Aku harus menyelidiki siapa sebenarnya si Helen ini. Akh, sebaiknya ku tanya Tika saja deh, dia kan asli orang sini. Aku bangkit dan menuju keluar."Mau kemana kamu?" teriak ibu, sesaat aku telah ada di ambang pintu. Aku menoleh pada surga suamiku itu, sungguh tak ada yang patut ditiru dari perempuan setengah abad itu. "Cari angin, gerah dalam rumah," jawabku asal, tanpa memperdulikan keduanya. Ya, menantu mana yang akan diam saja jika menghadapi hal seperti aku sekarang ini? Aku kira cerita demikian hanya ada dalam sinetron saja , tapi ternyata kini aku mengalaminya. Entah dosa apa aku di masa lalu, hingga aku terjebak dalam keluarga yang sama sekali tak bisa menghargai orang lain. Sepagi ini aku akan ke rumah Tika, semoga saja suaminya sudah berangkat bekerja. Kulangkahkan kaki dengan tergesa. "Assalamualaikum." Ku ucap salam saat memasuki pekarangan rumah Tika, rumah sederhana yang terlihat asri dan damai. Meski bangunannya sudah mulai rapuh, tapi ku lihat ada ketenangan untuk
Cerita tentang Helen dan Mas Rahman mengalir begitu saja dari bibir Tika. Tika juga meyakinkan aku, tidak mungkin Rahman mau kembali pada Helen, karena sekarang ada aku, katanya. Benar juga sih, apalagi kami akan segera punya anak. Ku elus lembut perut yang semakin membuncit. "Tapi, jika Helen agresif, apakah mungkin Mas Rahman tidak tergoda?" tanyaku pada Tika. "Berdoa saja, ingatlah Mala! Apapun yang terjadi dalam hidupmu adalah campur tangan Tuhan, jadi solusinya apapun yang akan kamu alami di masa depan, itu murni takdir dari Tuhan. Yang perlu kamu lakukan adalah, meminta kebaikan untuk hidupmu padanya, karena sejauh yang aku tahu, tak ada yang bisa menandingi dahsyatnya do'a," tutur Tika sambil tersenyum lembut. Aku manggut-manggut membenarkan apa yang Tika ucapkan. Tapi aku juga tak salah kalau mengkhawatirkan titik terburuknya. "Lapangkan pikiranmu, karena jika pikiranmu sudah bagus, maka insyaallah hari-harimu juga akan bagus. Kata orang, pikiran ibarat doa yang tak terucap
Saat Mala memasuki halaman rumah, terdengar suara riuh tawa dari ruang tengah, wanita 23 tahun itu sudah menebak bahwa Helen belum juga pulang. Ia hanya dapat menghela nafas dalam, teringat kembali pada apa yang dikatakan Tika tadi. "Darimana, Mala?" tanya Bu Usman. "Pantas saja ramai sekali dengan orang tertawa, ternyata nambah satu personil ghibah," ucap Mala dalam hatinya. "Jalan-jalan, Bu. Lah, Ibu pagi-pagi dah nongkrong disini, apa gak ada kerjaan lain?" tanya Mala sembari matanya melirik ke arah Helen. "Maksudnya apa, ya? kamu nyindir aku?" sewot Helen dengan pandangan tak suka. "Lah, aku nanya Bu Usman lho, kalau kamu tersindir, ya, bukan salah aku dong. Kamu yang baperan!" ucap Mala cuek. "Gak sopan banget, mantu Ibu itu?" ucap Helen sambil melirik Bu Samirah."Sudah! Sana masuk, kamu Mala! Biasanya juga di kamar terus, tumben keluar," ucap mertuanya, ia tak enak dengan Helen dan Bu Usman saat Mala berbicara tadi.Mala berlalu ke kamar lalu membanting pintu dengan seker
"Apa karena si Rahman sudah punya istri, kamu jadi gak ada alasan tinggal disini, gitu bukan maksudnya, Len?" tanya Bu Usman. "Apaan sih, Bu Usman," ucap Helen sambil tersipu malu. "Apa yang dikatakan Bu Usman, itu benar sekali," teriak hati kecil Helen. "Lah, laki-laki kan bisa beristri dua," ucap Bu Samirah, tiba-tiba bersuara. Membuat Bu Usman dan Helen seketika memandang ke arah mertuanya Mala dengan mimik sulit diartikan. Mata Helen seketika membola dia juga langsung tersedak makanan yang sedang dikunyahnya. Hingga mukanya memerah. Ia sungguh tak menyangka Bu Samirah akan mengatakan hal seperti itu. Namun, ia sendiri membenarkan apa yang dikatakan ibunya Rahman, dan ia pun masih mencintai Rahman dengan segenap jiwanya. Kalau saja, orang tuanya tidak terdesak hutang waktu itu, mungkin ia yang kini berbahagia bersama Rahman, lelaki pujaannya sejak SMA. Masih segar dalam ingatannya senja itu, ketika Rahman bersimpuh agar ia tak menikah dengan lelaki kaya itu. Namun Helen tak ber
