Share

2. Baju Couple

"Mas, lebaran nanti kita beli baju couple sama Alina juga, ya," rengek Marwah istriku dan ini bukan kali pertama dirinya merengek hanya untuk sebuah baju baru di hari lebaran. Tepatnya ini adalah tahun ketiga kami menikah dan juga kali ketiganya dirinya merengek menginginkan baju lebaran.

Aneh memang istriku ini. Dirinya sudah dewasa sudah menjadi seorang ibu juga. Tapi kelakuannya masih saja mirip anak kecil.

"Puasa saja belum, ini kamu malah susah siap-siap minta baju baru. Pakai acara couple-an atau apa itu seragaman? Sudah mirip anak panti saja," gerutu pada istri.

Apakah aku mengiyakan keinginannya? Tentu saja tidak. Toh untuk lebaran tidak di wajibkan untuk memakai baju baru. Baju yang masih ada dan masih bagus juga banyak dan masih bisa dipakai. Buang-buang uang suami saja bisanya. Itu kalau istri gak tau suami cari uang itu susah.

Setelah mendapatkan jawaban dari ku tadi. Sudah tak terdengar lagi suaranya. Muka yang sebelumnya nampak sumringah kini telah berubah bagai jemuran yang habis diperas airnya. Lecek karena ditekuk-tekuk. Merajuk? Sudah biasa toh nanti juga akan luluh lagi. Emang dia gak butuh lagi sama suaminya.

Lebaran memang kebutuhan akan semakin bertambah. Aku sebagai suami yang bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik harus pandai-pandai mengatur uang.

Selain untuk kebutuhan bulanan di rumah. Aku juga mempunyai tanggungan uang kos yang harus aku bayar setiap bulannya. Aku tinggal terpisah dari keluarga. Aku bekerja di luar kota yang letaknya cukup jauh. Tiga setengah hingga empat jam perjalanan waktu yang harus aku tempuh. Untuk menyingkat jarak dan juga tenaga akhirnya aku putuskan untuk indekost. Dari tempat ku bekerja dengan tempat tinggal sementara hanya memakan waktu kurang lebih sepuluh menit.

Marwah sengaja aku tinggalkan di rumah ibuku. Meski awalnya dirinya sempat menolak dengan alasan aku dan dia bisa tinggal di rumah orang tuanya yang jaraknya lebih dekat ke tempat aku bekerja. Dia juga beralasan ada adik laki-laki ku yang menurut pendapat dia ipar adalah maut. Dikiranya adikku itu pembunuh apa sampai tega-teganya mengatakan jika ipar adalah maut.

Drama ini selalu saja terjadi. Entah kenapa istriku ini senang sekali menciptakan masalah untuk suaminya.

Aku libur kerja dan pulang tujuanku agar bisa berkumpul dengan keluarga. Melepaskan penat selama lima hari bekerja. Padahal aku pulang satu Minggu dua hari. Yaitu hari Sabtu dan Minggu. Dan hari ini adalah kepulangan ku setelah dua Minggu kami terpisah ruang karena aku mendapatkan jatah lembur hari Sabtu dan Minggu. Lumayan untuk tambahan kebutuhan hari raya.

.

Aku di kota tempat aku mengais rezeki tinggal satu atap dengan kakak kandungku. Meski demikian aku tetap dikenakan biaya tinggal di rumahnya. Dengan istilah nge-kos. Tidak hanya biaya bulanan yang dikenakan sebesar tiga ratus ribu. Tetapi juga biaya makan yang sebesar dua ratus ribu yang harus aku keluarkan. Meskipun aku jarang makan karena tidak sesuai dengan selera. Biaya tersebut tidak dapat di tangguhkan. Aku juga mengeluarkan uang lebih untuk ketiga keponakan ku yang tidak lain adalah anak-anak dari kakakku.

