Share

6. Keluarga Suamiku

Kedatangan keluarga dari saudara suamiku adalah hal yang paling membahagiakan karena bisa berkumpul bersama. Itu jika saudaranya tersebut memang memiliki pikiran dan perasaan yang masih waras dan seperti kebanyakan orang.

Tidak dengan kakak perempuan dari suamiku. Dengan adanya berita bahwa keluarga tersebut berkunjung ke rumah orang tuanya. Sama halnya, kabar buruk yang aku terima. Hari-hari burukku sudah menanti di depan mata. Bagaimana tidak. Tamu yang bagaimana ratu jika berkunjung di rumah ini. Semua pekerjaan rumah tak ada satupun dari mereka yang mau membantu.

Aku sudah mirip dengan b*bu di rumah ini. Tapi aku berbeda. Jika pembantu mendapatkan gaji setiap bulannya. Maka yang aku dapatkan hanya rasa lelah. Lelah lahir dan batin. Nafkah lahir sebagai hak ku, tidak aku peroleh dengan sepantasnya. Tapi aku dituntut untuk melakukan semua kewajiban ku.

Mungkin orang akan berpikir aku perempuan b*doh yang masih mau bertahan hidup dengan suami dan keluarga yang tidak punya hati dan mati perasaannya.

Aku sesungguhnya sudah sangat muak. Tapi apa boleh dikata. Jalan ini yang sudah kupilih. Mungkin dengan cara ini Allah sedang mengujiku. Mengujiku sebagai seorang perempuan yang sebagaimana ia menjalankan kewajibannya. Sebagai istri yang harus bisa meluruskan dan mengingatkan ketika suami berada di persimpangan. Dan aku masih bertahan karena alasan tersebut. Mencoba bersabar dan berdoa agar hati suamiku bisa luluh dan terbuka untuk melihat dan bisa membedakan baik buruknya, dan benar atau salahnya. Mengharap petunjuk dari -Nya semoga ada jalan untukku. Jalan di mana aku harus menentukan. Apakah aku harus mundur atau tetap teguh melangkah maju dan siap menerima segala ujian yang pasti akan datang menghadang.

Sedari pagi aku sudah berkutat dengan pekerjaan rumah dan merawat batita tanpa ada yang peduli.

Belum juga satu pekerjaan kelar. Pekerjaan lain sudah di sodorkan tanpa mau melihat batas wajar tenaga manusia.

Hanya air putih yang mengganjal perut ini sebagai menu sahur hari pertama ku di bulan puasa kali ini.

Aku masih bisa menahan rasa lapar karena sudah terbiasa untuk puasa. Tapi tidak untuk anakku bayi yang usianya baru menginjak dua tahun. Untung saja usai aku mandikan tadi Alina di ambil dan di asuh oleh Mbak Rina, tetangga depan rumah yang menikah sudah lebih dari lima tahun tapi oleh Allah memang belum di beri kepercayaan untuk memiliki momongan sendiri.

Mbak Rina adalah tetangga yang merupakan orang lain. Namun kasih sayangnya pada Alina lebih tulus dari nenek dan juga budenya sendiri.

"Wah, itu ada Riana sudah datang. Cepat kamu buatin minum!"

Meski suara itu di perdengarkan dengan tidak kasar. Namun hati ini terasa panas dan perih mendengar itu keluar dari mulut mertua ku sendiri. Apa aku tidak salah. Apa iya perempuan itu tidak puasa. Ingin menjawab tetapi takut salah.

Sedari pagi ini. Aku sudah lelah mengerjakan pekerjaan dapur. Apa lagi kalau bukan untuk mempersiapkan dan menyambut tamu agung.

Berbagai macam menu masakan kesukaan keluarga Mbak Nur telah ibu mertuaku perintahkan untuk mengolahnya. Makanan yang dengan seluruh tenaga aku kerahkan untuk mengolahnya. Namun tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mencicipinya.

Ibu mertua mengawasi sebagai mandor. Hanya wira-wiri. Selebihnya ia enakkan selonjor di depan tv.

Aku sebagai menantu tidak pernah di perhatikan. Justru perempuan lain yang belum tentu menjadi menantunya, sangat di ratu kan olehnya.

