Home / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 9 – Di Antara Cinta dan Harga Diri

Share

Bab 9 – Di Antara Cinta dan Harga Diri

Author: perdy
last update Huling Na-update: 2025-04-08 08:29:59

Pagi itu, matahari memancar hangat dari balik jendela kamar kos yang mulai lembap di beberapa sudut. Di dapur kecil, aroma tumisan sederhana menyebar. Nayla mengenakan daster lusuh bermotif bunga, rambutnya dikuncir asal. Di tangannya, sendok kayu bergerak pelan mengaduk telur orak-arik yang dicampur potongan tahu.

Meja makan diisi dua piring nasi dan dua cangkir teh manis hangat. Ia mengecek jam dinding—07.18.

“Galan belum bangun,” gumamnya pelan. Lalu, seperti biasa, ia membangunkan lelaki itu dengan lembut.

Setelah sarapan, Galan berdiri di depan cermin, merapikan kerah kemeja biru langit yang sudah Nayla setrika malam sebelumnya. Ia tampak bersemangat pagi ini—senyum merekah, matanya berbinar.

“Aku mau ke coworking space hari ini. Ada acara pitching kecil-kecilan. Kayaknya bakal ketemu orang-orang penting juga,” katanya sambil menyemprotkan parfum.

Nayla mengangguk. “Kamu bawa proposalnya?”

“Udah. Semua udah siap. Oh iya,” Galan berbalik cepat, “kemarin aku ketemu sama partner bisnis baru.”

“Siapa?” tanya Nayla sambil membereskan piring.

“Namanya Alya. Dia orangnya pintar banget, Nay. Percaya diri, punya koneksi ke beberapa investor gede. Katanya dia bakal bantu buka jalan biar ide startup-ku bisa dilirik.”

Alya.

Satu kata yang terdengar manis di mulut Galan, tapi tajam menusuk ke telinga Nayla. Terlalu tajam.

Ia menoleh, menampilkan senyum kecil yang dilatih bertahun-tahun. “Kalau itu bisa bantu kamu berkembang, aku dukung.”

Tapi jauh di balik senyuman itu, hatinya goyah.

Ia mengenal Galan. Ia tahu betapa mudahnya lelaki itu terpukau pada hal-hal yang baru, berkilau, dan menjanjikan. Dan kini, satu nama baru telah masuk ke dalam dunianya—dan Nayla tak yakin, apakah dirinya masih menjadi pusat dunia itu.

**

Hari-hari berikutnya, Galan semakin sering pergi. Bukan lagi ke coworking space biasa, tapi ke kafe yang lebih mahal, hotel tempat seminar, dan restoran yang tidak mungkin Nayla datangi hanya dengan uang hasil menjahit dan les privat.

“Networking,” begitu katanya setiap ditanya.

Dan Nayla selalu menjawab dengan anggukan. Meski hatinya mengencang tiap kali nama Alya disebut di sela cerita Galan. Entah kenapa, nama itu mulai sering muncul. Terlalu sering.

“Nay, tadi Alya kasih ide buat kemasan produk. Katanya harus lebih sleek biar keliatan premium.”

“Wah, Alya ngajak aku gabung ke komunitas startup yang dia kelola, loh.”

“Tadi Alya bilang, kayaknya kita bisa bikin prototype-nya lebih cepat kalau dia ikut bantu.”

Alya. Alya. Alya.

Nayla tahu, cemburu bukan hal yang elegan. Tapi rasa itu bukan tentang kecantikan Alya, atau status sosialnya. Rasa itu datang karena Nayla mulai merasa seperti orang luar dalam mimpi yang dulu mereka ciptakan bersama.

**

Malam itu, Galan pulang lebih larut dari biasanya.

Ia membuka pintu kamar kos dengan langkah ringan. Rambutnya sedikit berantakan, kemejanya tidak lagi rapi, dan aroma parfum wanita samar menempel di tubuhnya. Nayla menoleh dari mesin jahit, berusaha tak memperlihatkan wajah gusarnya.

