"Aku berangkat dulu. Kamu hari ini sarapan sendiri, ya. Aku buru-buru soalnya." Rio turun dari tangga dengan tergesa-gesa dengan tangan kanannya yang terus menyisir rambut.
Zulfa bingung dengan sikap Rio. Padahal waktu masih terlalu pagi untuk bekerja. Ayam tetangga pun masih bergulung di peraduan mengerami telurnya. Bahkan, matahari belum nampak bangun dari peraduan.
"Kenapa pagi sekali, Mas?" tanya Zulfa dengan tatapan tak suka. Kedua matanya menatap Rio tajam.
"Iya. Habis gimana, ya... Klienku dari Kalimantan baru sampai hari ini. Dia ngajak ketemu sekarang juga," jelas Rio.
"Tapi ... kenapa kamu dandan gitu?"
"Maksudmu aku harus pakai kaos dan celana bokser?"
Zulfa mendesah. "Maksudku kenapa rambutmu klemis dan wangi parfummu semerbak kayak gini? Kamu gak lagi bohongin aku kan, Mas?" Zulfa memberikan tatapan menyelidik.
Rio terkekeh. "Ingat perkataanku kemarin, kan?" Ia tersenyum lantas mengecup kening Zulfa. "Aku berangkat, jaga dirimu!"
Zulfa diam. Ia tak berniat menjawab suaminya. Hatinya menolak percaya dengan perkataan Rio. Tapi, rasa cintanya mengalahkan segalanya. Jadi, ia hidup dalam keterpaksaan untuk percaya pada Rio.
"Kamu naik apa? Bukannya mobilmu masih di bengkel?" teriak Zulfa.
"Aku naik taksi online. Tadi udah pesan. Mungkin mobilnya nanti udah pulang, Yang. Aku berangkat!" seru Rio berjalan tergesa-gesa.
Bulir air mata lolos dari kedua mata lentik Zulfa. Ia memandang aneka hidangan di meja makan. Makanan yang telah ia masak dengan susah payah tak disentuh sama sekali oleh Rio. Ada bandeng presto kesukaan Rio, sayur nangka, dan sambal pindang. Semuanya adalah menu kesukaan Rio.
"Ternyata memasak semua ini hanyalah sia-sia." Zulfa menjatuhkan diri di kursi. Kedua tangannya ia jadikan tumpuan untuk menutup wajahnya. Ia menangis, merasa kecewa sebesar-besarnya pada Rio.
Bahkan, sampai berganti hari Rio masih belum juga memberikan lingerie merah itu pada Zulfa. Apakah Rio tidak sadar bahwa Zulfa sudah membongkar seluruh isi kopernya? Apa Rio belum membuka kopernya? Apa memang pakaian dalam kopernya belum pernah dipakai?
Zulfa menarik napas dalam-dalam, agar rasa sesak di dadanya bisa berkurang. Untuk saat ini, ia akan berusaha berpikir positif dan bersikap sewajarnya. Biarlah nanti ia akan mencari bukti untuk firasatnya selama ini.
Jika firasatnya memang benar. Tentu ia tak akan tinggal diam. Apalagi, melibatkan urusan hati. Zulfa paling anti dengan namanya pengkhiatan. Karena ia pernah merasakannya. Dulu ... sebelum menilah dengan Fikri.
***
Suara ketukan pintu dan bel saling beradu. Zulfa yang baru saja selesai mencuci baju dan menjemurnya bergegas keluar dengan celemek yang masih melingkar di tubuhnya. Rambutnya pun tergelung ke atas. Mirip sekali seperti seorang asisten rumah tangga.
"Ibuuukkk?!" seru Zulfa saat melihat sang Bu Umi–Ibunya datang berkunjung. Tanpa basa-basi, ia memeluk Bu Umi.
"Aku kangeeenn banget... tumben Ibu datang sepagi ini?" ujar Zulfa dengan manjanya bak seorang anak kecil.
"Kalau kangen kenapa nggak datang ke rumah Ibuk?" Bu Umi memasang wajah cemberut. Meski, beliau sendiri juga memendam rasa rindu yang begitu besar pada putri semata wayangnya itu.
