Ku tatap lelaki yang menikahiku setahun lalu. Ada rasa berat melepasnya. Aku takut, takut jika seandainya nanti Mas Rahman jadi PNS dia malah lupa daratan, dia akan melupakan aku dan anaknya. Akh, pikiran apa ini!Fenomena sikap suami bergelar PNS bukan hanya isapan jempol. Itu hanya oknum, Mala! Oknum. Aku terus bergelut dengan pikiranku sendiri. ~~~~"Bang, ada ayam?," tanyaku pada tukang sayur langganan."Eh, Mala tumben belanja, biasanya Bu Samirah yang belanja " ucap Bu Usman. Aku hanya tersenyum, tak berniat menjawab pertanyaan sang Ratu gosip di kampung ini."Begitu dong jadi mantu, jangan durhaka sama mertua, masa mertua dijadiin babu! Ingat, Bu Samirah itu wanita yang melahirkan si Rahman," cerocosnya. Apakah aku marah? Tentu saja. Tapi ini Bu Usman yang bicara, jadi aku hanya mendengarkannya saja."Bu Usman, jangan suka ikut campur urusan orang," ucap Umi Hamzah sambil memilah sayur. "Bu Usman kalau gak nyampuri urusan orang bisa stroke, Bu," timpal seseibu yang
"Bang, ada kangkung," tanya Tika yang baru saja datang."Kangkung lagi, Tik? Pasti kawan lainnya tempe dan tahu," ucap Bu Usman."Emang kenapa gitu, Bu?" Tika yang biasanya diam kali ini dia mulai bersuara."Ndak apa-apa, cuma saya melihat kamu setiap hari beli kangkung aja dah bosen, gimana kalau memakannya. Mbok, ya beli yang bergizi, Tik." Bu Usman menatap Tika dengan tatapan meremehkan. "Bu, saya dan anak-anak suka sekali tumis kangkung, emang salah ya, apakah berdosa jika saya makan kangkung tiap hari? Buat saya sih, ya, Bu. Makan dengan lauk apapun tak jadi masalah. Yang penting saya gak suka minjem duit sama tetangga kalau ada kebutuhan mendadak." tegasnya sambil mengeluarkan smirk evilnya.Bu Usman sedikit melotot mendengar penuturan Tika. Sepertinya dia tersindir, karena yang aku tahu, Bu Usman sering meminjam uang sama Ibu mertuaku, tapi ketika tak dikasih pinjam, maka ibunya Tika-lah orang selanjutnya yang akan ia datangi."Saya pinjam sama siapapun juga bayar tepat waktu,
"Alhamdulillah ya, Mas, tidak ada yang kurang," ucap Mala dengan binar bahagia. Ia tersenyum lega."Iya, Mas juga was-was. Alhamdulillah juga kita tidak sampai berhutang.""Besok, keberangkatanmu, Mas. Aku rasanya gimana gitu," ucap sang istri sambil menatap lekat wajah suaminya. Tangannya bergerak mengelus perutnya yang kian menampakkan identitasnya bahwa ia wanita yang sedang hamil."Hei, aku berangkat kesana dengan sejuta cita-cita untuk kita, aku, kamu juga anak ini," ucap Rahman sambil mengelus perut istrinya. Mala tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia merapatkan tubuhnya dan memeluk suaminya kemudian menangis sesenggukan di dada bidang suaminya, tempat dimana ia begitu merasa nyaman saat bersandar di sana.Jauh dilubuk hati Rahman, pun merasakan sakit yang tiada terkira, saat istrinya hamil, ia diharuskan menjauh demi sebuah pekerjaan. Namun tidak ada pilihan lain selain memang harus pergi dan meninggalkan istri juga keluarga sementara. Perekonomian keluarganya bergantung pada di
"Siniin mangkuknya," bentak Susan. "Anak kecil songong banget dah.""Yang songong itu, Mbak, gak ada malu, gak beradab. Bisanya cuma minta, gak dikasih eh, nyuri," balas Ria dengan tatapan meremehkan. "Apa kamu bilang?" Susan mendekat ke arah adik iparnya. Rahman segera maju dan menarik ria kebelakangnya. "Ada apa ini? Tamu di depan masih pada ngobrol kalian sudah ribut saja." Bu Samirah tiba-tiba muncul di ruang tengah. "Ada apa sih?" Rahmat pun datang bersama Wulan dari arah depan."Nih, adikmu, kurang ajar banget ngatain aku pencuri," adu Susan pada suaminya. "Benarkah itu, Ria?" tanya Rahmat, sambil memandang ke arah Ria."Iya," jawab Ria tanpa rasa takut atau semacamnya."Kurang aj*r kamu," teriak Susan dan merangsek maju berusaha menggapai Ria yang ada di samping Rahman."Kamu punya bukti, kalau Susan mencuri?" tanya Rahmat."Aku gak punya bukti. Tapi Nayla melihat Mbak Susan mengambil beras di dapur sini. Lalu menukarnya dengan Pete, iya-kan? Ngaku hayoh?" Ria berbicara den
