Tera m
Evan kembali menyodorkan sapu tangannya.“Nanti sapu tangan Evan kotor.”Evan menggeleng. Ia melipat sapu tangan itu, lalu mengusapkan ke pipi Tera. Tera kembali tersenyum haru. Ia mengambil sapu tangan itu, lalu mengusap ke wajahnya. “Terima kasih, ya.”Evan mengangguk, tak lupa menyuguhkan senyum terbaiknya. Spontan Tera mencium pipi anak itu karena gemes. Sanad mengulurkan tangannya. Tera menengadah. Ia bertanya-tanya mimpi apa semalam. Tiba-tiba mendapatkan uluran tangan pria arogan ini.Dari wajahnya, Tera tahu Sanad telah mendengar percakapannya dengan Rudi tadi. Ia tidak menyangka, ternyata laki-laki seperti Sanad masih mempunyai rasa empati.Cukup lama ia tengadah, tanpa berani menyentuh tangan itu. Evan menarik tangannya, lalu hendak menyatukannya dengan tangan Sanad. Saat hendak bersentuhan, spontan tangannya menggenggam. Sanad t
Di Bangkau.Seorang pemuda berkulit putih memasuki halaman rumah Tera yang berbentuk jembatan. Bangkau wilayah rawa. Rata-rata rumah panggung dengan halaman berupa jembatan dari papan. Ko“Assalamu ‘alaikum.” “Wa alaikum salam. Elang?! Kamu pulang? Kok tiba-tiba pulang? Ada apa?” cecar Kembang panik. "Kak Tera mana?" tanya Elang sambil masuk rumah dengan menenteng ranselnya.“Datang-datang langsung nanyain Tera? Tanyain ibu dulu kek,” protes Kembang.“Kak Tera mana?” ulang Elang dengan suara meninggi. “Dia sedang pergi,” kilah kembang.“Ke mana?”“Mana kutau. Dia kan sudah besar. Masa harus minta izin dulu padaku,” jawab Kembang sambil berlalu ke dapur. Elang Diam. Menatap tajam kakaknya yang sedang menuang air minum ke dalam gelas. “Nih, minum dulu!” Kembang menyerahkan gelas itu pada Elang. “Jau
“Dan mama percaya itu?” tanya Elang.“Jadi kamu menuduh Arbain merayu dia?” sela Kembang.“Ya mungkin saja. Secara kita lebih lama berkumpul dengan Kak Tera dibanding Arbain. Arbain masih tergolong orang baru di keluarga kita.”Arbain terkesiap. “Teganya kamu berkata begitu,” protes Kembang. “Ini bukan masalah tega nggaknya. Ini masalah kebenaran. Masa kita lebih percaya ke orang baru, daripada dia yang seumur hidup bersama kita. Coba pikirkan, Kak Tera yang gila kerja tiba-tiba merayu laki-laki, kan aneh? Dengan pengorbanannya yang begitu besar kepada kita, tiba-tiba merayu suami adiknya, aneh tidak?”Kembang tergagap. “Ya mungkin saja. Secara umur dia kan sudah menjelang tiga puluh, wajarlah jika dia menyukai laki-laki dan yang terdekat.”Elang menggeleng, menatap ejek. “Kalau ngomong difilter dulu. Sebagai orang sekolah, aku malu mendengar ucapan Kakak
“Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Tera. “Baik. jangan pikirkan dia. Pikirkan diri Kakak sendiri.”Tera mengernyit. Ia menatap penuh selidik. “Jangan katakan, kamu tidak ingin Kakak pulang, supaya bisa menguasai Teratai Produksi?!” Elang tersenyum geli. Ia mengambil minuman yang baru saja diletakkan karyawan. “Di mata Kakak, di dunia ini tidak lagi orang baik ya?”Tera hanya menjawab gerakan kedua keningnya, lalu meneguk minumannya.“Tadinya mau mengajak pulang, tapi begitu melihat Kakak cantik begini, aku jadi mengurungkan niat.”Tera mengenyit. “Sepertinya Kakak sangat baik di sini. Usia Kakak juga sudah 27, ah hampir 28 ya."Tera mendelik. Di desanya usia 28 tahun sudah dicap sebagai perawan tua. Beberapa teman Tera sudah berkeluarga dan mempunyai anak, "Sudah saatnya Kakak memikirkan diri Kakak sendiri. Kembang sudah men
