Zulfa memandang suaminya–Rio, dengan pelbagai pertanyaan yang berputar dalam benaknya. Semenjak kepulangan Rio dari luar Kota, tingkahnya banyak berubah. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama handphone dari pada dengannya.
Padahal, dulu Rio lebih senang bermanja dengannya dari pada bermain ponsel. Bahkan, sekarang saat masakan Zulfa telah terhidang, Rio sama sekali tak meliriknya. Dia masih asyik tersenyum bersama benda pipih pintar miliknya. Ia merasa tak dihargai.
"Mas, makan lah makananmu! Akan tidak enak jika kamu membiarkannya terlalu lama," ujar Zulfa. Rio tersadar. Ia mengangguk dan tersenyum.
"Iya, Sayang. Makasih, ya." Rio menyendok mie ayam buatan istrinya.
"Masakanmu memang tiada tanding, Yang," puji Rio dengan mulut penuh makanan. Sesekali tersenyum memandang Zulfa.
Zulfa tersipu, kedua pipinya memerah. Bukan pertama kalinya ia dipuji seperti itu. Namun, mendengar berulang kali pujian dari Rio, ia merasa seperti wanita yang paling bahagia. Memiliki suami yang selalu memperlakukannya dengan baik, menjadi poin penting dalam hidup Zulfa.
Pernikahan Zulfa dan Rio telah berjalan tiga tahun. Belum ada keturunan yang lahir di dalam rumah tangga mereka. Namun, keharmonisan masih nampak jelas di antara keduanya. Tidak ada yang menyinggung soal keturunan. Bagi mereka, keturunan adalah hak Yang Maha Kuasa.
Selepas makan, saat Zulfa mencuci piring ia mengernyit heran. Rio telah berganti pakaian dengan memakai pakaian kantor. Padahal, jam telah menunjukkan angka lima.
"Mau kemana, Mas?" Zulfa bertanya sambil menghampiri Rio yang sudah terlihat tampan dan rapi. Aroma parfum menguar menusuk indra penciumannya.
"Aku mau keluar sebentar, Sayang. Barusan klienku telepon. Dia ngajak ketemu buat membahas masalah bisnis di kantor," tutur Rio. Ia menangkup kedua pipi Zulfa, saat melihat wajah Zulfa berubah muram.
"Kenapa nggak besok aja, sih, Mas? Mas kan baru pulang dua jam yang lalu. Aku kan masih kangen," protes Zulfa dengan bibirnya yang manyun. Ia merasa kesal, karena waktu Rio untuknya mulai berkurang.
Rio mendekatkan wajahnya. Ia tersenyum, lalu bibirnya mengecup lembut bibir kemerahan Zulfa. Seketika, wajah Zulfa berubah bak kepiting rebus.
"Kenapa? Malu, ya?" goda Rio.
"Apa, sih, Mas. Enggak, kok," sanggah Zulfa sambil menutupi kedua pipinya.
"Kita sudah menikah hampir tiga tahun loh, Yang. Kenapa masih malu-malu?" Rio mendekap Zulfa yang kini membelakanginya.
"Jangan berpikir macam-macam. Aku hanya akan fokus bekerja untuk masa depan kita. Tidak untuk yang lainnya. Fokuskan pikiranmu dengan hal-hal yang positif. Oke?" bisik Rio tepat di telinga Zulfa.
Zulfa berbalik. Ia memeluk Rio dengan penuh sayang. "Maaf, Mas. Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh denganmu," ucapnya, jujur.
"Itu hanya perasaanmu saja," kata Rio sambil mengusap rambut panjang Zulfa. Dikecupnya puncak kepala Zulfa berkali-kali.
Zulfa mengangguk. Walaupun dalam hati ia masih bimbang. Hatinya merasa bahwa ada yang disembunyikan oleh Rio. Namun, melihat ketulusan Rio, semua pikiran buruk tentang suaminya berhasil ia singkirkan.
