Mag-log inMansion Jenderal Wirawan tidak pernah senyap seperti ini. Bahkan dinding tebal yang dipenuhi lukisan para leluhur seolah menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Elena berdiri di tengah halaman belakang, tubuhnya masih lemah namun auranya telah berubah total. Gadis yang dulu pendiam dan penurut kini memancarkan aura yang membuat siapa saja enggan mendekat.
Maya mencoba mempertahankan kewibawaannya sebagai istri kedua Jenderal, namun keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Wanita yang biasanya tenang dan terkontrol ini kini terlihat gugup.
"Elena sayang," kata Maya sambil berusaha memperhalus suaranya, "Ibu khawatir melihatmu begini. Mungkin sebaiknya kita duduk dan berbincang seperti ibu dan anak yang baik?"
Sebelum Maya sempat menyelesaikan kalimatnya, Elena bergerak. Meski tubuhnya masih lemah akibat racun, gerakan itu begitu cepat dan presisi. Tamparan keras mendarat di pipi Maya, suaranya bergema di udara malam yang sunyi.
Maya terjatuh ke tanah, tangannya refleks memegang pipi yang memerah dan perih. Mata para pelayan yang bersembunyi di balik pilar mansion membelalak lebar. Selama bertahun-tahun, tidak ada seorang pun yang berani menyentuh Maya Tanaka, apalagi menamparnya di hadapan orang banyak.
"Sungguh kurang ajar!" Lina berteriak, namun suaranya bergetar ketakutan.
Elena berputar menghadap saudara tirinya dengan gerakan yang mengalir seperti air.
"Kurang ajar?" Elena memiringkan kepala, senyum dingin menghiasi wajahnya. "Aku baru saja belajar sopan santun dari guru terbaik, adik tersayang."
Dengan gerakan yang sama cepatnya, Elena meraih pergelangan tangan Lina dan memelintirnya dengan teknik yang sempurna. Gadis itu menjerit kesakitan, tubuhnya terpaksa berlutut di hadapan Elena.
"Ah! Sakit! Lepaskan!" jerit Lina sambil berusaha melepaskan diri.
"Ini pelajaran pertama," bisik Elena, wajahnya sangat dekat dengan telinga Lina. "Tentang bagaimana menghargai keluarga. Bukankah ini yang selama ini kalian ajarkan kepadaku?"
Elena melepaskan cengkeramannya, membiarkan Lina terjatuh ke samping ibunya. Kedua wanita itu kini berada di tanah, menatap Elena dengan campuran ketakutan dan kemarahan yang tidak percaya.
Pelayan Diana yang masih memegang obor mundur perlahan, takut menjadi target selanjutnya. Pelayan yang biasanya berani dan tegas itu kini gemetar ketakutan.
"Nona Elena," kata Diana dengan suara bergetar, "sebaiknya kita jaga keharmonisan keluarga. Tetangga mungkin akan mendengar."
"Ah, Diana yang setia," Elena tertawa lembut namun terdengar mengerikan. "Kau selalu memperhatikan reputasi keluarga. Betapa mulianya hatimu."
Elena berjalan mengelilingi Maya dan Lina yang masih terduduk di tanah seperti kucing yang mengitari tikus. Setiap langkahnya penuh perhitungan.
"Selama ini aku memang kurang memperhatikan," Elena berhenti tepat di hadapan Maya. "Tentang betapa perhatiannya kalian terhadapku. Teh yang selalu hangat, perhatian yang begitu khusus."
Maya berusaha bangkit, namun tubuhnya masih gemetar. "Anak baik tidak boleh berburuk sangka kepada keluarga. Ibu selalu memberikan yang terbaik untukmu."
"Selalu memberikan yang terbaik?" Elena berjongkok hingga mata mereka sejajar. "Seperti resep istimewa yang Ibu campurkan setiap malam?"
"Apa maksudmu?" tanya Lina sambil merangkak mendekati ibunya, meski tubuhnya masih gemetar.
"Maksudku," Elena berdiri kembali, nada suaranya begitu tenang hingga menakutkan, "adalah betapa beruntungnya aku memiliki keluarga yang begitu kreatif dalam menunjukkan kasih sayang."