"Hehehe... maaf." Zulfa menciumi pipi ibunya berkali-kali, hingga membuat Bu Umi merasa kegelian. "Masuk, yuk, Buk." Ia lantas menggandeng lengan ibunya dan masuk beriringan.
"Rio mana, Zul?" Bu Umi bertanya setelah menaruh tas kresek berisi buah melon dan semangka. "Kok, ibuk nggak lihat?" lanjutnya.
"Oh ... Mas Rio udah berangkat, Buk!" Zulfa melepas celemek yang masih terpasang dan menggantungnya di dinding dapur.
"Kok, pagi sekali berangkatnya?" Bu Umi mengernyit. Beliau paham, bahwa biasanya menantunya berangkat tak sepagi ini. Jika biasanya, Bu Umi datang jam delapan Rio masih di rumah. Mengapa sekarang jam setengah tujuh malah sudah berangkat?
"Iya. Soalnya ada pertemuan penting sama kliennya." Zulfa mengupas melon buah tangan dari ibunya dan memotong-motongnya menjadi beberapa bagian.
Bu Umi menatap sekeliling rumah anak dan menantunya yang terasa sunyi. Tak ada celoteh anak kecil sama sekali. Sungguh, rumah anaknya bagai tak ada kehidupan. Dingin.
Tanpa terasa air mata beliau merembes dan jatuh mengenai pipinya. Jauh di lubuk hati, Bu Umi kasihan kepada putrinya. Bagaimana jika nanti Rio akan berpaling ketika belum ada benih yang tertanam di rahim Zulfa? Sungguh, sebagai seorang ibu, membayangkannya saja, beliau tak akan sanggup. Beliau tak kuat, jika hal buruk terjadi pada putrinya.
"Buk, lain kali kalau ke sini nggak usah bawa apa-apa. Apalagi melon sama semangka
... kan berat." Perkataan Zulfa menyadarkan Bu Umi dari lamunan. Beliau bergegas menyeka air mata dengan kedua tangannya."Nggak papa, Nak. Kan melon sama semangka kesukaanmu," sahut Bu Umi. Beliau menghampiri putrinya yang hampir selesai memotong melon.
"Semangkanya nggak usah di potong. Nanti saja kalau suamimu datang," tegur Bu Umi kala melihat Zulfa hendak memotong semangka.
"Ibuk nggak pengen nyoba?" tawar Zulfa.
Bu Umi menggeleng, lalu tersenyum. "Enggak ... buat kalian saja."
"Ya udah, ayo makan dulu, Buk. Tadi aku udah masak banyak. Tapi belum tersentuh sama sekali," kata Zulfa sambil tersenyum kecut. Perih itu kembali hadir menyerang hatinya. Mengingat bagaimana tadi ia bangun pagi dan berbelanja lantas langsung berperang dengan kompor dan alat masak lainnya.
"Lah memangnya, Rio tadi nggak sarapan?" tanya Bu Umi, heran.
"Enggak. Nggak sempet," jawab Zulfa.
Bu Umi mengangguk-angguk. "Kamu sendiri sudah makan?" tanya beliau ketika melihat kegelisahan dalam diri Zulfa.
"Belum, Buk. Tadi aku masih beresin rumah sama nyuci baju. Jadi, belum sempet makan," jelas Zulfa. "Kita makan, yuk, Buk!" ajaknya.
Bu Umi mengangguk. Zulfa sedikit lega. Setidaknya, masakannya telah tersentuh. Tidak mengapa jika Rio tak memakannya. Setidaknya, ada ibunya yang memakan hasil jerih payahnya setelah berjam-jam bergelut di dapur.
"Zulfa anakku?" Bu Umi memegang tangan Zulfa.
Zulfa mendongak, menatap wajah ibunya yang mulai terlihat menua. Namun, di usia ibunya yang sekarang, ia masih belum bisa memberikan seorang cucu. Tiba-tiba ia merasa, bahwa ia benar-benar tak berguna.
"Kenapa, Buk?"
"Apa kamu ... baik-baik saja?" tanya Bu Umi dengan begitu lembut seraya menggengfam tangan Zulfa.
"Tentu saja, Buk. Aku selalu baik," kata Zulfa. Tangan kanannya menyentuh tangan kiri Bu Umi yang menggenggamnya. Kini, kedua tangan ibu dan anak itu menyatu dalam satu genggaman. Mengalirkan sentuhan kasih sayang yang terasa hangat.
