Share

Terbongkar

last update Last Updated: 2021-09-15 21:23:02

"Aku bersedia menjadi ... istri keduamu. Jika kamu belum bisa menceraikannya."

Seketika darah Zulfa mendidih. Hatinya remuk, bagai dihantam ombak yang besar lalu terseret mengahantam bebatuan. Setetes demi setetes air mata turun hingga membasahi kedua tangannya. 

Ia yakin, wanita yang menelponnya waktu itu adalah yang kini sedang bicara dengan Rio. Wanita bernama Amara itu dengan tanpa rasa berdosa dan tanpa rasa malu, meminta Rio untuk menjadikannya istri kedua.

"Jangan gila, Ra. Aku tidak suka punya dua istri. Bisa repot aku nanti," sahut Rio. Namun, disertai dengan kekehan.

"Kalau begitu, ceraikan saja istrimu. Toh dia nggak ada gunanya. Gak bisa hamil, kan?" kata Amara yang begitu menohok.

Fikri datang dan segera merapatkan kursinya di samping Zulfa. Dirangkulnya Zulfa dari samping, namun Zulfa menolak. Ia masih waras untuk tidak menerima dekapan pria lain disaat statusnya masih seorang istri.

"Kamu masih mau di sini?" bisik Fikri.

Zulfa semakin menunduk. Ia sekuat tenaga menahan tangisnya agar tak menjadi isakan. Ia tak  Hari ini, Zulfa telah kalah oleh wanita bernama Amara. Bahkan, ia telah dikhianati oleh suaminya.

"Entahlah, Ra. Aku nggak paham siapa sebenarnya yang bermasalah. Jujur saja, aku memang ingin sekali punya anak. Tapi ... memilih menceraikan Zulfa bukanlah keinginanku," kata Rio. Ada nada serius dalam ucapannya.

"Kenapa? Memangnya aku masih kurang untukmu setelah semua yang kita lakukan? Ingat, Rio! Istrimu lama-lama akan mengetahui hubungan gelap kita."

"Aku ... masih mencintai Zulfa."

Mendengar satu kalimat dari Rio, Zulfa berhenti menangis. Namun, ia tak bisa mentolerir perbuatan Rio padanya. Berselingkuh adalah hal yang paling ia benci. 

"Cintamu akan hilang saat kamu benar-benar merindukan kehadiran seorang bayi, Rio. Pikirkan saja! Kedua orang tuamu pasti sering mendesakmu, kan? Apa kamu nggak kasihan sama mereka?"

"Sudahlah, Amara." Rio terdengar putus asa.

"Bawa aku pergi dari sini," lirih Zulfa, ia sudah tak kuat menahan gejolak amarah dalam hatinya. Ia merasa benar-benar telah dilupakan.

Fikri dengan sigap membantu Zulfa berdiri dan memapahnya keluar dari sana. Ia menghentikan langkahnya kala pelayan mengatarkan pesanannya.

"Pak, ini pesanan Anda," kata si pelayan. Ia melihat Fikri dengan tatapan heran, karena hendak pergi sebelum makan.

"Untukmu saja. Makanlah, tadi sudah kubayar, kan?" sahut Fikri. Ia lantas kembali melangkah dan tak mempedulilan panggilan pelayan tersebut.

Dalam mobil, Zulfa mengeluarkan segala lara hatinya. Derai air mata deras mengalir, hingga membuat mata dan hidungnya memerah. 

"A--ku nggaak nyang--kaa ... a-kan seperti ini," ucapnya terbata-bata. Sesekali ia mengelap air mata yang terus mengalir di pipinya.

"Keluarkan ... keluarkan semua isi hatimu," kata Fikri sambil mengusap punggung Zulfa.

"Me-ngapaa, Rio tega ... sama aku," isaknya.

"A-apaa karena aku nggak hamil-hamil? Apa karena itu?"  

Zulfa menarik napas, agar sesaknya berkurang. Namun, bukannya berkurang, rasa sesak itu kian bertambah saat mengingat bahwa ia memang tak bisa hamil. Isakannya semakin jelas kentara.

"Dia pria yang bodoh!" umpat Fikri.

Zulfa tak merespons. Pikirannya masih sangat kacau. Ia tenggelam dalam lautan kesedihan karena merasakan sakitnya dikhianati untuk kedua kalinya.

"Dia telah menyia-nyiakan wanita sepertimu dan lebih memilih wanita murahan seperti itu." Fikri terkekeh.

"Kau mau kuantar pulang?" tawarnya. Zulfa mengangguk. Ia tak berselera untuk berkata-kata. Yang ingin ia lakukan saat ini adalah menangis sendiri di dalam kamarnya.

Mobil yang dikendarai Fikri melaju pelan, menyisir jalanan padat yang penuh kendaraan. Sejauh perjalanan, hanya keheningan yang menyelimuti Zulfa dan Fikri.

Zulfa masih belum bisa menerima semua kenyataan pahit yang menimpa rumah tangganya. Rumah tangga yang selama ini ia kira akan tetap harmonis dan baik-baik saja, nyatanya hancur. Ya ... hancur.

Mobil telah berhenti tepat di depan rumah Zulfa setelah beberapa menit melaju. 

"Terima kasih, Fik. Aku akan menghubungimu lagi nanti," kata Zulfa sebelum turun.

"Iya. Aku harap kamu tidak melakukan hal yang bodoh!"

Zulfa menatap Fikri. "Aku masih waras untuk tidak melakukan tindakan bodoh!" sahutnya. Fikri terkekeh sebagai jawaban.