Pengawal Rian yang selama ini diam mulai gelisah. Tangannya bergerak ke gagang pedang, namun dia ragu untuk bertindak.
"Nona Elena," kata Rian dengan suara hati-hati, "sebaiknya kita jaga kedamaian rumah. Tuan Jenderal pasti mengharapkan keluarganya rukun."
"Ayah," Elena mengangguk dengan senyum manis yang menyeramkan, "memang sedang sibuk dengan tugas mulia di perbatasan utara. Beliau begitu percaya pada keluarga yang ditinggalkannya."
Dia menatap Maya tajam. "Dan kepercayaan itu tidak akan sia-sia, bukan begitu Ibu?"
Maya dan Lina saling bertatapan dengan panik. Mereka baru menyadari bahwa mereka telah terjebak sendiri dengan Elena yang telah berubah, tanpa perlindungan Jenderal.
"Elena, dengarkan Ibu," kata Maya sambil berusaha berdiri. "Keluarga yang baik harus saling memaafkan. Apapun yang kau sangkakan, itu semua hanya salah paham."
"Salah paham?" Elena tertawa dengan nada yang membuat bulu kuduk merinding. "Tentang resep khusus Ibu? Tentang perhatian ekstra yang Diana berikan? Tentang kehangatan yang kalian siapkan untukku tadi malam?"
"Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," Lina mulai berbicara, namun suaranya terputus ketakutan.
"Kalian hanya ingin yang terbaik untukku," Elena mengulangi kalimat Lina dengan nada manis yang menyeramkan. "Agar aku bisa bersatu dengan ibu kandungku. Betapa mulia hati kalian."
Diana mulai bergerak mundur perlahan, mencoba menjauh dari konfrontasi yang semakin memanas.
"Diana," panggil Elena tanpa menoleh, suaranya begitu tenang hingga terdengar menakutkan.
Pelayan itu berhenti, tubuhnya kaku ketakutan. "Ya, Nona Elena?"
"Tolong antarkan Ibu Maya dan Adik Lina ke kamar yang telah kusiapkan khusus untuk mereka. Pastikan mereka mendapat perlakuan istimewa yang sama seperti yang pernah mereka berikan kepadaku."
Elena tersenyum, namun senyum itu tidak menyentuh matanya. "Dan pastikan pintu terkunci dengan baik. Untuk keamanan mereka, tentu saja."
Diana memandang Maya dengan bingung, mencari petunjuk. Selama ini dia selalu menerima perintah dari istri kedua Jenderal, namun kini situasinya telah berubah drastis.
"Lakukan apa yang kukatakan," kata Elena, suaranya turun satu oktaf. "Atau kalian akan merasakan pelajaran yang lebih mendalam."
Maya mencoba bangkit dan melawan. "Aku adalah istri sah Jenderal Wirawan! Kalian tidak bisa melakukan ini!"
"Istri kedua," potong Elena dengan lembut namun tajam. "Yang naik status karena keberuntungan istimewa."
Dia melangkah lebih dekat. "Dan aku adalah putri kandung dari istri pertama yang sah. Putri yang telah belajar banyak hal baru malam ini."
Keheningan mencekam menyelimuti halaman itu. Para pelayan yang bersembunyi di balik pilar mulai menyadari perubahan hierarki kekuasaan. Elena bukan lagi gadis lemah yang bisa mereka abaikan. Ada sesuatu yang sangat berbahaya dalam dirinya, sesuatu yang membuat mereka takut untuk tidak mematuhinya.
"Nona Elena," kata salah satu pelayan yang muncul dari balik pilar, "kami akan melaksanakan perintah Anda."
Elena mengangguk dengan kepuasan yang dingin. "Bagus. Mulai sekarang, keluarga kecil kita akan lebih harmonis. Maya dan Lina akan tinggal di kamar yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Dan mereka akan merasakan pengalaman baru tentang kehidupan keluarga."
"Tidak! Aku tidak akan menurut!" protes Lina, namun suaranya terputus ketika melihat tatapan Elena.
Elena menatap Lina dengan senyum yang membuat gadis itu langsung diam. "Tentu saja kau akan menurut, saudari tersayang. Karena sekarang saatnya untuk bergantian belajar."
