"Aku bersedia menjadi ... istri keduamu. Jika kamu belum bisa menceraikannya."
Seketika darah Zulfa mendidih. Hatinya remuk, bagai dihantam ombak yang besar lalu terseret mengahantam bebatuan. Setetes demi setetes air mata turun hingga membasahi kedua tangannya.
Ia yakin, wanita yang menelponnya waktu itu adalah yang kini sedang bicara dengan Rio. Wanita bernama Amara itu dengan tanpa rasa berdosa dan tanpa rasa malu, meminta Rio untuk menjadikannya istri kedua.
"Jangan gila, Ra. Aku tidak suka punya dua istri. Bisa repot aku nanti," sahut Rio. Namun, disertai dengan kekehan.
"Kalau begitu, ceraikan saja istrimu. Toh dia nggak ada gunanya. Gak bisa hamil, kan?" kata Amara yang begitu menohok.
Fikri datang dan segera merapatkan kursinya di samping Zulfa. Dirangkulnya Zulfa dari samping, namun Zulfa menolak. Ia masih waras untuk tidak menerima dekapan pria lain disaat statusnya masih seorang istri.
"Kamu masih mau di sini?" bisik Fikri.
Zulfa semakin menunduk. Ia sekuat tenaga menahan tangisnya agar tak menjadi isakan. Ia tak Hari ini, Zulfa telah kalah oleh wanita bernama Amara. Bahkan, ia telah dikhianati oleh suaminya.
"Entahlah, Ra. Aku nggak paham siapa sebenarnya yang bermasalah. Jujur saja, aku memang ingin sekali punya anak. Tapi ... memilih menceraikan Zulfa bukanlah keinginanku," kata Rio. Ada nada serius dalam ucapannya.
"Kenapa? Memangnya aku masih kurang untukmu setelah semua yang kita lakukan? Ingat, Rio! Istrimu lama-lama akan mengetahui hubungan gelap kita."
"Aku ... masih mencintai Zulfa."
Mendengar satu kalimat dari Rio, Zulfa berhenti menangis. Namun, ia tak bisa mentolerir perbuatan Rio padanya. Berselingkuh adalah hal yang paling ia benci.
"Cintamu akan hilang saat kamu benar-benar merindukan kehadiran seorang bayi, Rio. Pikirkan saja! Kedua orang tuamu pasti sering mendesakmu, kan? Apa kamu nggak kasihan sama mereka?"
"Sudahlah, Amara." Rio terdengar putus asa.
"Bawa aku pergi dari sini," lirih Zulfa, ia sudah tak kuat menahan gejolak amarah dalam hatinya. Ia merasa benar-benar telah dilupakan.
Fikri dengan sigap membantu Zulfa berdiri dan memapahnya keluar dari sana. Ia menghentikan langkahnya kala pelayan mengatarkan pesanannya.
"Pak, ini pesanan Anda," kata si pelayan. Ia melihat Fikri dengan tatapan heran, karena hendak pergi sebelum makan.
"Untukmu saja. Makanlah, tadi sudah kubayar, kan?" sahut Fikri. Ia lantas kembali melangkah dan tak mempedulilan panggilan pelayan tersebut.
Dalam mobil, Zulfa mengeluarkan segala lara hatinya. Derai air mata deras mengalir, hingga membuat mata dan hidungnya memerah.
"A--ku nggaak nyang--kaa ... a-kan seperti ini," ucapnya terbata-bata. Sesekali ia mengelap air mata yang terus mengalir di pipinya.
"Keluarkan ... keluarkan semua isi hatimu," kata Fikri sambil mengusap punggung Zulfa.
"Me-ngapaa, Rio tega ... sama aku," isaknya.
"A-apaa karena aku nggak hamil-hamil? Apa karena itu?"
Zulfa menarik napas, agar sesaknya berkurang. Namun, bukannya berkurang, rasa sesak itu kian bertambah saat mengingat bahwa ia memang tak bisa hamil. Isakannya semakin jelas kentara.
