"Biadab kalian!" teriak Rubi saat memergoki suaminya dan salah satu karyawannya sedang bercinta di gudang ruko tempat usaha Rubi yang baru saja berdiri empat bulan.
"Tega kamu, Mas," isaknya memegangi dadanya yang begitu terasa sakit.
"Rubi ... Rubi, ini enggak seperti yang kamu pikirkan. Dia yang paksa aku," ujar Dimas memohon.
"Tega kamu, Mas ...." Rubi terduduk di lantai sementara wanita yang bersama Dimas sedang membenahi pakaiannya.
"Pergi kalian dari sini! PERGI!!" usir Rubi.
"Mbak ...." Mbok Inah membantu Rubi berdiri.
Wanita itu terlihat kacau, sementara Dimas masih berdiri di depan pintu.
"Antar saya pulang, Mbok. Dan kamu, jangan pernah lagi menginjakkan kaki di sini, saya tidak mau melihat kamu di sini atau dimana pun," ujar Rubi menatap tajam ke arah wanita bertubuh mungil itu.
"Rubi ... Rubi dengar penjelasan aku, dia yang menggoda aku, aku khilaf, Sayang," mohon Dimas.
"Aku jijik lihat kamu, Mas ... jangan pernah dekati aku atau sekalipun Tama. Ingat itu!" Ancam Rubi.
"Oh bawa anak kamu ternyata, sudah hebat kamu! Iya! Ini yang nggak aku suka dari kamu, sombong! Merasa bisa sendiri ... Iya! Mentang-mentang aku udah nggak kerja lagi, sekarang kamu merasa hebat!"
"Enggak usah mencari pembelaan diri, Mas. Kamu yang melakukan kesalahan semua kena imbasnya. Sudah berapa kali ini? Aku selalu berusaha memaafkan dan tidak ambil pusing, tapi ini kamu kelewatan! Di tempat usahaku dan dengan karyawanku!"
"Setidaknya dia lebih bisa melayani aku di banding kamu." Dimas tersenyum sinis.
"Terserah kamu, pergi kamu dari sini! Aku sudah muak liat muka kamu!"
"Perempuan sombong! Jangan seenaknya kamu memisahkan aku dengan Tama!"
*****
Enam tahun menjanda bagi Rubi bukanlah hal yang mudah, setelah memergoki sendiri dengan mata dan kepalanya, bahwa suaminya bercinta dengan karyawan toko rotinya membuatnya semakin menguatkan tekad untuk fokus pada usaha dan buah hatinya Tama.
"Ngelamun aja." Inggit mengagetkan Rubi yang sedang duduk menghadap jendela.
"Hei, nggak bilang mau kesini," ujar Rubi.
"Rame?" tanya Inggit.
"Lumayan ...." Rubi melihat sekelilingnya ada sekitar lima orang yang memasuki toko rotinya sekarang, setelah tadi pagi cukup ramai banyak pekerja kantoran yang mengunjungi.
"Catering gimana? Kemarin waktu nikahan si Sopia banyak yang nanya catering kamu, BI," ujar Inggit saat mengingat acara pernikahan sepupunya yang memakai jasa catering Rubi.
"Bantu promo dong," ujar Rubi.
"Pastilah."
"Kerjaan gimana?" tanya Rubi sambil menyodorkan dua lemper ayam dan roti isi coklat. " Mau teh hangat?"
"Boleh," jawab Inggit. "Kerjaan ya gitu lah, lusa keluar kota lagi ... capek aku, BI."
"Enggak boleh ngeluh, kalo enggak mau capek ya nikah, ngurus suami sama anak aja." Rubi tertawa.
"Tambah capek," kekeh Inggit.
"Oh ya, tau kan perusahaan food and beverage yang pernah aku ceritakan itu.
"Oh yang bangunannya kalian yang desain, proyek besar kan waktu itu?" Rubi mencoba mengingat ingat kembali.