"Aku berangkat dulu, ya. Jaga dirimu," kata Rio setelah meyakinkan Zulfa
Zulfa kembali mengangguk. Ia lantas mencium punggung tangan Rio dan mengantarkannya sampai ke depan pintu.
"Apakah kamu nanti pulang malam?" tanya Zulfa. Ia masih tak rela jika Rio pergi lagi. Meninggalkannya sendirian di rumah.
"Paling jam sembilan aku sudah di rumah."
Zulfa merasa ragu mendengar jawaban Rio. Namun, ia hanya bisa diam. Tak dapat mengungkapkan isi hatinya yang terus gelisah tak menentu.
Rio memasuki mobil dan mengendarainya hingga keluar halaman. Zulfa memandang mobil berwarna silver itu hingga hilang dalam pandangannya.
Zulfa teringat bahwa tadi belum merapikan pakaian Rio yang berada di dalam koper. Karena, sepulangnya Rio dari luar kota, mereka menuntaskan rindu yang telah memuncak layaknya suami istri.
"Berat banget, sih, kopernya," gerutu Zulfa saat mengangkat koper milik Rio.
Zulfa mengernyit heran saat mengeluarkan pakaian Rio. Pakaian milik Rio masih terlihat rapi, seolah belum terpakai sama sekali. Namun, sekali lagi ia menepis pikiran buruk yang melintas di kepalanya. Mungkin saja, sebelum pulang, Rio sudah me-laundy semua pakaiannya.
Dengan perasaan tak menentu, Zulfa mengeluarkan satu per satu pakaian Rio dan menatanya di lemari. Dahinya kembali mengernyit heran. Saat mencium aroma parfum wanita.
Ya, Zulfa yakin jika ia menciun aroma parfum. Aroma parfum ini bukanlah miliknya. Lalu, milik siapa? Apalagi aromanya semakin menguar saat pakaian di koper Rio tinggal separuh.
Saat Zulfa mengangkat satu pakaian yang tersisa, senyum di bibirnya terbit. Ia melihat ada sebuah lingerie berwarna merah yang masih terbungkus rapi. Apakah Rio akan memberikan dia kejutan malam ini? Membayangkannya saja, pipi Zulfa kembali merona.
Dengan hati-hati, ia meletakkan kembali lingerie itu ke dalam koper. Ia akan menunggu Rio memberikan langsung padanya. Diletakkannya koper tersebut kembali ke tempatnya.
***
Bu Salma menanti kedatangan putranya, Rio. Dua minggu yang lalu Rio berpamitan bahwa akan ditugaskan di Kalimantan. Dengan bangga, beliau mengizinkan dan mendoakan.
"Yah, Rio seharusnya sudah pulang. Tapi, kenapa dia belum ke sini, ya?" ujar Bu Salma.
Pak Setyo yang tengah memotong rumput di belakang rumah hanya menjawab," Ya, tentunya dia masih kangen-kangenan sama istrinya, Bu. Sudahlah, nanti juga ke sini. Jangan diangen-angen terus."
"Ya mau gak diangen-angen gimana? Wong dia anak lelakiku satu-satunya," omel Bu Salma.
Pak Setyo hanya geleng-geleng menanggapi sikap istrinya.
***
Waktu berjalan begitu cepat. Zulfa menunggu Rio pulang dengan hati berdebar. Apakah malam ini, Rio akan mengajaknya kembali bermain di peraduan? Setelah melihat lingerie itu, tak henti-hentinya, wajahnya tiba-tiba memanas dan disertai oleh debaran jantung yang tak keruan.
Zulfa mengecek ponselnya. Berharap Rio menghubunginya untuk menanyakan apa yang sedang ia lakukan. Seperti dulu ... Rio selalu bertanya, sedang apa, sudah makan belum atau kata-kata rindu dan romantis.
