Angin malam berhembus menerpa wajah Tiara. Wanita itu sedang duduk di kursi taman rooftop gedung. Pikirannya melayang entah kemana. Saat ini Tiara hanya ingin lari dari kenyataan.
Tangan Tiara meremas ponsel Naren. Ponsel yang menampar dirinya, seolah memaksanya sadar akan sesuatu. Pernikahan yang selama ini berusaha dia lindungi, ternyata hanyalah ilusi.
Semuanya terlihat jelas, Tiara mendesah. Apa ini memang sudah waktunya dia mundur dari posisi sebagai istri yang tidak dianggap?
“Pa… Ma… Apa aku harus menyerah sekarang?” bisik Tiara sambil mendongak ke langit malam.
Tanpa sadar dia meneteskan air matanya. Langit malam itu penuh bintang dan sangat cerah, berbanding terbalik dengan suasana hati Tiara saat ini.
“Ehem!” sebuah deheman seseorang muncul tiba-tiba. Spontan Tiara menoleh. Alis matanya terangkat sempurna melihat Rafka yang sudah berdiri di belakangnya.
Tiara langsung menyapanya dengan mengangguk.
“Apa kata saya, angin malam di sini segar, kan?” ujar pria itu basa-basi ke Tiara. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
“Hmm, terima kasih sudah merekomendasikan tempat ini,” sahut Tiara.
“Boleh ikut duduk?” Rafka menunjuk ke arah bangku kosong di sisi Tiara.
Tiara mengangguk lalu menggeser posisi duduknya ke tepi, memberikan ruang untuk Rafka duduk.
Pria itu menjatuhkan tubuhnya seketika sambil menghela nafas panjang. “Aduh nyamannya…” ucapnya kemudian.
Tiara hanya diam tidak merespon apapun. Entah sudah berapa kali dia berhadapan dengan dokter bernama Rafka ini dalam sehari. Dan semua pertemuan itu, Tiara selalu dalam keadaan terpuruk. Sebagai wanita dia malu pada Rafka.
Jadi, Tiara memilih diam saja alih-alih menanggapi dan terlalu akrab dengan pria itu.
“Bagaimana keadaan pipi anda? Apa masih lebam?” Rafka mencondongkan wajahnya mendekat pada Tiara. Terlalu dekat, sampai Tiara harus memundurkan tubuhnya memberi jarak aman.
“Hmm. Sudah lebih baik,” jawab Tiara singkat. Sebenarnya canggung juga ditanya tiba-tiba oleh seorang pria dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan, Naren suaminya tidak pernah berinteraksi dengannya sedekat ini.
Ah, mungkin tidak pernah karena pria itu memang tidak menyukai Tiara dari awal.
“Syukurlah, bisa gawat kalau lebamnya dibiarkan.”
Rafka kembali ke posisi duduknya. Matanya terpejam menikmati angin malam yang berhembus lembut menerpa mereka berdua.
Taman rooftop rumah sakit itu tidak begitu luas. Hanya saja ada beberapa spot yang diberi kursi dan beberapa blok tanaman hijau untuk mempercantik dekorasi.
Keduanya tak lagi bicara sampai beberapa menit ke depan. Suasana hening yang menenangkan untuk Tiara dan juga Rafka.
Sampai akhirnya Rafka membuka suara yang mampu mengguncang hati Tiara.
“Apa yang akan anda lakukan setelah mengetahui bahwa suami anda berselingkuh?” ucapnya santai tanpa menoleh ke arah Tiara.
Sedangkan Tiara langsung melihat ke arah pria itu. Sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Rafka. Apa dia sudah tahu yang terjadi?
Yah, tidak mungkin dia tidak tahu. Dia adalah dokter yang sama yang memeriksa Naren dan juga Shalsa. Dia juga mengetahui bahwa Shalsa keguguran, lalu kedekatannya dengan keluarga ibu Naren dan Lucy.
Akan lebih lucu kalau pria itu bilang tidak tahu apa-apa. Meski sebenarnya dia bisa menutupinya.
“Apa?” Tiara mengernyitkan dahinya. Tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu oleh pria yang baru dikenal.
“Ah, maaf. Saya cuma…” Rafka menangkupkan kedua tangannya memohon maaf, sepertinya dia sudah berlebihan menanyakan hal tersebut.
Tiara menunduk dan menghela nafas. “Pasti terlihat sangat jelas, ya?” ujarnya dengan sangat lirih, namun tetap bisa didengar oleh Rafka.
“Hmm, tidak juga. Mungkin saya yang terlalu mudah menyimpulkan,” sahut Rafka tanpa mau menyinggung wanita di sebelahnya.
Tiara menggeser tubuhnya, dan menatap dalam wajah Rafka tiba-tiba. Ditatap seperti itu membuat Rafka gugup. “Kenapa?” tanyanya.
“Menurut anda apa saya harus bercerai?”
Tiara tidak tahu kenapa dia bisa menanyakan hal ini pada Rafka. Sungguh, ini tidak seperti Tiara yang biasanya, yang selalu berusaha menutupi masalah yang ada di hidupnya.
Dia merasa kebingungan harus bersikap bagaimana. Dia mencintai Naren dan tidak mau berpisah dari pria itu. Tapi,melihat bukti perselingkuhan Naren dengan Shalsa. Hati Tiara mendadak bimbang.
Apa yang harus kulakukan? Begitulah yang memenuhi pikiran Tiara. Mungkin untuk sebagian wanita meninggalkan suaminya yg ketahuan selingkuh sangatlah mudah. Tapi, saat dihadapkan secara langsung, ada ketakutan yang tidak bisa dijelaskan oleh Tiara.
Wanita itu takut hidup sendirian lagi…
Rafka tidak langsung menjawab. Pertanyaan yang dilontarkan Tiara seolah sesuatu yang tak boleh dijawab asal.
“Bagaimana perasaan anda?” Rafka memilih bertanya balik.
Tiara menggeleng. “Saya juga tidak tahu,” ucapnya lirih. Sambil menunduk tanpa sadar air matanya menetes. Cepat-cepat dia mengusapnya.
“Kalau memang menyakitkan, saya rasa tidak ada alasan untuk tetap bertahan, kan?” ucap Rafka.
“Rasa sakit, ya?” Tiara mendongak melihat ke arah pria itu. Matanya yang sembab tak begitu jelas di mata Rafka, namun suaranya yang terdengar parau membuat Rafka yakin, wanita itu habis menangis.
“Tapi, aku mencintainya,” ujar Tiara.
“Apa rasa cinta cukup untuk mempertahankan hubungan pernikahan tanpa kesetiaan?” ucap Rafka sambil menatap dalam Tiara.
Tiara bergeming, dia sempat goyah dengan kata-kata pria di sebelahnya. Tidak ada kalimat untuk membalas argumen pria itu. Seolah dia sedang ditampar agar sadar.
Kesetiaan? Kepercayaan? Ternyata Tiara melewatkan banyak hal dalam pernikahannya. Wanita itu baru sadar bahwa cinta saja tidak cukup.
Setelah menatapnya dalam dengan wajah serius. Rafka tiba-tiba tersenyum ke arah Tiara. Membuat mata wanita itu membulat sempurna, bingung harus bersikap bagaimana.
***
Setelah bertemu dengan Rafka di rooftop malam lalu. Hati Tiara mulai goyah. Dia bertanya-tanya apakah cintanya pada Naren sesuatu yang benar atau hanya sebuah obsesi yang akhirnya menyakitinya sendiri.
Tiara menarik nafas panjang, di sebelahnya Naren masih menutup mata.
“Kak, aku harus bagaimana denganmu?” tanyanya pada Naren seolah ingin mendapatkan jawabannya langsung.
Tiara terkekeh setelahnya, merasa bodoh mengajak bicara pria koma.
Bagaimanapun dia harus memutuskan, apakah Tiara tetap bertahan atau melepaskan pria yang sudah dicintainya selama tujuh tahun itu.
Saat Tiara larut dalam lamunannya, Rosa masuk ke dalam ruangan dan langsung mendorong tubuh Tiara hingga terpelanting ke belakang.
Rosa melemparkan sebuah kertas padanya. “Tanda tangani itu!” katanya tegas sambil menunjuk kasar ke arah kertas yang dilempar ke muka Tiara.
“Apa ini, Ma?” tanya Tiara memungut kertas tadi.
“Surat gugatan cerai. Tinggalkan Naren!” ucap Rosa tanpa melihat Tiara.
Tiara membeku sesaat, melihat lembar kertas itu. Tidak ada satu kalimat yang keluar dari bibirnya. Wanita itu hanya diam.
Rosa tersenyum menyeringai, meremehkan sikap Tiara yang lemah.
“Baik, Ma,” jawab Tiara singkat.
Rosa tampak tercengang, wanita itu berpikir Tiara akan memohon seperti sebelum-sebelumnya. Hal ini bukan pertama kalinya Rosa menekan Tiara untuk bercerai dengan Naren.
Tapi, respon Tiara kali ini membuat Rosa terkejut. Tak biasanya dia menurut kalau soal cerai. Wanita itu pun langsung menatap Tiara.
“Apa tadi aku tidak salah dengar?” ujar Rosa memastikan.
Tiara menggeleng. “Tidak, mama tidak salah dengar.”
Alis Rosa hampir menyatu, “Kau serius mau menandatangani surat gugatan cerai?”
“Itu yang mama mau, kan?”
Entah kenapa Rosa malah tertawa keras. “Ah, hampir saja aku tertipu denganmu,” katanya. “Jangan pikir aku mudah digertak dengan kamu bilang mau menandatangani surat itu. Dan kamu pikir aku akan mempertahankanmu! Tidak akan!”
Rosa berpikir, Tiara hanya tarik ulur dengannya.
Siapapun yang mengenal Tiara selama ini pasti begitu. Mana mungkin Tiara mau bercerai dengan Naren, pria yang sudah dicintainya selama tujuh tahun dan akhirnya menikah selama 3 tahun itu.
Tapi, Tiara saat ini berbeda. Kalau memang sudah selama itu dan terasa menyakitkan, apakah rasa cinta cukup untuk bertahan? TIDAK.
Tiara langsung mengambil pulpen yang dilempar bersama kertas tadi. Dan langsung menandatangani surat gugatan cerai itu.
“Surat ini,” Tiara memperlihatkan form cerai yang sudah ia tanda tangani pada Rosa. “Aku atau Mama yang akan menyerahkannya ke pengadilan?” tanyanya kemudian dengan ekspresi tenang.
***
Sudah hampir satu minggu Naren sadar dari koma. Selama itu juga Naren tidak melihat Tiara sama sekali. Dia merasa ada yang aneh, karena Tiara tidak pernah datang menjenguknya sama sekali. Hal yang tidak mungkin terjadi. Mengingat wanita itu yang sangat mencintainya. Tapi kenapa? Kenapa dia tak mendengar kabar wanita itu sama sekali. Apa wajar seorang istri tak pernah mengunjungi suaminya yang sedang di rumah sakit. Naren semakin tidak habis pikir. Padahal selama ini Tiara sangat berisik kalau menyangkut soal dirinya. Hari ini pun sama, Shalsa, Lucy dan mamanya saja yang datang tanpa Tiara. “Ma…” panggil Naren. Mamanya yang sedang memindahkan vas bunga menoleh ke arahnya. “Hmm. Apa kamu perlu sesuatu?” Rosa berbalik mendekat ke arah Naren, anaknya. “Tiara dimana, Ma? Kenapa dia tidak menjengukku?” tanya Naren dengan suara beratnya. Rosa tersentak, tidak mengira Naren akan bertanya soal Tiara. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya pada Naren. Kalau dia yang mengusi
Padahal Tiara sangat berharap pada Naren saat itu. Harapan ingin dicintai sebagai seorang wanita. Tapi, ternyata cinta saja tidak cukup dalam mempertahankan suatu pernikahan. Tiara memilih mundur, karena tidak ingin jadi istri yang tersakiti lebih dalam. Dia mendesah pelan ketika memasukkan baju terakhirnya ke dalam koper. Ya, dia berada di kamarnya sekarang. Setelah menandatangani form gugatan cerai yang diberikan mertuanya, Tiara langsung pulang ke rumah dan berkemas. Sebelum nantinya dia yang akan diusir, Tiara memilih pergi lebih dulu.“Haahhh, hmmm,” Tiara menghela nafas panjang. Matanya menyapu setiap sudut ruangan kamarnya. “Tiga tahun lalu aku kemari berharap di kamar ini dia melihatku sebagai wanita. Tapi ternyata aku harus pergi dari sini. Ha... ha... ha... lucu sekali,” Tiara tertawa getir. Selama tiga tahun perjuangannya agar dicintai Naren ternyata sia-sia. Tiara mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. “Halo kak, ini aku Tiara. Kakak bisa jemput aku?” Entah siap
Angin malam berhembus menerpa wajah Tiara. Wanita itu sedang duduk di kursi taman rooftop gedung. Pikirannya melayang entah kemana. Saat ini Tiara hanya ingin lari dari kenyataan.Tangan Tiara meremas ponsel Naren. Ponsel yang menampar dirinya, seolah memaksanya sadar akan sesuatu. Pernikahan yang selama ini berusaha dia lindungi, ternyata hanyalah ilusi. Semuanya terlihat jelas, Tiara mendesah. Apa ini memang sudah waktunya dia mundur dari posisi sebagai istri yang tidak dianggap?“Pa… Ma… Apa aku harus menyerah sekarang?” bisik Tiara sambil mendongak ke langit malam. Tanpa sadar dia meneteskan air matanya. Langit malam itu penuh bintang dan sangat cerah, berbanding terbalik dengan suasana hati Tiara saat ini. “Ehem!” sebuah deheman seseorang muncul tiba-tiba. Spontan Tiara menoleh. Alis matanya terangkat sempurna melihat Rafka yang sudah berdiri di belakangnya. Tiara langsung menyapanya dengan mengangguk. “Apa kata saya, angin malam di sini segar, kan?” ujar pria itu basa-basi
Pipi Tiara masih terasa panas dan perih. Saat ia menoleh ke arah kaca toilet, ternyata ada bekas membiru di sisi wajahnya. Tamparan mertuanya sangat keras hingga meninggalkan bekas. Apalagi penampilannya yang sangat berantakan akibat siraman kopi. Tiara seolah tak memiliki harga dirinya lagi sebagai manusia. “Kenapa aku mendapatkan perlakuan buruk sampai seperti ini?” gumamnya sambil melihat dirinya sendiri di pantulan kaca. “Apa salahku?” tanya dengan tatapan kosong. Tiara terdiam lama di depan kaca sambil melihat dirinya yang berantakan. Ini bukan pernikahan yang dibayangkannya. Mungkin dia bisa bertahan dengan sikap dingin Naren selama ini, tapi… kalau pria itu sudah berselingkuh. Bukankah artinya tidak ada harapan lagi untuk Tiara bertahan.Sebesar apapun rasa cinta Tiara pada Naren. Tapi, kalau hati pria itu untuk wanita lain, apa gunanya. Dan, perlakuan yang diterima Tiara dari mertua dan keluarga Naren lainnya juga sangat keterlaluan. Tiara menggigit bibir bawahnya menaha
Tiara masih membeku di depan ruangan Shalsa. Masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Hamil? Shalsa sempat hamil dan keguguran. Rasanya benar-benar runtuh seketika dunia impian Tiara. Dia masih memegang ponsel Naren yang ditemukannya di koper. Wanita itu terduduk di lobi rumah sakit. Menikah dengan Naren adalah impiannya, menjadi istri dan membangun keluarga kecil adalah sesuatu yang selalu diimpikan Tiara. Tapi kenapa, kenapa nasibnya selalu seperti ini. Kesepian dan ditinggalkan. Tiara tidak tahu sudah berapa lama dia duduk sendirian di sana. Sampai sebuah minuman muncul di dekat wajahnya. Tiara mendongak. Dokter Rafka sudah tersenyum padanya sambil memberikan segelas minuman pada Tiara. “Caramel Macchiato. Saya rasa minuman manis lebih baik dari kata-kata semangat. Silahkan..” katanya menyodorkan minuman. Tiara tidak langsung menerimanya. “Tidak usah dokter,” katanya sungkan. Tapi Dokter Rafka memaksa dan akhirnya Tiara menerimanya. “Apa anda masih sedih?” Tiara men
“Maaf,” ucap pria itu setelah bertemu tatap dengan Tiara. “Huh?” Tiara yang mulai sadar bahwa dia sedang menangis. Cepat-cepat dia menunduk menyembunyikan wajahnya. Cepat-cepat dia mengusap jejak air mata di pipi yang bawah mata sebelum berdiri. “Maaf, saya akan datang lagi nanti.” Pria itu hampir berbalik. Tapi, Tiara menghentikannya. “Ada urusan apa ya?” tanya wanita itu dengan suara yang tercekat. “Saya Rafka dokter jaga. Ini jadwal saya memeriksa pasien.” Pria yang bernama Rafka itu melihat ke arah Naren. “Ah, jadi anda dokter. Silahkan dok,” Tiara membuka jalan untuk Rafka. Rafka dengan menangguk sesaat setelah itu berjalan mendekat ke ranjang Naren. Pria itu melakukan tugasnya sebagai dokter, yaitu memeriksa pasien. Namun sesekali Tiara memergoki Rafka mencuri pandang padanya. Membuat dia tidak nyaman, dan memilih sedikit menjauh dari Dokter muda itu. Melihat Tiara yang menggeser posisinya, Rafka menjadi paham kalau Tiara tidak nyaman, apalagi di ruang perawatan VIP itu