"Astaghfirullah hal adzim."

Aku hanya bisa mengelus dada. Dengan rasa tidak ikhlas aku mengerjakan aja yang sudah diperintahkan oleh yang punya rumah.

"Ya Allah semoga hamba -Mu ini segera kau berikan kemampuan untuk memilih istana sendiri," doa ku, yang selalu aku panjatkan. Aku minta dan aku selipkan di setiap sujud ku.

"Semoga Engkau segera membukakan pintu hati suami hamba-Mu ini. Engkau luluhkan hatinya yang sekeras batu. Dan Engkau tunjukkan jalan yang terbaik untuk masa depan rumah tangga kami, Aamiin."

Aku ingin segera keluar dari neraka yang berkedok rumah ini.

Segera mengerjakan apa yang sudah mertuaku perintahkan. Telat sedikit saja. Anjing di depan sudah pasti akan mengonggong. Siapa lagi kalau bukan adik bungsu suamiku. Pria pemalas yang sok-sokan mau nikah. Semoga ada perempuan yang betah hidup dengan laki-laki seperti dia. Tapi jodoh adalah cerminan diri. Jika dia modelnya seperti itu. Sudah bisa ditebak perempuan model apa yang pantas bersanding dengannya.

Satu buah es teh manis dan satu cangkir kopi segera aku antar sampai ruang tamu. Di sana sudah ada Reihan dan Riana.

Riana, wanita yang digadang-gadang akan menjadi menantu bungsu di rumah ini.

Perempuan dengan wajah yang tidak bersahabat kala berhadapan dengan ku, itu yang merasa dirinya paling cantik karena tidak punya cermin untuk berkaca.

Andai aku sama seperti saat gadis dulu dan belum menjadi istri dari mas Farhan. Tentu tampilan ku tidak akan memperihatinkan seperti ini.

"Mbak, ambilin calon aku makan. Aku juga sekalian. Bawa sekalian ke mari," perintahnya sudah mengalahkan seorang majikan.

"Kami bisa suruh calonmu itu ambil sendiri, Rei. Kerjaan ku masih banyak. Apa kalian itu hari ini hari puasa. Emang kalian berdua gak puasa?"

Tak perlu menunggu jawaban keluar dari mulut adik suamiku. Aku segera melangkah meninggalkan ruang tamu.

"A*@@##!"

Umpatan keluar dari mulut Reihan. Bukan pertama kali. Dan aku juga kenyang dengan segala umpatan dari adik iparku itu. Semoga semua yang ia ucapkan berbalik pada dirinya sendiri.

Mengadu pada suami. Itu sudah sering aku lakukan. Tak ada tanggapan aku hanya dianggap sebagai angin lalu. Hasutan dasi ibu dan kakaknya telah menutup mata hati suamiku. Di tambah ibunya yang selalu menutupi kekakuan busuk adiknya juga pandai memasang dua muka.

Aku yakin Allah tidak pernah tidur dan pasti melihat semua perlakuan buruk yang aku terima dari keluarga suamiku. Bukan dia buruk yang selaku aku panjatkan untuk mereka. Melainkan doa agar apa yang aku terima ini semua berbalik pada mereka sendiri.

Dari arah pintu dapur datang ibu mertua dan juga putra bungsunya yang masih terus mengumpat ke arahku.

"Wong ada tamu lho, Ndok. Mbok ya di ladenin. Gitu saja kamu males."

Ibu mertua datang menghampiri. Dengan memasang muka cemberut. Ibu mertuaku sendiri yang akhirnya terpaksa melayani putra dan calon menantunya itu.

Aku abaikan saja. Biar cemberut atau apa. Yang jelas aku sudah capek.

Aku sengaja mendiamkan ibu mas Farhan dan memilih melanjutkan membersihkan peralatan masak yang aku gunakan tadi.

Untung saja aku sudah sempat menyisihkan beberapa lauk untuk aku berbuka dan Alina nanti makan. Tak lupa juga sedikit lauk untuk aku kirimkan pada Mbak Rina yang sudah bermurah hati mau menjaga putri kecil ku, Alina.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status