Share

Sebuah pengakuan

Setelah sarapan aku berniat menemui Bu Fika.

"Pak, ibu ke rumah mau bu Fika. Mau bicara masalah kemarin" aku berpamitan pada suamiku.

"Ibu mau ke mana? Ke rumah Salsa  ya?" Nita gegas mendekatiku.

"Nita ikut boleh?" 

"Nita di rumah saja ya, ibu gak lama kok" aku menolaknya sehalus mungkin.

"Em ya udah deh" Nita berbalik ke tempat semula ia bermain.

"Kak, ibu ke rumah bu Fika dulu ya, jangan ke mana-mana. Jagain bapak" aku pamit kepada si bungsu. Memanglah si bungsu sangat pengertian.

Setelah tiba di rumah bu Fika..

"Assalamu'alaikum, bu"

"Wa'alikum salam"

Bu Fika mungkin keheranan dengan kedatanganku yang tiba-tiba, karena hari ini bukan jadwal saya bekerja.

"Silahkan masuk bu Sari" bu Fika menyambutku dengan ramah.

Aku duduk di kursi, dan langsung  bicara maksud kedatanganku.

"Maaf bu Fika.. Kemarin anak saya sudah di belikan perlengkapan sekolah. Waktu saya melihat nama sekolah dari baju yang anak saya pakai, saya pikir itu sekolah mahal, jangankan untuk biaya nya, untuk bekalnya saja tidak cukup kalau mengandalkan gaji saya. Saya tidak mau terus-menerus mengandalkan kebaikan ibu" aku mencoba berhati-hati dalam berbicara karena saya tak ingin bu Fika sakit hati dengan ucapan saya.

"Begini bu, saya tidak bermaksud apa-apa. Masalah biaya sekolah Nita dan Nisa, biarkan saya yang bertanggung jawab. Bu Sari tidak usah memikirkan apapun. Mereka senang saya pun ikut senang. Apa ibu tidak kasihan melihat mereka? Kemarin mereka sudah senang karena mau sekolah, coba ibu bayangkan kalau mereka sampai tidak jadi sekolah. Biar tiap hari saya yang mengantarkan dan menjemput mereka" 

"Tapi bu saya tidak mau sampai berhutang budi sama ibu sampai sebanyak itu, saya takut kalau saya tidak bisa membalas kebaikan ibu yang begitu banyak" aku mencoba menolak dengan lembut.

"Sudah bu Sari jangan terlalu banyak pikiran. Biarlah mereka bersekolah. Ibu tidak usah mengganti. Saya Ridho lillahita'ala"

Belum sempat saya berucap tiba-tiba Nita memanggilku.

"Ibu..ibu.." dengan nafas yang tak beraturan dia memanggilku.

"Ada apa nak, kenapa lari-lari?" sini cerita, ada apak?

"Bapak bu.. Bapak.. Bapak jatuh" sambil menangis dia menyampaikan kabar yang membuatku seakan melayang.

Gegas bu Fika mengambil kunci mobil, lalu membawa kami kerumah.

Aku hanya bisa menangis, 

"Gimana ceritanya bapak bisa jatuh?" aku bertanya dengan air mata yang terus menangis. 

"Gimana keadaan bapak sekarang?"

"Bapak tadi pingsan bu, di sana gak ada siapa-siapa"

Jarak rumah ku memang tak terlalu jauh dari rumah bu Fika sehingga tidak memerlukan waktu yang lama untuk sampai.

Kulihat bapak tergeletak di lantai. Segera kumenghampiri bapak.

"Pak, bangun pak.." 

Bu Fika segera segera berlari meminta pertolongan.

Tak lama datang beberapa orang laki-laki.

Bu Fika meminta bantuan, agar bapak di naikkan ke mobil.

"Kita bawa suami bu Sari ke rumah sakit" bu Fika tidak meminta izin dariku.

"Tapi bu..."