"Dia pria yang bodoh!" umpat Fikri.
Zulfa tak merespons. Pikirannya masih sangat kacau. Ia tenggelam dalam lautan kesedihan karena merasakan sakitnya dikhianati untuk kedua kalinya.
"Dia telah menyia-nyiakan wanita sepertimu dan lebih memilih wanita murahan seperti itu." Fikri terkekeh.
"Kau mau kuantar pulang?" tawarnya. Zulfa mengangguk. Ia tak berselera untuk berkata-kata. Yang ingin ia lakukan saat ini adalah menangis sendiri di dalam kamarnya.
Mobil yang dikendarai Fikri melaju pelan, menyisir jalanan padat yang penuh kendaraan. Sejauh perjalanan, hanya keheningan yang menyelimuti Zulfa dan Fikri.
Zulfa masih belum bisa menerima semua kenyataan pahit yang menimpa rumah tangganya. Rumah tangga yang selama ini ia kira akan tetap harmonis dan baik-baik saja, nyatanya hancur. Ya ... hancur.
Mobil telah berhenti tepat di depan rumah Zulfa setelah beberapa menit melaju.
"Terima kasih, Fik. Aku akan menghubungimu lagi nanti," kata Zulfa sebelum turun.
"Iya. Aku harap kamu tidak melakukan hal yang bodoh!"
Zulfa menatap Fikri. "Aku masih waras untuk tidak melakukan tindakan bodoh!" sahutnya. Fikri terkekeh sebagai jawaban.
Zulfa segera turun. Ia melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan hati kacau. Sedangkan Fikri, ia menunggu gadis itu masuk sebelum melajukan mobilnya.
Zulfa melangkah naik dengan langkah gontai. Kedua kakinya lemas, seperti tak mampu menopang tubuhnya. Air matanya tak lagi keluar, semua sudah terkuras habis.
Di saat-saat seperti ini, ia tak punya tempat untuk bersandar. Jika saja ia memiliki buah hati, tentunya itu akan menyembuhkan sedikit lukanya.
Ting!
Pesan w******p masuk, membuat layar hapenya menyala menampilkan nama Fikri di sana. Pria itu ... seharusnya ia tak hadir di saat hubungan Zulfa dan Rio sedang kacau.
Dibukanya pesan dari Fikri yang seketika membuat matanya melebar sempurna.
[Aku pernah mengalah, karena Rio adalah sahabatku. Aku merelakanmu, karena kuyakin bahwa Rio bisa membuatmu bahagia. Tapi sekarang, aku tak akan diam saat dia menyakitimu. Tunggu aku datang menjemputmu.]
Zulfa berdecih. Entah pesan itu sebuah rayuan atau sebuah hiburan. Namun, pesan itu malah membuatnya semakin gelisah. Ada rasa sesal, karena melibatkan Fikri dalam masalahnya.
Ia pernah mencintai Fikri denga setulus hatinya. Namun, Fikri pergi meninggalkannya. Meski rasa sakit itu telah hilang dan berganti dengan rasa penasaran, Zulfa tetap tak ingin mengungkit apalagi bertanya.
Ia sudah cukup repot dengan masalahnya saat ini.
***
Zulfa sedang memilih dan memilah bahan-bahan yang akan dibeli untuk kebutuhan dapur. Hari ini, ia belanja di pasar tradisional dengan menaiki ojek. Biasanya, ada Rio yang selalu siap siaga mengantarnya. Namun, kini dia harus terbiasa sendiri.
Ia menawar dagangan layaknya seorang pembeli. Dan setelah harga sudah deal di kedua pihak, ia pun membayarnya. Namun, wajahnya berubah pias saat ia tak menemukan dompetnya.
"Loh, dompetku mana!" Zulfa merogoh semua tas dan sakunya. Namun, nihil. Ia tak menemukannya. Padahal, ia ingat sebelum ke toko bumbu itu, dompetnya masih ada.