Maya akhirnya bangkit berdiri, wajahnya merah karena malu dan marah, namun ketakutan lebih dominan. "Ketika ayahmu kembali nanti, dia akan tahu tentang semua ini."
"Beliau akan mendapati keluarga yang lebih tertata," kata Elena sambil tersenyum manis. "Dan aku yakin Ayah akan sangat terkesan dengan perubahan yang terjadi."
Maya terdiam, menyadari bahwa ancamannya tidak berguna. Mereka memang yang bersalah, dan Elena tampaknya memiliki pemahaman yang cukup untuk menunjukkan kebenaran.
Elena berbalik menghadap mansion yang megah itu, tangannya terangkat untuk menyentuh dinding batu yang dingin.
"Rumah ini," bisiknya dengan suara yang terdengar oleh semua orang, "akan menjadi saksi bisu pembelajaran yang sesungguhnya."
Angin malam bertiup, membawa aroma melati yang harum namun entah mengapa terasa mencekam. Para pelayan masih berdiri terpaku, tidak yakin harus berbuat apa. Sementara Maya dan Lina masih terduduk di tanah, menyadari bahwa permainan kekuasaan yang telah mereka kuasai selama bertahun-tahun kini telah berubah total.
Dan di tengah keheningan itu, Elena tersenyum. Senyum seorang yang baru saja menemukan cara bermain yang lebih menarik.
Bersambung
Lina gemetar hebat di samping ibunya. "Itu bukan aku," katanya dengan suara yang sangat cepat dan panik. "Ibu yang suruh. Aku hanya mengikuti perintah. Aku takut kalau tidak menurut."Elena berbalik menatapnya dengan mata yang sangat tajam. "Kau mengoleskan racun itu di jubah ibuku," katanya dengan nada yang sangat dingin. "Aku melihat bekas noda itu dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihatmu tersenyum saat melakukannya."Lina menggeleng dengan sangat cepat. "Tidak. Tidak. Aku tidak ingat. Aku masih kecil waktu itu. Ibu yang memaksaku.""Kau berusia lima belas tahun," potong Elena dengan tegas. "Cukup tua untuk tahu perbedaan antara benar dan salah. Tapi kau memilih jalan yang salah."Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Hanya suara napas tersengal Maya dan Lina yang terdengar.Lalu Elena mengangkat tangan. Tinggi-tinggi. Dan menurunkannya dengan sangat cepat.Plak!Tamparan sangat keras mendarat di pipi Maya. Bunyi yang sangat nyaring bergema di ruangan yang luas.Maya terhuyung
Pintu kayu besar terbuka dengan sangat perlahan. Bunyi engsel yang berderit pelan terdengar di ruangan yang hening.Cahaya dari luar masuk, membentuk silhouette seseorang yang berdiri dengan sangat tenang di ambang pintu.Maya dan Lina menatap dengan napas tertahan. Mata mereka berbinar penuh harapan yang salah.Lalu sosok itu melangkah masuk. Langkah yang sangat pelan dan terkontrol. Setiap gerakan penuh perhitungan.Elena muncul dengan hanfu putih bersih seperti salju.Tidak ada hiasan berlebihan. Hanya sisir giok putih di rambut yang ditata setengah ke atas dengan sangat rapi. Beberapa bunga melati putih segar menghiasi samping kepala.Wajahnya sangat tenang. Seperti permukaan danau yang tidak beriak. Mata menatap lurus ke depan tanpa ekspresi apapun.Di belakangnya, dua pelayan istana berdiri dengan kepala tertunduk. Tidak berani masuk lebih jauh.Elena berhenti di tengah ruangan. Menatap dua perempuan yang masih dicengkeram prajurit dengan tatapan yang sangat datar.Kevin berbali
