Home / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 16 – Di Balik Pintu Kesempatan

Share

Bab 16 – Di Balik Pintu Kesempatan

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-04-12 23:46:57

Udara di kafe kecil itu terasa hangat oleh aroma kopi dan kayu manis. Hujan baru saja berhenti di luar, meninggalkan jejak embun di kaca jendela. Di tengah keramaian lembut suara mesin kopi dan percakapan pelan, Nayla duduk di sebuah sudut meja dengan tangan bertaut di pangkuannya.

Di hadapannya, seorang pria paruh baya dengan rambut separuh memutih sedang memutar cangkir tehnya. Ia mengenakan batik sederhana, kacamata bingkai emas menggantung di ujung hidung. Matanya tajam, tapi tak kehilangan kelembutan. Itulah Pak Handoko—mantan rekan bisnis almarhum ayah Nayla, sekaligus salah satu pengusaha senior yang dikenal sebagai investor konservatif tapi jujur.

Nayla menarik napas dalam-dalam sebelum bicara.

“Pak Handoko, saya tahu Bapak sedang cari peluang investasi baru. Saya tidak bisa menjanjikan banyak, dan saya juga tahu startup kami belum sempurna. Tapi saya percaya pada ide ini. Platform yang kami bangun punya potensi besar di sektor UMKM.”

Pak Handoko mengangkat alis. “Kami?”

Nayla
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 17 – Cahaya Panggung yang Menyilaukan

    Pagi itu matahari bersinar cerah, tapi di dalam rumah kecil mereka, dunia terasa dingin bagi Nayla. Ia duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah kehilangan uapnya. Di hadapannya, layar ponsel menyala, menampilkan sebuah artikel dari salah satu media startup lokal ternama: “Galan Pradipta: Pendiri Muda yang Siap Mengubah Dunia UMKM Digital”.Judulnya besar, mencolok. Wajah Galan memenuhi layar, mengenakan setelan kasual elegan, tersenyum percaya diri di bawah sorotan lampu. Di bawah fotonya, ada kutipan yang menonjol:“Kami memulai dari mimpi. Sekarang saatnya mimpi itu jadi kenyataan—berkat kerja keras dan visi saya.”Nayla membaca paragraf demi paragraf, matanya menelusuri kata-kata yang terasa seperti luka baru. Tak satu pun menyebut tentang orang lain di balik proyek itu. Tak satu pun menyebut tentang mereka—yang dulu memulai semua ini bersama.Tak ada "kami".Tak ada Nayla.Galan pulang sore itu dengan semangat meletup-letup, masih mengenakan jaket abu-abu dengan logo m

    Last Updated : 2025-04-14
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 18 – Retak yang Tak Terdengar

    Waktu tak pernah benar-benar berhenti, tapi bagi Nayla, hari-hari belakangan terasa seperti pengulangan dari kesunyian yang menyakitkan.Pagi hari dimulai dengan meja makan yang kosong. Galan sudah pergi sebelum matahari naik, meninggalkan sisa kopi dalam gelas kaca dan serpihan roti di piring. Tak ada catatan. Tak ada pelukan. Hanya aroma parfum pria yang masih tertinggal di udara, mengabarkan kepergiannya lebih awal dari biasanya.Nayla mencuci piring-piring itu dengan gerakan lambat. Di pikirannya, terngiang suara tawa Galan dulu—ketika mereka masih duduk bersama, mencoret-coret buku sketsa, atau sekadar berbicara tentang mimpi. Sekarang, mimpi itu terasa seperti milik satu orang saja. Dan yang lainnya, tertinggal sebagai penonton yang tidak diundang.Malam-malam Nayla tak banyak berubah. Ia tetap duduk di depan mesin jahitnya, menyelesaikan pesanan pelanggan tetap dari toko daring kecil yang ia jalankan sendiri. Tangannya bergerak cekatan, menjahit renda di ujung gamis pelanggan,

    Last Updated : 2025-04-14
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 19 – Semua Mata Padanya