"Bu, sebentar ya. Kayaknya dompet saya ketinggalan di toko yang tadi," kata Zulfa pada Ibu pemilik toko.
"Yaelah, Mbak! Udah nawar kayak gitu malah gak jadi! Bilang aja uangnya gak ada!" gerutu Si Ibu.
"Maaf, Bu. Beneran uangnya ketinggalan. Bentar lagi saya balik lagi, kok." Tanpa menunggu jawaban si Ibu, Zulfa berlari ke toko sebelumnya.
Ia bertanya pada Bapak pemilik toko. Apakah melihat dompetnya apa tidak.
"Wah, saya nggak lihat, Mbak! Kalau lihat ya udah saya simpan!" kata si Bapak. Zulfa mengangguk lesu, lantas ia berterima kasih.
"Terus aku pulangnya gimana ini," gumam Zulfa.
Zulfa terpaksa pulang dengan berjalan kaki. Meski ia tahu jika ia akan sampai rumah lebih lama.
Peluh membasahi tubuhnya karena panas matahari begitu terik. Kepalanya berdenyut-denyut karena silaunya sinar mentari yang mengenai kepalanya. Ketika hendak menyebrang jalan, tiba-tiba ada mobil yang hendak menabraknya.
Zulfa berteriak, sebelum akhirnya pingsan karena merasakan dehidrasi yang begitu berat.
Ketika membuka mata, ia langsung bangun saat menyadari ia tengah berada di dalam mobil. Kepala yang masih dirasa berdenyut tak ia hiraukan kala kedua matanya menatap nyalang ke arah depan. Di mana seorang pria duduk dengan tatapan lurus ke depan.
"Ka-kamu?"
"Bagaimana kabarmu?"
Pria bermata tajam setajam mata elang itu tersenyum dengan senyuman yang sama. Seperti tiga setengah tahun yang lalu. Sebelum Zulfa memutuskan untuk lebih memilih Rio.
***
Pertemuan yang tak disengaja dengan Fikri, membuat Zulfa menjadi bimbang. Pria itu masih memberikan segudang perhatian meski dia pernah terluka karenanya. Kini, ia berkata demikian melalui pesan.
Ia segera menghapus pesan-pesan dari Fikri. Ia tak berniat membalasnya. Ia takut, akan melukai perasaan pria baik itu dan juga melukai dirinya sendiri.
Sekarang, ia harus kembali fokus pada tujuannya. Menemui wanita bernama Amara itu dan berlanjut menuntut penjelasan pada Rio. Dan selanjutnya, biar keadaan yang menjawab bagaimana kelanjutan rumah tangga Zulfa dan Rio.
Rio pulang dengan wajah berseri-seri. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Zulfa yang memahami apa penyebabnya hanya tersenyum miring. Ia akan terus berakting seperti orang yang tak tahu apa-apa."Assalamu'alaikum, Yang," salamnya."Wa'alaikum salam. Baru pulang?" balas Zulfa sambil meraih tangan Rio seperti biasanya."Iya. Oh, ya. Aku bawain makanan buat kamu. Nih!" Rio menyodorkan makanan pada Zulfa.Zulfa tersenyum saat menerimanya. Namun, ketika membaca nama pada kantong plastiknya, seketika wajahnya kembali datar. Rio membelinya di restoran tempat di mana Zulfa melihatnya bertemu dengan wanita lain."Aku sudah kenyang, Mas. Kamu makan aja, ya. Soalnya aku nggak masak buat makan sore ini," kata Zulfa. Bagaimana ia bisa memakannya, melihatnya saja darahnya kembali mendidih."Wah, padahal aku tadi beli ini karena teringat sama kamu, Yang.""Maaf, ya,"
