Sudah hampir satu minggu Naren sadar dari koma. Selama itu juga Naren tidak melihat Tiara sama sekali. Dia merasa ada yang aneh, karena Tiara tidak pernah datang menjenguknya sama sekali. Hal yang tidak mungkin terjadi. Mengingat wanita itu yang sangat mencintainya. Tapi kenapa? Kenapa dia tak mendengar kabar wanita itu sama sekali. Apa wajar seorang istri tak pernah mengunjungi suaminya yang sedang di rumah sakit. Naren semakin tidak habis pikir. Padahal selama ini Tiara sangat berisik kalau menyangkut soal dirinya. Hari ini pun sama, Shalsa, Lucy dan mamanya saja yang datang tanpa Tiara. “Ma…” panggil Naren. Mamanya yang sedang memindahkan vas bunga menoleh ke arahnya. “Hmm. Apa kamu perlu sesuatu?” Rosa berbalik mendekat ke arah Naren, anaknya. “Tiara dimana, Ma? Kenapa dia tidak menjengukku?” tanya Naren dengan suara beratnya. Rosa tersentak, tidak mengira Naren akan bertanya soal Tiara. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya pada Naren. Kalau dia yang mengusi
Padahal Tiara sangat berharap pada Naren saat itu. Harapan ingin dicintai sebagai seorang wanita. Tapi, ternyata cinta saja tidak cukup dalam mempertahankan suatu pernikahan. Tiara memilih mundur, karena tidak ingin jadi istri yang tersakiti lebih dalam. Dia mendesah pelan ketika memasukkan baju terakhirnya ke dalam koper. Ya, dia berada di kamarnya sekarang. Setelah menandatangani form gugatan cerai yang diberikan mertuanya, Tiara langsung pulang ke rumah dan berkemas. Sebelum nantinya dia yang akan diusir, Tiara memilih pergi lebih dulu.“Haahhh, hmmm,” Tiara menghela nafas panjang. Matanya menyapu setiap sudut ruangan kamarnya. “Tiga tahun lalu aku kemari berharap di kamar ini dia melihatku sebagai wanita. Tapi ternyata aku harus pergi dari sini. Ha... ha... ha... lucu sekali,” Tiara tertawa getir. Selama tiga tahun perjuangannya agar dicintai Naren ternyata sia-sia. Tiara mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. “Halo kak, ini aku Tiara. Kakak bisa jemput aku?” Entah siap
Angin malam berhembus menerpa wajah Tiara. Wanita itu sedang duduk di kursi taman rooftop gedung. Pikirannya melayang entah kemana. Saat ini Tiara hanya ingin lari dari kenyataan.Tangan Tiara meremas ponsel Naren. Ponsel yang menampar dirinya, seolah memaksanya sadar akan sesuatu. Pernikahan yang selama ini berusaha dia lindungi, ternyata hanyalah ilusi. Semuanya terlihat jelas, Tiara mendesah. Apa ini memang sudah waktunya dia mundur dari posisi sebagai istri yang tidak dianggap?“Pa… Ma… Apa aku harus menyerah sekarang?” bisik Tiara sambil mendongak ke langit malam. Tanpa sadar dia meneteskan air matanya. Langit malam itu penuh bintang dan sangat cerah, berbanding terbalik dengan suasana hati Tiara saat ini. “Ehem!” sebuah deheman seseorang muncul tiba-tiba. Spontan Tiara menoleh. Alis matanya terangkat sempurna melihat Rafka yang sudah berdiri di belakangnya. Tiara langsung menyapanya dengan mengangguk. “Apa kata saya, angin malam di sini segar, kan?” ujar pria itu basa-basi
Pipi Tiara masih terasa panas dan perih. Saat ia menoleh ke arah kaca toilet, ternyata ada bekas membiru di sisi wajahnya. Tamparan mertuanya sangat keras hingga meninggalkan bekas. Apalagi penampilannya yang sangat berantakan akibat siraman kopi. Tiara seolah tak memiliki harga dirinya lagi sebagai manusia. “Kenapa aku mendapatkan perlakuan buruk sampai seperti ini?” gumamnya sambil melihat dirinya sendiri di pantulan kaca. “Apa salahku?” tanya dengan tatapan kosong. Tiara terdiam lama di depan kaca sambil melihat dirinya yang berantakan. Ini bukan pernikahan yang dibayangkannya. Mungkin dia bisa bertahan dengan sikap dingin Naren selama ini, tapi… kalau pria itu sudah berselingkuh. Bukankah artinya tidak ada harapan lagi untuk Tiara bertahan.Sebesar apapun rasa cinta Tiara pada Naren. Tapi, kalau hati pria itu untuk wanita lain, apa gunanya. Dan, perlakuan yang diterima Tiara dari mertua dan keluarga Naren lainnya juga sangat keterlaluan. Tiara menggigit bibir bawahnya menaha
Tiara masih membeku di depan ruangan Shalsa. Masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Hamil? Shalsa sempat hamil dan keguguran. Rasanya benar-benar runtuh seketika dunia impian Tiara. Dia masih memegang ponsel Naren yang ditemukannya di koper. Wanita itu terduduk di lobi rumah sakit. Menikah dengan Naren adalah impiannya, menjadi istri dan membangun keluarga kecil adalah sesuatu yang selalu diimpikan Tiara. Tapi kenapa, kenapa nasibnya selalu seperti ini. Kesepian dan ditinggalkan. Tiara tidak tahu sudah berapa lama dia duduk sendirian di sana. Sampai sebuah minuman muncul di dekat wajahnya. Tiara mendongak. Dokter Rafka sudah tersenyum padanya sambil memberikan segelas minuman pada Tiara. “Caramel Macchiato. Saya rasa minuman manis lebih baik dari kata-kata semangat. Silahkan..” katanya menyodorkan minuman. Tiara tidak langsung menerimanya. “Tidak usah dokter,” katanya sungkan. Tapi Dokter Rafka memaksa dan akhirnya Tiara menerimanya. “Apa anda masih sedih?” Tiara men
“Maaf,” ucap pria itu setelah bertemu tatap dengan Tiara. “Huh?” Tiara yang mulai sadar bahwa dia sedang menangis. Cepat-cepat dia menunduk menyembunyikan wajahnya. Cepat-cepat dia mengusap jejak air mata di pipi yang bawah mata sebelum berdiri. “Maaf, saya akan datang lagi nanti.” Pria itu hampir berbalik. Tapi, Tiara menghentikannya. “Ada urusan apa ya?” tanya wanita itu dengan suara yang tercekat. “Saya Rafka dokter jaga. Ini jadwal saya memeriksa pasien.” Pria yang bernama Rafka itu melihat ke arah Naren. “Ah, jadi anda dokter. Silahkan dok,” Tiara membuka jalan untuk Rafka. Rafka dengan menangguk sesaat setelah itu berjalan mendekat ke ranjang Naren. Pria itu melakukan tugasnya sebagai dokter, yaitu memeriksa pasien. Namun sesekali Tiara memergoki Rafka mencuri pandang padanya. Membuat dia tidak nyaman, dan memilih sedikit menjauh dari Dokter muda itu. Melihat Tiara yang menggeser posisinya, Rafka menjadi paham kalau Tiara tidak nyaman, apalagi di ruang perawatan VIP itu