    Layar ponsel Nayla memancarkan cahaya kebiruan ke wajahnya yang tanpa ekspresi. Jemarinya menggenggam erat benda persegi panjang itu, seolah berusaha menangkap sosok yang kini bergerak penuh percaya diri di panggung Astoria Grand Hotel. Dari sudut kamarnya yang sunyi, Nayla menyaksikan Galan—lelaki yang dulu begitu ia kenal setiap lekuk wajahnya—kini terasa seperti orang asing.Siaran langsung "Jakarta Startup Awards" menampilkan suasana megah dengan lampu-lampu kristal berkilauan. Kamera menyorot para tamu dengan busana formal elegan, gelas-gelas sampanye, dan tawa yang bercampur dengan alunan musik orkestra. Tapi mata Nayla hanya tertuju pada satu sosok.Galan tampil menawan dalam balutan jas navy blue yang sempurna. Potongannya presisi, jahitannya rapi, dan detailnya tak tercela. Jenis jas yang hanya bisa dihasilkan oleh tangan-tangan terampil dari butik ternama dengan harga selangit. Bukan lagi jas buatan tangan seorang Nayla Pratiwi yang dulu begitu ia banggakan.Di samping Galan

    Last Updated : 2025-04-14
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 20 – Dalam Diam yang Paling Sepi

    Jam digital di sudut layar laptop Nayla menunjukkan pukul 02:37 dini hari. Apartemen kecilnya sunyi, hanya ditemani desisan samar pendingin udara dan ketukan jari lentiknya pada keyboard. Sudah lebih dari sepuluh jam ia berkutat dengan angka-angka dan proyeksi keuangan untuk proposal pendanaan seri B Kasara Tech. Matanya perih, punggungnya nyeri, tapi pekerjaannya hampir rampung."Tinggal sentuhan terakhir," gumamnya pada diri sendiri.Nayla menyesap kopi yang sudah mendingin—cangkir ketiganya malam ini. Ia menambahkan beberapa slide presentasi dengan visualisasi data yang menarik, memastikan setiap grafik dan tabel mudah dipahami namun tetap mengesankan. Ia tahu betul bagaimana memikat para investor dengan bahasa angka yang meyakinkan.Ironis, pikirnya. Namanya tidak lagi tercantum dalam struktur perusahaan, tapi tangannya masih mengerjakan bagian paling krusial dari proposal pendanaan yang bernilai miliaran rupiah ini. Sebuah proposal yang nanti akan dipresentasikan Galan dengan per

    Last Updated : 2025-04-14
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 21 – Meja Makan yang Kosong

    Nayla melipat serbet makan di hadapannya dengan gerakan yang terlalu hati-hati—sekali, dua kali, tiga kali—sebelum meletakkannya kembali di samping piring yang masih terisi penuh. Makanan yang ia siapkan sudah mulai mendingin, saus kari yang menggenang di atas nasi tampak mengeras di tepiannya. Jam dinding menunjukkan pukul 21:37, dan lilin kecil di tengah meja makan itu sudah meleleh separuh jalan.Ini malam ketiga. Malam ketiga Galan tak pulang untuk makan malam.Nayla meraih ponselnya, mengecek apakah ada pesan atau panggilan tak terjawab. Tidak ada. Seperti malam-malam sebelumnya. Ia mengetikkan pesan singkat:"Makanan sudah siap. Kamu pulang jam berapa?"Ia menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum menghela napas dan meletakkannya kembali di atas meja. Tanda centang biru muncul, menandakan pesan telah dibaca. Namun tidak ada balasan yang datang.Nayla bangkit dari kursinya, membawa piring berisi makanannya yang baru separuh dimakan ke dapur. Ia tidak lapar lagi. Bagaimana bis

    Last Updated : 2025-05-05
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 22 – Sentuhan yang Hilang

    Nayla melangkah pelan ke ruang tengah, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek yang dulu selalu dikomentari Galan sebagai "outfit paling seksi" karena kesederhanaannya. Lampu ruangan sudah diatur redup—kebiasaan malam mereka sejak dulu. Galan duduk di sofa, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan acara bisnis yang biasanya tak pernah ia tonton."Mau kopi?" tanya Nayla, suaranya lembut memecah keheningan.Galan menoleh sekilas. "Boleh."Nayla mengangguk dan bergerak ke dapur. Tangannya dengan cekatan menyiapkan dua cangkir kopi—satu hitam tanpa gula untuk Galan, satu dengan sedikit susu dan satu sendok gula untuk dirinya sendiri. Rutinitas yang sudah ratusan kali ia lakukan, hingga tangannya bisa bergerak otomatis tanpa perlu berpikir.Ia masih ingat bagaimana dulu mereka sering berbagi cangkir yang sama, Galan akan menyesap dari sisi yang sama dengan bekas lipstik Nayla, mengatakan itu cara tidak langsung untuk menciumnya. Kenangan kecil yang dulu terasa remeh, ki