“Maaf ya, pulang telat. Tadi habis brainstorming sampai malam. Kita sampai lupa waktu,” ucap Galan, lalu menguap lebar.

“Kita?”

“Hmm? Aku, Alya, sama dua orang dari tim desain.”

“Oh.”

Galan meletakkan tasnya dan langsung mengambil air minum. “Kamu belum tidur?”

“Nunggu kamu.”

Galan tersenyum sekilas. “Maaf, ya.”

Ia lalu masuk ke kamar mandi, meninggalkan Nayla yang duduk diam di kursi kayu. Tangannya masih di atas kain batik setengah jadi, tapi pikirannya melayang.

Ia ingat masa-masa awal perjuangan mereka. Saat makan hanya dengan kerupuk dan sambal. Saat harus mengamen kecil-kecilan demi beli kuota. Saat Galan menyerah dan ingin pulang kampung, tapi Nayla menggenggam tangannya, memeluknya, dan berkata, “Kita belum kalah.”

Dulu, impian itu milik mereka berdua. Tapi sekarang, Nayla tak yakin... apakah dirinya masih bagian dari “kita” itu?

**

Keesokan harinya, Nayla tak sengaja melihat foto yang diunggah akun komunitas startup lokal. Sebuah gambar yang menampilkan Galan berdiri di antara tiga orang lainnya—dua pria, dan satu wanita berambut panjang, mengenakan blazer putih dan senyum percaya diri.

Alya, pikir Nayla.

Komentar-komentar di bawah foto membuat hatinya tenggelam lebih dalam.

“Pasangan founder paling serasi!”

“Galan dan Alya: kombinasi yang menjanjikan.”

“Dari wajahnya aja udah kelihatan cocok!”

Tak ada yang tahu Nayla.

Tak ada yang menyebutnya.

Padahal ia yang menjahit kemeja Galan. Ia yang membayar tagihan internet agar Galan bisa pitching. Ia yang menahan lapar agar bisa beli bahan presentasi. Ia yang mengorbankan waktu, tubuh, bahkan harga dirinya, agar mimpi itu tetap hidup.

Tapi tak satu pun yang tahu.

**

Malam itu, untuk pertama kalinya, Nayla memberanikan diri bertanya:

“Gal, boleh aku ikut kamu besok ke acara komunitas startup itu?”

Galan menatapnya, ragu. “Hmm... kayaknya enggak perlu, Nay. Acara internal. Lagipula kamu pasti capek juga, kan?”

“Tapi aku pengen lihat... tempat kamu berkembang. Aku pengen tahu langsung dunia kamu sekarang.”

Galan diam. Lalu duduk di ujung ranjang, memijat pelipisnya.

“Nay... aku nggak mau kamu salah paham. Dunia ini keras. Aku butuh fokus. Butuh keliatan profesional. Kalau kamu ikut, aku takut kamu jadi nggak nyaman.”

“Karena aku bukan dari dunia itu?” Nayla menatapnya.

“Bukan gitu maksudku.”

Tapi Nayla tahu. Ia hanya tak cukup menarik untuk jadi wajah yang berdiri di samping Galan saat ini. Tak cukup bergengsi untuk duduk bersama para investor. Tak cukup pintar untuk dipanggil ‘partner strategis’.

Ia hanya perempuan yang menjahit malam-malam, mengantar paket di tengah hujan, dan menyetrika kemeja orang yang sekarang merasa terlalu tinggi untuk menggandengnya.

**

Di dalam hatinya, Nayla mulai berbicara dengan suara yang selama ini ia bungkam:

Apa aku masih bagian dari impian kita? Atau sekarang aku hanya jadi penonton dari mimpi yang berubah jadi milikmu sendiri?

Ia memikirkan semua pengorbanan yang pernah ia lakukan. Bukan untuk dihitung atau diungkit. Tapi untuk meyakinkan diri... bahwa cintanya bukan cinta yang biasa.

Namun yang ia terima kini hanya bayangan.

Hadir, tapi tak dipandang.

Setia, tapi tak dihargai.

Lelah, tapi tak dianggap.

Dan cinta... yang dulu menjadi bahan bakar utama impian mereka, kini seakan tinggal api kecil yang berjuang tak padam—sendirian.

