Share

Bahagia Tanpamu, Mas!
Bahagia Tanpamu, Mas!
Penulis: Dyah Ayu Prabandari

Menu Makanan

Terdengar suara motor berhenti di halaman rumah. Aku tahu betul itu suara motor milik suamiku, Mas Wahyu. Segera aku hentikan kegiatan jahit menjahitku.

Tak ada kata salam setiap kali lelaki yang menikahiku tujuh tahun yang lalu itu masuk ke dalam rumah. Dia pikir rumah ini lapangan bola hingga kata salam tak perlu diucapkan. 

"Waalaikumsalam...," ucapku menyindir Mas Wahyu. 

"Apa sih kamu Lan, suami pulang bukannya disambut justru di ceramahin. Aku ini capek kerja. Jangan lagi kau pancing amarahku!" sungutnya. 

Selalu saja berkata seperti itu tiap kali kusindir tak mengucapkan salam atau hal yang lain. Kalau sudah begini lebih baik diam, dari pada semakin membuat rumah ini terasa panas. 

Ya Allah, kapan suamiku bisa berubah?Menjadi suami yang mengajak dalam kebaikan bukan sebaliknya. 

"Kamu mau diam seperti patung di situ?" ketusnya. 

Astagfirullah

Aku sampai lupa mencium tangan Mas Wahyu.Bahkan untuk menyiapkan minum hanya karena masalah salam. Sebenarnya ini bukan masalah sepele, sebagai seorang suami harusnya Mas Wahyu dapat memberikan contoh yang baik untukku dan juga Diana. Salah satunya mengucapkan salam saat masuk ke dalam rumah. Bukan main nyelonong masuk rumah begitu saja. Dan ini terjadi setiap hari. 

"Wulan!" teriaknya saat diri ini tak kunjung melangkahkan kaki  menuju dapur. 

"Iya, iya Mas..." Aku berjalan cepat menuju dapur. Segera memasukkan kopi  dan gula ke dalam cangkir lalu menyeduhnya menggunakan air panas. 

Aku meletakkan secangkir kopi dan pisang goreng di atas meja. Dengan cepat Mas Wahyu menyeruput kopi yang masih panas. Dalam hitungan detik kopi itu kembali di semburkan Mas Wahyu. Sudah persis dukun dalam film saja. Hahaha ... aku tertawa dalam hati. 

"Kamu itu gimana sih Lan,buat kopi saja tidak becus!" teriak Mas Wahyu. 

Untung saja aku sudah kebal, kalau tidak mungkin langsung mati karena jantungan. Karena hampir setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu menyakitkan. Dan suamiku akan berlaku baik jika ada maunya. Aku sampai bingung, kenapa dulu aku bisa menikah dengan lelaki macam begini? Manis diawal pahit ujungnya. 

"Lha sudah tahu kopinya panas, main minum aja. Ya kepanasan,Mas!" jawabku tak mau kalah. 

"Susah ngomong sama kamu, ngelawan terus." Mas Wahyu berjalan menuju kamar. Meninggalkan secangkir kopi begitu saja. 

Sabar-sabar Wulan, ini ujian dalam pernikahan kamu. Kusemangati diriku sendiri. 

Ya Allah beri ekstra kesabaran menghadapi lelaki seperti Mas Wahyu. Andai bercerai tak dibenci Allah, mungkin sudah kulakukan dari dulu. Karena menunggu dia berubah seperti mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan.Bahasa kerennya halu alias halusinasi. 

Berjalan ke mesin jahit,melanjutkan aktivitasku yang sempat tertunda. Karena baju seragam ini harus jadi besok. Aku tak mau mengecewakan pelanggan,takut mereka lari ke tempat jahitan lain. Karena hasil menjahit sangat menunjang kehidupan keluarga kami. 

Ada yang pernah bertanya apakah gaji suamiku tak cukup menghidupi kami hingga aku harus menjahit seperti ini. Kalau saja gaji suamiku di berikan seluruhnya padaku mungkin akan cukup bila aku yang mengelolanya.Hampir lima juta gaji suamiku perbulannya.Namun sayang, aku hanya diberi dua ratus ribu untuk satu minggu dan itu sudah termasuk pajak listrik dan jajan Diana, putriku yang berumur lima tahun. Jadi mau tak mau aku harus bekerja untuk menutupi kebutuhan yang lain. Di tambah jika ada kebutuhan tak terduga. Mas Wahyu mana mau tahu. Yang dia mau tahu uang dua ratus ribu harus cukup untuk satu minggu. 

