Share

BAB 5 [REVISI]

Tidak terasa seminggu telah berlalu, Amara tinggal di kediaman sang majikan. Senyuman bahagia terus terukir di bibir. Sudah tujuh hari juga, ia tak melihat batang hidung cucu Ica, lelaki yang menurutnya tampan tapi menyebalkan. Padahal Kean telah berjanji pada Omanya.

"Dasar cucu durhaka," pikir Amara.

Wanita itu kini tengah menyiram tanaman langka yang harganya sangat mahal. Suara deru mobil dan klason membuat pikiran yang berkelana buyar. Saat melihat gerbang, ia lekas mematikan keran dan berlari untuk membuka pagar besi tersebut. Setelah kendaraan mobil, dia segera menutup kembali lalu melanjutkan kegiatan yang tertunda.

"Oma di mana?" tanya Kean.

Lelaki itu setelah memarkirkan kendaraan langsung berjalan ke tempat Amara berdiri. Ia bertanya dengan nada dingin.

"Di dalam Tuan, Oma sedang sarapan," sahut Amara.

Amara hanya melirik sekilas lelaki tersebut. Saat mendapatkan jawaban dari wanita itu, Kean bergegas masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Oma kira kamu lupa jalan pulang ke sini," sinis Ica.

Perempuan itu berkata kala melihat Kean mendekat, ia menyudahi makannya dan lekas bangkit lalu menghampiri lelaki tersebut. Jeweran langsung di dapatkan oleh cucu semata wayang Ica.

"Oma ... jangan main jewer-jewer aja dong. Malu Kean, aku udah dewasa," tutur lelaki tersebut.

Sang Oma hanya menanggapi dengan senyum sinis, ia melepaskan jeweran itu saat melihat Amara masuk.

"Dewasa kok belum nikah!" sindir Ica.

Amara yang mendengar menutup mulut agar tak mengeluarkan suara tawa. Wanita itu berusaha bersikap biasa dan mendekati mereka.

"Oma udah selesai sarapan?"

Ica mengangguk mendengar pertanyaan Amara. Ia memandang wanita itu dengan tatapan lembut.

"Udah, Sayang."

Amara mengulum senyum apalagi saat wanita yang sudah berumur itu membelai rambutnya. Dia segera melirik lelaki yang menurutnya sangat menyebalkan.

"Tuan apa mau sarapan? Kalau enggak aku bakal beresin," tawar Amara.

Tangan wanita itu kini sedang mengambil piring bersih, kala mendapatkan anggukan kepala Kean. Ia segera duduk di kursi lalu menunggu Amara menyendokan hidangan.

"Boleh, perut ini juga minta diisi," sahut Kean.

lelaki itu merasa gengsi jika bilang kalau dirinya sedang kelaparan, lalu tak berselang lama bunyi perut Kean terdengar. Membuat dia segera membuang muka dan wajah memerah karena malu. Sedangkan Amara hanya mengulum senyum dan segera menyodorkan sepiring makanan yang sudah diisi berbagai hidangan di hadapan cucu Ica.

"Cobain masakan Amara cepet, enak semua lho. Pokoknya menggugah selera, pengennya nambah terus," seru sang Oma.

Setelah berkata demikian, Ica segera mendaratkan bokong di kursi menatap cucunya. Mendengar dirinya dipuji, Amara mengulas senyum kecil malu-malu. Sedangkan Kean melirii wanita tersebut membuat ia tersenyum sinis.

"Oma jangan terlalu memujinya, nanti dia besar kepala," seru Kean.

Amara memajukan bibir kala mendengar seruan Kean. Ia berdiri di samping Ica karena ingin mengetahui komentar lelaki tersebut karena melihat Kean mulai melahap makanan.

"Gila! Rasanya enak banget," batin lelaki itu berseru.

Kean menanggapi wajah Amara yang mulai mengembangkan senyuman saat melihat ia memakan hidangan ini. Dia segera menjaga ekpresi wajau agar terlihat biasa saja.

"Biasa aja kok, Oma. Oma aja yang terlalu membesar-besarkan," celetuk lelaki tersebut.

Wajah Amara langsung masam mendengar celetukan lelaki tersebut. Tetapi, ia masih menunggu Kean selesai melahap makanan, karena ia juga ingin mengisi perut. Saat sebentar lagi makanan yang di piring pria ini habis, ternyata Kean malah menyendok hidangan lagi.