"Ada hubungan apa kamu dengan suamiku?" Kedua mata Zulfa tak lepas menatap Amara.Ternyata, nyali Amara menciut saat bertatap muka secara langsung dengan Zulfa. Berbeda sekali saat membicarakannya di belakang. Kejam dan menusuk!"Jawab!" Sentakan Zulfa membuat tubuh gadis berkulit putih itu terlonjak."Aku dan suamimu hanya berteman, Zulfa. Hubungan kami hanya sebatas teman bisnis saja." Amara mulai menjawab. Meski kedua tangannya bergetar."Oh, ya. Bukankah aku memintamu menjawab dengan jujur ... Amara?" Satu alis Zulfa naik."Aku sudah berkata jujur," tegas Amara.Zulfa mengangguk-angguk. Ia bersikap sesantai mungkin meski hati terasa bergejolak ingin memaki-maki."Kamu adalah wanita yang cantik, Amara. Aku yakin, banyak pria yang ingin memilikimu. Tapi, kukira kamu hanya menyukai pria beristri saja." Zulfa kini berjalan-jalan sembari melihat-lihat foto yang terpajang di setiap dinding."Zulfa! Aku sudah bilang, a
"Sayang, kamu belum tidur?" Rio yang baru saja masuk ke kamar, mendapati Zulfa tengah berdiri menghadap jendela."Kita cerai saja, Mas!"Kedua tangan Rio yang hendak membuka kancing kemejanya seketika terhenti. Ia menatap Zulfa yang masih setia menghadap jendela, untuk memastikan bahwa ia salah dengar. Namun, Zulfa tetap bergeming di tempatnya."Maksud kamu apa, Sayang?""Kita cerai saja. Aku tidak ingin tinggal dengan pria yang telah mengkhianatiku." Ucapan Zulfa terdengar pelan. Namun, mampu menusuk relung hati Rio."Aku nggak salah dengar, kan?" Rio masih meyakinkan apakah Zulfa benar-benar mengucapkan kata cerai."Aku yakin kalau kamu nggak tuli, Mas!" ketus Zulfa. Ia berbalik menatap Rio tajam. Wajahnya begitu dingin seolah tak dapat disentuh."A-apa kamu tahu semuanya?" Rio melempar tanya dengan hati-hati, meski ia sudah tahu rahasianya sudah terbongkar.Zulfa melengos, ia melangkah ke ranjang dan mengeluarkan
"Aku ingin cerai saja, Buuu ...."Zulfa terisak dalam pelukan sang Ibu, hatinya yang telah rapuh semakin lapuk saat berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia tak bisa bersikap tegar. Berhadapan dengan sang Ibu, membuatnya kembali seperti anak kecil yang membutuhkan belaian ketenangan dan pelukan kasih sayang."Ceritakan semuanya pada Ibu. Berbagilah kesedihanmu dengan Ibu, agar beban di hatimu bisa berkurang dan kamu bisa sedikit lega," tutur Bu Umi dengan tutur katanya yang selalu lemah lembut. Membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa tenang.Zulfa menceritakan semuanya, tentang perubahan sikap Rio, lingerie merah, serta wanita bernama Amara. Bu Umi mendengarkannya dengan sesekali menghela napas. Sebagai Ibu, tentu saja Bu Umi merasakan kekecewaan yang amat dalam pada Rio. Putri yang ia percayakan telah disakiti sedemikan dalam oleh pria yang beliau percaya."Sabar, Nak. Semua kejad
Rio memandang setiap sudut rumahnya dengan hati terluka. Sejak kepergian Zulfa semalam, ia merasa rumah ini bagai tak ada kehidupan. Biasanya, ia mendengar suara penggorengan ataupun mendapati Zulfa tengah memasak. Namun, kini semua telah sirna.Pagi ini, Rio berencana akan menemui orang tuanya dan mengatakan semuanya. Entah bagaimana reaksi mereka jika mengetahui rumah tangga anak mereka telah hancur.Tok-tok-tok!!!Suara ketukan pintu menyadarkan Rio dari lamunannya. Ia bergegas membuka pintu dengan senyum terukir jelas. Ia berharap jika itu Zulfa yang kembali lagi.Akan tetapi, senyum di bibir Rio seketika pudar, saat Amara berdiri di depannya dengan wajah ditekuk. Bibirnya manyun, jelas tergambar bahwa ia tengah kesal."Amara?""Aku ingin kita segera menikah!" todongnya dengan menyerahkan sebuah bungkusan kertas berwarna putih biru.Dahi Rio m