"Sudah jangan tapi-tapian. Sekarang kita ke rumah sakit" bu Fika memotong pembicaraanku.

"Pak.. Bangun pak.." Nisa menangis sembari membangunkan bapaknya.

Tak butuh berapa lama, kami sampai di rumah sakit.

"Pak, scurity tolong bantu saya" bu Fika meminta tolong kepada scurity yang berjaga.

Dengan cepat scurity itu membawa brangkar untuk bapak.

Bapak di gotong beberapa orang, sampai di sini pun bapak masih belum sadar.

Kami berlali mengekori brangkar bapak yang di dorong menuju IGD.

Di IGD bapak langsung mendapat pertolongan.

Kami duduk di kursi yang di sediakan.

"Nisa, bagaimana bapak bisa jatuh?"

"Gak tau bu, Nisa tadi main sama Nita. Padahal gak kemana-mana, Nita cuma denger suara gelas jatuh. Pas Nisa liat bapak sudah ada di lantai" tutur Nisa.

Aku cemas, aku hanya bisa berdo'a dan menyerahkan semuanya kepada Allah Swt.

Seorang perawat menghampiriku.

"Dengan keluarga bapak Rudi? Silahkan ke ruang administrasi" perawat itu mempersilahkan aku untuk pergi ke ruang administrasi.

Sebelum keluar menuju ruang administrasi, seorang dokter datang.

"Dengan keluarga bapak Rudi?" dokter itu bertanya, pertanda ada hal serius yang harus di bicarakan.

"Iya dok, saya istrinya"

"Begini, bapak Rudi memiliki riwayat patah tulang belakang dan kaki. Tetapi pak Rudi tidak menyelesaikan pengobatannya" dokter menjelaskan. Dokter mungkin melihat riwayat penyakit bapak, karena dulu bapak selalu berobat ke rumah sakit ini.

"Iya pak, suami saya pernah patah tulang, dulu saya sudah tidak mempunyai biaya, jadi pengobatannya tidak dilanjutkan" ucapku, seraya mengerti apa yang di ucapkan dokter.

"Begini bu, posisi jatuh bapak mengakibatkan pendarahan di kepala, jadi bapak harus di operasi. Kemungkinan pak Rudi jatuh terlentang, sehingga kepala bagian belakang pak Rudi terbentur" 

Tubuhku lemas seketika mendengar penuturan dokter.

"Tapi berapa biayanya pak?" itulah yang aku khawatirkan kalau bapak di bawa ke rumah sakit.

"Masalah biaya silahkan di tanyakan ke admistrasi" tutur dokter itu.

"Permisi sus, saya mau tanya. Biaya pengobatan atas nama bapak Rudi berapa? Kemungkinan suami saya harus di opersi. Kalau dilakukan operasi berapa ya bu biayanya?" aku bertanya berharap biayanya tak terlalu mahal.

"Biaya pengobatan atas nama bapak Rudi sudah di bayar lunas bu, termasuk dengan biaya operasi. Untuk waktunya silahkan ibu bisa tanyakan pada dokter" penuturan suster membuantku terperangah, aku sangat kaget. Apa ini hanya kesalahan saja?

"Maaf sus, tapi saya belum merasa membayar. Mungkin ada kesalahan. Coba tolong di cek lagi. Kalau boleh tau biayanya berapa ya?" 

"Biaya penanganan di IGD 1.800.000, dan untuk biaya operasi.." ucapan suster itu terpotong.

"Bu Sari.. Sudah jangan khawatir. Saya sudah membayar semuanya. Yang penting suami ibu segera sembuh" bu Fika tiba-tiba datang dari arah samping.

"Tapi bu"

"Sudah.. Jangan di pikirkan. Pendarahan di otak itu bahaya loh bu kalau tidak buru-buru di tangani bisa bahaya" benar kata bu Fika, kali ini lagi-lagi aku menerima pertolongan bu Fika, apalagi kali ini bukan biaya yang sedikit.