Tetapi, harapan hanyalah angan. Zulfa kembali kecewa karena tak mendapatkan satu pesan pun yang ia tunggu. Apakah Rio sesibuk itu? pikirnya.
Zulfa memutuskan menunggu di ruang tamu saat jam telah menunjuk angka sembilan. Sore tadi, Rio berkata bahwa jam sembilan akan sampai di rumah. Tetapi, kenyataannya tak sesuai.
"Kenapa kamu belum pulang, Mas?" Tiba-tiba muncul rasa khawatir dalam hati Zulfa.
Ia takut jika sesuatu yang buruk menimpa suaminya. Apakah suaminya sampai tujuan dengan selamat? Atau kah ia kembali pulang tanpa kendala?
Zulfa memutuskan menelpon Rio untuk memastikan. Namun, hanya sambungan telepon yang terdengar. Tak ada sahutan sama sekali walau Zulfa mencoba beberapa kali.
Zulfa bingung sekaligus khawatir. Ia mondar-mandir di depan pintu menunggu kedatangan Rio. Sesekali matanya menatap layar ponsel, siapa tahu Rio akan mengabarinya.
Satu jam berlalu, tetapi tetap tak ada kabar. Kedua mata Zulfa begitu berat. Ia bersandar di sofa dengan mata yang begitu berat, seolah ada beban yang membuat matanya tak kuat terbuka. Tanpa sadar, ia pun terlelap.
***
Zulfa mengerjapkan mata berkali-kali saat mendengar suara gedoran pintu. Ia menajamkan pendengaran saat suara pria memanggil namanya berulang-ulang.
"Zuulfaaaaa ... bukaa pintunyaa!" teriaknya.
"Mas Rio?!" gumam Zulfa. Ia segera berlari ke pintu.
"Benar, itu Rio. Mengapa aku tidak mendengar deru mobilnya tadi? Apa aku terlalu terlelap tadi?" batin Zulfa.
"Mas, kamu baru pulang?" tanya Zulfa seraya melirik jam dinding yang jarumnya bertengger di angka dua belas.
"Iya, Yang. Maaf, ya. Tadi Mas ngobrol sama teman-teman sampai nggak tahu waktu," jelas Rio.
Zulfa melongok ke depan. "Ke mana mobilmu, Mas?" tanyanya.
"Eumm ... anu, itu ... mobil masih di bengkel soalnya tadi mesinnya ada yang korslet," jawab Rio, terbata-bata.
"Lalu kamu barusan pulangnya gimana?"
"Di anter sama temenku, Yang. Sudah, yuk kita masuk. Aku ngantuk sekali," ujar Rio. Kedua matanya memang sudah tampak merah. Zulfa mengangguk, meski ia tak percaya dengan jawaban Rio. Namun, untuk terus bertanya, Zulfa tak tega.
"Mas, kenapa tadi saat aku telepon kamu nggak jawab?" todong Zulfa setelah mereka merebahkan diri di peraduan.
"Aku nggak pegang hape. Hapeku tadi ada di mobil. Ketinggalan! Maaf, ya," jawab Rio sambil mengusap rambut panjang Zulfa.
Tak berselang lama, suara dengkuran halus terdengar. Rio telah terlelap dengan posisi memunggungi Zulfa. Zulfa tersenyum kecut. Padahal, ia menunggu Rio memberikan lingerie yang ia temukan di koper sore tadi. Tapi ...
"Apakah dia berniat memberikannya pada wanita lain?" gumamnya.
Zulfa menghela napas, mengusir rasa sesak yang perlahan hadir. Entah mengapa, ia merasa bahwa Rio membohonginya. Ia merasa dia tidak pergi bekerja.
Lalu ... mobilnya? Aneh sekali jika tiba-tiba ada di bengkel. Padahal, ia tahu mobil itu baik-baik saja.
Zulfa memerjamkan mata, berharap besok semua pertanyaannya ini akan mendapatkan jawaban.
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a