Share

Bab 36

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-05-12 23:58:17

Malam itu, ruangan dipenuhi cahaya dari layar laptop. Galan duduk di sudut ruang kerja, sosoknya terpapar oleh sinar biru yang memantulkan antusiasme. Nayla berdiri di ambang pintu, menjadi saksi bisu transformasi yang tak kasat mata.

"Kamu bakal senang, Nay. Kalau deal ini berhasil, bisnis kita bisa naik level," katanya. Suaranya bergetar dengan semangat—sebuah nada yang dulu hanya Nayla kenal saat mereka berbicara tentang mimpi bersama. Dulu, ketika masa depan terlihat seperti kanvas kosong yang bisa mereka lukis berdua.

Nama "Alya" meluncur dari bibirnya dengan ringannya. Terlalu ringan. Seringan bulu yang jatuh tanpa suara, namun cukup untuk menggetarkan udara di antara mereka.

Nayla mengamati. Bukan sekadar mendengar, tapi membaca. Setiap detail, setiap gerak tubuh Galan adalah bahasa tersendiri. Dan malam itu, bahasa itu berbicara dengan jelas.

Senyum Galan—oh, senyum itu. Bukan senyum biasa yang selama ini Nayla kenal. Ada sesuatu di sana. Sebuah kilauan yang asing, sebuah bina
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 42

    Malam itu, Nayla duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan kosong ke arah dinding. Lampu ruangan hanya dinyalakan sebagian, membiarkan sebagian tubuhnya diselimuti bayangan. Pukul 23.47. Sudah hampir dua jam ia duduk di posisi yang sama, menunggu. Secangkir teh chamomile yang ia buat untuk menenangkan diri telah dingin di atas meja, tak tersentuh.Di pangkuannya terdapat beberapa lembar foto. Foto-foto yang ia ambil secara diam-diam dengan kamera ponselnya saat mengikuti Galan dan Alya di hotel tadi. Ia bahkan tidak tahu apa yang membuatnya mengambil foto-foto itu. Mungkin sebagai bukti untuk dirinya sendiri bahwa semua ini nyata, bukan hanya mimpi buruk yang akan hilang saat ia terbangun.Suara mesin mobil yang dimatikan terdengar dari halaman depan. Nayla menegakkan tubuhnya, menarik napas dalam-dalam. Derap langkah familiar mendekat ke pintu depan, diikuti suara kunci yang diputar.Galan melangkah masuk, masih mengenakan pakaian yang sama seperti yang Nayla lihat di hotel. Wajahnya t

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 41

    Malam itu hujan rintik membasahi Jakarta. Nayla duduk gelisah di sofa apartemennya, jemarinya berulang kali mengusap layar ponsel yang mati. Sudah ketiga kalinya ia menghubungi Galan, namun tetap tidak ada jawaban. Hanya suara operator yang menyapa telinganya."Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan..."Nayla melempar ponselnya ke sofa. Matanya menatap hampa ke arah jendela yang basah oleh tetesan air. Pesan Galan tadi sore terasa janggal."Maaf, aku harus lembur malam ini. Jangan tunggu aku pulang."Entah mengapa, sesuatu terasa tidak beres. Lima tahun bersama Galan membuat Nayla hafal dengan kebiasaannya. Galan selalu mengabari jika ada perubahan jadwal, selalu menjawab teleponnya meski di tengah rapat penting. Tapi kali ini..."Tidak." Nayla menggeleng, menolak pikiran buruk yang mulai menggerogoti benaknya. "Aku harus memastikannya sendiri."Dengan gerakan cepat, Nayla menyambar jaket dan kunci mobilnya. Ia ingat minggu lalu Galan menyebut akan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 40