"Cih! Tadi bilang biasa aja tapi sampe nambah gitu," cibir sang Oma.

Wanita yang lebih berumur dari mereka hanya memutarkan bola mata dengan malas, sedangkan Amara sedikit mengulas senyuman.

"Kean lagi lapar Oma, makanan mau enak atau enggak kalau lagi laper ya dimakan aja. Wajar dong kalau nambah, lagian makanan ini yang penting masih bisa ditelen dan masuk ke perut," sahut pria tersebut.

Dia tidak mau mengakui jika masakan Amara memang nikmat di lidah.

"Mara, kamu tunggu Kean sampai selesai sarapan. Habis itu cuci piring yang kotor. Kamu juga harus sarapan," perintah Ica.

Amara mengangguk mendengar perintah Ica.

"Siap, Oma."

Cucu sang majikan menyandarkan tubuh ke kursi saat selesai sarapan. Lelaki itu mengusap perut karena sangat kekenyangan, bahkan ia sampai bersendawa.

"Kenapa masakannya sangat lezat, sampe kembung ini perut," gerutunya pelan.

Amara melihat tangan Kean yang mengusap perut menyeringai.

"Perutnya kenapa, Tuan?" tanya perempuan itu.

Pria tersebut melirik geram pada Amara karena terus mengganggunya.

"Gak! kamu bikin mood ancur aja sih! saya pergi aja deh. Jangan lupa cuci piring setelah sarapan."

Amara memajukan bibir mendengar omelan cucu majikannya.

"Iya-iya, aku cuci piring dulu, Tuan."

Amara mengucapkan dengan nada ketus, ia melangkah pergi dengan piring kotor di tangannya.

"Dasar!" cibir Kean.

Kean bangkit dan pergi menuju kamar. Kala ia mengemudi tadi, lelaki itu baru ingat bahwa ini hari minggu. Akhirnya memilih melajukan kendaraan roda empat ke kediaman sang Oma.

Sesampai di kamar, ia langsung mengganti pakaian dan mencari di lemari baju. Setelah menemukan baju, ia lekas memakainya. Kaos lengan pendek dipadu jaket kulit dan celana lepis.

Selesai berpakaian, ia melirik jam yang menunjuk pukul setengah sembilan. Dirinya menghela napas dan mengulas senyum tipis. Hari ini ia ingin menghabiskan waktu dengan bersantai, bukan bersama berkas apalagi laptop. Melangkah pelan sambil sesekali bersiul, pergi mencari keberadaan Amara.

"Mara," panggil Kean.

Amara yang tengah melahap makanan di meja makan mendongak. Ia terpaku melihat penampilan lelaki itu.

"Iya, ada apa, Tuan."

Amara berkata dengan pelan, mungkin tidak terdengar oleh Kean. Karena wanita itu seperti terhipnotis oleh cucu majikannya.

"Buatin secangkir kopi, gula sedikit aja."

Kean yang tidak mendapatkan respon Amara, ia mendekat lalu menyentil kening wanita tersebut.

"Aduh! Sakit Tuan," pekik Amara.

Wanita itu mengusap dahinya, menbuat nasi yang di tangan menempel di kening. Kean mengulum senyum melihat hal tersebut, sedangkan Amara kembali mematung melihat lengkungan terbentuk di bibir lelaki dihadapan ini.

"Hey! Buatin secangkir kopi, gula sedikit aja. Antar ke taman. Jangan melamun terus kerjaannya."

Lelaki itu berkata dengan suara keras, membuat Amara terkejut. Ia langsung mengangguk secara spontan.

"Bagus, cepatlah! Tapi habiskan sarapanmu dulu," perintah Kean.

Lelaki itu melangkah meninggalkan perempuan yang tengah makan itu. Sedangkan Amara memandang kepergiannya.

"Dia tampan tapi sayang, nyebelin banget," gumam Amara.

"Tapi baik sih, nyuruh aku ngabisin sarapan dulu. Eh, tapi ... pasti dia takut diomelin Oma," celetuk Amara.

Wanita itu langsung memukul keningnya sendiri.

"Apa sih yang kamu pikirin, Mara!"

wanita itu mengomeli pada dirinya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status