Jarum jam sudah menunjukkan angka lima. Segera kubereskan alat tempurku.Aku tak mau mendapat komplain dari Mas Wahyu karena rumah kami masih berantakan. 

Mengambil sapu, kubersihkan setiap sudut rumah yang berdebu. Tak lupa menyapu sisa-sisa kain yang berserakan di lantai. 

"Bu..." Diana berjalan ke arahku sesekali mengucek mata yang masih lengket. 

"Putri ibu sudah bangun,ya?" Aku jongkok agar menyamakan tunggi putriku. 

Diana, mengangguk, memeluk tubuhku dengan erat. Seperti itulah kebiasaan putri kecilku selalu memeluk tubuhku setelah membuka mata. 

"Mandi yuk dek." Kugenggam tangannya lalu berjalan menuju kamar mandi. 

*****

Kusiapkan makan malam di atas meja. Oseng buncis dan tempe goreng menu makanan malam ini. Bagiku itu lebih dari cukup, Diana sendiri sangat suka tempe goreng, anakku memang selalu makan apa yang tersaji di meja makan asalkan itu tidak pedas. 

"Makan dulu Mas!" kupanggil Mas Wahyu yang asyik menonton pertandingan bola di salah satu stasiun televisi. 

Tak ada jawaban, hanya suara teriakan layaknya komentator pertandingan bola. 

"Adek makan dulu ya, ibu mau panggil ayah dulu." ku letakkan piring plastik di atas meja dengan lauk tempe goreng. 

Kami memang sudah terbiasa makan di meja makan. Untuk Diana kursi model anak-anak dengan kaki kursi yang lebih panjang dibanding punya orang dewasa. 

"Mas, makan dulu yuk! Sudah ditunggu Diana di meja makan." ku sentuh pundaknya perlahan tapi segera ditepis Mas Wahyu. 

Ya Allah segitunya memperlakukan aku Mas. Aku ini istri kamu, bukan lalat yang kamu tepis saat mengenai kulit kamu! 

"Kalian makan sendiri saja, aku belum lapar."ucapnya tanpa menoleh ke arahku. 

Putar badan, segera kembali ke meja makan. Kasihan Diana makan sendirian. Bodo amat dengan Mas Wahyu. Biar saja dia kelaparan!

Jarum jam sudah menunjukkan angka delapan segera ku ajak Diana masuk ke dalam kamar. Membacakan dongeng putri salju kesukaannya. Tak lama putri kecilku sudah terlelap dalam mimpi indah. 

"Wulan!" teriakkan Mas Wahyu mengganggu diriku yang baru terlelap. 

Apa sih maunya suamiku itu! Tidak lihat aku capek, ingin segera istirahat susahnya minta ampun. 

Segera beranjak dari kasur, karena aku tak ingin teriakan Mas Wahyu kembali terdengar. Kasihan Diana jika tidurnya terganggu. 

"Apa sih Mas?" ucapku sambil berjalan menuju dapur, dimana teriakan Mas Wahyu berasal. 

"Kamu menyuruh aku makan, makanan ayam seperti ini!" ucapnya sambil menunjuk oseng buncis di atas meja. 

"Ya Allah Mas, jangan pernah menghina makanan. Harusnya kamu bersyukur masih bisa makan. Di tempat lain masih banyak orang kelaparan karena tak bisa makan."ucapku di dalam hati. 

"Kenapa diam saja kamu!"teriaknya lagi. 

"Makan yang ada saja Mas. Uangnya tidak cukup untuk membeli ayam."

"Ya pakai uang kamulah, masak harus aku jelaskan!"

"Jahitan baru sepi Mas, maklum PPKM. Udah makan ini dulu Mas." ucapku pelan. 

Bukan aku tak ingin melawan hanya tak ingin menimbulkan pertengkaran. Kasihan Diana jika terus mendengar kedua orang tuanya bertengkar. 

BRAAK

Suara meja beradu dengan tangan. Mas Wahyu pergi begitu saja. Meninggalkan rumah sambil membanting pintu depan. Tak berapa lama suara motor menjauh dari halaman rumahku. 

Aku duduk terpaku di ruang makan. Bulir bening mengalir tanpa bisa kubendung. Rasa sesak terasa di dada setiap kali mengingat perlakuan Mas Wahyu terhadapku. 

Jangan lupa subscribe, like dan komen 💕

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Arief Edyono
kebayang si 200rb sebulan,masih nuntut makan enak wkwkkkkk
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
dua ratuus rebu seminggu ,mau makan enak ,hadeuhhh....laki2 apa bebegig sawah .
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status