    Last Updated : 2025-05-05
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 23 – Jam Tangan Baru, Waktu yang Hilang

    Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui jendela apartemen, menciptakan pola keemasan di lantai kayu ruang tamu. Nayla membaca buku di sofa saat mendengar suara lift terbuka di lorong, diikuti langkah kaki yang sudah terlalu familiar baginya—langkah kaki Galan yang ringan namun tegas, ritme yang selalu bisa ia kenali bahkan dengan mata tertutup.Pintu terbuka dan Galan masuk, mengenakan setelan biru tua yang rapi dengan kemeja putih tanpa dasi. Rambutnya tertata sempurna, tidak berantakan seperti dulu saat ia masih menghabiskan malam-malam untuk mengerjakan kode di apartemen sempit mereka."Hai," sapa Nayla, menurunkan bukunya dan menatap Galan dengan senyum tipis."Hai," balas Galan singkat, meletakkan tasnya di meja dan melonggarkan kancing teratas kemejanya. "Sudah makan?""Belum. Aku menunggumu. Kupikir kita bisa makan bersama malam ini."Galan melirik jam dinding. "Maaf, aku sudah ada janji makan malam dengan tim marketing dari Singapura j

    Last Updated : 2025-05-06
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 24

    "Kau selalu bilang begitu," bantah Nayla. "Setelah pendanaan awal, kau bilang semuanya akan lebih baik. Setelah ekspansi pertama, kau bilang hal yang sama. Sekarang pendanaan seri B. Nanti apa lagi? IPO? Akuisisi?"Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Di luar, senja mulai berganti malam, menyapu ruangan dengan bayangan panjang yang semakin gelap."Aku harus bersiap-siap," kata Galan akhirnya, memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebatan. "Meeting malam ini penting.""Tentu saja," balas Nayla, mengalah seperti biasa. "Semua meetingmu penting."Galan menatapnya sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Ia berbalik dan berjalan menuju kamar mereka untuk berganti pakaian.Nayla tetap berdiri di dapur, menyandarkan tubuhnya pada konter. Matanya menatap punggung Galan yang menjauh, mengamati caranya berjalan yang kini lebih tegap dan percaya diri—sangat berbeda dari langkah sedikit canggung yang dulu i

    Last Updated : 2025-05-06

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 30

    Galan akhirnya memutar kursinya, menghadap Nayla sepenuhnya. Ada ekspresi waspada di wajahnya. "Nayla, apa sebenarnya yang ingin kau katakan?"Nayla menimbang, haruskah ia mengungkapkan tentang helaian rambut dan aroma parfum itu? Atau menunggu waktu yang lebih tepat?"Tidak ada," jawabnya akhirnya. "Hanya penasaran bagaimana acara gala itu. Kau hampir tidak bercerita apa-apa saat pulang malam itu."Galan menatapnya lama, seolah mencari tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Nayla. "Acaranya biasa saja. Formal, membosankan, banyak obrolan bisnis.""Dan Alya?" nama itu terasa pahit di lidah Nayla. "Apakah dia... menikmati acaranya?""Nayla," nada suara Galan berubah, ada kekesalan di dalamnya. "Bisakah kita tidak memulai ini lagi? Aku harus kembali ke kantor.""Memulai apa?" Nayla balik bertanya, kini ada tantangan dalam suaranya. "Aku hanya bertanya tentang kolegamu.""Kau tahu persis apa yang kau lakukan," Galan menutup laptopnya de

