Langit malam menumpahkan hujan seperti kemarahan yang sudah lama dipendam. Petir membelah langit, menyinari jalanan basah tempat Nayla berjalan terseok dengan dua tangan penuh. Tas jinjing di satu tangan berisi paket pesanan, dan tangan satunya menahan kotak makanan yang mulai hancur terendam air.
Langkahnya terhuyung saat melewati genangan air. Sepatu kanvas murahan yang sudah usang mengeluarkan bunyi ceplak-ceplok, menandakan bahwa satu-satunya alas kaki itu mungkin tak akan bertahan seminggu lagi.
Ia baru saja selesai mengantar paket COD ke seorang pelanggan yang menuduhnya lambat, padahal Nayla sudah menerobos tiga lampu merah dan menumpang ojek online demi sampai tepat waktu. Namun nyatanya, ia tetap dimarahi. Dituduh menipu. Dibentak seolah harga dirinya tak lebih mahal dari plastik pembungkus barang itu sendiri.
Tapi Nayla hanya tersenyum, menunduk, lalu meminta maaf. Karena ia tahu, pelanggan puas berarti satu ulasan bintang lima. Dan ulasan itu, bisa jadi harapan untuk hari esok.
Tubuhnya menggigil saat akhirnya sampai di depan kamar kos. Kuncinya sempat jatuh karena jemari yang kaku dan beku, tapi akhirnya pintu terbuka juga.
Suasana dalam kamar hangat oleh lampu kuning redup. Aroma kopi instan bercampur dengan wewangian lembut dari pengharum ruangan murah. Di tengah kamar, Galan duduk bersila di depan laptop, headphone menggantung di lehernya, dan layar laptop penuh grafik keuangan serta file presentasi.
Nayla meletakkan barang-barangnya perlahan, berusaha tak menimbulkan suara. Bajunya basah kuyup, rambut di balik kerudung lengket karena keringat dan air hujan, dan wajahnya penuh debu dari jalanan becek. Tapi di balik semua itu, ada senyum tipis yang dipaksakan tetap hidup.
“Aku udah dapat tambahan orderan,” katanya pelan, membuka suara, “Tiga baju batik custom. Kalau semua dibayar, mungkin cukup buat nutup biaya internet bulan ini.”
Nada suaranya penuh harap. Bukan karena uangnya—melainkan karena ia ingin dipandang. Dianggap. Diakui. Dihargai meski sedikit.
Tapi Galan tak menoleh.
Ia hanya mengangguk cepat sambil tetap menatap layar. “Oke. Btw, besok aku meeting. Bajuku bisa disetrika, kan?”
Kalimat itu menghantam Nayla seperti hantaman ombak yang menenggelamkan.
Bukan hanya karena tak ada terima kasih. Tapi karena semua kerja kerasnya... seolah tak terlihat. Tak ada pelukan. Tak ada pertanyaan kenapa ia basah kuyup. Tak ada perhatian, tak ada kehangatan.
Hanya sebuah permintaan biasa, seakan Nayla bukan siapa-siapa. Seakan ia hanyalah alat yang bertugas memastikan semuanya berjalan lancar untuk Galan.
“Iya,” jawab Nayla lirih.
Lalu ia berjalan ke kamar mandi kecil di ujung ruangan, mengganti pakaian, dan mencuci bajunya sendiri dengan air dingin dari keran yang bocor. Selagi air mengalir di tangan dan kakinya, ia merasa tubuhnya seperti batu—berat, letih, dan dingin.
**
Malam semakin larut. Di balik tirai tipis, suara hujan masih turun. Kamar itu sunyi, kecuali ketukan lembut keyboard yang ditekan Galan. Ia masih bekerja, seperti biasa, dengan semangat membara yang dulu Nayla cintai. Dan mungkin... masih ia cintai. Atau setidaknya, dulu.
Nayla duduk di sudut kamar, membuka buku catatan kecil berisi daftar pengeluaran. Tangannya bergerak otomatis, menulis angka-angka sambil sesekali menahan kantuk. Di lembar berikutnya, ia mencoret daftar makanan minggu ini. Telur diganti tahu. Roti dihapus. Susu? Tidak dulu.
Setelahnya, ia menatap langit-langit kamar yang retaknya makin terlihat jelas.
Tangisnya datang perlahan. Tanpa suara. Hanya air mata yang menetes satu per satu, menelusuri pipi pucatnya yang dingin. Ia menggigit bibir agar tak mengeluarkan suara. Galan tak perlu tahu. Dunia tak perlu tahu.
Seperti biasa, Nayla menangis... diam-diam.
Karena ia tahu, kalau ia bicara, mungkin Galan akan merasa terganggu. Atau lebih buruk: menganggap Nayla terlalu sensitif.
Padahal ia hanya ingin sedikit ruang untuk dirinya sendiri.
Sedikit pelukan yang tak diminta.
Sedikit kalimat, “Kamu hebat, Nay.”
Tapi malam itu, bahkan kata-kata sederhana itu pun tak datang.
