Home / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 8 – Keringat yang Tak Dianggap

Share

Bab 8 – Keringat yang Tak Dianggap

Author: perdy
last update Huling Na-update: 2025-04-08 08:29:54

Langit malam menumpahkan hujan seperti kemarahan yang sudah lama dipendam. Petir membelah langit, menyinari jalanan basah tempat Nayla berjalan terseok dengan dua tangan penuh. Tas jinjing di satu tangan berisi paket pesanan, dan tangan satunya menahan kotak makanan yang mulai hancur terendam air.

Langkahnya terhuyung saat melewati genangan air. Sepatu kanvas murahan yang sudah usang mengeluarkan bunyi ceplak-ceplok, menandakan bahwa satu-satunya alas kaki itu mungkin tak akan bertahan seminggu lagi.

Ia baru saja selesai mengantar paket COD ke seorang pelanggan yang menuduhnya lambat, padahal Nayla sudah menerobos tiga lampu merah dan menumpang ojek online demi sampai tepat waktu. Namun nyatanya, ia tetap dimarahi. Dituduh menipu. Dibentak seolah harga dirinya tak lebih mahal dari plastik pembungkus barang itu sendiri.

Tapi Nayla hanya tersenyum, menunduk, lalu meminta maaf. Karena ia tahu, pelanggan puas berarti satu ulasan bintang lima. Dan ulasan itu, bisa jadi harapan untuk hari esok.

Tubuhnya menggigil saat akhirnya sampai di depan kamar kos. Kuncinya sempat jatuh karena jemari yang kaku dan beku, tapi akhirnya pintu terbuka juga.

Suasana dalam kamar hangat oleh lampu kuning redup. Aroma kopi instan bercampur dengan wewangian lembut dari pengharum ruangan murah. Di tengah kamar, Galan duduk bersila di depan laptop, headphone menggantung di lehernya, dan layar laptop penuh grafik keuangan serta file presentasi.

Nayla meletakkan barang-barangnya perlahan, berusaha tak menimbulkan suara. Bajunya basah kuyup, rambut di balik kerudung lengket karena keringat dan air hujan, dan wajahnya penuh debu dari jalanan becek. Tapi di balik semua itu, ada senyum tipis yang dipaksakan tetap hidup.

“Aku udah dapat tambahan orderan,” katanya pelan, membuka suara, “Tiga baju batik custom. Kalau semua dibayar, mungkin cukup buat nutup biaya internet bulan ini.”

Nada suaranya penuh harap. Bukan karena uangnya—melainkan karena ia ingin dipandang. Dianggap. Diakui. Dihargai meski sedikit.

Tapi Galan tak menoleh.

Ia hanya mengangguk cepat sambil tetap menatap layar. “Oke. Btw, besok aku meeting. Bajuku bisa disetrika, kan?”

Kalimat itu menghantam Nayla seperti hantaman ombak yang menenggelamkan.

Bukan hanya karena tak ada terima kasih. Tapi karena semua kerja kerasnya... seolah tak terlihat. Tak ada pelukan. Tak ada pertanyaan kenapa ia basah kuyup. Tak ada perhatian, tak ada kehangatan.

Hanya sebuah permintaan biasa, seakan Nayla bukan siapa-siapa. Seakan ia hanyalah alat yang bertugas memastikan semuanya berjalan lancar untuk Galan.

“Iya,” jawab Nayla lirih.

Lalu ia berjalan ke kamar mandi kecil di ujung ruangan, mengganti pakaian, dan mencuci bajunya sendiri dengan air dingin dari keran yang bocor. Selagi air mengalir di tangan dan kakinya, ia merasa tubuhnya seperti batu—berat, letih, dan dingin.

**

Malam semakin larut. Di balik tirai tipis, suara hujan masih turun. Kamar itu sunyi, kecuali ketukan lembut keyboard yang ditekan Galan. Ia masih bekerja, seperti biasa, dengan semangat membara yang dulu Nayla cintai. Dan mungkin... masih ia cintai. Atau setidaknya, dulu.

Nayla duduk di sudut kamar, membuka buku catatan kecil berisi daftar pengeluaran. Tangannya bergerak otomatis, menulis angka-angka sambil sesekali menahan kantuk. Di lembar berikutnya, ia mencoret daftar makanan minggu ini. Telur diganti tahu. Roti dihapus. Susu? Tidak dulu.

Setelahnya, ia menatap langit-langit kamar yang retaknya makin terlihat jelas.

Tangisnya datang perlahan. Tanpa suara. Hanya air mata yang menetes satu per satu, menelusuri pipi pucatnya yang dingin. Ia menggigit bibir agar tak mengeluarkan suara. Galan tak perlu tahu. Dunia tak perlu tahu.

