Home / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 14 – Cinta yang Semakin Sepi

Share

Bab 14 – Cinta yang Semakin Sepi

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-04-12 23:34:55

Pagi itu dingin, tapi bukan karena cuaca. Bukan juga karena angin yang masuk dari celah jendela yang belum sempat diperbaiki. Dingin itu datang dari suara yang tak lagi hangat, dari tatapan yang mulai terasa jauh, dan dari kehadiran yang tak lagi menyentuh hati.

Nayla terbangun lebih dulu seperti biasa. Ia menyeduh dua gelas kopi—satu manis tanpa gula untuknya, dan satu dengan krimer yang selalu jadi favorit Galan. Meja kecil sudah dirapikan, sarapan sederhana disiapkan: roti isi telur dadar dan irisan tomat sisa kemarin.

Tapi Galan tak keluar dari kamar. Hanya suara ponselnya yang terdengar. Nada rendah, tawa pelan yang ditahan, lalu langkah cepat ke arah kamar mandi sambil menutup pintu.

Nayla mematung.

Beberapa hari terakhir, hal itu menjadi rutinitas baru. Galan lebih sering menerima telepon di kamar mandi, atau di luar kost, atau saat ia menyuruh Nayla membeli sesuatu ke warung. Dan tiap kali ia kembali, Galan sedang tertawa kecil dengan suara pelan—bukan tawa lega seperti dulu,
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 168

    Nayla berdiri di podium, menggenggam trofi kristal dengan kedua tangan. Kilapnya memantulkan cahaya panggung, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak—melainkan beban dari setiap kata yang sebentar lagi akan ia ucapkan.Auditorium itu luas, dingin, penuh sorotan mata dan ekspektasi. Tapi Nayla tak gentar. Di balik detak jantung yang memacu cepat, ada keheningan dalam dirinya—hening, tapi kokoh.Ia tahu, di antara ratusan pasang mata yang menatapnya malam itu, ada sepasang mata yang pernah ia kenal terlalu dalam. Mata seseorang yang tak seharusnya hadir, tapi entah bagaimana kehadirannya justru terasa seperti titik akhir dari sebuah lingkaran yang pernah terbuka… dan tak pernah benar-benar tertutup.Nayla menarik napas panjang.Lalu ia mulai bicara.“Tiga tahun lalu…” suaranya jernih, tapi gemetar halus. “…aku berdiri di titik tergelap dalam hidupku.”Seluruh ruangan mendadak senyap. Bahkan napas pun terasa enggan keluar.“Aku kehilangan lebih dari sekadar hubungan,” lanjutnya,

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 167

    Galan duduk di deretan paling belakang auditorium, tersembunyi di antara ratusan hadirin yang hadir malam itu. Gaun formal yang dikenakannya tak semewah dulu, dan jasnya tampak sedikit longgar. Berat tubuhnya turun drastis dalam beberapa bulan terakhir, dan tangan yang dulu stabil saat memegang gelas wine kini bergetar pelan ketika meraih segelas air putih.Ia tak seharusnya berada di sini.Tiket yang dia dapatkan pun bukan dari jalur undangan resmi, melainkan dari kenalan lama di industri media—seseorang yang dulunya akan dengan bangga menyambut Galan sebagai tamu VIP, kini hanya mampu memberinya kursi tanpa nama, jauh di sudut ruangan. Tapi itu tak masalah. Galan sudah terbiasa dengan versi hidupnya yang ini: jauh dari sorotan, jauh dari puncak.Yang penting, dia bisa melihatnya.Melihat Nayla.Ketika pembawa acara mulai membacakan nominasi untuk kategori "Wanita Muda Paling Berpengaruh di Dunia Bisnis Asia", dada Galan terasa sesak. Ia tahu nama itu akan disebut. Ia telah mengikuti

