LOGINPipi Tiara masih terasa panas dan perih. Saat ia menoleh ke arah kaca toilet, ternyata ada bekas membiru di sisi wajahnya.
Tamparan mertuanya sangat keras hingga meninggalkan bekas. Apalagi penampilannya yang sangat berantakan akibat siraman kopi. Tiara seolah tak memiliki harga dirinya lagi sebagai manusia.
“Kenapa aku mendapatkan perlakuan buruk sampai seperti ini?” gumamnya sambil melihat dirinya sendiri di pantulan kaca. “Apa salahku?” tanya dengan tatapan kosong.
Tiara terdiam lama di depan kaca sambil melihat dirinya yang berantakan. Ini bukan pernikahan yang dibayangkannya.
Mungkin dia bisa bertahan dengan sikap dingin Naren selama ini, tapi… kalau pria itu sudah berselingkuh. Bukankah artinya tidak ada harapan lagi untuk Tiara bertahan.
Sebesar apapun rasa cinta Tiara pada Naren. Tapi, kalau hati pria itu untuk wanita lain, apa gunanya.
Dan, perlakuan yang diterima Tiara dari mertua dan keluarga Naren lainnya juga sangat keterlaluan.
Tiara menggigit bibir bawahnya menahan gejolak amarah yang membuncah di dalam dirinya. Dia tidak mau menangis lagi, rasanya air matanya mulai mengering sekarang.
“Aku harus mengakhiri semua ini.”
Setelah mengucapkan kalimat itu dengan tekad yang kuat. Tiara membersihkan baju dan mencuci wajahnya. Dia keluar dari toilet sambil menutupi pipi kanannya dengan rambut.
Tiara sedikit terkejut melihat Dokter Rafka yang berdiri di dekat toilet seolah sedang menunggu seseorang. Apa mungkin dia menunggu Tiara? Tapi, kenapa?
Ah, Tiara jadi ingat dengan pertanyaan bodohnya pada Dokter Rafka sebelumnya. Kenapa juga dia bertanya pada dokter itu alasan dia peduli pada Tiara.
“Dia pasti bersikap begitu karena ini adalah rumah sakit dan bisa mengganggu pasien lain. Tentu saja, mana mungkin dia peduli karena aku,” ucap Tiara dalam hati sambil menghela nafas.
Namun, itu malah membuat Rafka tahu bahwa Tiara sudah keluar dari toilet. Pria itu langsung berjalan mendekat ke arah Tiara.
Dokter Rafka berdiri tepat di depannya. Sontak saja Tiara menghentikan langkahnya, matanya membulat seakan bertanya, ada apa?
“Apa anda baik-baik saja?” tanyanya sambil melihat ke sebelah pipi Tiara.
Tiara berusaha menutupi pipinya yang membiru dengan rambut dan tangannya. Lalu dia mengangguk.
Hening sesaat. Rafka menatap ke arah Tiara yang menunduk. Dari matanya menyiratkan rasa kasihan pada wanita di depannya ini.
“Kalau begitu saya…” Tiara ingin pamit pergi. Tapi tangan Rafka menahannya. Tiara sempat tersentak karena dipegang tiba-tiba.
Pria itu menariknya untuk duduk di kursi terdekat. Lalu mengeluarkan satu ice pack dari dalam kantong jasnya.
Tanpa banyak bicara, Rafka langsung membantu mengompres pipi kanan Tiara yang lebam. Tiara sempat menjauhkan wajahnya.
“Kalau tidak dikompres lebamnya tidak akan cepat hilang,” ujar Rafka sambil menempelkan ice pack.
Tiara membeku, jujur saja dia tidak pernah mendapat perlakuan seperti ini. Jantungnya berdebar, saat tangan itu merapikan rambut Tiara ke belakang dan dengan serius mengompres pipinya yang lebam.
Sesaat mata mereka bertemu. Hening. Ada desiran aneh di dalam diri Rafka saat melihat Tiara dari jarak dekat. Begitu juga Tiara.