**
Keesokan paginya, Nayla bangun lebih awal. Ia menyetrika baju kerja Galan—kemeja putih dan celana kain abu-abu yang masih bisa disulap tampak rapi. Ia menyetrika perlahan, memastikan tak ada lipatan yang salah. Lalu menyiapkan kopi dan roti tawar dengan selai seadanya.
Saat Galan bangun, semua sudah tertata.
“Wah, makasih ya,” ucapnya cepat, masih mengucek mata. “Aku harus berangkat buru-buru.”
Tanpa cium kening. Tanpa tanya bagaimana malam Nayla. Hanya cepat-cepat mengancingkan baju dan menyambar tas kerja.
Nayla hanya menatapnya pergi.
Dan saat pintu kos tertutup, ia terduduk.
Bukan karena kelelahan. Tapi karena hatinya semakin kosong.
Ia merasa seperti bayangan dari seseorang yang dulu bermakna.
**
Siangnya, Nayla duduk di ruang tunggu puskesmas, menunggu giliran periksa karena dadanya terasa sesak dan tenggorokannya perih sejak semalam. Namun di kepalanya, tetap yang ia pikirkan adalah: apakah pesanan pelanggan sudah dikirim? Apakah baju-baju custom bisa selesai sebelum minggu depan?
Tak ada ruang untuk sakit dalam hidupnya.
Di sana, ia melihat seorang ibu muda digandeng suaminya. Sang suami menyuapi si istri minum, menyiapkan jaket agar tak kedinginan, dan menungguinya dengan sabar.
Pemandangan itu sederhana. Tapi menusuk.
Karena Nayla tahu... ia tak punya itu.
**
Malamnya, saat Galan pulang, wajahnya bersinar.
“Nay! Tadi presentasinya keren banget. Clara bilang aku punya potensi jadi lead strategist kalau rencana ini jalan!”
Nayla tersenyum tipis. “Syukurlah.”
“Aku yakin ini awal perubahan besar buat kita,” kata Galan penuh semangat.
“Untuk kita,” ulang Nayla pelan, hampir seperti gumaman.
Galan tak mendengar. Atau mungkin tak peduli.
Dan malam itu, ketika Galan tertidur dengan senyum bangga, Nayla menatapnya lama.
Ia mencintai laki-laki itu. Mencintainya seperti bumi mencintai matahari—memberi tanpa diminta. Tapi sekarang, ia mulai bertanya: apakah matahari tahu bahwa bumi lelah memutar dirinya hanya untuk tetap dekat?
**
Peluh Nayla terus mengalir. Tangannya terus bekerja. Tapi kini, ada luka yang menganga dalam diam. Luka karena ia hanya dianggap... bukan dihargai. Karena peluhnya tak terlihat. Tangisnya tak terdengar. Dan cintanya... dianggap seperti kewajiban.
Namun ia tetap di sana.
Masih di sudut yang sama.
Karena harapannya belum padam. Meskipun... cahayanya mulai redup.
“Siapa yang mengancam pekerjaanmu?” tanya Nayla dengan suara tenang namun tegas kepada perempuan di ujung telepon.“Saya tidak tahu pasti. Ada seseorang yang menelepon bagian HR di kantor. Mereka bilang saya terlibat dalam ‘aktivitas politik kontroversial’ dan mengancam akan menghubungi klien besar kalau perusahaan tetap mempekerjakan saya.”Nayla merasakan simpul yang familiar di perutnya. Kali ini bukan ketakutan, melainkan amarah yang adil—dan tekad untuk melindungi.“Dengar aku baik-baik,” ucap Nayla dengan suara mantap sekaligus menenangkan. “Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Kau hanya menceritakan kebenaranmu demi membantu perempuan lain. Dan aku tidak akan membiarkanmu menanggung akibat hanya karena keberanian itu.”“Tapi Nayla, aku tidak bisa kehilangan pekerjaan. Aku punya dua anak—”“Kau tidak akan kehilangan pekerjaanmu. Beri aku kontak direktur HR-mu, dan izinkan tim hukumku langsung menghubungi perusahaanmu.”Begitu telepon ditutup, Nayla segera mengumpulkan Arvino d
“Kita harus segera merespons bukti palsu ini,” ujar Arvino sambil membuka laptop dan mulai menyusun draf pernyataan hukum. “Kalau kita terlambat, media bisa menafsirkannya sebagai pengakuan bersalah.”“Tunggu dulu.” Nayla mengangkat tangannya. “Sebelum bereaksi, aku ingin melihat dulu persis apa yang mereka tuduhkan.”Elena Rodriguez mengirimkan tautan artikel yang sudah dimuat di tiga media internasional besar. Nayla membaca seksama, sementara Harra dan Arvino ikut menunduk membaca dari balik bahunya.“Mereka menulis bahwa testimoni para perempuan dalam bukuku itu rekayasa,” kata Nayla setelah selesai. “Dan mereka mengklaim punya ‘sumber’ yang bisa membuktikan kalau aku tidak pernah benar-benar mewawancarai mereka.”“Itu jelas bohong,” sergah Harra, wajahnya memerah karena kesal. “Aku masih ingat Ibu melakukan wawancara lewat telepon dengan beberapa perempuan itu. Bahkan aku sempat membantu mengetik hasil transkripnya.”“Aku juga masih menyimpan semua rekaman wawancara, surat persetu