Sudah dua minggu Zulfa tinggal bersama sang Ibu. Dan sejak itu, Fikri sering datang berkunjung dengan membawa berbagai macam cemilan dan buah-buahan."Fik, tolong jangan begini. Meski aku sudah pisah sama Mas Rio, tapi kami belum benar-benar bercerai," ujar Zulfa saat Fikri menemuinya dengan membawa sekotak coklat berbentuk hati siang ini.Bu Umi keluar dengan membawa nampan yang di atasnya sudah ada teko berisi teh dan dua cangkir. Beliau menaruhnya di meja dan mengisi cangkir tersebut lalu memberikannya ke Fikri."Maafkan saya, Bu ... saya selalu merepotkan Ibu setiap kali ke sini," ucap Fikri sambil menunduk."Nggak papa, Le. Diminum dulu tehnya," kata Bu Umi ramah. Fikri mengangguk, lantas menyesap tehnya perlahan-lahan."Kamu nggak kerja hari ini?" tanya Bu Umi."Saya kerja, Bu. Pulang kerja langsung ke sini. Maaf, ya jika kalian bosan karena katemu saya terus-terusan." Fikri terkekeh.Zulfa tersenyum samar. Dalam hatinya, ia sen
Pak Setyo berniat untuk mengunjungi Zulfa untuk meminta maaf. Beliau sudah teramat menyayanginya seperti anak sendiri. Setiap kali beliau sakit, Zulfa lah yang selalu memperhatikan, mulai dari makanan hingga pakaian yang dikenakannya.Sedangkan Bu Salma, beliau lebih senang dengan dunianya sendiri. Sebenarnya, Bu Salma juga menyayangi Zulfa. Namun, kenyataan bahwa Zulfa tak kunjung hamil membuat beliau sedikit malas pada menantunya itu."Mau ke mana, Yah?" tanya Bu Salma. Beliau sedang memasak sop iga untuk Amara.Rio bilang, bahwa ia dan Amara akan datang malam ini."Mau menemui Zulfa. Kamu mau ikut?" tawar Pak Setyo sambil memakai jaket kulitnya."Ngapain, sih, Ayah mau ke sana? Dia kan udah bukan menantu kita lagi," ketus Bu Salma."Itu menurutmu! Tapi, aku tetap menganggapnya anakku," tegas Pak Setyo
Zulfa telah resmi menjadi janda sejak masa nifasnya usai. Dan sejak tiga bulan ini, Fikri tidak pernah mengunjunginya. Entah mengapa Zulfa merindukannya. Padahal, ia sendiri yang menginginkan agar Fikri tidak datang ke rumahnya."Melamun lagi?" tegur Bu Umi yang baru saja selesai memetik daun salam untuk bumbu masakannya."Aku mau nyari kerja, Bu. Sudah saatnya aku nyari uang." Zulfa beranjak dari kursinya dan berdiri di ambang pintu. Matanya menerawang jauh ke depan. Ia berniat untuk bisa mencari nafkah."Mau kerja apa? Nyari kerja kalau nggak dibantu susah, Nak," tukas Bu Umi."Ya ... aku akan usaha, Bu. Yang penting Ibu doakan aku terus." Zulfa tersenyum menatap sang Ibu."Iya itu selalu ibu lakukan untukmu. Oh, ya. Lama sekali, ya, Fikri nggak datang," celetuk Bu Umi. Zulfa seketika terdiam."Apa dia marah sama kita, ya. Mungkin, waktu itu dia marah karena kita melarangnya agar nggak ke sini sama sekali," tukas Bu Umi. "Ibu jadi merasa n