    Nama "Alya" mengambang di udara seperti racun yang perlahan meresap. Bukan sekadar nama, melainkan simbol dari segala yang tidak Nayla miliki, segala yang kini Galan rindukan.Malam itu, di ruang makan yang dulu penuh tawa, Galan berbicara dengan cara yang asing. Suaranya terdengar seperti mesin yang berkarat—tanpa emosi, tanpa kehangatan."Alya itu tahu cara bersikap profesional," katanya, sambil menyesap kopi yang Nayla siapkan. Kopi yang dulu selalu ia puji, kini hanya sekadar minuman.Nayla mengamati. Bukan dengan amarah, melainkan dengan ketajaman seorang arkeolog yang membaca sejarah dari serpihan terkecil."Dia paham dunia bisnis," lanjut Galan, tanpa menyadari bagaimana setiap kata adalah pisau yang mencoba membelah harga diri Nayla. "Tidak seperti..."Kalimat itu tak perlu diselesaikan. Nayla tahu kelanjutannya. Tidak seperti aku.Dulu, mereka adalah tim. Ia selalu menjadi mata kedua Galan—membaca laporan, membe

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 39

    Kenangan bersama mereka adalah seperti album foto usang—setiap lembar memperlihatkan momen di mana mereka pernah menjadi satu, utuh, tak terpisahkan. Dulu, meja kerja mereka adalah markas perang kecil—tempat di mana mimpi diukir bersama, di mana setiap tantangan dijinakkan dengan tangan saling bertautan.Kini, meja itu terbelah. Bukan secara fisik, melainkan oleh jarak yang tak terlihat namun terasa.Nayla membaca laporan keuangan dengan teliti. Kebiasaan lama—saat dulu ia selalu menjadi mata kedua Galan, melihat detail yang mungkin terlewat. Ia menemukan beberapa catatan yang bisa menghemat pengeluaran, membuat alur bisnis lebih efisien."Menurutku, kita bisa menggeser alokasi dana di sini," katanya, menunjuk salah satu baris. Suaranya lembut, seperti dulu—penuh perhatian, tanpa maksud menyalahkan.Galan mendongak. Tatapannya berbeda. Bukan lagi tatapan rekan yang saling percaya, melainkan mata seorang asing yang tak ingin digangg

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 38

    Layar televisi berkedip-kedip seperti memantulkan mimpi yang hancur. Cahaya studio malam itu membelah ruangan, memperlihatkan fragmen kehidupan yang tak lagi miliknya.Galan berdiri di sana—sosoknya tegak dalam balutan jas hitam yang dipilihnya dengan teliti. Bukan Galan miliknya dulu. Ini Galan versi baru: percaya diri, mengkilat, seperti patung yang dipahat dari ambisi murni. Di sampingnya, Alya—wanita yang kini mengisi ruang kosong yang pernah Nayla tempati.Mereka tertawa.Bukan sekadar tertawa. Ini adalah percakapan rahasia yang diungkapkan lewat senyum. Sepotong intimasi yang terlihat oleh jutaan pasang mata, namun hanya mereka berdua yang benar-benar memahami maknanya.Nayla mematikan suara televisi. Bukan karena tak ingin mendengar. Ia ingin setiap detail terukir dalam memori—bukan sebagai luka, melainkan sebagai bukti transformasi.Tatapan mereka—oh, tatapan itu. Sebuah bahasa tanpa kata yang berbicara lebih keras d

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 37

    Kata-kata mengalir dari mulut Galan seperti air sungai yang tak lagi mengalir ke tempat semula. Setiap kalimat tentang Alya adalah serpihan asing yang mencoba melebur di dalam ruang hidup mereka."Dia punya banyak ide brilian," kata Galan suatu malam, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru. Cahaya layar laptop memantulkan antusiasmenya—sebuah cahaya yang tak pernah lagi sepenuhnya milik Nayla.Nayla duduk di ujung sofa, menjadi penonton dalam pertunjukan yang tak ia undang. Ia mengamati. Bukan sekadar mendengar, tapi membaca—membaca di antara kata-kata, di balik senyum, di dalam jeda-jeda percakapan."Dia mudah diajak kerja sama," lanjut Galan, jemarinya menari di atas keyboard, mengetik pesan yang Nayla yakin ditujukan pada satu nama: Alya. "Kita bisa dorong brand ke luar negeri!"Kita. Kata itu kini terasa asing. Seolah "kita" tak lagi merujuk pada mereka berdua, melainkan pada sebuah konstruksi bisnis b