Seperti biasa, Nayla menangis... diam-diam.

Karena ia tahu, kalau ia bicara, mungkin Galan akan merasa terganggu. Atau lebih buruk: menganggap Nayla terlalu sensitif.

Padahal ia hanya ingin sedikit ruang untuk dirinya sendiri.

Sedikit pelukan yang tak diminta.

Sedikit kalimat, “Kamu hebat, Nay.”

Tapi malam itu, bahkan kata-kata sederhana itu pun tak datang.

**

Keesokan paginya, Nayla bangun lebih awal. Ia menyetrika baju kerja Galan—kemeja putih dan celana kain abu-abu yang masih bisa disulap tampak rapi. Ia menyetrika perlahan, memastikan tak ada lipatan yang salah. Lalu menyiapkan kopi dan roti tawar dengan selai seadanya.

Saat Galan bangun, semua sudah tertata.

“Wah, makasih ya,” ucapnya cepat, masih mengucek mata. “Aku harus berangkat buru-buru.”

Tanpa cium kening. Tanpa tanya bagaimana malam Nayla. Hanya cepat-cepat mengancingkan baju dan menyambar tas kerja.

Nayla hanya menatapnya pergi.

Dan saat pintu kos tertutup, ia terduduk.

Bukan karena kelelahan. Tapi karena hatinya semakin kosong.

Ia merasa seperti bayangan dari seseorang yang dulu bermakna.

**

Siangnya, Nayla duduk di ruang tunggu puskesmas, menunggu giliran periksa karena dadanya terasa sesak dan tenggorokannya perih sejak semalam. Namun di kepalanya, tetap yang ia pikirkan adalah: apakah pesanan pelanggan sudah dikirim? Apakah baju-baju custom bisa selesai sebelum minggu depan?

Tak ada ruang untuk sakit dalam hidupnya.

Di sana, ia melihat seorang ibu muda digandeng suaminya. Sang suami menyuapi si istri minum, menyiapkan jaket agar tak kedinginan, dan menungguinya dengan sabar.

Pemandangan itu sederhana. Tapi menusuk.

Karena Nayla tahu... ia tak punya itu.

**

Malamnya, saat Galan pulang, wajahnya bersinar.

“Nay! Tadi presentasinya keren banget. Clara bilang aku punya potensi jadi lead strategist kalau rencana ini jalan!”

Nayla tersenyum tipis. “Syukurlah.”

“Aku yakin ini awal perubahan besar buat kita,” kata Galan penuh semangat.

“Untuk kita,” ulang Nayla pelan, hampir seperti gumaman.

Galan tak mendengar. Atau mungkin tak peduli.

Dan malam itu, ketika Galan tertidur dengan senyum bangga, Nayla menatapnya lama.

Ia mencintai laki-laki itu. Mencintainya seperti bumi mencintai matahari—memberi tanpa diminta. Tapi sekarang, ia mulai bertanya: apakah matahari tahu bahwa bumi lelah memutar dirinya hanya untuk tetap dekat?

**

Peluh Nayla terus mengalir. Tangannya terus bekerja. Tapi kini, ada luka yang menganga dalam diam. Luka karena ia hanya dianggap... bukan dihargai. Karena peluhnya tak terlihat. Tangisnya tak terdengar. Dan cintanya... dianggap seperti kewajiban.

Namun ia tetap di sana.

Masih di sudut yang sama.

Karena harapannya belum padam. Meskipun... cahayanya mulai redup.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 9 – Di Antara Cinta dan Harga Diri

    Pagi itu, matahari memancar hangat dari balik jendela kamar kos yang mulai lembap di beberapa sudut. Di dapur kecil, aroma tumisan sederhana menyebar. Nayla mengenakan daster lusuh bermotif bunga, rambutnya dikuncir asal. Di tangannya, sendok kayu bergerak pelan mengaduk telur orak-arik yang dicampur potongan tahu.Meja makan diisi dua piring nasi dan dua cangkir teh manis hangat. Ia mengecek jam dinding—07.18.“Galan belum bangun,” gumamnya pelan. Lalu, seperti biasa, ia membangunkan lelaki itu dengan lembut.Setelah sarapan, Galan berdiri di depan cermin, merapikan kerah kemeja biru langit yang sudah Nayla setrika malam sebelumnya. Ia tampak bersemangat pagi ini—senyum merekah, matanya berbinar.“Aku mau ke coworking space hari ini. Ada acara pitching kecil-kecilan. Kayaknya bakal ketemu orang-orang penting juga,” katanya sambil menyemprotkan parfum.Nayla mengangguk. “Kamu bawa proposalnya?”“Udah. Semua udah siap. Oh iya,” Galan berbalik cepat, “kemarin aku ketemu sama partner bis

