Nayla sampai di apartemennya pukul sepuluh malam, tas tangan masih menggenggam invitation card acara peluncuran buku yang sudah lusuh karena diremas-remas selama perjalanan pulang. Dia melempar tas ke sofa dan langsung menuju kamar mandi, berharap air hangat bisa membasuh sisa-sisa perasaan yang masih menggumpal di dadanya.
Tapi bahkan setelah mandi dan mengganti baju dengan kaos oversize dan celana pendek, rasa tidak nyaman itu masih ada. Seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokan, sesuatu yang ingin keluar tapi tidak tahu bagaimana caranya.
Dia berjalan ke dapur, membuat secangkir teh chamomile, berharap bisa tidur lebih tenang. Tapi tangannya gemetar saat menuang air panas, dan dia harus meletakkan cangkir di meja untuk mencegahnya jatuh.
"Kenapa?" bisiknya pada dirinya sendiri. "Kenapa aku masih terguncang?"
Dia pikir sudah cukup kuat. Dia pikir sudah bisa menghadapi Galan dengan tenang, dan memang dia berhasil melakukannya. Tapi sekarang, sen
Studio TV One lantai 12. Lampu sorot terang menyilaukan mata, kamera berjejer menghadap meja wawancara berlapis kain burgundy. Galan duduk berhadapan dengan Anita Sari, presenter senior berusia 45 tahun yang dikenal tajam dalam wawancara investigatif. Di telinganya, earpiece kecil mengeluarkan suara produser yang memberi instruksi: "Live dalam 3... 2... 1..."Lampu "ON AIR" menyala merah."Selamat malam, pemirsa," Anita menatap kamera dengan mata tajam, "malam ini, dalam program eksklusif 'Behind The Truth', kami hadirkan langsung Galan Dwipura, pengusaha yang tengah menjadi sorotan publik akibat kasus korupsi yang melibatkan perusahaannya."Kamera beralih ke Galan. Ia mengenakan kemeja putih sederhana—sangat berbeda dari setelan mahal yang biasa ia pakai. Wajahnya kurus, mata agak cekung, tapi sorot matanya masih menunjukkan determinasi."Terima kasih, Bu Anita, karena memberikan kesempatan untuk berbicara," kata Galan dengan suara
Ruang interogasi Gedung KPK lantai tiga. Dinding putih bersih, meja kayu sederhana, dua kursi berhadapan. Alya duduk dengan tangan terlipat di atas meja, blazer merah marunnya sedikit kusut setelah lima jam pemeriksaan. Matanya bengkak, tidak dari menangis—tapi dari kurang tidur dan stress berkepanjangan.Di seberangnya, Penyidik Hartono membuka berkas tebal, wajahnya datar dan profesional. Di samping kiri, kamera perekam menyala dengan lampu merah kecil yang berkedip."Ibu Alya Sari," suara Hartono tenang tapi tegas, "kami punya bukti transfer dana sebesar 2,3 miliar rupiah dari rekening perusahaan ke rekening pribadi Anda. Pada tanggal 15 Maret 2024. Bagaimana penjelasannya?"Alya mengangkat kepala, menatap Hartono dengan mata yang mulai berkilat marah. "Itu fee konsultansi. Legal.""Fee konsultansi untuk apa, Bu?""Strategi bisnis. Networking. Saya yang menghubungkan PT Galan dengan investor-investor besar." Suara Alya mul