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 166

    "Mereka mengingatkan saya bahwa hidup ini bukan tentang apa yang kita terima, tapi tentang apa yang kita berikan. Bukan tentang seberapa tinggi kita bisa naik, tapi tentang berapa banyak tangan yang bisa kita ulurkan untuk membantu orang lain naik bersama kita."Di barisan wartawan, seorang jurnalis muda mencatat dengan serius. Bukan lagi tertarik pada drama personal, tapi pada substansi dari apa yang disampaikan Nayla."Penghargaan yang saya terima malam ini," Nayla mengangkat trofi kristal yang berkilau di tangannya, "bukan hanya milik saya. Ini milik setiap orang yang pernah merasa tidak cukup tapi memilih untuk tetap berusaha. Milik setiap orang yang pernah jatuh tapi bangkit dengan lebih kuat. Milik setiap orang yang memilih untuk mengubah luka menjadi kekuatan."Tepuk tangan gemuruh pecah. Beberapa orang berdiri, kemudian seluruh auditorium ikut berdiri dalam standing ovation yang tulus.Nayla berdiri di podium, tidak lagi sebagai wanita yang ditinggalkan, bukan lagi sebagai kor

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 165

    Nayla berdiri di belakang panggung, mendengar gemuruh tepuk tangan yang bergema dari auditorium. Gaun hitam yang dipilihnya dengan hati-hati terasa seperti baju besi—elegan namun kuat, melindunginya dari segala keraguan yang masih tersisa.Tangannya menyentuh kalung sederhana di lehernya, hadiah dari ibunya bertahun-tahun lalu. "Ingat, sayang," bisik ibunya dulu, "kekuatan sejati datang dari dalam, bukan dari pengakuan orang lain."Kalimat itu kini bergema dengan makna yang berbeda."Miss Nayla, lima menit lagi," bisik asisten panggung dengan lembut.Nayla mengangguk, napasnya teratur meski jantungnya berdebar. Ini bukan pertama kalinya dia berdiri di panggung besar, tapi kali ini berbeda. Kali ini dia berdiri bukan sebagai bayangan siapa pun, bukan sebagai pelengkap kesuksesan orang lain.Dia berdiri sebagai dirinya sendiri.Melalui celah tirai, dia bisa melihat ratusan orang duduk di kursi-kursi merah mewah. Para pemimpin industri, inovator, changemaker dari berbagai belahan dunia.

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 164

    Galan terbangun dengan kepala berat. Tidur yang semalam hanya sebentar terasa tidak cukup untuk menenangkan pikirannya. Selebihnya, ia hanya terbaring, menatap langit-langit, memikirkan surat yang tak pernah ia kirim.Apartemen itu—dulu terasa seperti simbol kesuksesan, ruang mewah yang dia banggakan—kini justru terasa seperti penjara berlapis emas. Indah, tapi kosong. Menyesakkan.Dengan langkah gontai, ia menuju kamar mandi. Setiap langkah seperti diseret oleh beban yang tak kasat mata. Saat lampu kamar mandi menyala, Galan terdiam menatap bayangan dirinya sendiri di cermin.Seorang pria berdiri di sana. Wajahnya pucat, matanya merah dengan lingkar gelap yang dalam. Rambutnya berantakan, janggut mulai tumbuh tipis, dan kemeja yang masih menempel di tubuhnya tampak kusut dan menyimpan aroma lelah.“Siapa kamu?” bisiknya pelan kepada bayangan itu.Tidak ada jawaban. Hanya tatapan kosong yang kembali memandangnya—mata yang dulu memancarkan ambisi, kini hanya memantulkan kehampaan.Ia m

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 163

    Galan terbangun karena deretan notifikasi di ponselnya. Masih setengah sadar, ia meraih perangkat itu dan membuka aplikasi berita. Judul besar yang terpampang membuat detaknya tak karuan.“Dari Pendukung Menjadi Pemimpin: Perjalanan Nayla Sari Meroket, Sementara Mantan Kekasihnya Terpuruk.”Tangannya gemetar saat membuka artikelnya. Di sana terpampang foto Nayla—profesional, percaya diri, dengan senyum tenang yang tak pernah ia lihat saat mereka masih bersama. Di sampingnya, foto lama mereka berdua dari peluncuran produk tahun lalu. Caption-nya menyayat: "Dulu pendamping, kini pesaing."Penulis artikel itu jelas melakukan riset yang dalam. Wawancara dengan rekan kerja Nayla, klien-klien lamanya, hingga teman-teman kuliahnya. Semua menyebut hal yang sama: perempuan cerdas yang selalu bekerja dalam diam, kuat, rendah hati, dan tidak pernah mengejar sorotan.“Nayla Sari adalah salah satu talenta terbaik yang pernah saya temui,” kata Pak Wijaya, CEO sebuah perusahaan teknologi besar. “Ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status