"Bu maaf, pak Rudi sudah bisa masuk ruangan, Ibu di tunggu di ruang rawat pak Rudi" 

"Terima kasih sus"

Sesampainya di ruangan dokter sudah menunggu.

"Kapan suami saya bisa di operasi dok?" aku cemas.

"Sebelum operasi, suami ibu harus melakukan serangkaian pemeriksaan"

Ya Allah berikanlah kesembuhan untuj suamiku..

Serangkaian demi serangkain pemeriksaan telah di jalani..

Melihat suami sendiri lemas tak berdaya membuat hatiku ini remuk. Berbagai obat pereda rasa sakit sudah beberapa kali di suntikkan ke dalam cairan infus.

Sampai akhirnya tibalah saatnya untuk menjalani operasi.

Beberapa jam lamanya aku menunggu di depan kamar operasi, aku menoleh setiap orang yang keluar dari kamar tersebut. Sampai lupa makan juga lupa tidur.

Akhirnya suamiku keluar dari ruang operasi, terlihat banyak sekali selang dengan masing-masing fungsi yang tertempel pada tubuh suamiku. Sedih rasanya melihat keadaannya yang seperti itu.

Sampai beberapa hari suamiku belum juga sadar, kata dokter itu wajar adanya. Karena operasi yang di jalani termasuk operasi besar, karena melibatkan beberapa syaraf di otak akibat benturan di kepala yang cukup keras sehingga mengakibatkan pendarahan.

Ini baru operasi akibat pendarahan di kepala. Belum operasi patah tulang di bagian rusuk dan kaki.

Untuk sementara baru operasi ini saja yang dapat dokter lakukan. Butuh berbulang-bulan menunggu suamiku pulih barulah bisa di lakukan operasi patah tulang. 

Aku hanya menurutumi saja apa kata dokter, karena aku yakin itu yang terbaik.

Berhari-hari ini aku tidak pulang, aku menunggui suamiku di rumah sakit.

Nita dan Nisa sementara tidur di rumah bu Fika. Bu Fika sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Karena aku dan suamiku sama-sama sudah tidak mempunyai orang tua dan sama-sama orang perantauan juga, jadi selain bu Fika tidak ada orang yang bisa kami mintai tolong.

Aku dibekali uang 1.000.000 untuk jaga-jaga. Dan bu Fika memberikan aku handphone kalau-kalau nanti ada situasi darurat.

Aku sempat menyesal karena telah mendatangi bu Fika dan berkata demikian. Aku juga sempat berfikran buruk tentang bu Fika.

Maafkanlah aku ya Allah.

Hari-hari berlalu suamiku berangsur membaik.

Akhirnya dokter mengizinkan pulang karena kondisi suamiku sudah mulai membaik.

Seluruh pengobatan di tanggung oleh bu Fika dan suaminya, entah berapa aku tak pernah tau. Karena setiap kali bertanya bu Fika selalu bilang "tidak usah di pikirkan, yang penting suami ibu sembuh"

Saat akan keluar dari rumah sakit, bu Fika dan kedua anakku sudah menunggu di luar rumah sakit untuk menjemput kami.

Bu Fika juga menawari kami untuk tinggal di rumahnya sementara supaya ada yang membantu. Tapi bapak tidak mau, karena malu. Kami sudah banyak merepotkan.

Setiap hari bu Fika dan suaminya selalu mengunjungi kami, memenuhi kebutuhan kami, karena setelah pulang dari rumah sakit aku tak bisa pergi bekerja karena harus menunggui suamiku.

Suatu hari suamiku itu mengajak mereka bicara. 

"Terima kasih banyak atas semua bantuan pak Hermawan dan bu Fika. Kami tidak tau harus berkata apa lagi selain berterima kasih" bapak memulai percakapan.

"Sudah pak, jangan di pikirkan. Sudah kewajiban kita saling membantu kan?" bu Fika tetap saja begitu.

"Tapi yang pak Hermawan dan bu Fika lakukan sudah di luar batas kewajaran, saya tau biaya rumah sakit kemarin tidak sedikit. Meskipun saya tidak tau jumlah persisnya" terdengar suara bapak yang bergetar menahan tangisnya.

"Sudah pak, anggap saja ini rezeqi pak Rudi dan keluarga" suara pak Hermawan mulai bergetar, mungkin dia ikut sedih melihat bapak.

"Tapi apa yang mendasari pak Hermawan berbuat ini pada keluarga saya? Banyak orang lain di luar sana yang membutuhkan uluran tangan. Tapi kenapa harus saya yang selalu pak Hermawan bantu?"

"Baiklah saya akan terus terang" pak Hermawan memasukkan tangan ke saku celana, sepertinya pak Hermawan ingin menunjukkan sesuatu pada kami.

"Bapak pernah lihat anak ini?" pak Hermawan menunjukkan foto anak lelaki yang sedang menaiki sepeda.

"Siapa ini?" bapak mengernyitkan dahi pertanda ketidak tahuannya.

"Pak Rudi ingat kejadian yang menimpa bapak beberapa tahun lalu, yang mengakibatkan tulang rusuk dan kaki bapak patah, sehingga sampai sekarang bapak mengalami kelumpuhan?" pak Hermawan mencoba memberi petunjuk.

Bapak menatap langit-langit, seakan bapak sedang mengingat kejadian beberapa tahun lalu yang membuat kehidupan kami berubah seketika.

"Ini adalah foto anak saya, Rafli. Bapak mencoba menyelamatkan anak saya saat anak saya hendak tertabrak oleh kendaraan. Sehingga kendaraan itu menabrak bapak, dan mengakibatkan bapak sampai seperti ini" bu Fika terisak saat pak Hermawan menjelaskan kejadian itu.

Aku menangis sambil menutup mulutku dengan tangan. Sedangkan bapak tidak bisa berkata apa-apa.

"Maafkan saya pak, saat itu saya tidak sempat mengucapkan terima kasih kepada bapak, kerena kami mendapat kabar itu setelah Rafli sudah di bawa ke rumah sakit. Melihat keadaan Rafli yang bercucuran darah kami sangat panik. Dokter menuturkan bahwa Rafli mengalami patah tulang rusuk dan leher akibat kejadian itu.  Kala itu tanpa pikir panjang kami membawa Rafli ke singapur untuk pengobatan lebih lanjut" 

"Rafli sempat koma beberapa hari, setelah Rafli sadar barulah Rafli menceritakan hal itu pada kami, kami sangat menyesal karena kami tidak langsung menolong bapak" sambung bu Fika.

"Beberapa bulan kami tinggal di Singapur untuk menjalani pengobatan Rafli, membuat perusahaan mengalami pemerosotan pendapatan karena tidak ada yang mengurus. Baru akhir-akhir ini perusahaan bisa stabil kembali. Setelah itu saya berusaha mencari tau tentang siapa yang sudah menyelamatkan anak saya.  Kemudian saya mendengar tetangga saya bahwa dia sering memakai jasa bu Sari untuk sekedar membantu pekerjaan rumah. Dia juga bercerita tentang suami bu Sari yang mengalami kecelakaan, sehingga mengakibatkan kelumpuhan" tutur bu Fika.

"Kemudian suami saya menyuruh saya untuk mencoba mencari tau keadaan suami ibu, untuk memastikan apakah benar bapak yang telah menyelamatkan anak kami, dengan meminta ibu Sari bekerja di rumah kami. Dan benar saja pencarian kami tidak sia-sia sehingga kami menemukan orang yang selama ini kami cari"

Pantas saja bu Fika dan Pak Hermawan begitu baik kepada kami.. Ternyata hal ini yang mendasari mereka..

Entah aku harus sedih, senang, atau marah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status