"Aku adalah ibumu. Setiap kemana pun kamu melangkah, ibu bisa mendengarnya. Setiap tarikan napasmu, ibu bisa merasakannya. Lalu, jika sekarang kamu sedang gelisah mengapa ibu tidak bisa tahu?" Setetes bulir bening jatuh dari mata Bu Umi untuk kedua kalinya.
Zulfa menggigit bibir bawahnya. Ya, itulah ibunya yang selalu memahami setiap isi hatinya. Walaupun ia tak pernah mengatakannya. Ia menghapus air mata Bu Umi dengan kedua telunjuknya.
"Buk, ibuk bicara apa, sih? Aku nggak papa. Beneran deh. Aku hidup bahagia di sini. Berdua dengan Mas Rio," jawab Zulfa.
"Apakah ... apakah Rio tidak pernah menyinggung soal keturunan padamu?"
Deg!
Hati Zulfa bagai dihantam palu. Namun, ia berusaha tegar di hadapan sang ibu. Rio memang tak pernah menyinggung tentang masalah keturunan. Tetapi, ia ingat jika Rip berubah sikap padanya. Apakah sikapnya beberapa minggu ini berubah karena alasan itu?
"Nggak pernah, Bu. Mas Rio begitu baik padaku. Ia tak pernah menyinggung masalah keturunan. Baginya, keturunan itu hak preogratif Allah. Dia mencintaiku seutuhnya. Tak pernah sekali pun menyalahkanku tentang belum adanya keturunan dalam rumah tangga kami," jelas Zulfa dengan yakin, agar Bu Umi tak merasa gelisah dan khawatir.
"Syukurlah kalau begitu. Ibuk lega mendengarnya."
Zulfa bangkit dan menghampiri Bu Umi. Ia berlutut di bawah ibunya. Menyandarkan kepalanya di paha sang ibu. Seketika rasa nyaman dan hangat mengalir ke setiap darah Zulfa.
Bu Umi mengusap kepala Zulfa dengan sayang. Beliau memahami tentang cobaan yang tengah diberikan pada putrinya. Allah mengujinya dengan cara menunda kehadiran sang buah hati.
"Ibuk selalu mendoakanmu. Semoga Allah segera memberikan kalian keturunan," ucap Bu Umi.
Zulfa mengangguk dengan tetap dalam posisinya. Tak berani mengangkat wajahnya yang kini bersimbah air mata. Ia mengamini setiap doa yang dipanjatkan Bu Umi untuknya.
***
Rio pulang larut malam. Ia berjalan masuk ke kamar tanpa memedulikan Zulfa yang tertidur di sofa karena lelah menunggunya.
Zulfa yang mendengar suara langkah kaki terbangun. Saat melihat ke atas, lampu di lantai telah padam.
"Mas Rio?" batin Zulfa. Ia lantas melangkah ke kamar atas. Dilihatnya Rio sudah tertidur pulas di ranjang.
Hati Zulfa terasa tercubit. Ia terkekeh pelan, hatinya benar-benar terasa teriris. Rio benar-benar keterlaluan kali ini!
"Bukankah kamu melihatku tertidur di sofa, Mas? Kenapa kamun tidak mencoba membangunkanku atau sekadar menyelimutiku? Apa hatimu sudah mati untukku?" Zulfa menatap nanar wajah Rio dalam dengkuran halusnya.
Ia merebahkan diri di samping Rio, menjaga jarak karena hatinya yang rapuh, semakin lapuk.
