Share

Bertanya

Kudengar seseorang mengetuk pintu..tok tok tok

"Ibu, buka bu. Ini Nita sama kak Nisa sudah pulang bu" teriak seseorang di balik pintu. Sepertinya si bungsu.

Dengan langkah gontai aku terburu-buru membuka pintu, setelah kupastikan bahwa itu adalah kedua anakku, langsung ku peluk kedua anak perempuanku itu.

Aku sangat bersyukur, ternyata semua dugaanku terhadap bu Fika memang salah. Seketika hati ini merasa lega..

"Maaf bu, kami pulang terlambat. Kemarin kami.." ucapan Bu Fika terpotong 

"Sudahlah bu tak apa.. Mari masuk dulu. Saya buatkan sarapan. Pasti kalian semua belum sarapan 'kan?" ajakku pada mereka. Sambil mempersilahkan mereka masuk.

"Maaf bu, sebenarnya saya mau mampir. Tapi suami saya sudah terlambat untuk bekerja. Saya mohon maaf sekali lagi" tolak bu Fika dengan sangat pelan. Mungkin Bu Fika takut kalau aku tersinggung.

"Oh yasudah bu tidak apa-apa" ucapku.

"Kalau begitu saya pamit ya bu. Nita Nisa ibu pulang dulu ya. Kapan-kapan kita jalan-jalan lagi" pamit bu Fika. Nita dan Nisa mencium tangan bu Fika.

Kulihat belanjaan mereka sangat banyak.

Ku angkat satu-persatu semua belanjaan mereka.

"Kalian sudah makan? Ibu buatin makanan ya?" kulihat mereka sibuk dengan belanjaan masing-masing. Mereka bahkan tidak mendengarku berbicara. Tapi biarlah mungkin mereka sedang kegirangan.

Langsung, kubuatkan sarapan untuk mereka.

"Ini sarapan dulu, nanti di teruskan lagi ya" titahku pada kedua anakku.

Mereka makan dengan lahap, hari ini kubuatkan mereka telur gulung kornet, pemberian bu Fika.

Setelah selesai mereka mencuci tangan kemudian mencuci piring masing-masing. Itu sudah menjadi kebiasaan kami di rumah. Untuk mendidik mereka lebih mandiri.

"Bu, aku dibelikan ini sama bu Fika. Ada baju sekolah, sepatu, topi, kaus kaki, tas, sama peralatan menulis, bu. Semuanya sudah lengkap. Terus kemarin aku lihat sekolahannya, sekolahnya gedeee banget, halamannya luas" Nita memulai percakapan.

"Terus bu udah itu kita di ajak main, tempatnya jauh banget. Di sana dingin banget deh bu, beda sama di sini gerah. Kalo gak salah nama tempatnya puncak. Di sana banyak tempat bermain bu, aku sama Nita seneng banget . Banyak jajanan yang enak-enak. Tapi pas mau pulang, mobil Bu Fika mogok. Gak nyala-nyala. Nyari bengkel juga susah, jauh, udah gitu pada tutup. Terpaksa kita nginep di sana, Bu Fika menyewa penginapan. Aku sampe ga bisa tidur karena di sana dingin banget. Kemudian bu Fika membelikan jaket ini buat kita. Bu Fika baik banget deh bu. Apa yang Salsa mau, Bu Fika belikan juga buat kita. Tapi aku ga betah, inget terus sama ibu sama bapak jadi aku gak bisa tidur. Sampe akhirnya mobil bu Fika bisa nyala. Terus kita pulang deh" kali ini Nisa yang berbicara. Caranya bercerita, menandakan kalau Bu Fika orang yang tulus. Karena baru kali ini dia di ajak jalan-jalan.

Aku hanya tersenyum. Rasanya aku malu pada diriku sendiri karena sudah berpikiran buruk tentang bu Fika. Maaf kan aku ya Allah..

Bapak hanya menyimak, tak banyak bicara. Terlihat muka bapak memerah seperti menahan tangis. Mungkin saking terharunya.

Aku masih senang saat membayangkan mereka bermain kemarin. Hal yang tak pernah ku lakukan untuk kedua anakku itu.

"Bu, lihat deh bagus gak?" Si bungsu mencoba baju seragamnya yang masih berlebel. Saat ku lihat nama sekolahnya dari lengan seragam anakku. Bukannya itu adalah sekolah elit? Jangankan untuk membiayai sekolahnya. Untuk bekalnya satu hari saja masih kurang dari hasil keringatku menjadi kuli cuci. 

Kenapa bu Fika tidak bercerita padaku dulu, mungkin dengan begitu aku bisa menolak. Atau setidaknya  Nita dan Nisa tidak di sekolahkan di sekolah mahal itu.

Besok aku akan datang ke rumah bu Fika untuk menyelesaikan semuannya.

"Pak, ibu tidak mau menerima pemberian dari bu Fika terus. Ibu takut nantinya kita punya utang budi kepada mereka" aku mencoba bicara pada bapak.

"Bapak setuju sama ibu" bapak hanya menjawab dengan singkat. Sepertinya bapak sedang memikirkan sesuatu.

"Tapi ibu bingung bagaimana cara berbicara dengan bu Fika. Bu Fika saja selalu hati-hati kalau bicara dengan kita" aku mulai berfikir.

"Bicara saja, jangan takut. Kita punya hak untuk menolak. Bu Fika pasti mengerti kok. Bilang saja kalau bu Fika terus-terusan membantu kita, nanti kita bingung bagaimana cara menggantinya." bapak memberi penjelasan.

Aku sejenak berfikir.. Sepertinya benar kata bapak, aku harus berani bicara..

"Baiklah, besok ibu akan bicara dengan bu Fika." aku berlalu meninggalkan bapak.

