Share

7. Sindiran Pedas

Sebelum masuk waktu dhuhur semua pekerjaan telah kelar. Aku segera memberikan diri karena keringat dan bau dapur yang sudah sangat melekat di kulit ini.

Usai bersih-bersih badan rencanaku akan segera menjemput putriku---Alina di rumah mbak Rina. Tak lupa lauk yang tadi aku masak sekalian aku antar juga kesana sebagai tanda terimakasih ku.

Sebelum keluar dari rumah ini. Aku pastikan dulu kondisi para penghuninya yang lain. Aku keluar dari kamar tak nampak satu orang pun di ruangan tersebut. Menuju ruang tamu pun sama. Kosong. Sedangkan kamar ibu mertua juga sudah tertutup pintunya. Motor Reihan yang biasa ia parkir di teras juga tidak kelihatan. Sepertinya sepasang sejoli itu memang sudah pergi entah ke mana.

Tak perlu buang banyak waktu. Bergegas aku ke dapur untuk mengambil bungkusan yang sudah aku persiapkan. Melangkah santai agar tidak membuat curiga dengan pasti aku keluar rumah dan langsung menuju rumah yang berada tepat di depan rumah mertuaku ini.

Usai mengantarkan makanan dan menjemput pulang Alina. Aku bergegas untuk kembali pulang ke rumah. Ingin sebenarnya berbasa-basi pada tetangga terlebih dahulu. Namun aku masih ingat bagaimana pandai nya mertua itu mengalah omongannya sehingga apapun yang ia ucapkan pada suamiku. Pasti mas Farhan akan langsung percaya begitu saja tanpa mau menyaring atau mencari tahu dulu kebenarannya. Aku tak mau menambah masalah lagi. Cukup tanpa mencari masalah. Masalah sudah datang diantar oleh keluarga siamiku. Niatku adalah ingin mengistirahatkan tubuh ini. Lelah sudah mendera sedari tadi.

Entah berapa lama aku terlelap dengan Alina yang berada di dalam dekapanku. Gadis kecilku yang tidak pernah rewel dan menyusahkan ibunya. Seolah dirinya sudah mengerti dengan bagaimana kondisi ibunya.

Aku terbangun sebelum masuk waktu asar. Setelah memberikan rumah serta peralatan bekas makan keluarga rasa majikan. Aku bergegas membersihkan Alina dan mendandaninya dengan pakaian yang masih layak. Aku sebut itu masih layak karena seumur hidupnya belum pernah ayah kandungnya sendiri membelikannya baju baru. Yang ada baju bekas keponakannya, baju yang mulai usang yang ia berikan tersebut. Alih-alih baju baru. Sekedar mengajak anak istrinya jalan -jalan pun itu tidak pernah. Alasannya ibu yang tidak memperbolehkannya. "Suami sudah capek kerja gak usah aneh-aneh minta jajan -jalan segala." Kalau sudah begitu. Sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Sudah tidak bisa ditawar lagi. Apalagi jika aku punya keinginan untuk menjenguk ke rumah orang tua. Pasti ada saja alasan yang dibuat oleh mertua ku itu untuk suamiku. Mulai dari berpura-pura sakit, suami capek gak usah digangguin, gak ada yang ngurus rumah kalau aku tinggal, sampai buang-buang duit juga pernah diungkapkan sebagai alasan untuk menghalangi niatku menjenguk orang tuaku sendiri.

Selesai mandi aku bergegas mempersiapkan diri untuk salat asar begitu juga dengan Alina---putri ku, ia akan mengikuti setiap gerakan yang aku lakukan. Hingga pada rakaat yang terakhir. Aku dibuat terlonjak begitu saja karena suara hentakan dari daun pintu yang sengaja dibuka paksa. Aku tahu itu perbuatan mas Farhan setelah salam ku ucapkan.

Apa aku akan menyambutnya dengan manis? Hatiku seolah masih belum bisa terima. Hanya menyambut uluran dan mencium tangannya. Begitu juga dengan Alina. Putriku lebih memilih ikut bersama ku setelah mencium tangan ayahnya. Ketimbang merengek hanya untuk minta duit gendong oleh ayahnya. Mungkin masih membekas di hati putri kecilku ini. Pernah suatu ketika ia menangis ingin minta di gendong oleh ayahnya sendiri. Namun dengan tiba-tiba ibu mertua keluar dari kamarnya. Membentak putriku yang masih juga rewel karena ayahnya belum juga menuruti keinginannya. Sakit. Tentu saja hatiku sangat sakit. Tidak hanya ibu mertua saja yang membentak putriku. Tetapi Reihan juga ikut membentak dan mengatai keponakannya sendiri.