**

Di tengah malam, Nayla menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Wajahnya pucat, mata sedikit sembab, dan senyum yang sudah tak utuh lagi.

Ia memeluk dirinya sendiri.

Tak berkata apa-apa.

Karena malam ini, ia mulai menyadari:

Cinta yang tulus tak seharusnya membuat seseorang kehilangan harga dirinya.

Dan ia tak akan membiarkan dirinya hancur, hanya demi bertahan di sisi seseorang yang mungkin... tak lagi melihatnya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 299

    “Apa yang sebenarnya ada di basement itu?” tanya Nayla langsung kepada Marcus Chen lewat sambungan telepon aman yang diatur oleh Agent Sarah.“Saya tidak bisa memastikan sekarang,” jawab Marcus dengan suara hati-hati. “Tapi waktu saya masih terlibat dalam perencanaan dua tahun lalu, Kozlov merancang beberapa tingkat bawah tanah untuk ‘fasilitas penyimpanan khusus’. Dia sangat tertutup soal itu—bahkan kepada mitra bisnis terdekatnya.”“Penyimpanan untuk apa?”“Secara resmi, dokumen sensitif dan sistem cadangan keamanan. Tapi ada desas-desus di kalangan pekerja konstruksi tentang ruangan-ruangan yang didesain menyerupai... semacam fasilitas penahanan yang sangat aman.”Dada Nayla bergetar oleh rasa dingin yang familiar. “Fasilitas penahanan? Untuk siapa?”“Saya tidak tahu pasti. Bisa saja untuk saksi yang bekerja sama dengan pihak berwenang dan perlu perlindungan. Atau bisa juga...” Marcus berhenti sejenak.“Bisa juga apa?” desak Nayla.“Atau bisa juga tempat untuk menahan orang-orang y

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 298

    Nayla menatap foto training center yang dikirim Viktor Kozlov dengan perasaan campur aduk. Dari luar, kompleks itu terlihat seperti universitas bergengsi: gedung-gedung modern, fasilitas lengkap, taman yang rapi. Tapi pagar tinggi dan peralatan keamanan yang ketat membuatnya terasa lebih seperti markas militer ketimbang lembaga pendidikan.“Alternative proposal…” gumam Nayla sambil memperbesar foto. “Apa maksudnya dia dengan itu?”Arvino, yang terbangun karena suara notifikasi, duduk di samping Nayla di tempat tidur hotel. Ia ikut melihat pesan itu.“Dia sedang berjaga-jaga,” kata Arvino tenang. “Kalau kemitraan resmi dengan pengawasan PBB terasa terlalu mengekang, dia sudah siapkan rencana cadangan: tetap memberikan kamu sumber daya, tapi dengan fleksibilitas lebih besar—dan mungkin, kendali lebih banyak untuk dirinya.”“Jadi bisa jadi peluang… atau jebakan.”“Persis. Dan fakta bahwa dia menghubungi kamu diam-diam jam tiga pagi menunjukkan satu hal: dia ingin melompati jalur resmi, m

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 297

    “Orang tua saya hilang?” suara Nayla tercekat. Dunia seolah berputar. “Sejak kapan? Bagaimana bisa—”“Bu Kusuma, mohon tetap tenang,” jawab Detektif Rahman di ujung telepon. “Kami sedang melakukan segala upaya untuk mencari mereka. Tapi ada sesuatu yang perlu Anda ketahui.”“Apa maksudnya?”“Safe house tempat orang tua Anda tinggal… tidak ada tanda-tanda penyerangan atau kekerasan. Sepertinya mereka pergi secara sukarela bersama seseorang yang mereka kenal.”Agen Sarah segera mengambil alih percakapan. “Detektif Rahman, saya Sarah dari Interpol. Apakah ada rekaman CCTV atau saksi mata?”“Ada. Rekaman menunjukkan Tuan dan Nyonya Mahardika meninggalkan lokasi bersama seorang perempuan muda. Mereka terlihat tenang, tidak dipaksa.”“Perempuan muda?” Nayla mengernyit, bingung. “Siapa yang mereka kenal sampai mau ikut begitu saja—”Belum sempat ia melanjutkan, teleponnya kembali berdering. Nomor tak dikenal.Nayla mengangkatnya hati-hati. “Halo? Ini Nayla Kusuma.”“Nayla, ini Ibu.” Suara ib