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 29

    Tiga hari berlalu sejak pembicaraan pagi itu. Tiga hari penuh dengan keheningan yang canggung, percakapan singkat tentang hal-hal remeh, dan malam-malam yang dihabiskan di ruangan terpisah. Galan kembali tenggelam dalam rutinitas kerjanya—berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam, kadang bahkan tidak pulang dengan alasan lembur atau meeting di luar kota. Nayla pun mulai sibuk dengan proyek barunya, membiarkan dirinya terserap dalam sketsa dan desain sebagai pelarian dari kenyataan rumah tangga yang perlahan runtuh.Pagi itu, Senin yang kelabu, Nayla menemukan setumpuk pakaian kotor di keranjang laundry. Sebagian besar milik Galan—kemeja-kemeja kerja, celana formal, dan di bagian paling bawah, jas navy yang ia kenakan minggu lalu ke acara gala perusahaan. Acara yang Nayla tidak diundang untuk hadir."Rutinitasmu tak berubah, ya?" gumam Nayla pada dirinya sendiri sambil memilah pakaian. Meski hubungan mereka sedang di ambang kehancuran, ia masih melak

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 28

    "Mungkin kita berdua," jawabnya akhirnya. "Mungkin kita berdua sama-sama membiarkan jarak itu tumbuh."Nayla menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak, Galan. Aku mencoba. Aku berusaha menjaga komunikasi kita, mengajakmu bicara, bertanya tentang harimu. Tapi kau selalu menjawab dengan singkat, selalu terburu-buru, selalu ada meeting berikutnya atau email yang harus dibalas."Galan menatap Nayla, ada rasa bersalah yang kini terpancar jelas di matanya. "Aku tidak menyadarinya," ucapnya pelan. "Aku pikir... aku pikir kau mengerti kesibukan pekerjaanku.""Aku mengerti, Galan. Tapi mengerti tidak berarti aku harus menerima diabaikan, ditinggalkan, dan digantikan pelan-pelan dalam hatimu."Kata-kata Nayla menggantung di udara, berat dan menusuk. Galan terlihat kehabisan kata-kata, seperti seseorang yang akhirnya menyadari kesalahan fatal yang telah ia lakukan, namun terlalu terlambat untuk diperbaiki."Apakah..." Galan memulai dengan ragu, "apakah artinya

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 27

    Pagi itu, Nayla berdiri di depan cermin kamar tamu. Matanya sembab, lingkaran hitam menghiasi bagian bawah kelopaknya yang bengkak. Rambutnya acak-acakan karena tak tidur semalaman. Tangannya menyentuh permukaan cermin, seolah ingin memastikan bahwa bayangan yang terpantul adalah benar dirinya."Siapa kau?" bisiknya pada refleksi yang menatap balik dengan sorot terluka.Suara air mengalir dari kamar mandi utama terdengar samar. Galan sudah bangun, bersiap-siap untuk berangkat kerja seperti pagi-pagi biasanya—seolah semalam tak pernah terjadi apa-apa, seolah topeng mereka tak pernah terlepas.Nayla menarik napas dalam-dalam. Aroma kopi menguar dari dapur, mengisi apartemen dengan kehangatan yang ironis. Galan selalu menyeduh kopi untuk mereka berdua setiap pagi—salah satu kebiasaan yang masih bertahan dari masa-masa awal pernikahan mereka. Namun pagi ini, rutinitas itu terasa hambar, seperti sebuah gerak refleks belaka, bukan lagi ungkapan kasih.

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 26

    "Ya," akhirnya ia mengakui. "Dengan Alya. Tapi itu murni profesional, Nayla.""Profesional?" Nayla tersenyum pahit. "Apakah 'aku juga senang bisa ngobrol sama kamu' termasuk percakapan profesional, Galan?"Galan mengacak rambutnya, kebiasaan lama saat ia merasa terdesak. "Kau mengambil kalimat itu dari konteksnya.""Kalau begitu jelaskan konteksnya padaku," tantang Nayla. "Jelaskan mengapa kau berbicara dengan nada seperti itu kepada CMO perusahaanmu di tengah malam. Jelaskan mengapa kau tertawa seperti itu—tawa yang sudah lama tidak kudengar di rumah ini."Galan tidak menjawab. Keheningan yang menyakitkan kembali menyelimuti mereka, hanya diinterupsi oleh suara hujan yang semakin deras di luar."Tidak bisa menjawab?" tanya Nayla akhirnya, suaranya bergetar. "Atau tidak mau jujur?""Apa yang ingin kau dengar dariku, Nayla?" tanya Galan, nada frustasi jelas terdengar dalam suaranya. "Kau sudah memutuskan apa yang kau percayai.""Aku ingin mend

