Beranda / Rumah Tangga / Bakti Seorang Menantu / 1. Kita tidak punya pembantu.

Share

Bakti Seorang Menantu
Bakti Seorang Menantu
Penulis: RatuNna Kania

1. Kita tidak punya pembantu.

Penulis: RatuNna Kania
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-29 09:34:18

Braaak….

"Jangan mentang-mentang lagi hamil, terus dibuat alasan untuk bangun siang dan malas-malasan! Di rumah ini, nggak ada pembantu! Kamu anggap aku pembantu? Hah?!"

Mala membuka selimutnya dan mencoba duduk, setelah mendengar omelan mertuanya. Kebetulan kamarnya memang tidak terkunci, hingga dengan mudah Bu Samirah membuka pintu kamar menantunya sambil mengomel.

Mala merasa kepalanya pusing pagi ini, sejak subuh ia sudah bangun dan hanya menunaikan sholat, lalu kembali ke kamarnya. Mungkin efek kehamilannya yang baru menginjak dua bulan membuat Mala tidak seperti biasanya. Hingga membuat mertuanya geram.

"Enak banget, ya! Tidur sampai jam segini, rumah sudah bersih, makanan sudah matang, dan Nyonya besar baru bangun." Omelan Bu Samirah semakin nyaring di telinga menantunya. Tapi tak sepatah katapun di sahutinya oleh Mala.

Wanita 23 tahun itu bangkit dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Perutnya terasa mual seperti ingin memuntahkan sesuatu.

"Yang pernah ngidam itu bukan kamu doang! Saya juga dulu ngidam anak 4, gak ada kayak kamu, jangan drama, deh!" Lagi-lagi Bu Samirah mengomel, setiap apa gerakan Mala yang mata tangkap, tak pernah luput dari omelannya.

Mala memuntahkan isi perutnya hingga berurai air mata. Padahal perutnya sudah kosong sejak semalam. Karena sejak sebelum tidur pun ia muntah juga.

"Allah," lirih Mala sambil membasuh mukanya. Ia seolah berusaha menguatkan dirinya sendiri dengan keadaan seperti ini.

"Cepat sarapan, sana! Nanti anakmu kelaparan!" titah Bu Samirah yang melihat wajah menantunya sangat pucat. Ia juga merasa khawatir setelah melihat keadaan Mala, tapi sifat egois sangat mendominasi otaknya, hingga yang keluar dari mulutnya bukan kata-kata yang baik melainkan omelan pedas di setiap kata-nya.

Mala menyandarkan punggungnya di kursi makan, ia sejenak memejamkan matanya, dunia rasanya berputar, hingga untuk mengambil segelas air hangat saja ia butuh menstabilkan tubuhnya terlebih dahulu .

"Nih, minum." Bu Samirah meletakan segelas air hangat yang diambilnya dari termos. Mala membuka matanya melihat mertuanya yang berdiri tepat di sampingnya sambil memandangnya sinis.

"Buruan minum, biar gak dehidrasi," titahnya lagi, dengan pandangan mata yang tajam.

Mala meneguk air hangat yang di suguhkan mertuanya, meski bagaimanapun mertuanya ternyata masih peduli pada dirinya.

"Allahuakbar, Ibu sedang melayani Nyonya besar?" Eni bertanya sekaligus meledek ibunya. Eni adalah kakak sulung dari suaminya Mala. Bu Samirah hanya mendelik. menatap anaknya yang baru saja datang bersama ketiga cucunya.

"Waah, sayur asem," pekik Eni. Tatkala melihat isi tudung saji di meja makan. Ia langsung menyuruh anaknya mengambil 3 piring untuk mereka makan.

"Kamu emang gak masak di rumah, En?" tanya Bu Samirah dengan sedikit ketus. Karena ia memasak untuk porsinya berlima saja hingga sore. Namun dengan kedatangan Eni dan anaknya, sudah pasti untuk makan siang sang suami pun, ia harus masak kembali.

"Aku malas masak, Bu, anak-anak rewel," jawabnya dengan mulut penuh. Dipiring ya sudah penuh dengan tempe goreng, ikan pindang juga kerupuk kulit.

