Mag-log inMaya Tanakan tertegun, sambil memegang obor.
Lina anaknya tampak tercekat.
Sementara Diana si pelayan menahan napas, dan Rian sang pengawal tak berani menatap.
Elena merasakan pahit bercampur rasa logam yang menempel di lidahnya. Sebagai ahli farmakologi ia tahu persis, itu arsenik. Racun yang dicampur sedikit demi sedikit ke dalam tehnya selama ini. Racun yang sama yang membunuh ibu Elena lama bertahun-tahun silam.
Ia perlahan bangkit, menumpu pada siku hingga bisa duduk tegak. Rambutnya jatuh ke bahu, lalu ia singkirkan dengan tenang.
Tatapannya mengarah ke kebun. Kolam koi yang mati tanpa riak, lampion merah bergoyang pelan, pilar batu yang dipenuhi nama kejayaan sang Jenderal. Rumah ini dibangun atas kemenangan, tetapi malam ini justru menunjukkan kebusukan di dalamnya.
"Betapa hangatnya rumah ini," ucap Elena. Suaranya tenang, rendah, bersih. "Bahkan saat malam sedingin ini, kalian tidak lupa memberiku perhatian."
Maya memaksa senyum. Terlihat palsu. "Kau kedinginan, sayang. Ibu akan menyiapkan obat terbaik."
"Elok sekali." Elena menoleh, tatapannya bertemu dengan tatapan Maya tanpa berkedip. "Obatmu selalu meninggalkan kesan. Ada rasa yang tidak dilupakan lidah, dan efek yang tidak dilupakan tubuh."
Lina mundur setapak, tumitnya menyentuh batu tepi halaman. "Kakak... kau harus beristirahat. Panggil tabib, Ibu."
"Tidak perlu tabib." Elena berdiri. Kakinya sempat goyah, tetapi ia memusatkan napas, menempatkan berat tubuh tepat di titik yang diajarkan pelatihnya bertahun-tahun lalu di ring kejuaraan dunia.
Punggungnya tegak. Bahunya rileks. Tangan kirinya sedikit terbuka di sisi pinggang.
Gerak kecil, tetapi jelas bagi siapa pun yang pernah melihat petarung di ring.
Rian melihatnya. Mata pengawal itu menyipit tipis, seperti baru menyadari bahwa gadis rapuh yang dulu ia abaikan kini berdiri dengan pusat gravitasinya terkunci. Ia menelan ludah yang tidak berasa.
Elena melangkah kepada Diana. "Bawakan air hangat dan kain putih. Bersihkan tempat ini. Kita tidak ingin halaman keluarga ternoda oleh skenario buruk."
Diana menoleh ke Maya, mencari restu. Maya terdiam dua detik yang terlalu lama. Elena mencondongkan tubuhnya sedikit, cukup untuk membuat bayangan Maya goyah.
"Aku berbicara padamu, Diana." Elena tidak menaikkan suara.
"Air hangat. Kain putih. Sekarang."
Diana mengangguk dan bergegas. Kain rok pelayan itu menyapu lantai pualam, terburu-buru menuju pintu serambi.
Elena berpindah pada Rian. "Malam ini malam yang tenang, benarkah Pengawal Rian?"
Rian menegakkan badan. "Malam ini tenang, Nona."
"Bagus." Elena menahan tatapannya tepat di mata laki-laki itu. "Kenang baik-baik malam ini, sebab kesaksian orang yang menjaga gerbang sering menjadi pembeda antara kebenaran dan kebohongan."
Rian tidak menjawab. Keringat tipis muncul di pelipisnya meskipun udara dingin.
Elena berdiri di hadapan Maya dan Lina. Dengan gerakan tenang, ia menyentuh pergelangan Maya lalu mengambil obor tanpa membuat percikan jatuh.
"Aku kagum pada caramu mengatur rumah, Ibu. Kau tahu memilih waktu, saksi, dan cerita," katanya sambil memutar obor.
Maya menarik napas. "Kau butuh istirahat, bukan perdebatan."
"Yang kubutuhkan kejujuran." Elena bergerak memutari mereka, memaksa keduanya ikut berbalik. "Istri sah melahirkan pewaris, tapi mati diracun. Selir naik jadi nyonya. Anak bawaan duduk di kursi utama, anak sah disingkirkan."
Lina menunduk, bibirnya bergetar. "Kata-katamu sungguh tajam."
"Begitu juga ingatan," jawab Elena. "Kau menyebutku kakak hanya di depan orang lain. Di balik pintu, lidahmu berbeda."
