Share

Bab 345

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-11-01 23:41:58

Nayla turun perlahan. Udara di tempat ini berbeda—lebih lambat, lebih jujur, seakan waktu menolak berjalan terlalu cepat. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba tak teratur.

Pintu rumah terbuka sebelum sempat ia mengetuk. Sosok perempuan tua muncul di ambang pintu. Rambutnya sudah memutih, tapi sorot matanya tetap sama—hangat, teduh, dan penuh penerimaan.

“Ma…” suara Nayla tercekat.

Ibunya tidak banyak bicara. Ia hanya membuka tangannya, dan Nayla langsung melangkah masuk ke dalam pelukan itu. Sebuah pelukan yang tidak butuh penjelasan, tidak perlu permintaan maaf. Pelukan yang menyembuhkan luka-luka sunyi yang tak pernah terucap.

“Udah lama, ya,” bisik ibunya pelan.

“Iya, Ma… terlalu lama.” Nayla menahan isak yang tiba-tiba muncul.

Ibunya mengusap punggungnya lembut. “Kamu pulang bukan buat minta maaf, kan?”

Nayla terdiam. Lalu menggeleng pelan. “Bukan, Ma. Aku pulang buat… belajar tenang.”

Senyum tipis muncul di wajah ibunya. “Ya sudah. Kalau
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 348

    Hujan semalam sudah reda, tapi udara pagi masih menyisakan aroma basah dan dingin yang menempel di daun-daun jambu di halaman belakang. Dari dapur, terdengar bunyi sendok mengaduk perlahan di dalam cangkir. Uap tipis teh melayang, menciptakan semacam kehangatan yang lembut di antara dua perempuan yang duduk berhadapan di meja makan tua.Nayla diam, menatap wajah ibunya yang kini tampak lebih tua dari yang ia ingat. Ada garis-garis halus di sekitar mata, tapi di balik keriput itu, tersimpan ketenangan yang tidak pernah Nayla lihat dulu—ketenangan yang lahir setelah bertahun-tahun berjuang dalam diam.“Ma…” Nayla membuka suara pelan, “tadi malam aku nggak bisa tidur.”Ibunya menatap lembut. “Masih kepikiran tentang kita?”Nayla mengangguk. “Tentang semua yang nggak pernah kita omongin. Tentang hal-hal yang mungkin seharusnya kita tangisi dulu, tapi kita tahan.”Ibunya tersenyum kecil, mengaduk tehnya pelan. “Kadang diam itu cara bertahan, Nay. Kalau Ibu dulu bicara, mungkin Ibu bakal ha

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 347

    Di ruang tengah, dua perempuan duduk berdampingan di sofa lawas yang mulai melengkung di bagian tengahnya. Teh di meja sudah tak lagi hangat, tapi percakapan mereka justru semakin menghangat.Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, tidak ada jarak di antara mereka. Hanya ada dua hati yang sedang belajar bicara dengan jujur.“Ma,” Nayla memecah keheningan. “Aku masih ingat waktu aku kecil. Aku sering nunggu di depan jendela, berharap Ibu pulang lebih cepat.”Ibunya tersenyum samar, tapi matanya sudah mulai berkaca. “Ibu juga ingat. Waktu itu kamu selalu nulis di kertas, ‘Jangan lupa makan, Ma.’ Ibu masih simpan catatan-catatan kecil itu.”Nayla menatap ibunya, agak terkejut. “Masih?”“Iya. Di dalam kotak kayu di lemari kamar. Surat-surat kecil dari kamu, yang ditulis pakai spidol warna ungu.” Ibunya tertawa kecil, suaranya pelan. “Tulisanmu jelek sekali waktu itu.”Mereka berdua tertawa, tapi tawa itu segera mereda, berganti dengan keheningan lembut yang menyimpan banyak kenangan.