Mala mengusap bahu Ria yang masih saja bersungut-sungut, mengumpat, Pak Manto kembali ke depan, dan Bu Samirah masuk ke kamar. "Besok-besok, kamu jangan ngomong lagi sama, Mbak Susan. Kalau ada kesini! Kamu masuk kamar. Mas harap tidak terulang lagi kejadian hari ini." pesan Rahman pada Ria. Sedangkan gadis itu malah duduk di meja makan, lalu meneguk segelas air. Emosinya belum mereda sepertinya. Ini bukan pertama kalinya Susan membuat ulah, tapi baru kali ini dia melawan Pak Manto. Mala memijit pelipisnya tiba-tiba saja kepalanya menjadi berdenyut sakit."Kamu kenapa?" tanya Rahman."Kepalaku sakit, Mas!" "Ayo, ke kamar, kamu harus istrihat."_____POV Susan."SUSAN!" teriak Bang Rahmat saat aku melawan bapaknya. Lah, siapa dia berani mengatur hidupku. Bahkan orantuaku pun tak kubiarkan mengatur hidupku. Apalagi mertua, siapa mereka? Aku meninggalkan rumah itu dengan segala macam teriakan dari si peraw*n tua juga Bang Rahmat. Berani suamiku macam-macam, selesai sudah rumah tangga
Aku mencuci mukaku lalu menyambar jaket. Tak kulihat lagi keberadaan Wulan, mungkin dia sudah pergi ke rumah neneknya, Baguslah. Eh, tapi Bang Rahmat kemana? Aku membuka kamar Wulan, dan kosong. Hmz, sudah mulai berani gak pulang rupanya suami kere itu. Baiklah Bang, lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan. Aku berjalan menuju persimpangan kampung, disanalah tukang sayur biasa mangkal, sudah bisa terlihat ada beberapa ibu-ibu sedang berbelanja dengan segala obrolannya. "Eh, Susan, tumben belanja, mau masak ya?" tanya Umi Hamzah dengan ramah. Aku hanya tersenyum."Gak dines, San?" tanya Bu Yati. "Libur, Bu," jawabku singkat. "Masak ni ye," seru Bu Usman yang baru saja tiba. Yah, ada nenek lampir resek."Emang gak boleh saya belanja, Bu Usman?" ucapku dengan ketus."Engga sih, tapi beneran semalam kamu membentak Pak Manto, San?" tanya Bu Usman. Mulai kepo Nenek lampir ini. Dan begitu cepatnya kabar ini tersebar. Huft. "Apa? Susan membentak Pak Manto? Kualat kamu nanti, San!" uc
Bu Samirah memeluk anak lelakinya denganan pilu, karena ini pertama kali dilepaskan oleh anak lelaki yang sangat perhatian padanya. Ia memang memiliki 4 anak, tapi hanya Rahman dan Ria yang terlihat menyayanginya. Sedang si sulung dan anak keduanya bak bara api bagi Bu Samirah, yang setiap waktu mengancam menimbulkan dirinya. Selalu ada saja tingkah keduanya yang membuat wanita tua itu menangis dan sakit hati. "Titip, Mala ya, Bu, dia sedang hamil anakku," ucap Rahman sambil mengelus punggung ibunya. Sengaja ia tekankan dengan menyebut anakku, karena ia tahu betul sifat ibunya yang selalu memarahi Mala. Bahkan kesalahan kecil pun kalau Mala yang sudah pasti akan jadi besar besar. Sungguh dalam hati, tak ada ketenangan meninggalkan sang istri meski di rumah orangtuanya sendiri. Tapi Rahman tak punya pilihan lain. "Jaga diri baik-baik, jaga anak kita," pesan Rahman dengan mengelus perut istrinya. Kepergian Rahman diiringi tangisan dari Ibu dan istrinya. Hingga punggung lelaki itu me
"Apa yang kami katakan benar adanya loh, Mala," ucap Bu Usman lagi dengan yakin. Mala makin mendelik pada dua orang wanita dihadapannya. "Ya … Tuhan, apakah mereka tak punya empati padaku yang sedang hamil ini? Hingga begitu ringan mengatakan itu semua. Meski ada benarnya, tidak usah pula terlalu di yakinkan, bukankah yang melakukannya juga oknum, tidak semua PNS serta merta begitu," batin Mala bermonolog sendiri. Akhirnya ia permisi masuk dan tak meneruskan menyapu halaman. Tangisannya yang sejak tadi ditahan, pecah begitu saja ketika bokongnya menyentuh ujung kasur. Ia menangis sendirian dengan sesak yang teramat sangat. ———— Wanita 23 tahun itu entah berapa lama tertidur dengan tangisannya. Kini ia merasa pusing sekali, dunianya terasa berputar, kepala berdenyut. Saat matanya melirik benda bundar yang tergantung di dinding, ia terperanjat. Waktu telah menunjukkan pukul 10:25 wib. Bau masakan pun sudah menguar, suara orang ngobrol tidak begitu jelas di pendengarannya. Rasa penas