Maya memotong lembut, "Kita keluarga. Keluarga menutup aib."
"Menutup luka dengan kain kotor hanya membuatnya bernanah," balas Elena dingin.
Diana datang membawa baskom air hangat. Elena menerima, membasuh tangan dan wajah, lalu menaruh obor di dudukan.
"Mulai malam ini aturan lama kembali berlaku. Darah sah dihormati. Kebohongan ditebus. Pengawal menjaga, pelayan melayani."
"Ya, Nona," ujar Rian cepat. Diana menyusul dengan anggukan.
Elena menatap Lina. "Kau?"
"Aku selalu mendukung keluarga..."
Plak!
Tamparan mendarat di pipi Lina, cukup keras untuk membuatnya terhuyung. Teknik dari tahun 2025, presisi dari ring kejuaraan, diterapkan dengan sempurna di era yang berbeda.
"Itu untuk semua nama hinaanmu di balik pintu. Ingat tempatmu," ucap Elena.
Maya mundur setapak, wajahnya pucat. "Kamu... kamu melampaui batas."
"Batas itu kalian yang geser bertahun-tahun lalu saat kalian membunuh ibuku dengan arsenik. Sama seperti yang kalian lakukan padaku malam ini. Aku hanya mengembalikannya."
Hening menekan ruangan. Maya dan Lina saling pandang, ketakutan mulai merayap di mata mereka.
Elena menatap mereka satu per satu dengan sorot tajam, lalu bertanya tenang, "Apa kalian terkejut Elena tidak mati seperti yang kalian kira? Atau kalian terkejut karena aku tahu siapa yang membunuh ibuku?"
Malam itu, di rumah Jenderal Arka Wirawan, seorang gadis yang seharusnya mati bangkit kembali. Bukan sebagai korban, tapi sebagai jiwa baru dari masa depan yang siap membalas dendam masa lalu.
Bersambung.
Lina gemetar hebat di samping ibunya. "Itu bukan aku," katanya dengan suara yang sangat cepat dan panik. "Ibu yang suruh. Aku hanya mengikuti perintah. Aku takut kalau tidak menurut."Elena berbalik menatapnya dengan mata yang sangat tajam. "Kau mengoleskan racun itu di jubah ibuku," katanya dengan nada yang sangat dingin. "Aku melihat bekas noda itu dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihatmu tersenyum saat melakukannya."Lina menggeleng dengan sangat cepat. "Tidak. Tidak. Aku tidak ingat. Aku masih kecil waktu itu. Ibu yang memaksaku.""Kau berusia lima belas tahun," potong Elena dengan tegas. "Cukup tua untuk tahu perbedaan antara benar dan salah. Tapi kau memilih jalan yang salah."Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Hanya suara napas tersengal Maya dan Lina yang terdengar.Lalu Elena mengangkat tangan. Tinggi-tinggi. Dan menurunkannya dengan sangat cepat.Plak!Tamparan sangat keras mendarat di pipi Maya. Bunyi yang sangat nyaring bergema di ruangan yang luas.Maya terhuyung
Pintu kayu besar terbuka dengan sangat perlahan. Bunyi engsel yang berderit pelan terdengar di ruangan yang hening.Cahaya dari luar masuk, membentuk silhouette seseorang yang berdiri dengan sangat tenang di ambang pintu.Maya dan Lina menatap dengan napas tertahan. Mata mereka berbinar penuh harapan yang salah.Lalu sosok itu melangkah masuk. Langkah yang sangat pelan dan terkontrol. Setiap gerakan penuh perhitungan.Elena muncul dengan hanfu putih bersih seperti salju.Tidak ada hiasan berlebihan. Hanya sisir giok putih di rambut yang ditata setengah ke atas dengan sangat rapi. Beberapa bunga melati putih segar menghiasi samping kepala.Wajahnya sangat tenang. Seperti permukaan danau yang tidak beriak. Mata menatap lurus ke depan tanpa ekspresi apapun.Di belakangnya, dua pelayan istana berdiri dengan kepala tertunduk. Tidak berani masuk lebih jauh.Elena berhenti di tengah ruangan. Menatap dua perempuan yang masih dicengkeram prajurit dengan tatapan yang sangat datar.Kevin berbali