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 36

    Malam itu, ruangan dipenuhi cahaya dari layar laptop. Galan duduk di sudut ruang kerja, sosoknya terpapar oleh sinar biru yang memantulkan antusiasme. Nayla berdiri di ambang pintu, menjadi saksi bisu transformasi yang tak kasat mata."Kamu bakal senang, Nay. Kalau deal ini berhasil, bisnis kita bisa naik level," katanya. Suaranya bergetar dengan semangat—sebuah nada yang dulu hanya Nayla kenal saat mereka berbicara tentang mimpi bersama. Dulu, ketika masa depan terlihat seperti kanvas kosong yang bisa mereka lukis berdua.Nama "Alya" meluncur dari bibirnya dengan ringannya. Terlalu ringan. Seringan bulu yang jatuh tanpa suara, namun cukup untuk menggetarkan udara di antara mereka.Nayla mengamati. Bukan sekadar mendengar, tapi membaca. Setiap detail, setiap gerak tubuh Galan adalah bahasa tersendiri. Dan malam itu, bahasa itu berbicara dengan jelas.Senyum Galan—oh, senyum itu. Bukan senyum biasa yang selama ini Nayla kenal. Ada sesuatu di sana. Sebuah kilauan yang asing, sebuah bina

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 35

    Malam itu, udara di antara mereka terasa seperti sehelai kain transparan—tipis namun penuh dengan ketegangan yang tak terucap. Galan melangkah masuk dengan gerakan yang terlalu santai, seolah-olah kesibukan harian telah mencuci bersih segala keraguan. Roti yang dibawanya tercium harum, memenuhi ruangan dengan aroma roti gandum yang baru dipanggang—wangi yang biasa membangunkan kenangan manis di antara mereka."Aku sibuk banget hari ini," katanya, suaranya ringan seperti bulu, "Tapi pas lihat roti ini, aku ingat kamu."Senyumnya—senyum yang selama ini selalu berhasil mencairkan pertahanan Nayla—kali ini terasa asing. Ada sesuatu di balik lengkungan bibirnya, sesuatu yang bergerak seperti bayangan di balik tirai tipis. Nayla menerimanya, jemarinya menyentuh bungkus roti dengan kehati-hatian seorang ahli forensik yang sedang memeriksa barang bukti.Sepercik kenangan melintas. Dulu, roti seperti ini selalu bermakna. Dulu, setiap gestur Galan terasa tulus. Sekarang? Sekarang semuanya teras

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 34

    "Jadi," Galan terlihat bersemangat, "bagaimana jika akhir pekan ini kita pergi? Hanya kita berdua. Mungkin ke Bandung atau Bogor?"Nayla hampir tersedak kopi yang sedang ia minum. "Akhir pekan ini? Bukankah kau ada perjalanan bisnis ke Surabaya?"Galan terdiam sejenak, matanya berkedip cepat—tanda bahwa ia sedang mencari alasan. "Ah, itu... aku bisa membatalkannya. Tim bisa menanganinya tanpa aku."Pembohong, pikir Nayla. Tidak ada perjalanan bisnis. Yang ada hanya rendezvous dengan 'A' di hotel kamar 712."Sungguh?" Nayla memasang wajah terkejut yang sempurna. "Kau mau membatalkan perjalanan bisnis untukku? Aku tersanjung."Ada sedikit kegugupan dalam tawa Galan. "Tentu saja. Kau lebih penting."Lebih penting daripada pengkhianatan yang kau rencanakan, maksudmu?"Baiklah," Nayla tersenyum manis. "Akhir pekan di Bandung terdengar menyenangkan."Malam itu berlanjut dengan obrolan ringan tentang p

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status