Memiliki seorang suami, namun hidup bagaikan seorang janda. Itulah yang Zulfa rasakan kini. Ia merasa bahwa ada jarak yang terbentang lebar di antara ia dan Rio."Sebenarnya kamu kenapa, Mas?" lirih Zulfa berucap. Ditatapnya wajah Rio yang terlihat tenang dalam dengkuran halusnya. Dadanya naik turun secara teratur, pertanda ia benar-benar terlelap. Mungkin, ia memang kelelahan.Sesekali, senyum di bibir Rio terukir seolah ia tengah memimpikan hal yang bahagia. Wajahnya begitu tampan. Hal yang membuat Zulfa takut jika ketampanan yang dimiliki suaminya itu akan menjadi bumerang untuknya.Mungkin, sekarang.'Apa kamu sedang memimpikanku, Mas?' batin Zulfa bertanya sendiri. Pikiran negatif selalu melintas dalam kepalanya. Apakah sekarang ia tengah terbuai mimpi sedang bersama wanita lain?Entahlah, ia hanya bisa menebak-nebak.Ia teringat tentang pesan-pesan sang Ibu. Agar tak
"Dia ... selingkuhanmu, kan?" tuduh Zulfa dengan tatapan tajam dan mata merah usai menangis.Rio membuang muka. Ia merasa malas berdebat tengah malam, khawatir jika ada tetangga yang lewat lalu mendengarnya. Orang yang tidak menyukainya akan menyebarkan gosip yang tidak-tidak jika perdebatannya dengan Zulfa didengar."Jangan menuduhku selingkuh. Aku tak akan pernah melakukan itu padamu!" jawab Rio dengan tegas dan penuh penekanan."Jangan bohong, Mas! Aku merasa selama beberapa hari ini sikapmu berubah! Kamu berangkat sebelum aku bangun, terus aku sudah lelah memasak malah kamu nggak makan sedikit pun! Menoleh pun tidak! Apa kamu tau gimana rasanya, Maaass?" Zulfa meraung sambil menepuk-nepuk dadanya. Mengungkapkan amarah dan sesak dalam dadanya.Rio bergeming. Ia hanya menatap istrinya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Sejujurnya ia iba, namun ia tak bisa apa-apa."Lalu, sekarang ... kenapa rambutmu basah? Kamu nggak pernah loh mandi tengah
"Kenapa nomor hape wanita itu kamu beri nama Azka? Kenapa?"Zulfa menatap kepergian suaminya. Entah pergi berkerja atau ... berselingkuh.Ia sudah menyiapkan rencana untuk hari ini. Dirogohnya hape dalam saku roknya, lantas menghubungi seseorang untuk bekerja sama menjalankan misinya."Aku tunggu. Berangkatlah sekarang!" titah Zulfa pada seseorang di seberang telepon.Zulfa bergegas ke kamarnya untuk berganti baju. Ia memakai celana jeans, kecamata, dan juga topi. Rambut yang biasa ia ikat kini dibiarkan tergerai.Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Cukup berbeda. Tak akan ada orang yang tau jika itu dirinya. Zulfa tersenyum, merasa senang karena sebentar lagi ia bisa membongkar kebusukan suaminya. Semoga saja!Saat suara bel terdengar, Zulfa bergegas turun setelah mengenakan sweater merah yang telah lama tersimpan dalam lemari. Rio tak akan curiga, karena ia tak pernah teliti dengan baju yang dimiliki Zulfa.
"Aku bersedia menjadi ... istri keduamu. Jika kamu belum bisa menceraikannya."Seketika darah Zulfa mendidih. Hatinya remuk, bagai dihantam ombak yang besar lalu terseret mengahantam bebatuan. Setetes demi setetes air mata turun hingga membasahi kedua tangannya.Ia yakin, wanita yang menelponnya waktu itu adalah yang kini sedang bicara dengan Rio. Wanita bernama Amara itu dengan tanpa rasa berdosa dan tanpa rasa malu, meminta Rio untuk menjadikannya istri kedua."Jangan gila, Ra. Aku tidak suka punya dua istri. Bisa repot aku nanti," sahut Rio. Namun, disertai dengan kekehan."Kalau begitu, ceraikan saja istrimu. Toh dia nggak ada gunanya. Gak bisa hamil, kan?" kata Amara yang begitu menohok.Fikri datang dan segera merapatkan kursinya di samping Zulfa. Dirangkulnya Zulfa dari samping, namun Zulfa menolak. Ia masih waras untuk tidak menerima dekapan pria lain disaat statusnya masih seorang istri."Kamu masih mau di sini?" bisik Fikri.