“Dr. Chen,” suara Nayla terdengar tenang, meski tegas, “saya akan memberikan jawaban besok pagi. Saya perlu berdiskusi dulu dengan keluarga saya.”“Mrs. Kusuma, saya mengerti,” jawab Dr. Chen, “tapi komite Parlemen Eropa akan bersidang lusa. Waktunya sangat terbatas.”“Dan justru karena pentingnya keputusan ini, saya tidak akan mengambil pilihan terburu-buru. Selamat malam, Dr. Chen.”Nayla menutup telepon. Tatapannya beralih pada Arvino dan Harra yang sudah berkumpul di ruang kerja. Wajah keduanya memancarkan kekhawatiran, tapi juga penuh dukungan.“Mereka ingin aku memberikan kesaksian di Parlemen Eropa, tentang rekomendasi kebijakan perlindungan penyintas kekerasan,” ujar Nayla, duduk di antara suami dan anaknya. “Tapi ada kampanye terorganisir yang mencoba merusak reputasiku dan mengacaukan setiap penampilan publik.”Harra menggenggam tangan ibunya erat. “Apa pun yang Ibu putuskan, aku akan mendukung. Tapi aku ingin Ibu tahu… aku bangga. Kesempatan ini bisa membuat undang-undang y
“Jurnalis internasional?” tanya Nayla sambil menatap satpam dengan ekspresi waspada, meski nada suaranya tetap tenang. Pengalaman beberapa bulan terakhir telah mengajarkannya untuk tidak reaktif setiap kali ada tamu tak terduga.“Betul, Bu. Dia mengaku bernama Elena Rodriguez dari The Guardian. Identitas persnya tampak sah, tapi saya tetap perlu konfirmasi pada Ibu terlebih dahulu.”Arvino melepaskan pelukan di pinggang Nayla, lalu bergerak ke posisi yang protektif tanpa terlihat mencolok.“Nayla, kamu memang ada janji dengan The Guardian?”“Tidak. Tapi agen literasiku sempat bilang kalau mereka tertarik menulis liputan internasional tentang bukuku. Mungkin ini kelanjutannya.”Harra, yang tadinya santai membaca, kini duduk lebih tegak. “Bu, apa kita perlu khawatir? Maksudku… setelah semua yang terjadi dengan Daniel—”“Nak, kita tidak bisa hidup dengan rasa takut selamanya. Tapi kita juga tidak boleh lengah.” Nayla menoleh pada satpam. “Tolong minta Nona Rodriguez menunggu di lobi. Per
“Bukti apa yang membuat polisi khawatir tentang keselamatan kami?” tanya Nayla. Suaranya terdengar tenang, meski jantungnya berdebar kencang.“Miss Mahardika,” jawab Detektif Rahman dari seberang telepon, “di laptop Daniel Prawira yang kami sita, kami menemukan korespondensi dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ada indikasi rencana untuk mengintimidasi Anda dan keluarga jika penyelidikan berlanjut.”Daniel yang mendengar penjelasan itu langsung panik. “Itu tidak benar! Saya tidak pernah—”“Mr. Prawira,” potong Detektif Rahman cepat, “Anda masih dalam pengawasan kami. Lebih baik tidak berkomentar tanpa pendampingan pengacara. Miss Mahardika, demi keselamatan Anda dan putri Anda, kami merekomendasikan perlindungan khusus selama penyelidikan berlangsung.”Harra spontan menolak. “Ibu, aku tidak mau sembunyi lagi. Kita sudah tidak sembunyi dari siapa pun.”“Nak,” kata Nayla lembut, “ini berbeda. Bukan soal rasa malu atau ketakutan. Ini soal keselamatan kita yang nyata.”Arvino
“Tunggu sebentar,” ucap Nayla pada petugas keamanan, matanya menatap Maya dengan ekspresi tenang tapi penuh ketegasan. “Maya, matikan dulu rekaman podcast-nya.”Maya segera menghentikan perekaman. “Nay, kamu nggak perlu hadapi ini sendirian. Kita bisa—”“Tidak apa-apa.” Nayla berdiri dengan tubuh tegak, suaranya mantap. “Inilah persis situasi yang aku tulis di buku. Saat masa lalu mencoba menarikmu kembali, kamu harus memutuskan: mau menjawab dengan ketakutan, atau dengan kekuatan.”“Tapi ini bisa berbahaya.”“Makanya aku akan menanganinya dengan cerdas.” Nayla mengeluarkan ponselnya dan menelepon Arvino. “Vino, situasi di sini makin memanas. Perwakilan Daniel ada di studio, dan mereka ingin bertemu. Media juga sudah mulai berkumpul di luar.”“Nayla, jangan hadapi mereka langsung. Panggil keamanan, kalau perlu polisi. Jangan beri kesempatan sedikit pun untuk mereka memanipulasi keadaan.”“Justru aku punya ide yang lebih baik. Kamu masih terhubung dengan tim hukum PBB?”“Ya, mereka sta