"Ayo, Mala kamu makan dulu, nanti keburu habis nasinya," ucap Bu Samirah. Sebenarnya ia khawatir kalau nasi beserta lauk yang ia masak tadi pagi akan habis oleh anak dan cucunya itu. Sudah pasti Rahman akan marah jika tahu istrinya blm makan, sedangkan untuk memasak lagi ia malas. Bukan hanya karena malas tapi tubuhnya juga tidak bisa diforsir seperti itu. Bisa kelelahan nantinya.

"Enak banget ya, jadi Nyonya besar! Makan aja di tawar-tawarin, anak sendiri mah boro-boro!" ucap Eni dengan sinis. Dia selalu iri pada Mala dalam hal apapun.

"Nggak ditawari juga sudah nyentong nasi. Apa kabar kalau ditawari?" timpal Ria yang baru saja datang dengan menenteng sebuah plastik.

Eni mendelik melihat adik bungsunya itu. Ria memang punya sifat judes dan kalau ngomong pedes banget. Kalau makanan bisa di levelkan pada tingkat 10++.

Ria gadis yang baik, hanya pada Eni dan istri Rahmat saja yang ngomongnya ketus karena kakak dan iparnya itu memang bisa dibilang gak tau diri.

"Awas, ya! Nanti kalau suamiku pulang, gak akan ku kasih jajan!" ancamnya sambil menghabiskan tempe di piring makannya.

"Halah, ngasih dua puluh ribu aja sampe tahu satu desa ini!" ejeknya.

"Dua puluh ribu juga duit, kamu belum bisa cari duit segitu! Lebaran kemarin juga aku yang beliin baju." Eni mengingatkan kebaikannya pada adik bungsunya.

Mala yang melihat itu semua, kepalanya makin pusing. Dan mual makin melanda,ia langsung berlari lagi ke kamar mandi dan memuntahkan air yang baru saja ia teguk.

"Mbak Mala, kenapa?" tanya Ria yang kini sudah berada diambang pintu kamar mandi.

"Namanya juga orang ngidam, ya begitulah! Mana aku lagi makan! Gak sopan. Huft." Eni membanting sendok Hingga suara dentingnya begitu nyaring.

"Kenapa Kakak makan disini? Gak punya rumah? Atau sengaja menghabiskan makanan kami?" Ria mengoceh sambil menuntun Mala yang hendak ke kamarnya. Tapi Eni tak menyahut omongan adiknya. Bisa berabe kalau Ria nanti ngadu sama suami dan bapaknya.

"Ayo, pulang," ajak Eni pada anak-anak yang baru saja menyelesaikan makan mereka.

"Heh, cuci piringnya dulu sebelum pulang! Di sini tidak ada pembantu!" teriak Ria. Sedangkan Bu Samirah, hanya memandang geram pada Eni dan anak-anaknya yang tetap melangkah keluar tanpa menghiraukan teriakan adiknya. Bu samirah pun tak berniat mencegah atau menyuruh Eni untuk membereskan bekas makan mereka. Ia terlalu lelah kalau harus berdebat kembali dengan anak sulungnya.

———RatuNnaKania———

Pagi itu, mentari begitu hangat menyinari halaman rumah besar milik Bu Samirah. Pak Edi sedang menikmati secangkir kopi dan berita di layar tv besar miliknya. Suasana rumah itu telah ramai dengan para penghuninya yang bersiap untuk melakukan rutinitas biasanya.

Rahman sudah mandi, sedangkan Mala masih bersandar di tempat tidurnya setelah morning sick menyerangnya tadi. Jangankan untuk menyiapkan sarapan, untuk hidupnya sendiri pun, Mala merasa kepayahan.

"Kita ke dokter?" ungkap Rahman yang melihat wajah pucat istrinya dari balik cermin.

"Tidak usah, Mas, kata Ibu, memang begini kalau lagi ngidam," jawabnya sambil membenarkan letak duduknya.

"Aku tak tega melihatmu setiap hari begini." Raut muka Rahman, begitu kelam, dirinya takut kalau terjadi sesuatu pada istrinya. Apalagi wanita yang tengah duduk itu sedang mengandung anaknya.

"Engga apa-apa, Mas, dah sana pergi kerja," usirnya.

"Apa aku bisa tenang ninggalin kamu disini?"

"Aku baik-baik saja, ada Ibu juga-kan."