"Iya, direkturnya ganti ... katanya sakit, padahal baik banget."
"Semua kan ada masanya, Nggit." Rubi ikut mencomot lemper ayam di atas piring.
"Lemper aku itu, piye toh?" Inggit dan Rubi tertawa.
"Kalo ada butuh-butuh catering kasih tau aku ya, Nggit ... lumayan buat bayar cicilan hutang modal usaha toko," kata Rubi.
"Enam tahun, Bi. Tokomu ini sudah banyak yang tau, tinggal konsepnya di besarkan lagi, di matengin," kata Inggit.
"Iya, tapi kan tetep butuh modal juga." Rubi mendegus.
"Tama sehat? Udah lama aku nggak nengokin cah ganteng itu ... masih mirip kamu kan?" Inggit tertawa.
"Iyalah, jangan sampe mirip bapaknya. Amit-amit jabang bayi." Rubi mengusap perutnya.
Mereka lalu terdiam, saling pandang lalu asyik dengan pikiran masing-masing.
"Kemarin aku ketemu dia." Inggit kembali membuka obrolan.
"Siapa?"
"Dimas," jawab Inggit.
"Sudah aku bilang, aku nggak mau tau lagi tentang dia ....' Rubi mendegus, rasanya malas sekali tahu berita tentang lelaki itu sama saja memberi rasa pahit di tenggorokannya.
"Kabarnya sudah cerai lagi ....." Lagi-lagi mereka saling berpandangan.
"Papaaa ...," seru Arsa saat melihat SUV putih itu memasuki pekarangan rumah mereka. Dua malaikat kecil itu melambai-lambaikan tangannya pada Regantara. "Papaaa, katanya janji hari ini mau ke tempat mama," ujar Kayma saat Regantara sudah berdiri di hadapan mereka. "Papa, kan kasihan mama kalo kita nggak dateng lagi," ujar Arsa. Sembari berjongkok menyamakan posisinya dengan kedua anaknya, Regantara bergantian membelai kepala buah hatinya. "Besok, kalo udah nggak hujan kita ke tempat mama, ok?" "Janji ya? Kay udah beliin bunga kesukaan mama tadi." "Oh ya? Sama siapa belinya?" Regantara berdiri, menggandeng kedua tangan putra dan putrinya itu masuk ke dalam rumah mewah bercat putih. "Sama Oma dong," sahut wanita separuh baya yang masih sangat terlihat cantik. "Tadi sepulang sekolah mampir ke toko bunga yang biasa—" lanjutnya lagi. "Kamu sudah di tunggu Papa di ruang makan," ujar Irma. "Kay sama Arsa tunggu Papa di kamar ya," titah Irma. Biasanya jika sedang seperti ini, itu artin
"Pak, meeting setengah jam lagi di mulai," kata Arven assisten Regantara."Kenapa mendadak meetingnya, Ven?" Regantara beranjak dari kursi kerjanya menutup laptop."Kurang tahu juga, Pak. Pak Wahyu meminta semua jajaran terkait untuk hadir, termasuk tadi saya lihat direktur perusahaan cabang kita di Semarang," terang Arven.Regantara orang pertama yang hadir di rapat sore itu lalu di susul beberapa manager divisi dan para jajaran direksi perusahaan food and beverage yang sudah berdiri lebih dari 30 tahun itu. Dan terakhir sosok lelaki tua yang masih nampak gagah itu pun memasuki ruangan.Rapat sore itu berjalan dengan baik, laporan dari semua cabang pun di terima Wahyu dengan garis bibir yang bangga, termasuk cabang baru mereka di Semarang."Ada satu hal yang ingin saya sampaikan, terkait dengan perkembangan cabang baru kita di Semarang. Pak Ramli ...." Sorot mata Wahyu berhenti menatap lelaki berumur 50 tahun itu. "Sebagaimana kita tahu kesehatan Pak Ramli belakangan ini sedang berma