Kevin berhenti tepat di hadapan Maya yang masih berlutut. Menatapnya dari atas dengan mata yang sangat meremehkan."Kau pikir kami bodoh?" tanyanya dengan suara yang sangat pelan tapi sangat menakutkan. "Kau pikir Biro Hukum Kekaisaran tidak tahu cara kerja orang seperti kalian?"Ia mengangguk pada prajurit. "Bawa mereka," perintahnya dengan tegas.Dua prajurit maju, masing-masing memegang lengan Maya dan Lina dengan sangat kasar. Menarik mereka berdiri dengan paksa.Maya menjerit sambil berusaha melepaskan diri. "Tidak! Lepaskan aku! Kau tidak bisa melakukan ini! Aku istri jenderal!"Lina menangis dengan sangat keras sambil mencengkeram lengan prajurit. "Kumohon! Kumohon jangan! Kami tidak bersalah!"Tapi prajurit tidak peduli. Mereka terus menarik kedua wanita itu ke arah pintu dengan gerakan yang sangat kasar.Maya dan Lina terseret dengan kaki yang hampir tidak menyentuh lantai. Hanfu mewah terseret di lantai, kotor dan kusut.Perhiasan berlian dan giok jatuh satu per satu dari le
Maya mencoba berdiri dengan gerakan yang tidak stabil. Kaki sedikit goyah karena arak, tapi ia memaksakan diri untuk terlihat tenang dan elegan.Ia merapikan hanfu dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu tersenyum. Senyum yang sangat dibuat-buat, tidak alami sama sekali."Tuan Kevin," katanya dengan suara yang berusaha terdengar sopan dan percaya diri. "Tentu ada kesalahan. Rumah ini milik Jenderal Arka Wirawan, kepala pasukan utara yang sedang berperang untuk negeri."Ia melangkah sedikit mendekat dengan gerakan yang berusaha anggun. "Kami keluarga yang sangat terhormat," lanjutnya sambil mengangkat dagu tinggi. "Tidak mungkin ada masalah hukum di sini."Kevin menatapnya dengan mata yang sangat datar. Tidak ada emosi sama sekali di sana. Hanya kekosongan yang dingin seperti es."Justru itu masalahnya, Nyonya," katanya sambil melipat tangan di belakang punggung. "Dana yang dikorupsi dari pasukan utara mengalir ke sini. Lewat bisnis Paviliun Bunga Teratai yang Nyonya kelola."Ia berja
Kevin berbalik menatap para pramuria dan pelayan yang berkumpul dengan wajah pucat di halaman. "Kalian semua akan dibawa ke penjara untuk diinterogasi," katanya dengan suara yang sangat keras. "Yang kooperatif akan diberi keringanan. Yang melawan akan dihukum berat."Para wanita itu menangis semakin keras. Beberapa jatuh berlutut sambil memohon dengan tangan terangkat.Tapi Kevin tidak peduli. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Sudah terlalu sering melihat orang menangis memohon ampun.Ia berbalik dan berjalan ke kereta kuda yang menunggu di jalan. "Kita ke mansion keluarga Wirawan," katanya pada kusir sambil naik ke kereta. "Sekarang juga."Kusir mengangguk dan mencambuk kuda. Kereta melaju dengan sangat cepat, meninggalkan paviliun yang sudah dipenuhi pasukan dan tangisan.++++Sementara itu, di mansion mewah keluarga Wirawan, suasana sangat berbeda.Lampu-lampu gantung kristal menyala dengan cahaya yang sangat terang meskipun masih siang. Tirai-tirai sutra merah terb
Pagi itu, suara tabuh genderang bergema di Balairung Kekaisaran dengan sangat keras. Bunyi yang dalam dan berat, membuat dada bergetar setiap kali dipukul.Para pejabat berbaris rapi di sepanjang aula dengan wajah yang sangat serius. Mengenakan jubah resmi dengan warna sesuai pangkat masing-masing. Tidak ada yang berani berbisik. Tidak ada yang berani bergerak.Di tengah aula, seorang protokoler istana berdiri dengan gulungan kertas besar bersegel merah dan emas. Wajahnya sangat kaku, punggung tegak seperti tiang batu.Ia membuka gulungan dengan gerakan yang sangat hati-hati. Bunyi kertas terurai terdengar sangat jelas di ruangan yang sunyi."Atas laporan resmi Paduka Pangeran Mahkota Surya Wijaya," bacanya dengan suara yang sangat keras dan bergema di seluruh aula. "Disetujui oleh Yang Mulia Kaisar Suryavira, Biro Hukum Kekaisaran diberi kuasa penuh untuk menyelidiki Paviliun Bunga Teratai."Ia berhenti sejenak, menatap para pejabat dengan mata yang sangat tajam."Terkait dugaan penc