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 25

    Malam itu hujan turun rintik-rintik di luar jendela apartemen. Nayla duduk sendirian di sofa ruang tengah, menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Cahaya dari layar laptop menerangi wajahnya yang lelah. Sudah hampir tengah malam, dan Galan belum juga pulang—tak ada kabar, tak ada pesan, seolah ia telah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya.Suara pintu terbuka membuat Nayla menoleh. Galan masuk dengan jas tersampir di lengan dan dasi yang sudah dilonggarkan. Wajahnya terlihat lelah, namun ada sesuatu yang berbeda dari sinarnya—sebuah keceriaan yang tak cocok dengan seseorang yang baru saja menghadiri meeting bisnis hingga larut malam."Oh, kau masih bangun," kata Galan, sedikit terkejut melihat Nayla."Deadline," jawab Nayla singkat, kembali menatap layar laptopnya. "Meeting sampai selarut ini?"Galan meletakkan tasnya di meja. "Ya, lalu kami melanjutkan diskusi di restoran. Kau tahu bagaimana orang-orang Singapura—mereka ingin membicarakan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 24

    "Kau selalu bilang begitu," bantah Nayla. "Setelah pendanaan awal, kau bilang semuanya akan lebih baik. Setelah ekspansi pertama, kau bilang hal yang sama. Sekarang pendanaan seri B. Nanti apa lagi? IPO? Akuisisi?"Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Di luar, senja mulai berganti malam, menyapu ruangan dengan bayangan panjang yang semakin gelap."Aku harus bersiap-siap," kata Galan akhirnya, memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebatan. "Meeting malam ini penting.""Tentu saja," balas Nayla, mengalah seperti biasa. "Semua meetingmu penting."Galan menatapnya sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Ia berbalik dan berjalan menuju kamar mereka untuk berganti pakaian.Nayla tetap berdiri di dapur, menyandarkan tubuhnya pada konter. Matanya menatap punggung Galan yang menjauh, mengamati caranya berjalan yang kini lebih tegap dan percaya diri—sangat berbeda dari langkah sedikit canggung yang dulu i

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 23 – Jam Tangan Baru, Waktu yang Hilang

    Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui jendela apartemen, menciptakan pola keemasan di lantai kayu ruang tamu. Nayla membaca buku di sofa saat mendengar suara lift terbuka di lorong, diikuti langkah kaki yang sudah terlalu familiar baginya—langkah kaki Galan yang ringan namun tegas, ritme yang selalu bisa ia kenali bahkan dengan mata tertutup.Pintu terbuka dan Galan masuk, mengenakan setelan biru tua yang rapi dengan kemeja putih tanpa dasi. Rambutnya tertata sempurna, tidak berantakan seperti dulu saat ia masih menghabiskan malam-malam untuk mengerjakan kode di apartemen sempit mereka."Hai," sapa Nayla, menurunkan bukunya dan menatap Galan dengan senyum tipis."Hai," balas Galan singkat, meletakkan tasnya di meja dan melonggarkan kancing teratas kemejanya. "Sudah makan?""Belum. Aku menunggumu. Kupikir kita bisa makan bersama malam ini."Galan melirik jam dinding. "Maaf, aku sudah ada janji makan malam dengan tim marketing dari Singapura j

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 22 – Sentuhan yang Hilang

    Nayla melangkah pelan ke ruang tengah, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek yang dulu selalu dikomentari Galan sebagai "outfit paling seksi" karena kesederhanaannya. Lampu ruangan sudah diatur redup—kebiasaan malam mereka sejak dulu. Galan duduk di sofa, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan acara bisnis yang biasanya tak pernah ia tonton."Mau kopi?" tanya Nayla, suaranya lembut memecah keheningan.Galan menoleh sekilas. "Boleh."Nayla mengangguk dan bergerak ke dapur. Tangannya dengan cekatan menyiapkan dua cangkir kopi—satu hitam tanpa gula untuk Galan, satu dengan sedikit susu dan satu sendok gula untuk dirinya sendiri. Rutinitas yang sudah ratusan kali ia lakukan, hingga tangannya bisa bergerak otomatis tanpa perlu berpikir.Ia masih ingat bagaimana dulu mereka sering berbagi cangkir yang sama, Galan akan menyesap dari sisi yang sama dengan bekas lipstik Nayla, mengatakan itu cara tidak langsung untuk menciumnya. Kenangan kecil yang dulu terasa remeh, ki

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status