Dari seluruh total gajiku yang sebesar tiga juta. Satu setengah juta untuk aku berikan pada ibuku, wanita yang telah melahirkan dan juga merawat ku sedari dalam kandungan hingga sampai aku bisa menjadi seperti ini. Berkat perjuangannya pula aku bisa mengenyam pendidikan hingga bisa meraih gelar sarjana. Lima ratus ribu aku sisihkan untuk biasa kos dan juga makan. Untuk istri dan anakku cukup Dua ratus ribu untuk kebutuhan susu anak kami toh makan mereka juga ditanggung oleh ibuku dan sisanya untuk pegangan ku. Untuk keperluan yang tidak terduga. Biasanya untuk keperluan ketiga keponakan ku seperti yang jajan dan lainnya. Selama aku tinggal bersama dengan kakakku. Akulah yang biasa memenuhi kebutuhan mereka seperti uang jajan, sepatu baru, baju baru, tas baru, termasuk juga baju ketika hari lebaran. Tidak hanya tiga keponakan ku. Kakak perempuan ku juga tiap kali lebaran selaku minta jatah bahkan sebelum adiknya ini menikah. Sebenarnya kakakku dan juga suaminya adalah sama-sama bekerja dan di rumah mereka juga memiliki seorang asisten rumah tangga. Aku yang juga ikut tinggal di rumah mereka. Mau tidak mau harus turut membantu keuangan di rumah mereka dan juga membantu menjaga ketiga keponakan ku ketika kedua orang tuanya pergi bekerja. Kebetulan kami berbeda tempat kerja. Dan di tempat kerjaku sendiri di terapkan sistem shift.

.

Dua hari liburku ku habiskan untuk beristirahat di rumah. Besok subuh aku harus bersiap untuk kembali pergi mengais rezeki lagi.

Meskipun tidak menampakkan wajah di tekuknya. Marwah sepertinya masih merajuk pada suaminya ini. Tidak ada pembicaraan di antara kami berdua selama aku berada di rumah kecuali aku yang memulai terlebih dahulu, itupun dia bakal dengan jawaban yang teramat sangat singkat. Padahal setahuku Marwah bukan tipe perempuan cerewet ataupun banyak bicara namun selalu membuka suaranya ketika aku berada di dekatnya.

Pekatnya malam telah bergulir. Sang fajar pun telah menampakkan pesona. Aku sudah bangun dan berlomba dengan kokokan ayam jantan.

Tak lagi ku dapati keberadaan Marwah di ranjang tempat tidur kami. Yang tersisa hanya aku dan Alina---putri kami yang masih terlelap dan terbuai dalam mimpinya.

Aku segera beranjak dari ranjang kamarku ini. Meski rasa kantuk masih mendera dan mata pun belum seratus persen terbuka lebar.

Aku segera keluar dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Saat aku baru saja membuka daun pintu kamar ku ini. Bunyi spatula yang beradu dengan penggorengan terdengar jelas di telinga ini pun aroma masakan yang muncul dari pintu dapur telah hinggap di cuping hidung ku.

Meskipun merajuk dengan suaminya. Marwah tetap mengingat dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.

Tidak hanya menyiapkan makanan untuk sarapan ku dan bekal yang akan aku bawa ketempat kerja. Baju dan sepatu pun sudah ia persiapkan sebelumnya. Semua sudah terlihat rapi dan sepatu juga sepertinya sudah disemir olehnya.

"Kamu masak apa hari ini, Dek?" sapaku. Aku mendekat ke arahnya yang memunggungi ku. Tangannya masih lincah menari-nari di atas penggorengan.

"Ayam kecap," jawaban singkat yang keluar dari mulutnya. Dan tanpa sedikitpun melirik atau melihat ke arah suaminya. Marwah masih terus melanjutkan pekerjaannya.

Tak ingin mengganggunya. Aku beralih ke arah meja makan yang letaknya tidak jauh dari tempat istriku mengolah makan untuk penghuni rumah ini.

Satu cangkir kopi sudah tersaji di atas meja berbahan kayu yang ditutupi selembar kain berwarna marun dan bermotifkan bunga berwarna-warni.

Aku menarik satu buah kursi dari empat buah kursi kayu yang ada di samping meja. Mulai meraih cangkir kopi dan membuka tutupnya lalu ku sesap perlahan karena asapnya pun masih mengepul setelah penutupnya aku buka. Aku duduk tepat di belakang istriku yang posisinya masih memunggungi ku.

Heran, betah sekali Marwah merajuk pada suaminya ini hanya karena masalah sepele. Masalah baju lebaran yang masih satu setengah bulan lebih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status