Cepat-cepat Tiara mengalihkan pandangannya. “Saya bisa sendiri,” katanya langsung mengambil alih ice pack dari tangan Rafka.
Rafka berdehem, menghilangkan rasa canggung yang tiba-tiba muncul. “I-iya silahkan,” ucapnya sedikit terbata sambil menyerahkan ice pack pada Tiara.
Hening lagi.
Tiara sibuk mengompres pipinya sedangkan Rafka masih duduk di sampingnya. Entah kenapa enggan pergi dari sisi Tiara.
“Apa ini sering terjadi?” tiba-tiba saja Rafka bertanya.
Pertanyaan ini… Rasanya Tiara ingin bilang sejujurnya pada Dokter Rafka. Tapi, dia urungkan karena menganggap pria itu orang asing.
Tiara menggeleng. “Mungkin mertua saya sedang emosional saja tadi. Melihat anaknya yang masih koma, membuatnya sensitif,” jawab Tiara tenang, mencoba terlihat biasa saja.
Tapi, Rafka tidak menanggapi lagi, pria itu diam dan malah menatap Tiara dengan tatapan aneh.
“Apa ada sesuatu di wajah saya?” tanya Tiara.
Rafka tak menjawab. Pria itu menarik nafas panjang. “Sensitif katamu.” ucapnya.
Tiara mengangguk.
“Tetap saja tidak wajar menampar orang hanya karena sensitif,” tegas Rafka.
Tentu saja Tiara tahu itu tidak wajar. Tapi tidak mungkin dia bilang seperti itu pada Rafka, apa untungnya untuk Tiara?
Tiara memilih memendamnya saat ini. Orang asing seperti Rafka tidak perlu tahu. Wanita itu berdiri, “Saya akan kembali ke ruangan suami saya. Terima kasih untuk ice packnya,” pamit Tiara.
“Tunggu sebentar,” ucap Rafka. “Anda sudah tahu nama saya, tapi saya belum. Siapa nama anda?” tanya Rafka. Dia baru sadar kalau belum mengetahui nama wanita yang hari ini ditemuinya dalam banyak kejadian.
“Tiara.”
Wanita itu menjawab singkat dan langsung berjalan pergi.
Rafka mendesah. Dia masih ingin berbicara banyak dengan Tiara. Tapi wanita itu selalu saja berjalan menjauh lebih dulu.
“Yah, setidaknya aku sudah tahu namanya,” gumam Rafka. Dia lalu berjalan menuju ruangan dokter umum. Tugas visit pasien hari ini cukup seru dari hari-hari sebelumnya bagi Rafka.
***
Tiara sudah mengganti bajunya dengan yang baru. Kini dia duduk di samping ranjang Naren, melihat suaminya yang koma.
Dia mengeluarkan ponsel kedua Naren yang masih belum berani Tiara buka. Ponsel yang masih terkunci itu masih dalam keadaan mati.
Tiara menundukkan kepalanya, lalu kembali melihat ke wajah Naren. Tatapannya dalam dan sendu, seolah dia sedang menyakinkan dirinya untuk lebih kuat.
Dan, sedetik kemudian dia meraih tangan suaminya. Menempatkan ibu jari Naren ke arah ponsel untuk membuka kunci layar.
Dalam sekejap ponsel itu terbuka dan… hati Tiara mencelos ketika melihat foto beranda di ponsel itu. Foto Naren dengan Shalsa lagi.
Pedih rasanya, air mata lolos membasahi pipi Tiara. Wanita itu menangis dalam diam. Tak berhenti sampai di situ, dia juga membuka beberapa aplikasi pesan dan galeri. Semua dipenuhi dengan Shalsa.
“Jadi benar, mereka berhubungan selama ini.”
Tiara memandang wajah Naren dengan mata yang penuh kesedihan. “Sepertinya aku yang bodoh karena selalu berharap kamu mencintaiku, Kak.”