Zulfa segera turun. Ia melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan hati kacau. Sedangkan Fikri, ia menunggu gadis itu masuk sebelum melajukan mobilnya.

Zulfa melangkah naik dengan langkah gontai. Kedua kakinya lemas, seperti tak mampu menopang tubuhnya. Air matanya tak lagi keluar, semua sudah terkuras habis.

Di saat-saat seperti ini, ia tak punya tempat untuk bersandar. Jika saja ia memiliki buah hati, tentunya itu akan menyembuhkan sedikit lukanya.

Ting!

Pesan w******p masuk, membuat layar hapenya menyala menampilkan nama Fikri di sana. Pria itu ... seharusnya ia tak hadir di saat hubungan Zulfa dan Rio sedang kacau.

Dibukanya pesan dari Fikri yang seketika membuat matanya melebar sempurna.

[Aku pernah mengalah, karena Rio adalah sahabatku. Aku merelakanmu, karena kuyakin bahwa Rio bisa membuatmu bahagia. Tapi sekarang, aku tak akan diam saat dia menyakitimu. Tunggu aku datang menjemputmu.]

Zulfa berdecih. Entah pesan itu sebuah rayuan atau sebuah hiburan. Namun, pesan itu malah membuatnya semakin gelisah. Ada rasa sesal, karena melibatkan Fikri dalam masalahnya.

Ia pernah mencintai Fikri denga setulus hatinya. Namun, Fikri pergi meninggalkannya. Meski rasa sakit itu telah hilang dan berganti dengan rasa penasaran, Zulfa tetap tak ingin mengungkit apalagi bertanya.

Ia sudah cukup repot dengan masalahnya saat ini.

***

Zulfa sedang memilih dan memilah bahan-bahan yang akan dibeli untuk kebutuhan dapur. Hari ini, ia belanja di pasar tradisional dengan menaiki ojek. Biasanya, ada Rio yang selalu siap siaga mengantarnya. Namun, kini dia harus terbiasa sendiri.

Ia menawar dagangan layaknya seorang pembeli. Dan setelah harga sudah deal di kedua pihak, ia pun membayarnya. Namun, wajahnya berubah pias saat ia tak menemukan dompetnya.

"Loh, dompetku mana!" Zulfa merogoh semua tas dan sakunya. Namun, nihil. Ia tak menemukannya. Padahal, ia ingat sebelum ke toko bumbu itu, dompetnya masih ada.

"Bu, sebentar ya. Kayaknya dompet saya ketinggalan di toko yang tadi," kata Zulfa pada Ibu pemilik toko.

"Yaelah, Mbak! Udah nawar kayak gitu malah gak jadi! Bilang aja uangnya gak ada!" gerutu Si Ibu.

"Maaf, Bu. Beneran uangnya ketinggalan. Bentar lagi saya balik lagi, kok." Tanpa menunggu jawaban si Ibu, Zulfa berlari ke toko sebelumnya.

Ia bertanya pada Bapak pemilik toko. Apakah melihat dompetnya apa tidak.

"Wah, saya nggak lihat, Mbak! Kalau lihat ya udah saya simpan!" kata si Bapak. Zulfa mengangguk lesu, lantas ia berterima kasih.

"Terus aku pulangnya gimana ini," gumam Zulfa.

Zulfa terpaksa pulang dengan berjalan kaki. Meski ia tahu jika ia akan sampai rumah lebih lama. 

Peluh membasahi tubuhnya karena panas matahari begitu terik. Kepalanya berdenyut-denyut karena silaunya sinar mentari yang mengenai kepalanya. Ketika hendak menyebrang jalan, tiba-tiba ada mobil yang hendak menabraknya.

Zulfa berteriak, sebelum akhirnya pingsan karena merasakan dehidrasi yang begitu berat.

Ketika membuka mata, ia langsung bangun saat menyadari ia tengah berada di dalam mobil. Kepala yang masih dirasa berdenyut tak ia hiraukan kala kedua matanya menatap nyalang ke arah depan. Di mana seorang pria duduk dengan tatapan lurus ke depan.

"Ka-kamu?" 

"Bagaimana kabarmu?" 

Pria bermata tajam setajam mata elang itu tersenyum dengan senyuman yang sama. Seperti tiga setengah tahun yang lalu. Sebelum Zulfa memutuskan untuk lebih memilih Rio.

***

Pertemuan yang tak disengaja dengan Fikri, membuat Zulfa menjadi bimbang. Pria itu masih memberikan segudang perhatian meski dia pernah terluka karenanya. Kini, ia berkata demikian melalui pesan.

Ia segera menghapus pesan-pesan dari Fikri. Ia tak berniat membalasnya. Ia takut, akan melukai perasaan pria baik itu dan juga melukai dirinya sendiri.

Sekarang, ia harus kembali fokus pada tujuannya. Menemui wanita bernama Amara itu dan berlanjut menuntut penjelasan pada Rio. Dan selanjutnya, biar keadaan yang menjawab bagaimana kelanjutan rumah tangga Zulfa dan Rio.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
mayank adrian
simpan ke tempat ibu sertifikat rumahmu, amankan,apalagi klo sudah atas namamu.jgn biarkan pelakor yg menempatinya.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ceroboh, dungu. pantas aja diselingkuhi
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bahagia Usai Berpisah   Ending

    Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.

  • Bahagia Usai Berpisah   Kenyataan Pahit

    Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m

  • Bahagia Usai Berpisah   Keterpurukan

    "Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m

  • Bahagia Usai Berpisah   Kehamilan Zulfa

    Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k

  • Bahagia Usai Berpisah   Hasil Tes Rio

    Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s

  • Bahagia Usai Berpisah   Awal Terkuak

    "Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status