"Bonoooo ...."Suara nyaring Rubi membuat Bono harus berlari tergopoh-gopoh menghampiri pemilik catering tempat dia bekerja."Ini sudah selesai semua," kata Rubi menyodorkan dua paper box berisi sambal ati kentang dan ikan pesmol yang akan dia bawa ke sebuah perusahaan food and beverage."Mudah-mudahan tendernya, kita menangkan ya, Mbak," ucap Bono merapikan perlengkapan yang akan mereka bawa."Iya, mudah-mudahan ... habis antar aku, nanti jemput Tama ya. Takutnya hujan ... banjir." Rubi meraih tas tangannya."Terus, Mbak Rubi nanti naik apa?""Aku bisa pake ojek online, sekalian mau ke toko Bu Ratih beli perlengkapan roti, sudah mulai sedikit.""Oke ....""Cepet ya, Bon. 15 menit kita sudah harus berada di sana," ujar Rubi meraih helm dari tangan Bono."Iya, Mbak ...."Nyatanya, 15 menit berubah menjadi 30 menit lantaran mereka harus terjebak macet di Simpang Lima."Demo, Mbak," ujar Bono membuka kaca helmnya."Demo apalagi?""BBM, Mbak.""Ya ampun." Rubi mendegus kesal."Mau demo ka
"Jadi ... ditinggal gitu aja, Mbak?" Bono menyeruput es jeruknya."Setelah dia mencicipi masakan kita," jawab Rubi."Hhmm ... tapi kayaknya kita menang, Mbak," kata Bono yakin."Seyakin itu kamu, Bon." Rubi kembali berkutat dengan catatannya."Mbak Rubi cerita kalo wajahnya kayak seneng gitu kan waktu nyobain sambal goreng ati." Bono menggeser sedikit gelas berisi es jeruk ke sisi kanannya."Iya sih.""Nah ... masakan yang kita suguhkan kemarin itu aku rasa lebih merakyat. Ya Mbak Rubi tau lah, di sana banyak karyawan pabrik kan ... rata-rata penikmat masakan biasa, itu yang kita jual." Bono mengubah posisi duduknya."Iya, aku ngerti ... cuma aku gak suka bos nya. Sombong ... ih kamu kalo liat juga bakal gemes." Rubi meletakkan pulpennya. "Mukanya itu nyebelin, gayanya gini kalo ngomong," ujar Rubi memperagakan tangan Regantara yang di lipat di depan dada."Haha ... hati-hati Mbak, biasanya dari benci jadi cinta." Bono tertawa."Hush ... opo toh, kamu ada-ada aja. Eh iya, kamu hari in
"Dua menu ini untuk hari Senin dan Selasa ya, Bu," ujar Rubi meletakkan dua kantung kresek di lantai dapur di susul Bono yang membawa lebih banyak kantung kresek berwarna hitam."Ya sudah, nanti Ibu dan Mbok Inah yang kerjakan. Kamu siap-siap sekarang," ujar wanita berumur 55 tahun itu pada Rubi."Nanti ada Yanti yang akan membantu kita, Bu. Rubi hanya sebentar kok ....""Terus yang di toko hanya dua orang? Roti sudah dikerjakan semua?" tanya Widya lagi."Sudah semua, semua tugas mereka sudah Rubi bagi-bagi. Jadi mudah-mudahan ndak ada masalah."Ibu Widya mengangguk-angguk, selama ini wanita paruh baya itu selalu percaya dengan semua yang Rubi kerjakan. Rubi hanya memintanya untuk membantu sebisanya saja."Mbak, ayo nanti kita terlambat ... enggak enak," ujar Bono. "Aku tunggu di depan, ya.""Iya, aku siap-siap dulu," ucap Rubi lalu menoleh ke arah Widya. "Mbok Inah, semangat ya ...." Rubi mengangkat lengannya lalu tersenyum ke arah wanita yang sama tuanya dengan sang Ibu."Iya, Mbak