Tangan Tiara meremas dadanya yang tiba-tiba terasa begitu sesak. Harapannya, impiannya, seolah sudah hancur berkeping-keping.
“Aku akan berhenti Kak. Aku menyerah jadi istrimu,” kata Tiara sambil melihat wajah suaminya yang masih terpejam.
***
“Awh,” Tiara meringis ngilu melihat Rafka membuka perban di kakinya.“Apa rasanya masih sakit?” tanya Rafka mendongak melihat Tiara yang duduk di atas bed hospital. Dia khawatir membuat Tiara kesakitan karena tidak hati-hati saat membuka perban kaki wanita itu. Tiara menggeleng, bibirnya terlihat bergetar tipis. “Sedikit, dok. Rasanya agak ngilu, ya,” candanya menanggapi pertanyaan Rafka. Lalu setelah itu Tiara tertawa kecil. Rafka juga ikut tersenyum jelas senyuman yang disertai rasa bersalah. Pria itu melanjutkan membuka perban di kaki Tiara, kali ini lebih hati-hati.Suhu ruangan itu berubah menjadi dingin, hening, dan hanya suara napas mereka yang terdengar. Begitu perban terakhir terlepas, Rafka menatap luka itu dengan dahi berkerut. “Masih sedikit bengkak,” dahi Rafka berkerut menatap luka di kaki Tiara. “Apa kamu benar-benar beristirahat beberapa hari ini?” tanyanya serius. Tiara menyunggingkan senyum tak bersalah. Dia memang tidak beristirahat dengan baik. Beberapa hari
“Sebenarnya apa yang mama lakukan di apartemen Tiara?” tanya Naren di dalam mobil pada Rosa yang sudah duduk di sampingnya. “Harusnya mama yang tanya itu padamu! Apa yang kamu lakukan Naren? Jangan bilang kamu mau menemui Tiara. Ren, kalian sudah akan bercerai!” tukas Rosa dengan suara meninggi. Naren mengetatkan rahangnya. “Kalau aku tidak mau bercerai dengan Tiara bagaimana? Ma! Sudah kukatakan aku tidak akan melepaskan Tiara.”Suasana menjadi tegang seketika. Rosa tidak habis pikir dengan Naren. Bisa-bisanya dia berbicara dengan nada tinggi pada ibunya sendiri. “Kau mulai berani dengan mama Ren? Lihat, ini semua adalah pengaruh buruk dari wanita itu. Tiara tidak baik buatmu,” Rosa mencoba meraih tangan anaknya dan berusaha mengambil hati Naren lagi. “Kuharap mama tidak ikut campur dengan rumah tanggaku lagi.” Suara Naren terdengar dingin, pria itu menoleh ke Rosa dengan tatapan tajamnya. “Kalau sampai aku nggak bisa membuat Tiara kembali karena mama. Aku bersumpah, tidak akan
Siapapun yang disakiti terus menerus pasti akan mulai melawan, begitupun Tiara yang sudah disakiti oleh pernikahannya. Bayangan kebahagiaan setelah menikah dengan Naren ternyata tidak pernah Tiara dapatkan. ***Tiara terbangun dalam tidurnya, matanya langsung menatap ke arah jendela kamar. Cahaya matahari pagi terlihat mencuri masuk dari sela-sela gorden. Tiara mulai merenggangkan ototnya setelah bangun tidur. “Akh!” rintih nya.Kakinya yang masih diperban masih terasa nyeri. Hari ini dia tidak ke kantor dan cuti sampai kakinya sembuh. Pelan-pelan dia menggerakkan kakinya untuk turun dari ranjang. Perlahan Tiara keluar dari kamarnya menuju dapur. Dia menyambar ponselnya yang ada di meja ruang tamu. Mengecek beberapa pesan, Tiara terdiam sesaat melihat layar ponselnya. “Kenapa dia menelpon sebanyak ini?” gumamnya. Di dalam layar ada begitu banyak panggilan tak terjawab dari Naren. Itulah yang membuat Tiara mengernyit heran. Untuk apa pria itu menelponnya, padahal dulu dia jara