Kevin berhenti tepat di hadapan Maya yang masih berlutut. Menatapnya dari atas dengan mata yang sangat meremehkan."Kau pikir kami bodoh?" tanyanya dengan suara yang sangat pelan tapi sangat menakutkan. "Kau pikir Biro Hukum Kekaisaran tidak tahu cara kerja orang seperti kalian?"Ia mengangguk pada prajurit. "Bawa mereka," perintahnya dengan tegas.Dua prajurit maju, masing-masing memegang lengan Maya dan Lina dengan sangat kasar. Menarik mereka berdiri dengan paksa.Maya menjerit sambil berusaha melepaskan diri. "Tidak! Lepaskan aku! Kau tidak bisa melakukan ini! Aku istri jenderal!"Lina menangis dengan sangat keras sambil mencengkeram lengan prajurit. "Kumohon! Kumohon jangan! Kami tidak bersalah!"Tapi prajurit tidak peduli. Mereka terus menarik kedua wanita itu ke arah pintu dengan gerakan yang sangat kasar.Maya dan Lina terseret dengan kaki yang hampir tidak menyentuh lantai. Hanfu mewah terseret di lantai, kotor dan kusut.Perhiasan berlian dan giok jatuh satu per satu dari le
Maya mencoba berdiri dengan gerakan yang tidak stabil. Kaki sedikit goyah karena arak, tapi ia memaksakan diri untuk terlihat tenang dan elegan.Ia merapikan hanfu dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu tersenyum. Senyum yang sangat dibuat-buat, tidak alami sama sekali."Tuan Kevin," katanya dengan suara yang berusaha terdengar sopan dan percaya diri. "Tentu ada kesalahan. Rumah ini milik Jenderal Arka Wirawan, kepala pasukan utara yang sedang berperang untuk negeri."Ia melangkah sedikit mendekat dengan gerakan yang berusaha anggun. "Kami keluarga yang sangat terhormat," lanjutnya sambil mengangkat dagu tinggi. "Tidak mungkin ada masalah hukum di sini."Kevin menatapnya dengan mata yang sangat datar. Tidak ada emosi sama sekali di sana. Hanya kekosongan yang dingin seperti es."Justru itu masalahnya, Nyonya," katanya sambil melipat tangan di belakang punggung. "Dana yang dikorupsi dari pasukan utara mengalir ke sini. Lewat bisnis Paviliun Bunga Teratai yang Nyonya kelola."Ia berja
Kevin berbalik menatap para pramuria dan pelayan yang berkumpul dengan wajah pucat di halaman. "Kalian semua akan dibawa ke penjara untuk diinterogasi," katanya dengan suara yang sangat keras. "Yang kooperatif akan diberi keringanan. Yang melawan akan dihukum berat."Para wanita itu menangis semakin keras. Beberapa jatuh berlutut sambil memohon dengan tangan terangkat.Tapi Kevin tidak peduli. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Sudah terlalu sering melihat orang menangis memohon ampun.Ia berbalik dan berjalan ke kereta kuda yang menunggu di jalan. "Kita ke mansion keluarga Wirawan," katanya pada kusir sambil naik ke kereta. "Sekarang juga."Kusir mengangguk dan mencambuk kuda. Kereta melaju dengan sangat cepat, meninggalkan paviliun yang sudah dipenuhi pasukan dan tangisan.++++Sementara itu, di mansion mewah keluarga Wirawan, suasana sangat berbeda.Lampu-lampu gantung kristal menyala dengan cahaya yang sangat terang meskipun masih siang. Tirai-tirai sutra merah terb
Pagi itu, suara tabuh genderang bergema di Balairung Kekaisaran dengan sangat keras. Bunyi yang dalam dan berat, membuat dada bergetar setiap kali dipukul.Para pejabat berbaris rapi di sepanjang aula dengan wajah yang sangat serius. Mengenakan jubah resmi dengan warna sesuai pangkat masing-masing. Tidak ada yang berani berbisik. Tidak ada yang berani bergerak.Di tengah aula, seorang protokoler istana berdiri dengan gulungan kertas besar bersegel merah dan emas. Wajahnya sangat kaku, punggung tegak seperti tiang batu.Ia membuka gulungan dengan gerakan yang sangat hati-hati. Bunyi kertas terurai terdengar sangat jelas di ruangan yang sunyi."Atas laporan resmi Paduka Pangeran Mahkota Surya Wijaya," bacanya dengan suara yang sangat keras dan bergema di seluruh aula. "Disetujui oleh Yang Mulia Kaisar Suryavira, Biro Hukum Kekaisaran diberi kuasa penuh untuk menyelidiki Paviliun Bunga Teratai."Ia berhenti sejenak, menatap para pejabat dengan mata yang sangat tajam."Terkait dugaan penc







