"Papaaa ...," seru Arsa saat melihat SUV putih itu memasuki pekarangan rumah mereka. Dua malaikat kecil itu melambai-lambaikan tangannya pada Regantara.
"Papaaa, katanya janji hari ini mau ke tempat mama," ujar Kayma saat Regantara sudah berdiri di hadapan mereka.
"Papa, kan kasihan mama kalo kita nggak dateng lagi," ujar Arsa.
Sembari berjongkok menyamakan posisinya dengan kedua anaknya, Regantara bergantian membelai kepala buah hatinya.
"Besok, kalo udah nggak hujan kita ke tempat mama, ok?"
"Janji ya? Kay udah beliin bunga kesukaan mama tadi."
"Oh ya? Sama siapa belinya?" Regantara berdiri, menggandeng kedua tangan putra dan putrinya itu masuk ke dalam rumah mewah bercat putih.
"Sama Oma dong," sahut wanita separuh baya yang masih sangat terlihat cantik. "Tadi sepulang sekolah mampir ke toko bunga yang biasa—" lanjutnya lagi. "Kamu sudah di tunggu Papa di ruang makan," ujar Irma. "Kay sama Arsa tunggu Papa di kamar ya," titah Irma.
Biasanya jika sedang seperti ini, itu artinya bapak mertua Regantara itu pasti ada hal serius yang akan di bicarakan.
"Regan temui papa dulu, Ma," pamit Regantara diikuti anggukan sang Ibu Mertua yang membawa anak-anaknya naik ke lantai dua.
Lelaki berkulit putih masih menikmati makan malamnya seorang diri lalu melihat kedatangan Regantara dengan menarik sudut bibirnya sedikit.
"Sudah makan?" tanya Wahyu ringan pada menantunya.
"Belum, Pa ... masih kenyang," jawab Regan menarik kursi tepat berada di sisi Wahyu.
"Makan lah sedikit, kasihan mama kamu sudah masak tadi," ujar Wahyu meletakkan sendoknya.
Mau tak mau Regantara mengikuti titah lelaki itu. Lelaki yang sudah 10 tahun ini menjadi mertua sekaligus atasannya di kantor.
"Regan ...."
"Ya, Pa."
"Papa mau menawarkan posisi di perusahaan kita ... untuk kamu." Tatapan Wahyu seperti biasa mulai serius jika membahas masalah pekerjaan.
"Tapi posisi Regan sekarang sudah cukup, Pa."
"Mana ada menantu seorang pengusaha food and beverage ternama di Indonesia hanya seorang Manager Area ... dan jabatan itu sudah hampir 10 tahun!"
"Tapi—"
"Jangan ada alasan tidak enak atau apalah itu, toh kinerja kamu memang bagus. Cukup sudah Papa menahan diri untuk kamu melewatkan kesempatan kali ini ...."
"Regan hanya—"
"Papa mau kamu menerima tawaran Papa tanpa ada penolakan," tegas Wahyu.
"Keluarga Papa sudah terlalu—" Regantara menghentikan kata-katanya, matanya menatap sosok tegas di depannya.
"Papa mau kamu mengembangkan usaha kita yang ada di Semarang, perusahaan itu sudah satu tahun berjalan di sana. Kamu hanya meneruskan kinerja direktur yang lama. Papa tau kamu mampu, jadi tolong di terima. Posisi itu penting untuk kamu, kamu sudah Papa anggap sebagai anak sendiri," ujar Wahyu lalu berdiri dan berjalan menghampiri Regantara.
"Masalah anak-anak kamu, biar Papa dan mama yang ambil alih. Pokus saja dengan pekerjaan, semua akan baik-baik saja di sini." Wahyu menepuk pundak Regantara lalu meninggalkannya seorang diri di ruangan besar itu.
Helaan napas panjang itu terdengar pelan, Regantara meletakkan sendok dan garpunya. Pikirannya melayang pada dua buah hatinya. Meninggalkan mereka dalam kurun waktu yang lama, meski Kayma dan Azka sudah sering ditinggal untuk dinas keluar kota tapi bukan dalam waktu berbulan-bulan.
*****
Regantara membuka handle pintu kamar Kayma dan Arsa, dua bocah kecil itu masih asyik bermain. Di sudut ruangan, Irma masih senantiasa mengerjakan rajutan sweater yang hampir selesai. Katanya, itu sweater untuk Regantara.
"Sudah bicara dengan Papa?'
"Sudah, Ma."