Naren duduk di sisi ranjang dengan mata yang melihat ke foto pernikahannya dengan Tiara, foto itu tergantung di dinding. Dia menghela nafas sambil melihat senyuman Tiara. Wanita itu terlihat bahagia sekali menikah dengannya tiga tahun lalu. Tapi kenapa Tiara berubah menjadi dingin dan sinis. Setelah kecelakaan yang membuat Naren koma, semua tentang Tiara berubah bagi Naren. Bahkan beberapa jam lalu wanita itu mengusirnya. Padahal dia sudah mengatakan kalau dia tidak mau bercerai. “Katamu kau mencintaiku dulu,” gumam Naren sambil melihat ke arah foto Tiara. Pria itu berdiri dan mengelus frame foto itu. Rasanya hampa sekali tidak ada Tiara di sampingnya. Apalagi saat melihat ada Andreas di sekitar Tiara. Entah kenapa Naren ingin sekali menarik Tiara agar menjauh dari pria itu. “Kamu tidak bisa ninggalin aku gitu aja, Ra!” gumam Naren sambil mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Dia bertekad akan membawa kembali Tiara ke kehidupannya. ***Dengan bantuan Andreas, Tiara sudah sampa
Naren berjalan dengan tergesa-gesa sepanjang lorong rumah sakit. Langkahnya nyaris berlari, napasnya masih terengah-engah ketika sampai di depan ruang IGD. Matanya mulai liar mencari Tiara dari deretan pasien dan petugas medis berseragam putih. Setelah dia tahu kalau Tiara mengalami kecelakaan, pria itu langsung bergegas ke rumah sakit. Naren masih di depan ruang IGD, tak lama seorang perawat berjalan melewatinya. Dengan cepat dia menahan si perawat itu. “Maaf Sus! Apa ada pasien bernama Tiara Santika?” tanyanya. Perawat itu melihat catatannya sekilas, lalu mendongak ke arah Naren. “Tiara Santika, korban kecelakaan mobil?” tanyanya. “Iya bener.”“Pasien sudah dipindahkan ke ruang observasi. Anda bisa langsung ke tempat tidur nomor empat,” ucapnya sambil menunjuk ke arah kanan. “Terima kasih, sus.” Tanpa menunggu lagi, Naren langsung berjalan ke tempat yang dimaksud. Dan, saat dia sampai, Naren melihat sosok Tiara yang sedang duduk bersandar di ranjang. Kepalanya diperban putih,
Saat mencoba membuka mata, Tiara merasa kepalanya seperti dihantam palu godam, sakit sekali. “Awh!” rintihnya sambil terus memegang kepalanya. “Oh, kamu sudah sadar?” seseorang langsung menyambut kesadaran Tiara. Tiara belum tahu siapa orangnya karena penglihatannya masih kabur. Dia mengerjapkan matanya sampai akhirnya pandangannya bisa fokus. “Oh,” pekiknya saat mengetahui siapa orang itu. “Dokter Rafka?” gumamnya dengan suara serak yang disertai rintihan karena kepalanya yang berdenyut. “Awh!”“Mana yang sakit?” Rafka langsung sigap membantu Tiara yang berusaha bangun. Tiara menggeleng dan menolak halus bantuan Rafka. Dia mulai melihat ke sekeliling dan baru sadar kalau dia berada di rumah sakit. “Ini… Rumah sakit?” tanyanya heran. “Iya, kamu ada di rumah sakit sekarang.” Tiara langsung melihat lurus ke arah Rafka. “Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa di sini?” “Kamu tidak ingat? Kamu mengalami kecelakaan tadi. Taksi yang kamu tumpangi menabrak pembatas jalan, untung saja aku l