Rahman memandang lekat wajah Mala, sungguh ia tahu bagaimana sikap ibunya jika ia dan ayahnya tak di rumah. Namun ia juga tak mungkin terus di rumah menunggui Mala, sedangkan saat ini sedang membutuhkan biaya untuk persalinan nanti. Lelaki itu menarik nafas dalam. Ia tak punya pilihan lain untuk hari ini.

"Aku pamit, ya," ucapnya sambil mencium kening istrinya. Mala pun mencium tangan Rahman dengan takjim, lantunan doa mengiringi langkah suaminya hingga pintu itu tertutup.

"Bu, Pak, pamit ya," ujar Rahman pada kedua orangtuanya.

"Hati-hati di jalan," pesan Bu Samirah pada anak lelakinya.

Bu Samirah lalu bangkit, ia berniat membeli sayur di pengkolan depan. Jam segini memang sudah saatnya tukang sayur langganan warga kampung itu mangkal dekat pos ronda.

"Dua ikat kangkung sama tempe Mang," ucap Tika, seorang ibu beranak dua tetangga Bu Samirah.

"Gimana ada gizinya, Tik, makan tiap hari kangkung, tempe aja," ujar Bu Usman sambil mencebik.

"Yang penting masih bisa makan, iyakan, Tik?" Umi Hamzah menyahuti. Ia merasa kasian setiap hari Tika jadi bahan Bullyan ibu-ibu tetangganya.

"Kamu emang gak punya duit buat beli ayam, Tik?" tanya Bu Samirah yang baru saja datang tapi tak mau ketinggalan mengolok Tika.

"Ibu!" bentak Ria, yang kebetulan lewat hendak pergi kerja. Ia mendengar ucapan ibunya pada Tika.

"Kamu jalan kaki?" Bu Samirah malah balik bertanya, ketika melihat anak gadisnya ada disampingnya dengan stelan rapi hendak berangkat kerja.

"Maafkan ibuku ya, Tika," ucapnya sambil mengelus pundak tetangganya.

"Tenang, sudah biasa," jawab Tika dengan seulas senyum getir. Ria memandang tajam ke arah ibunya.

"Heh, Ria, gak sopan kamu ya, melihat ibumu seperti itu!" ucap Bu Usman sambil mendelik.

"Kalau mau disopanin ya harus sopan dulu, Bu!"

"Ngeyel tenan anakmu, Mirah!" ucapnya pada Bu Samirah yang sejak tadi diam karena takut sama Ria.

"Ria, pamit, Bu, jangan begitu lagi sama orang," ucapnya sambil mencium takjim tangan ibunya. Lalu ia melangkah meninggalkan kerumunan tukang sayur itu. Begitupun Tika, ia cepat-cepat meninggalkan para tetangganya setelah membayar sayuran miliknya.

"Si Tika itu penghasilan suaminya banyak lho, tapi kalau belanja ngirit banget," ucap Bu Usman, lagi-lagi membahas Tika.

"Mungkin duitnya mau dibawa mati!" sahut Bu Samirah sambil terkikik.

"Biarkan orang menikmati hidupnya, Bu, jangan terus kalian bully, kasian," ucap Umi Hamzah.

"Halah, Umi, ini sok-sokan membela Tika, tapi tetap senang ghibah sama kita," ucap Bu Samirah hingga membuat Umi Hamzah mendelik.

"Saya permisi, ibu-ibu, mau keliling lagi, sudah selesai kan belanjanya?" pamit Mamang sayur yang mulai jengah dengan obrolan para langganan sayurnya yang ajaib itu.

~~Bersambung~~

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bakti Seorang Menantu    223. Suka sama, Abang, nggak?

    Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"

  • Bakti Seorang Menantu    Bab 222. Maaf

    Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany

  • Bakti Seorang Menantu    221. Kesasar Bagian 2.

    Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad

  • Bakti Seorang Menantu    220. Kesasar.

    Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar

  • Bakti Seorang Menantu    219. Kesasar atau hilang bagian B

    Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan

  • Bakti Seorang Menantu    218. Kesasar atau hilang bagian A.

    art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi

  • Bakti Seorang Menantu    217. Pedekate bagian B.

    "Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok

  • Bakti Seorang Menantu    216. pede kate bagian A.

    "Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto

  • Bakti Seorang Menantu    215. Aisyah mau pulang.

    Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status