"Bagaimana? Anak-anak biar sama Mama ... Mama masih kuat mengurus mereka, toh ada papa dan pengasuh mereka juga." Irma melipat rajutan sweater tadi lalu mengalihkan pandangannya ke arah dua cucunya.
"Regan sudah banyak meminta bantuan dari Mama dan papa, Regan rasa ... papa terlalu berlebihan, Regan berada di posisi sekarang saja itu sudah cukup." Regantara duduk bersila di samping Kayma yang sedang memainkan boneka Barbie nya. "Sudah bersih-bersih?" tanyanya pada Kayma.
"Sudah, Pa ... tapi sebentar lagi ya tidurnya," ujar Kayma tersenyum diikuti anggukan dari Regantara.
"Kenapa berlebihan? Kamu bagian dari keluarga ini, selamanya akan seperti itu. Papa mu juga pasti tidak sembarangan mengambil keputusan, dia melihat kinerja kamu selama ini bukan hanya karena kamu menantu dari Wahyu Pratama, tapi memang kamu salah satu yang terbaik." Irma sedikit menahan suaranya agar kedua cucunya tidak teralih perhatian.
"Regan pikirkan lagi, Ma."
"Debby juga pasti senang dengan keputusan papa-nya. Sudah lama dia merengek ingin kamu di promosikan tapi kamu bilang pada Debby biarkan waktu yang akan membuktikan. Dan sekarang, Mama rasa ... semua sudah tepat." Irma berdiri dari duduknya. "Jangan khawatirkan cucu-cucu Mama, hanya sementara sampai perusahaan itu benar-benar berkembang di tangan kamu." Irma mengembangkan sudut bibirnya. "Mama tinggal dulu, ya ... Kay, Arsa ... Oma tidur dulu ya, kalian cepat tidur karena besok harus sekolah." Satu per satu dua bocah kecil itu mencium pipi sang Nenek serta memberi pelukan selamat malam.
"Cerita apa yang mau kalian dengar malam ini?" tanya Regantara sambil duduk di sisi tempat tidur.
"Em ... apa ya?" Arsa naik ke tempat tidur, lelaki kecil berusia lima tahun itu mempunyai paras yang begitu mirip ibunya.
"Gimana kalo cerita tentang Papa dan mama lagi?" Kayma menarik selimutnya. "Waktu Papa sama mama pertama kali ketemu," ujarnya lagi.
"Iya ... iya, Arsa nggak bosen dengernya. Apalagi waktu Papa jatuh dari kuda waktu di ajak mama latihan. Papa nangis nggak?"
"Haha ... enggak, Papa enggak nangis, Nak. Cuma sakit ... nih," ujar Regantara menepuk bokongnya.
Regantara berbaring di antara kedua anaknya, bersama dalam satu selimut, menceritakan hal-hal indah antara dia dan Debby semasa hidup, menceritakan awal pertemuan mereka hingga menikah hingga hadirnya Kayma dan Arsa. Cerita itu bisa selalu berulang setiap malam mereka dengar, selain dongeng-dongeng putri dan jagoan-jagoan di dunia khayal.
Setiap malam adalah waktu dimana Regantara selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan cerita tentang keseharian anak-anaknya. Berperan sebagai ayah sekaligus ibu untuk kedua buah hatinya sudah dia lakoni semenjak kepergian Debby.
Apa jadinya jika dia menerima tawaran Wahyu Pratama untuk memimpin perusahaan di luar kota. Bagaimana dengan anak-anaknya? Bagaimana dengan kehadirannya yang akan sangat berkurang jika dia menerima tawaran itu? Namun, jika pun dia menolak ... bagaimana dengan kedua mertuanya yang sudah terlalu baik padanya?
Regantara memandangi bergantian wajah anak-anaknya yang sudah terlelap. Perlahan Regantara beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi. Tak berapa lama kucuran air itu pun terdengar, lelaki itu berusaha menyejukkan kepalanya. Barangkali saja dia bisa berpikir sedikit jernih untuk merenungi kembali tawaran itu.
Lima belas menit berlalu, lelaki itu keluar dengan wajah yang lebih segar. Sembari berdiri di depan cermin, menatapi dirinya.
"Bagaimana menurut kamu, Sayang? Tawaran Papa apa harus aku tolak atau aku terima?" Helaan napas itu kembali terdengar. "Aku butuh pendapat kamu," gumam Regantara yang selalu mengharapkan kehadiran Debby di saat dia membutuhkan solusi.
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea