Share

Bab 167

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-07-21 23:36:06

Galan duduk di deretan paling belakang auditorium, tersembunyi di antara ratusan hadirin yang hadir malam itu. Gaun formal yang dikenakannya tak semewah dulu, dan jasnya tampak sedikit longgar. Berat tubuhnya turun drastis dalam beberapa bulan terakhir, dan tangan yang dulu stabil saat memegang gelas wine kini bergetar pelan ketika meraih segelas air putih.

Ia tak seharusnya berada di sini.

Tiket yang dia dapatkan pun bukan dari jalur undangan resmi, melainkan dari kenalan lama di industri media—seseorang yang dulunya akan dengan bangga menyambut Galan sebagai tamu VIP, kini hanya mampu memberinya kursi tanpa nama, jauh di sudut ruangan. Tapi itu tak masalah. Galan sudah terbiasa dengan versi hidupnya yang ini: jauh dari sorotan, jauh dari puncak.

Yang penting, dia bisa melihatnya.

Melihat Nayla.

Ketika pembawa acara mulai membacakan nominasi untuk kategori "Wanita Muda Paling Berpengaruh di Dunia Bisnis Asia", dada Galan terasa sesak. Ia tahu nama itu akan disebut. Ia telah mengikuti
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 170

    Langkah-langkah sepatu hak Nayla bergema di koridor marmer gedung tinggi di kawasan SCBD. Tegas, mantap, penuh keyakinan. Tak ada lagi bayang-bayang ragu yang dulu sering mencuri pijakannya. Di tangannya, tas kulit hitam berisi proposal yang telah dipoles dan diperjuangkan selama berminggu-minggu.Hari ini bukan hari biasa. Hari ini, dia akan bertemu Marcus Chen—direktur utama Chen Industries. Tiga tahun lalu, nama itu sempat menjadi bayang samar dalam kisah masa lalunya bersama Galan. Kala itu, Galan menolak tawaran Marcus untuk menjalin kerja sama. Terlalu kaku, katanya. Terlalu mengatur. Ego Galan menolak diatur siapa pun, apalagi oleh mitra yang baru dikenal.Nayla masih mengingat betul malam itu.Galan pulang dengan wajah muram, membanting kunci mobil ke meja kaca.“Dia pikir dia siapa?” gerutunya. “Mau ngatur-ngatur perusahaan gue? Gue sukses tanpa bantuan orang kayak dia.”Nayla, yang saat itu masih menjadi tempat pulang segala amarah dan frustrasi Galan, hanya mengangguk pelan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 169

    Nayla berdiri di balkon lantai empat puluh Hotel Mandarin Oriental, menatap gemerlap lampu Jakarta yang berkelap-kelip seperti bintang jatuh di bumi. Udara malam yang masih menyimpan aroma hujan menyentuh wajahnya lembut, menyapu rambutnya yang tergerai—dingin, tapi justru menenangkan.Di belakangnya, di atas meja kaca, trofi kristal yang tadi malam ia genggam dengan penuh kebanggaan kini berdiri tenang, memantulkan cahaya kamar. Tapi Nayla tak menoleh. Pandangannya terpaku pada cakrawala. Jakarta yang dulu menjadi tempat ia berlutut dalam hancur kini menjadi saksi kebangkitannya."Tehmu sudah dingin."Suara bariton itu memecah keheningan. Nayla menoleh. Di ambang pintu berdiri Adrian—dengan sweater krem sederhana dan celana kain, membawa dua cangkir teh.Adrian Wijaya. Pria tiga puluh lima tahun, dokter anak, yang hadir dalam hidup Nayla bukan sebagai penyelamat, bukan sebagai pengganti, tapi sebagai seseorang yang melihatnya. Enam bulan lalu, mereka bertemu di rumah sakit saat Nayla

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 168

    Nayla berdiri di podium, menggenggam trofi kristal dengan kedua tangan. Kilapnya memantulkan cahaya panggung, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak—melainkan beban dari setiap kata yang sebentar lagi akan ia ucapkan.Auditorium itu luas, dingin, penuh sorotan mata dan ekspektasi. Tapi Nayla tak gentar. Di balik detak jantung yang memacu cepat, ada keheningan dalam dirinya—hening, tapi kokoh.Ia tahu, di antara ratusan pasang mata yang menatapnya malam itu, ada sepasang mata yang pernah ia kenal terlalu dalam. Mata seseorang yang tak seharusnya hadir, tapi entah bagaimana kehadirannya justru terasa seperti titik akhir dari sebuah lingkaran yang pernah terbuka… dan tak pernah benar-benar tertutup.Nayla menarik napas panjang.Lalu ia mulai bicara.“Tiga tahun lalu…” suaranya jernih, tapi gemetar halus. “…aku berdiri di titik tergelap dalam hidupku.”Seluruh ruangan mendadak senyap. Bahkan napas pun terasa enggan keluar.“Aku kehilangan lebih dari sekadar hubungan,” lanjutnya,

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 167

    Galan duduk di deretan paling belakang auditorium, tersembunyi di antara ratusan hadirin yang hadir malam itu. Gaun formal yang dikenakannya tak semewah dulu, dan jasnya tampak sedikit longgar. Berat tubuhnya turun drastis dalam beberapa bulan terakhir, dan tangan yang dulu stabil saat memegang gelas wine kini bergetar pelan ketika meraih segelas air putih.Ia tak seharusnya berada di sini.Tiket yang dia dapatkan pun bukan dari jalur undangan resmi, melainkan dari kenalan lama di industri media—seseorang yang dulunya akan dengan bangga menyambut Galan sebagai tamu VIP, kini hanya mampu memberinya kursi tanpa nama, jauh di sudut ruangan. Tapi itu tak masalah. Galan sudah terbiasa dengan versi hidupnya yang ini: jauh dari sorotan, jauh dari puncak.Yang penting, dia bisa melihatnya.Melihat Nayla.Ketika pembawa acara mulai membacakan nominasi untuk kategori "Wanita Muda Paling Berpengaruh di Dunia Bisnis Asia", dada Galan terasa sesak. Ia tahu nama itu akan disebut. Ia telah mengikuti

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 166

    "Mereka mengingatkan saya bahwa hidup ini bukan tentang apa yang kita terima, tapi tentang apa yang kita berikan. Bukan tentang seberapa tinggi kita bisa naik, tapi tentang berapa banyak tangan yang bisa kita ulurkan untuk membantu orang lain naik bersama kita."Di barisan wartawan, seorang jurnalis muda mencatat dengan serius. Bukan lagi tertarik pada drama personal, tapi pada substansi dari apa yang disampaikan Nayla."Penghargaan yang saya terima malam ini," Nayla mengangkat trofi kristal yang berkilau di tangannya, "bukan hanya milik saya. Ini milik setiap orang yang pernah merasa tidak cukup tapi memilih untuk tetap berusaha. Milik setiap orang yang pernah jatuh tapi bangkit dengan lebih kuat. Milik setiap orang yang memilih untuk mengubah luka menjadi kekuatan."Tepuk tangan gemuruh pecah. Beberapa orang berdiri, kemudian seluruh auditorium ikut berdiri dalam standing ovation yang tulus.Nayla berdiri di podium, tidak lagi sebagai wanita yang ditinggalkan, bukan lagi sebagai kor

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 165

    Nayla berdiri di belakang panggung, mendengar gemuruh tepuk tangan yang bergema dari auditorium. Gaun hitam yang dipilihnya dengan hati-hati terasa seperti baju besi—elegan namun kuat, melindunginya dari segala keraguan yang masih tersisa.Tangannya menyentuh kalung sederhana di lehernya, hadiah dari ibunya bertahun-tahun lalu. "Ingat, sayang," bisik ibunya dulu, "kekuatan sejati datang dari dalam, bukan dari pengakuan orang lain."Kalimat itu kini bergema dengan makna yang berbeda."Miss Nayla, lima menit lagi," bisik asisten panggung dengan lembut.Nayla mengangguk, napasnya teratur meski jantungnya berdebar. Ini bukan pertama kalinya dia berdiri di panggung besar, tapi kali ini berbeda. Kali ini dia berdiri bukan sebagai bayangan siapa pun, bukan sebagai pelengkap kesuksesan orang lain.Dia berdiri sebagai dirinya sendiri.Melalui celah tirai, dia bisa melihat ratusan orang duduk di kursi-kursi merah mewah. Para pemimpin industri, inovator, changemaker dari berbagai belahan dunia.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status