Sore itu, Jakarta diselimuti hujan yang turun tanpa jeda. Langit kelabu menggantung rendah, seolah ikut memikul beban yang tak terlihat. Di rumah bergaya minimalis milik Nayla di Kemang, suasana begitu sunyi, hanya ditemani suara rintik hujan yang menghantam genteng dan dedaunan.Nayla duduk menyandar di sofa abu-abu di ruang tengah, mengenakan sweater hangat dan celana katun longgar. Secangkir teh chamomile mengepul pelan di meja depannya, aroma menenangkan memenuhi udara. Matanya menatap ke luar jendela besar, melihat taman belakang yang basah kuyup. Tapi pikirannya melayang ke tempat lain—ke masa lalu, ke luka yang tak sepenuhnya sembuh, ke nama yang kini kembali jadi headline.Ting-tong. Ting-tong.Bel rumah berbunyi dua kali. Pelan tapi cukup untuk memecah lamunan. Nayla tak bereaksi. Ia tahu siapa yang datang.Beberapa detik kemudian, suara Sari terdengar dari arah pintu depan."Bu Nayla, Pak Arvino datang."Nayla tidak segera menj
Pukul sepuluh pagi. Ruang redaksi Jakarta Tribune dipenuhi hiruk-pikuk yang lebih liar dari biasanya. Telepon berdering tak henti, suara keyboard mengetik cepat bersahutan, dan layar-layar monitor di seluruh ruangan menampilkan trending topic yang sama:#GalanGate#KejatuhanPendakiSosial#NaylaTheRealQueenDinda Maharani, jurnalis investigasi senior berusia 35 tahun, duduk di mejanya yang seperti kapal karam—penuh kertas, foto-foto lama, dan cangkir kopi bekas. Matanya sembab, wajahnya lelah. Ia belum tidur sejak berita penggeledahan KPK tadi malam.Di depannya, layar laptop menampilkan draft artikel yang sudah ia tulis ulang tiga kali. Tangannya kembali menari di atas keyboard saat sebuah suara parau menyapanya dari belakang.“Din, artikel Galan udah siap?”Eko, pemimpin redaksi merangkap perokok berat, menyipitkan mata ke arah layarnya.“Hampir,” jawab Dinda tanpa menoleh. “Aku baru dapat sumber
Pukul tujuh pagi. Kantor pusat PT Galan Mitra Solusi yang biasanya dipenuhi ritme sibuk dan suara telepon berdering, kini senyap. Lampu-lampu lantai lima masih mati. Beberapa karyawan berdiri canggung di dekat lift, saling berbisik, matanya mengarah pada garis polisi yang membentang di pintu masuk lantai tiga—ruang direksi.Galan berdiri di depan jendela kaca besar ruang kerjanya. Tangannya mengepal di saku celana, matanya kosong memandangi cakrawala Jakarta yang samar tertutup kabut pagi. Di belakangnya, layar monitor memutar ulang tayangan breaking news dari semalam—wajah Alya disorot media, lalu gedung perusahaannya, dan tak lama kemudian, grafik saham milik Galan anjlok hampir 30% hanya dalam semalam.Teleponnya berdering. Asisten pribadinya, dengan suara pelan dan nyaris tak terdengar, melapor, “Pak Galan, Mitra dari Jepang mengirim surat pembatalan kontrak. Dan... pihak Jerman juga menyatakan penundaan kerja sama, tanpa batas waktu.”Galan memejamkan mata. Rahangnya mengeras."B
Suara notifikasi WhatsApp berdenting bertubi-tubi, memecah keheningan pagi. Pukul enam lewat sedikit. Dengan mata setengah terbuka, Nayla meraba meja di sisi ranjang, meraih ponselnya.Belasan pesan masuk. Dari sahabat lama, rekan kerja, bahkan beberapa klien. Semua menanyakan hal yang sama.Pesan dari Sari, sahabatnya sejak kuliah, muncul paling atas:“Nay, kamu udah lihat berita? Itu beneran mantan suami kamu?”Lalu dari Indra, akuntan yang paling dia percaya:“Mbak Nayla, kayaknya ini serius. Coba buka portal berita.”Dengan jantung yang mulai berdebar, Nayla membuka aplikasi berita nasional. Headline besar langsung terpampang:"Putri konglomerat dan eksekutif muda, Alya Putri Wiranata, diduga terlibat dalam korupsi proyek infrastruktur hijau senilai 2,3 triliun. KPK menemukan aliran dana mencurigakan ke beberapa perusahaan konsultan, termasuk PT Galan Mitra Solusi..."Nama itu. Galan Mitra Solusi.