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 346

    Malam itu turun perlahan, menyelimuti rumah tua itu dengan cahaya lampu kuning temaram. Angin membawa aroma tanah basah dari kebun belakang, bercampur dengan wangi kayu tua yang selalu membuat Nayla merasa aneh—antara tenang dan sesak.Ia duduk di ruang tengah, di kursi rotan yang dulu jadi tempat favoritnya membaca buku saat SMA. Di depannya, ibunya sedang menata cangkir teh di atas meja, gerakannya pelan tapi pasti, seolah tak ingin memecahkan keheningan yang menggantung di antara mereka.Dari luar jendela, suara jangkrik terdengar bersahutan. Nayla menatap ke arah cahaya lampu di dapur, lalu beralih menatap ibunya. Ada sesuatu yang sudah lama ingin ia tanyakan, tapi baru malam ini ia berani.“Ma,” panggil Nayla pelan.Ibunya mendongak, menatap lembut. “Hm?”Nayla menarik napas panjang. “Waktu aku bilang mau ikut Galan dulu… kenapa Ibu nggak pernah melarang?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tapi begitu terdengar di udara, Nayla bisa merasakan betapa berat artinya. Ia seperti ke

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 345

    Nayla turun perlahan. Udara di tempat ini berbeda—lebih lambat, lebih jujur, seakan waktu menolak berjalan terlalu cepat. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba tak teratur.Pintu rumah terbuka sebelum sempat ia mengetuk. Sosok perempuan tua muncul di ambang pintu. Rambutnya sudah memutih, tapi sorot matanya tetap sama—hangat, teduh, dan penuh penerimaan.“Ma…” suara Nayla tercekat.Ibunya tidak banyak bicara. Ia hanya membuka tangannya, dan Nayla langsung melangkah masuk ke dalam pelukan itu. Sebuah pelukan yang tidak butuh penjelasan, tidak perlu permintaan maaf. Pelukan yang menyembuhkan luka-luka sunyi yang tak pernah terucap.“Udah lama, ya,” bisik ibunya pelan.“Iya, Ma… terlalu lama.” Nayla menahan isak yang tiba-tiba muncul.Ibunya mengusap punggungnya lembut. “Kamu pulang bukan buat minta maaf, kan?”Nayla terdiam. Lalu menggeleng pelan. “Bukan, Ma. Aku pulang buat… belajar tenang.”Senyum tipis muncul di wajah ibunya. “Ya sudah. Kalau

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 344

    Senja itu turun perlahan, menyapu halaman rumah dengan cahaya jingga yang lembut. Di beranda, Nayla duduk sambil memeluk cangkir teh hangatnya. Angin sore membawa aroma tanah basah dan suara burung yang mulai kembali ke sarang.Ia tampak tenang, tapi matanya tak lepas dari jalan kecil di depan rumah. Ada sesuatu di sorotnya — campuran antara rindu, cemas, dan bangga yang tak ingin diucapkan keras-keras.Dari ujung jalan, Harra muncul dengan langkah pelan. Ranselnya tergantung di bahu, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin, dan wajahnya terlihat letih — bukan karena lelah fisik semata, tapi karena beban pikiran yang belum sempat ia letakkan.Begitu sampai di depan beranda, Harra berhenti sebentar, menatap ibunya yang tersenyum kecil.“Ma…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Nayla menatapnya, lalu menepuk kursi kosong di sebelahnya. “Sini, duduk dulu.”Harra menuruti. Ia menurunkan ranselnya dan duduk di samping Nayla. Beberapa saat keduanya diam, hanya ditemani suara dedaunan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 343

    Gedung konferensi internasional itu megah, dengan bendera dari berbagai negara tergantung di sepanjang dinding kaca. Para peserta dari seluruh Asia Tenggara duduk rapi mengenakan name tag, sebagian sibuk mencatat, sebagian lagi sibuk memotret suasana.Di tengah panggung, Harra Nayla Arvino berdiri dengan mikrofon di tangan dan senyum tenang di wajahnya.“Selamat pagi,” suaranya lembut, tapi jelas. “Nama saya Harra, dan saya datang bukan dari kota besar, bukan dari keluarga politik, bukan dari perusahaan raksasa. Saya datang dari ruang belajar kecil di belakang rumah—yang sekarang kami sebut Jendela Harapan.”Beberapa peserta tersenyum. Yang lain memperhatikan serius.Di layar besar di belakangnya, tayangan dokumenter berdurasi lima menit mulai diputar. Rekaman sederhana tentang anak-anak desa yang belajar mengetik, menatap layar komputer pertama mereka, dan tertawa saat berhasil menulis nama sendiri di dokumen digital.“Lihat itu,” bisik salah satu delegasi dari Filipina. “Itu luar bi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status