Rio pulang dengan wajah berseri-seri. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Zulfa yang memahami apa penyebabnya hanya tersenyum miring. Ia akan terus berakting seperti orang yang tak tahu apa-apa."Assalamu'alaikum, Yang," salamnya."Wa'alaikum salam. Baru pulang?" balas Zulfa sambil meraih tangan Rio seperti biasanya."Iya. Oh, ya. Aku bawain makanan buat kamu. Nih!" Rio menyodorkan makanan pada Zulfa.Zulfa tersenyum saat menerimanya. Namun, ketika membaca nama pada kantong plastiknya, seketika wajahnya kembali datar. Rio membelinya di restoran tempat di mana Zulfa melihatnya bertemu dengan wanita lain."Aku sudah kenyang, Mas. Kamu makan aja, ya. Soalnya aku nggak masak buat makan sore ini," kata Zulfa. Bagaimana ia bisa memakannya, melihatnya saja darahnya kembali mendidih."Wah, padahal aku tadi beli ini karena teringat sama kamu, Yang.""Maaf, ya,"
"Ada hubungan apa kamu dengan suamiku?" Kedua mata Zulfa tak lepas menatap Amara.Ternyata, nyali Amara menciut saat bertatap muka secara langsung dengan Zulfa. Berbeda sekali saat membicarakannya di belakang. Kejam dan menusuk!"Jawab!" Sentakan Zulfa membuat tubuh gadis berkulit putih itu terlonjak."Aku dan suamimu hanya berteman, Zulfa. Hubungan kami hanya sebatas teman bisnis saja." Amara mulai menjawab. Meski kedua tangannya bergetar."Oh, ya. Bukankah aku memintamu menjawab dengan jujur ... Amara?" Satu alis Zulfa naik."Aku sudah berkata jujur," tegas Amara.Zulfa mengangguk-angguk. Ia bersikap sesantai mungkin meski hati terasa bergejolak ingin memaki-maki."Kamu adalah wanita yang cantik, Amara. Aku yakin, banyak pria yang ingin memilikimu. Tapi, kukira kamu hanya menyukai pria beristri saja." Zulfa kini berjalan-jalan sembari melihat-lihat foto yang terpajang di setiap dinding."Zulfa! Aku sudah bilang, a
"Sayang, kamu belum tidur?" Rio yang baru saja masuk ke kamar, mendapati Zulfa tengah berdiri menghadap jendela."Kita cerai saja, Mas!"Kedua tangan Rio yang hendak membuka kancing kemejanya seketika terhenti. Ia menatap Zulfa yang masih setia menghadap jendela, untuk memastikan bahwa ia salah dengar. Namun, Zulfa tetap bergeming di tempatnya."Maksud kamu apa, Sayang?""Kita cerai saja. Aku tidak ingin tinggal dengan pria yang telah mengkhianatiku." Ucapan Zulfa terdengar pelan. Namun, mampu menusuk relung hati Rio."Aku nggak salah dengar, kan?" Rio masih meyakinkan apakah Zulfa benar-benar mengucapkan kata cerai."Aku yakin kalau kamu nggak tuli, Mas!" ketus Zulfa. Ia berbalik menatap Rio tajam. Wajahnya begitu dingin seolah tak dapat disentuh."A-apa kamu tahu semuanya?" Rio melempar tanya dengan hati-hati, meski ia sudah tahu rahasianya sudah terbongkar.Zulfa melengos, ia melangkah ke ranjang dan mengeluarkan
"Aku ingin cerai saja, Buuu ...."Zulfa terisak dalam pelukan sang Ibu, hatinya yang telah rapuh semakin lapuk saat berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia tak bisa bersikap tegar. Berhadapan dengan sang Ibu, membuatnya kembali seperti anak kecil yang membutuhkan belaian ketenangan dan pelukan kasih sayang."Ceritakan semuanya pada Ibu. Berbagilah kesedihanmu dengan Ibu, agar beban di hatimu bisa berkurang dan kamu bisa sedikit lega," tutur Bu Umi dengan tutur katanya yang selalu lemah lembut. Membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa tenang.Zulfa menceritakan semuanya, tentang perubahan sikap Rio, lingerie merah, serta wanita bernama Amara. Bu Umi mendengarkannya dengan sesekali menghela napas. Sebagai Ibu, tentu saja Bu Umi merasakan kekecewaan yang amat dalam pada Rio. Putri yang ia percayakan telah disakiti sedemikan dalam oleh pria yang beliau percaya."Sabar, Nak. Semua kejad