"Han, itu Karin rewel. Coba kamu gendong dulu. Aku capek banget. Mas mu juga lagi rebahan pingin istirahat dulu."

Tanpa melihat ke arahku. Mbak Nur seenaknya menyuruh suamiku untuk momong putrinya yang memang dasarnya manja dan cengeng. Aku tidak pernah membiarkan putriku bermain dengan anak dari iparku. Selain nakal dan cengeng. Bisa-bisa anakku yang akan jadi bulan -bulanan orang dewasa karena menyebabkan anak yang cengeng itu menangis. Lebih baik aku kurung di kamar dengan mainannya yang hanya seadanya saja.

Tak ku pedulikan suami yang melihat ku seolah meminta persetujuan. Meski pun aku cegah toh percuma. Dia lebih mendengarkan keluarganya ketimbang aku.

"Wah, cepat kamu siapin makanannya Anak-anaknya pasti sudah lapar."

Ibu mertua datang ke kamarku. Tanpa permisi pintu dibuka begitu saja. Memerintah tanpa ada embel-embel kata tolong. Setelah berucap demikian. Langsung nyelonong pergi begitu saja.

Padahal ada ibunya. Tapi masih juga senang merepotkan orang lain. Dasar anak perempuannya saja yang pemalas. Dia yang punya anak. Orang lain yang di repotkan. Andai saja dia juga baik kepada Alina. Sudah pasti tanpa diminta pun aku pasti akan menyayangi anak-anaknya itu.

Dengan perasaan yang sedikit tidak ikhlas. Aku segera menuju ke dapur menyiapkan makanan untuk anak-anak sekalian juga untuk persiapan buka puasa nanti.

Aku mengajak Alina sekalian. Karena untuk menitipkan kepada mereka rasanya percuma. Pasti keberadaan putriku akan diabaikan. Sedangkan ayahnya sendiri pun sibuk dengan keponakan rewelnya itu.

"Dek, masak apa?"

Tanya mas Farhan yang tiba-tiba sudah di belakang ku.

Tak langsung ku jawab pertanyaannya tersebut. Hatiku semakin gondok ketika melihatnya masih mengendong keponakan nya itu. Sedangkan putrinya sendiri dibiarkan bermain sendiri di dapur sembari menunggu pekerjaan ibunya selesai.

Aku masih memanaskan capcay dan juga ayam kecap yang aku masak tadi. Sembari menyendokkan nasi ke atas piring.

"Mas lihat saja," ucapku tanpa menoleh hanya menunjuk ke atas kompor yang sudah ada dua panci berisi masakan yang ku masak tadi.

untuk ikan lele yang sudah aku marinasi tadi tinggal menggorengnya saja. Sedangkan untuk sambalnya juga sudah aku buat. Tinggal menyiapkan minuman saja. Satu piring berisi nasi dan satu potong paha ayam aku berikan pada mas Farhan untuk keponakannya. Dan dia piring lainnya aku antar ke ruang tengah.

Aku meletakkan dua piring itu di depan dia anak Mbak Nur yang sedang asik bermain game.

"Tante suapin," pinta Kiran yang merengek agar aku mau menyuapinya sedangkan dia mau lanjut bermain game nya.

"Maaf Kiran. Tante masih banyak kerjaan. Kamu sudah besar harus belajar makan sendiri."

Tak aku pedulikan permintaannya itu.

"Wah, sudah tahu Kiran nangis minta di suapi. Mbok jadi orang tua itu yang ngerti," tegur ibu mertua. Biarkan saja aku mau pura-pura tidak mendengarnya. Aku maklumi saja mata tuanya mungkin benar sudah mulai rabun. Tidak bisa membedakan mana orang sibuk mana yang enak-enakan.

"Sini, Ndok, maem sama Mbah uti saja. Tantemu itu memang malas. Gak sayang sama keponakan sendiri."

Masih terdengar sindiran pedas yang keluar dari mulut tuanya. Sebenarnya yang ia bicarakan barusan adalah gambaran dari putrinya sendiri.

Lebih baik aku segera ke dapur dan menyelesaikan semua pekerjaan ku sebelum masuk waktu adan magrib berkumandang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status