"Kenapa nggak naik pesawat?" tanya Irma saat Regantara memasuki kamar rawat inap Arsa malam itu. Regantara langsung menghampiri tempat tidur dimana Arsa yang sudah terlelap."Gimana Arsa, Ma?" tanya Regantara tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan Irma."Sudah stabil," jawab Irma. "Panasnya sudah tiga hari sama hari ini, siang tadi panasnya tinggi sekali. Waktu mau di antar ke rumah sakit, Arsa mengalami kejang," ujar Irma yang berdiri di ujung tempat tidur. "Maaf ... Mama jadi kecolongan—""Enggak apa-apa, Ma. Yang penting sekarang Arsa sudah stabil." Regantara tersenyum, dia tidak ingin ibu mertuanya itu semakin sedih. "Dokter bilang apa, Ma?""Tadi sudah cek lab, nanti mungkin dokter jaga yang akan membacakan hasilnya. Mama juga dari tadi menunggu." Irma melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 8 malam."Kayma?""Kayma pulang sama opa nya, dia mau nunggu kamu tapi Mama bilang besok saja, nanti kecapekan." Irma menarik kursi di dekatnya. "Kamu sudah makan?""Belum, Ma ... bel
Lonceng di pintu masuk toko roti malam itu berbunyi. Rubi masih menghitung sisa roti yang berada di etalase, sedangkan dua pegawai lainnya berada di ruang belakang membereskan peralatan, maklum saja sudah pukul setengah sembilan malam yang artinya toko sebentar lagi tutup."Mau yang ini satu, ini satu, ini juga, yang ini masih bagus?" Regantara menunjuk satu roti keju, roti isi coklat, rasa kopi dan dua risole mayonaise yang tersisa tiga buah id etalase dekat Rubi berdiri.Rubi mengangkat wajahnya, wanita itu gelagapan saat melihat Regantara berada di toko roti miliknya."Pak Regan?""Kamu?" Regantara ikut terkejut melihat wanita berpostur sedang itu berdiri di balik etalase roti. "Kok di sini?" tanya Regantara."Milik saya, Pak," jawab Rubi canggung."Oh ... milik kamu." Regantara mengangguk-angguk."Saya siapkan dulu pesanan Bapak," ucap Rubi sambil mengambil kotak kue. "Hanya ini saja, Pak?" tanya Rubi memberanikan diri menatap lelaki itu."Iya, berapa?""Tiga puluh lima ribu," jaw
"Mbak ...." Bono memanggil Rubi membuat wanita itu pun ikut menoleh ke arah pintu masuk. Rubi cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya saat melihat Regantara berjalan ke arahnya. "Pak," sapa Rubi sambil menundukkan sedikit kepalanya memberi hormat diikuti Yanti dan Bono. "Saya bisa minta kopi?" tanya Regantara. "Hah?" Mata Rubi terbelalak. "Diantar ke meja dekat jendela," kata Regantara lagi. "Oh, iya Pak." Rubi memberanikan kode pada Bono untuk membuatkan Regantara kopi. "Mbak, manis?" tanya Bono. "Enggak tau," jawab Rubi. "Lah, terus?" Bono kebingungan. "Tanya gih," titah Rubi. "Yang nanya?" tanya Bono lagi. "Ya kamu, Bon," jawab Rubi kesal. "Wes, biar aku yang nanya," sahut Yanti mengikat tinggi rambutnya. "Woo ... kesempatan dia." Bono menggelengkan kepala. Tak berapa lama Yanti kembali dengan tersenyum. "Kopi apa?" tanya Bono dan Rubi bersamaan. "Tanpa gula," cebik Yanti. "Pas di tanya mukanya datar buanget, huh." "Lah terus tadi ngapain senyum?" Bono mulai ta