Aku baru ingat, kalau aku akan menanyakan hal yang kemarin pada Nita.

Mereka masih asyik bermain, biarlah saja. Sepulang bermain akan ku tanyakan.

Kulihat satu-persatu barang pemberian Bu Fika, bila dihitung mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun bila aku mengumpulkan dari sisa gajiku.

"Bu, jangan terlalu di fikirkan. Sekarang ibu fokus saja sama kegiatan ibu, jangan sambil melamun. Tidak baik" ujar bapak.

Bapak sebenarnya belum tahu tentang apa yang Nita katakan pada temannya itu. Aku tak ingin fikiran bapak terganggu.

Aku harus memastikan dulu maksud dari pembicaraannya.

Siang hari mereka pulang, karena sudah saatnya makan siang.

"Kalian habis dari mana? Kebiasaan kalau sudah main lupa waktu. Kalian mau makan?" Tanyaku pada kedua anak perempuanku itu.

"Kita habis main bu, seru deh.. Tadi aku pinjam sepatu roda punya Riri. Bagus banget!" Dengan nafas yang tidak beraturan Nita menceritakan yang di lakukan nya hari ini.

"Oh ya? Sepertinya seru! Dulu waktu ibu kecil belum ada sepatu roda. Jadi ibu belum pernah main sepatu roda." sembari menyiapkan makan, ku ajak mereka mengobrol. 

Apa aku menanyakannya sekarang saja? Tapi.. Bapak tidak sedang tidur, aku takut bapak mendengarnya. Nanti sajalah.

"Ini minum dulu, kalian pasti haus." aku memberikan dua gelas minum pada mereka.

"Bu, aku mau dong beli sepatu roda, seperti punya Riri." Nita memohon.

"Nanti ya sayang.. Ibu mengumpulkan uangnya dulu. Kalau sudah terkumpul ibu belikan" kujelaskan dengan perlahan. Karena anak seusianya masih belum paham.

"Kita minta saja bu sama Bu Fika, Bu Fika 'kan baik. Pasti nanti di beliin." usul Nita.

"Iya bu, Nisa juga mau. Bener kata Nita kita bilang saja sama Bu Fika. Nanti pasti langsung di beliin. Kemarin juga 'kan gitu. Aku minta ini itu langsung di beliin. Ga kaya ibu, apa-apa harus ngumpulin uang dulu. Lama!" usul Nisa sama halnya dengan Nita.

"Astaghfirullah, Nisa, Nita kalian tidak boleh bicara begitu. Bu Fika itu orang berada, sedangkan kita? Harusnya Nita sama Nisa itu bersyukur masih bisa makan, punya rumah, punya ibu sama bapak lagi! Dan tidak baik memanfaatkan kebaikan orang lain. Jangan mentang-mentang orang itu baik kepada kita, terus kalau mau apa-apa kita tinggal minta saja." aku mencoba menasihati dengan lembut. 

"Benar kata ibu, lihat tuh banyak orang di luar sana yang sudah tidak punya orang tua, tidur di emperan, mau makan pun susah, kadang mereka mencari sisa-sisa makan orang di tempat sampah." sambung bapak.

Mereka hanya tertunduk pertanda mereka mengerti apa yang aku dan bapak jelaskan.

Makanan sudah siap.

"Ini makan dulu, habis ini sholat dulu ya. Kalian berdo'a sama Allah biar kita di kasih rezeqi lebih, biar bisa beli sepatu roda." aku menyiapkan makanan, tak lupa mengingatkan mereka sholat.

"Iya bu" mereka menjawab dengan kompak.

Setelah selesai makan mereka, lalu sholat. Kudengar mereka berdo'a.

"Ya Allah jadikanlah ibuku seperti bu Fika. Bu Fika orangnya sangat baik. Kalau saja ibuku seperti bu Fika aku pasti senang." Dengan polosnya Nita memanjatkan do'a.

Tak ku dengar do'a Nisa. Karena dia sudah mulai mengerti. Mungkin dia berdo'a dalam hati.

Apapun do'a mereka aku tau maksudnya baik. Tapi Nita belum tau cara mengungkapkannya.

Selesai sholat, mereka kembali bermain. 

Aku mengekor dari belakang.

"Nisa, bisa tolong ibu? Belikan shampo?" aku mencoba menjauhkan Nisa dari Nita. Aku hanya ingin memastikan tentang pembicaraannya dengan Bu Fika yang kemarin.

"Iya bu" Nisa berlalu pergi.

"Nita sayang, ibu mau tanya boleh?" aku mencoba bertanya walaupun aku sedikit takut.

"Boleh bu, memang ibu mau tanya apa?" Nita mempersilahkan.

"Kemarin kata temen Nita, Nita mau pindah ke rumah yang bagus. Emang Nita pernah ngomong gitu sama temen Nita?" Aku bertanya se jelas-jelasnya.

"Iya bu, Nita pernah ngomong gitu" jawabnya dengan polosnya.

"Ibu tidak pernah bilang gitu loh sama Nita. Emang kata siapa Nita mau pindah?" tanyaku lagi.

"Kata Bu Fika. Kemarin waktu aku main sama Salsa Bu Fika tanya sama aku. Katanya kalau Nita mau main ke sini main saja, ga harus nunggu ibu. Terus katanya kalau Nita betah di rumah Salsa Nita boleh nginep. Anggap saja ini rumah Nita, gitu" dia menjelaskan sambil memainkan boneka di tangannya.

"Emang kenapa bu?"

Aku hanya tersenyum "tidak apa-apa. Nita main saja lagi"

Alhamdulillah.. Aku sekarang bisa tenang. Ternyata Bu Fika tidak ada niat lain pada Nita.

Sekarang aku hanya tinggal berfikir untuk besok. Untuk menemui bu Fika..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status