Akhirnya, dia selalu kehilangan.“Mungkin,” katanya lagi, “mungkin aku memang nggak cocok hidup bareng siapa pun.”Pikiran itu terasa lebih menyakitkan dari yang dia kira. Dia meneguk lagi whiskey-nya. Kali ini lebih banyak.Ponsel kembali bergetar. Spam lagi.Galan tertawa lebih keras sekarang—dan untuk pertama kalinya sejak tadi pagi, tawanya tulus. Betapa ironisnya: pebisnis sukses dengan dua puluh tahun pengalaman, duduk di kantor mahal dengan minuman mahal, merasa sendiri karena tak satu pun orang penting mengirim pesan.Menyedihkan.Tapi juga... manusiawi.Ia ingat ucapan terapis yang dulu sempat ia datangi setelah putus dengan Alya.“Kesepian itu bukan hukuman karena gagal membina hubungan. Itu informasi—tentang apa yang sebenarnya kamu butuhkan dan hargai.”Apa yang sebenarnya dia butuhkan?Koneksi yang tulus. Tapi koneksi tulus butuh kerentanan. Dan kerentanan butuh kepercayaan. Dan kepercayaan dibangun dari kejujuran dan konsistensi.Dua hal yang, ia akui, tidak selalu dia m
Pukul sembilan malam, kantor sudah sunyi. Hanya satu cahaya yang masih menyala—dari ruang kerja Galan di lantai tiga puluh. Dari luar, mungkin terlihat seperti seorang workaholic yang berdedikasi. Tapi sebenarnya, dia cuma nggak tahu harus pulang ke mana.Apartemen terasa terlalu sepi setelah pertengkaran besar dengan Alya. Rumah orang tuanya di Bogor terlalu jauh, terlalu banyak pertanyaan yang nggak sanggup dia jawab. Hotel? Terlalu asing untuk malam yang sudah cukup melelahkan.Jadi dia tetap di sini. Di tempat yang paling familiar. Di antara kenangan dua puluh tahun yang tergantung rapi di dinding-dinding kaca dan kayu.Pertemuannya dengan Nayla tadi sore... rumit. Bukan buruk, tapi juga jauh dari mulus. Seperti misi penjajakan dua orang yang mencoba menilai: apakah mereka bisa saling percaya cukup dalam untuk membangun sesuatu bersama?"Tawaran kerja sama masih terbuka," kata Nayla sebelum berpisah. "Tapi aku paham kalau kamu butuh waktu buat beresin urusanmu dengan Alya dan Meri
"Itu satu-satunya hal yang bisa bikin kamu denger! Kalau aku kasih solusi, kamu anggap aku ganggu. Kalau aku kasih peringatan, kamu anggap aku negatif!"Kini mereka berdua sama-sama berteriak. Ketegangan profesional berubah jadi pertarungan pribadi yang telanjang."Jadi solusi kamu adalah ambil alih perusahaan lewat jalur belakang? Bawa investor pemangsa dan singkirkan aku dari semua keputusan?""Solusi aku adalah kasih kendali ke orang yang mau pegang kendali! Yang nggak terus-menerus mikirin apa yang dipikirin mantan pacarnya setiap kali mau ambil keputusan!""Apa maksudmu?!""Maksudku..." Alya mengusap air mata dengan punggung tangan, suaranya pecah. "Tiap keputusan besar yang kamu ambil setahun terakhir itu—selalu tentang Nayla. Ekspansi ke sektor edukasi? Biar bisa bersaing sama perusahaannya. Tender Nordic? Kamu lebih sibuk buktiin diri ke dia daripada bikin proposal yang kompetitif. Dan sekarang kerja sama? Aku lihat semuanya, Galan."Seperti ditampar. Galan terdiam."Kerja sam
Galan tidak bisa tidur. Hampir tengah malam, tapi pikirannya terus berputar—Richard, Alya, ultimatum 24 jam, dan pertemuan dengan Nayla besok pagi.Ia bangkit dari ranjang dan berjalan ke dapur untuk mengambil air. Baru saja membuka kulkas, suara kunci di pintu depan membuatnya menoleh.Alya.Ia masuk dengan langkah goyah, sepatu heels di tangan, rambut agak berantakan. Bau wine tercium samar—bukan mabuk, tapi cukup membuatnya kehilangan filter."Aku kira kamu sudah pergi," ujar Galan dari ambang pintu dapur."Aku memang pergi," sahut Alya sambil meletakkan heels-nya di lantai dan tas di sofa. "Tapi aku sadar, kita belum selesai bicara.""Bicara atau berantem?""Terserah kamu mau sebut apa."Alya berjalan ke arah dapur dan langsung membuka rak wine. Tangannya mengambil sebotol Merlot mahal—yang dulu mereka beli di Tuscany, dua tahun lalu."Alya, kamu udah cukup minum.""Jangan bilang apa yang cukup buatku, Galan. Ternyata aku juga nggak cukup qualified buat ambil keputusan sendiri."I
Ia berbalik ke Alya. “Jadi ini solusimu? Bukan cari jalan tengah, bukan terbuka dengan kemungkinan lain—kamu langsung rancang kudeta?”“Ini bukan kudeta. Ini restrukturisasi.”“Dengan kamu jadi CEO dan aku jadi penonton?”“Dengan kamu tetap punya posisi, tetap dapat kompensasi—”“Untuk perusahaan yang dulunya milikku?”Alya akhirnya menatap matanya. “Galan, realistislah. Kita kehilangan proyek besar. Kamu mau bermitra dengan kompetitor. Setidaknya dengan investasi ini, kita tetap mandiri dan punya peluang berkembang.”“Di bawah kendalimu.”“Di bawah kepemimpinan yang nggak terikat emosi.”Galan menghela napas panjang. “Richard, berapa banyak Alya cerita tentang hubungan kami?”“Cukup untuk paham dinamika kalian.”“Apakah dia bilang bahwa dia mundur dari manajemen saat tekanan media meningkat? Bahwa selama tiga tahun terakhir kontribusinya hanyalah keluhan soal return investasinya?”“Galan—” suara Alya memperingatkan.“Apakah dia bilang,” lanjut Galan menatap Richard, “bahwa alasannya
Galan baru saja keluar dari kamar mandi ketika suara-suara asing terdengar dari ruang tamu. Suara Alya yang familiar, terdengar bercampur dengan suara laki-laki lain—asing, dalam, dan terlalu tenang. Ia melirik jam dinding: pukul tujuh malam. Terlalu malam untuk kunjungan biasa, terlalu rapi untuk sekadar obrolan santai.Masih mengenakan celana santai dan kemeja yang belum dikancingkan penuh, Galan melangkah menuju ruang tamu. Dari lorong, ia melihat Alya duduk di sofa, berhadapan dengan pria paruh baya dalam setelan jas. Di atas meja kopi tergeletak laptop terbuka, tumpukan dokumen, dan dua cangkir kopi yang masih mengepulkan uap.“Galan!” Alya berdiri sambil tersenyum. Terlalu cerah. Terlalu dibuat-buat. “Pas banget. Aku mau kenalin kamu sama seseorang.”Pria itu ikut berdiri dan menjabat tangan Galan. “Richard Tanoto,” ucapnya dengan aksen yang rapi—seperti orang yang besar di luar negeri. Mungkin Singapura, atau Australia. “Senior partner di Meridian Capital.”“Galan Pratama,” bal