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 296

    “Tidak akan datang sendirian,” ucap Nayla dengan nada tegas, tanpa memberi ruang untuk tawar-menawar. “Itu bukan negosiasi. Itu jebakan.”“Bu Kusuma,” kata Agen Sarah hati-hati, “jika Anda menolak syaratnya, pertemuan mungkin tidak akan terjadi sama sekali.”“Kalau begitu biarlah tidak terjadi. Tapi saya tidak akan masuk ke situasi terisolasi dengan seorang pemimpin kriminal internasional yang punya alasan khusus untuk menyingkirkan saya.”“Bagaimana kalau kita cari jalan tengah?” tanya Arvino. “Anda tetap bertemu dengannya, tapi tim keamanan siaga di dekat lokasi. Tidak di dalam ruangan, tapi cukup dekat untuk merespons cepat bila sesuatu terjadi.”“Dan kalau dia menolak?”“Kalau begitu kita tahu sejak awal dia memang merencanakan sesuatu yang jahat.”Agen Sarah berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. “Sebenarnya itu masuk akal. Kita bisa usulkan pertemuan yang dimodifikasi: di tempat publik, dengan perimeter keamanan, tapi hanya Anda dan Kozlov yang masuk ke ruang percakapan.”“Tem

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 295

    "Detektif Rahman, apa yang terjadi dengan orangtua saya?" tanya Nayla, suaranya tenang tapi sarat dengan kekhawatiran."Bu Kusuma, dalam 24 jam terakhir ada beberapa kejadian mencurigakan di sekitar rumah orangtua Anda. Ada kendaraan asing yang parkir terlalu lama, juga orang-orang yang bertanya-tanya kepada tetangga tentang keluarga Mahardika."Dada Nayla terasa dicekam dingin. "Apakah orangtua saya aman sekarang?""Mereka sudah kami pindahkan ke lokasi aman sementara. Tapi ada hal penting yang perlu kita bahas. Pola pengintaian ini sangat mirip dengan kasus lain yang terkait jaringan kriminal internasional.""Maksud Anda... Viktor Kozlov sudah mulai mengincar keluarga saya?""Besarnya kemungkinan begitu. Dan ini mengubah sepenuhnya penilaian risiko dari strategi yang Anda rencanakan."Agent Sarah, yang mendengar percakapan itu, langsung berkoordinasi dengan pihak berwenang di Indonesia melalui jalur komunikasi aman."Nayla," kata Arvino dengan nada lembut tapi tegas, "ini mengubah s

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 294

    “Target utama itu punya nama,” kata Agen Sarah sambil membuka sebuah berkas rahasia di dalam mobil pengaman yang membawa mereka meninggalkan gedung Parlemen. “Viktor Kozlov. Seorang pengusaha asal Rusia dengan koneksi ke pejabat pemerintah, kelompok kriminal terorganisir, dan korporasi sah di dua belas negara.”“Dan dia baru saja menjadikan menyingkirkanku sebagai prioritas pribadinya?” tanya Nayla, berusaha mencerna informasi itu.“Menurut komunikasi yang berhasil kami sadap, benar. Kesaksianmu memicu penggerebekan serentak di banyak negara. Jaringannya kehilangan aset senilai sekitar 200 juta dolar dan lima puluh orang pentingnya hanya dalam enam jam terakhir.”Arvino, yang duduk di samping Nayla, meraih tangannya erat. “Sebenarnya sumber daya apa saja yang dia punya untuk melaksanakan ancaman itu?”“Luar biasa banyak,” jawab Sarah serius. “Perusahaan keamanan pribadi, tim hukum di berbagai yurisdiksi, dan sayangnya—rekam jejak panjang dalam menekan jurnalis maupun aktivis.”“Tekana

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status