"Mama, aku laper!" Kini Nia yang bersuara, ia memandang ke arah ketupat sayur milik Helen yang belum habis. dengan kuah yang kuning juga kerupuk orange diatasnya, membuat Nia tak berkedip memandang ka arah piring. "Coba bagi dikit, sini!" pinta Eni, entah pada siapa yang dituju. "Mbok, ya dimandikan dulu, Ni, liat tu anak-anakmu. Sudah seperti anak tak ada ibunya," ucap Bu Usman. Ia menutup hidungnya. Bau pesing dari arah Namira pun menyeruak di Indera penciuman ketiga orang dewasa itu. "Halah, tanggung, nanti saja habis makan, biar gak kotor lagi," sahutnya, tangan Eni bergerak cepat meraih piring dihadapan Helen, tanpa bertanya lagi punya siapa. "Nia, sana ambil sendok dua lagi, makan kalian bertiga ya," ucap Eni sambil meletakan piring di lantai, Nayla yang sejak tadi sudah lapar, dengan cepat ia duduk dan meraih sendok dan memasukan suapan pertama. Namira yang juga sudah lapar, merebut sendok yang masih di mulut kakaknya. Perkelahian pun tak dapat dielakkan, saling pukul dan sa
Rahman sangat bahagia, ketika ia dinyatakan lolos jadi PNS, sungguh perjuangan yang tak sia-sia. Ia segera merogoh kantong celananya, dan mengambil ponsel, ia berniat mengabari Mala serta keluarganya. "Assalamualaikum, Mas," sapa Mala saat menjawab panggilan telepon suaminya. "Waalaikumsalam salam, Sayang. Gimana kabarmu? Gimana bayi kita? Gimana Ibu dan Bapak? Sehat-sehat-kan?" Rahman memberondong pertanyaan kepada istrinya. Terdengar tawa riang Mala dari seberang sana, ia merasa lucu dengan tingkah suaminya. "Kok, ketawa?" tanya Rahman. "Mas, nanya-nya satu-satu dong," protes sang istri. "Oke, baiklah," lirih Rahman. "Aku sehat, bayi kita juga sehat, Ibu, Bapak dan Ria juga sehat, ka Eni sekeluarga sehat dan montok," ucapnya yang di sambut tawa bahagia oleh suaminya saat mendengar seluruh keluarganya baik-baik saja. "Sayang," panggil Rahman dengan lembut. "Ada apa, Mas," tanya Mala, ada rasa khawatir saat suaminya memanggilnya dengan lirih. "Aku—Aku," ucapanyasengaja ia jed
"Anakku, anakku sudah jadi PNS," ucap Bu Samirah gugup dan langsung sujud syukur di tanah. Begitu sangat bahagia wanita paruh baya itu. Mengetahui anak lelakinya kini telah jadi seorang abdi negara."Waah, selamat ya Bu, selamat ya, Mala," ucap Umi Hamzah, sambil tersenyum lega mengetahui tetangganya ada yang jadi PNS. "Terima kasih, Umi," ucap Mala tersipu. Akhirnya Bu Samirah menyerahkan kembali ponsel menantunya itu sambil berkata "Kita harus ngadain syukuran, Mal, anakku kini sudah jadi pegawai Negeri."Mala tersenyum bahagia, melihat ibu mertuanya menangis bahagia. Bukan seperti hari-hari yang lalu. Wanita tua itu selalu menangis akibat ulah kedua anaknya. Tapi kini suaminya telah membingkai rasa bahagia pada ibu mertuanya. Tentu saja Mala merasa bangga dengan itu semua. Pencapaian suaminya bisa membuat bahagia semua anggota keluarga. "Bu, Mala, pulang duluan ya," ucap Mala, sebelum berbalik."Ya udah, sama! Eh bawa ini belanjaannya," ucap Bu Samirah."Langsung dimasak, Mal, b
Suasana rumah Bu Samirah dipenuhi dengan kebahagiaan. Ada kelegaan di hati mereka, terutama Mala juga kedua orang tua Rahman. Kini mereka berkumpul di ruang tengah, membahas tentang Rahman. "Alhamdulillah, kini ada salah satu anak kita yang bisa membuat bangga, ya, Pak. Ibu gak pernah bermimpi punya anak seorang pegawai negeri," ucap Bu Samirah dengan wajah ceria."Iya, Bapak juga gak nyangka. Anak itu selalu membuat kita bangga," katanya sambil mengepulkan asap rokok yang sedang dihisapnya."Semoga suatu hari nanti, Ria juga bisa jadi kebanggaan, Bapak dan Ibu," ucap Ria pelan. "Doa kami selalu menyertai kamu, Nak," sahut Pak Manto dengan cepat. Ia memandang anak gadisnya yang kini sudah berusia dua tahun dan belum menikah, bahkan sering Ria jadi tetangga karena usianya yang sudah cukup untuk menikah, tapi Ria, bahkan pacar pun belum pernah ada tetangga yang tahu."Lah, gimana si Rahman gak jadi pegawai negeri, dia kan kuliahan. Beda sama aku yang SMK juga hanya sampai kelas dua,"