“Karena cantik? Aku benci ini.”“Tapi ….”“Sudahlah! Aku sudah punya Evan, dia keluargaku. Dia pelengkap hidupku, jangan khawatirkan Kakak”Elang membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara keluar. Ia berpaling ke arah Evan. “Evan dengar 'kan? Kakakku mendedikasikan hidupnya untuk Evan, Evan harus baik pada dia. Evan mau kan berjanji sama Om? Evan akan selalu baik dan melindungi Mama?!”Evan masih diam. Setelah sekian lama, akhirnya Elang memutuskan berdiri."Aku pulang, Kak. Aku akan langsung ke Banjarbaru. Jaga diri baik-baik, lakukan apa yang membuat bahagia, tapi jangan lagi terlalu berkorban untuk orang lain. Karena belum tentu orang itu akan berbuat baik juga pada Kakak."Tera mengangguk. "Kamu juga jaga diri baik-baik. Hati-hati di jalan."Elang mengangkat tangan lalu menautkan ujung telunjuk dan ujung ibu jarinya. Tera tersenyum haru. El
Papa? Tera menyebut Sanad juga Papa? Hayati merasakan dadanya berdenyut nyeri. Andai ia tidak melihat foto itu, mungkin ia tidak perlu merasakan sakit seperti ini. "Mama rasa sebentar lagi Papa akan datang. Mama keluar sebentar, ya."Evan mengangguk. "Anak pintar." Tera mencium pipi Evan. Papa? Mama? Hayati menyentuh dadanya yang kembali terasa nyeri. ***Hayati membawa Tera ke sebuah kursi di taman depan. Temaram lampu membuat suasana taman terlihat sedikit menyedihkan di mata Tera. Indahnya tanaman, bunga-bunga, rumput yang dipangkas rapi, bahkan satu set kursi taman tidaklah membuat lebih berarti jika hanya dijadikan pajangan. Indah, tetapi kesepian. Tera teringat saat-saat ia mengisi malam bersama Rudi. Menatap bintang di teras dengan bangku seadanya, dilengkapi nyamuk yang tidak pernah absen untuk mengganggu, di sana ia sering mengukir mimpi-mimpinya. Waktu itu terasa biasa saja, tapi sekarang momen itu menjadi sangat berarti dan tiba-tiba ia merindukannya. Mungkin suatu sa
***"Kamu pernah masuk ke dalam sekolah Evan?" tanya Tera pada Sanad.Sanad menoleh sebentar, lalu berbicara pada Evan. "Nanti kita lanjutkan lagi ya. Papa mau bicara sama Mama." Evan mengangguk. "Bagaimana kalau Mama antar ke kamar dulu. Mama cuma mau bicara sebentar sama Papa. Ya?" Tera merentangkan tangan, tetapi Evan malah memeluk Sanad "Baik, biar Papa yang antar," ucap Sanad sambil mengangkat badan Evan. Tera terkekeh. Tiba-tiba matanya mengembun.*** "Kenapa?" tanya Sanad ketika ia keluar dari kamar. Sesaat Tera terkejut. Ia merasa tertangkap basah karena telah membaca obrolan Sanad dengan Evan. Sesaat ia merapikan kertas-kertas itu, lalu duduk di sofa. "Bagaimana keadaannya di sana? Dia mau bergaul dengan teman sebayanya?"Sanad menghempaskan bokongnya ke atas sofa,