    Huling Na-update : 2025-04-08
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 10 – Cinta yang Tertatih

    Hujan turun perlahan di luar jendela. Tetesannya menari di atas atap seng, menciptakan irama yang dulu bisa membuat Nayla tertidur pulas. Tapi malam ini berbeda. Hujan bukan lagi lagu nina bobo, melainkan denting-denting kesepian yang memantul di dinding hatinya.Di atas ranjang tipis itu, Nayla duduk bersandar pada dinding yang dingin. Tubuhnya lelah luar biasa. Tulang punggungnya nyeri karena duduk terlalu lama menjahit seragam pesanan pelanggan. Tangan kanannya masih terasa panas akibat setrika rusak yang menyemburkan uap tak teratur. Dan di matanya, kelelahan itu tak hanya berasal dari tubuh—tapi dari hati yang mulai retak, perlahan.Ponselnya tergeletak di samping dompet tipis berisi uang kertas lima puluh ribu yang terlipat rapi. Uang itu adalah sisa dari pengiriman paket tadi sore. Nayla ingat betul ekspresi remeh dari ibu-ibu pelanggan yang berkata, “Masa ongkir segini mahal banget, padahal bajunya biasa aja.” Nayla hanya tersenyum, menunduk, dan mengangguk seperti biasa.Lalu

    Huling Na-update : 2025-04-08
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 11 – Kamar Kosong, Hati Kosong

    Malam telah larut. Lampu redup menyala di ruang kerja sempit di sudut kamar kos mereka. Di antara tumpukan kertas, sketsa-sketsa desain produk digital berserakan. Gambar-gambar prototipe sederhana, alur kerja aplikasi, dan beberapa catatan strategi pemasaran ditulis tangan dengan pulpen hitam yang tintanya mulai habis.Nayla duduk bersila di lantai, tubuhnya menyandar pada dinding yang dingin. Rambutnya diikat sembarangan, matanya sembab dan lelah. Tapi tangannya masih bergerak—menghapus, menggambar ulang, mencoret, mencatat.Sudah tiga malam berturut-turut ia begadang, bukan untuk pekerjaannya sendiri, tapi untuk merapikan konsep yang dilempar Galan tanpa bentuk. Ide itu masih mentah—“aplikasi layanan berbasis komunitas”, katanya. Tapi tanpa detail, tanpa arah. Hanya semangat kosong yang mengandalkan energi dari kopi dan ambisi.Nayla mencoba menyusunnya ulang. Ia belajar dari forum, membaca artikel bisnis, bahkan menonton video tutorial dari internet yang kadang tersendat karena kuo

    Huling Na-update : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 12 – Otak di Balik Nama

    Langit pagi itu mendung. Jakarta seperti malas bangun, dan matahari enggan menampakkan diri. Tapi di kamar kos kecil yang pengap itu, Nayla sudah sibuk sejak subuh.Tangannya lincah menyetrika kemeja putih milik Galan—kemeja terbaik yang mereka punya, yang hanya dipakai kalau ada acara penting. Ia menyisir rapi lipatan lengan, lalu menyiapkan dasi hitam dan sepatu yang semalam ia bersihkan sendiri. Meski usang, Nayla ingin semuanya tampak terbaik. Hari ini penting bagi Galan. Hari ini, ia akan presentasi di inkubator bisnis kampus ternama—tempat yang bisa membuka jalan ke pendanaan besar.Di sisi lain kamar, Galan berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan satu tangan sambil melihat ke layar ponsel.“Kamu udah siapin slide-nya?” tanyanya tanpa menoleh.“Udah. Aku juga masukin semua analisis pasar dan peta kompetitor ke bagian akhir. Kalau ditanya soal revenue stream, kamu tinggal buka slide ke-17.”Galan mengangguk pelan. “Good. Nggak nyangka bisa lengkap juga, ya.”Nayla ter

    Huling Na-update : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 13 – Gema di Balik Panggung

    Malam itu hujan rintik-rintik. Di kamar sempit yang lampunya mulai berkedip karena kabel usang, Nayla dan Galan duduk bersila di atas lantai beralas tikar tipis. Di depan mereka dua bungkus mie instan tersaji dalam mangkuk plastik, masih mengepul hangat. Aroma gurih sederhana mengisi ruangan, menumpuk bersama rasa lelah dan rasa lega.Galan membuka berita di ponselnya—sebuah media kampus menulis singkat soal proyeknya yang mendapatkan investasi awal dari alumni sukses.“Tuh, lihat,” katanya sambil tersenyum lebar. “Gue masuk media, Nay. Katanya ini bukti langkah awal startup yang bisa tembus pasar nasional.”Nayla ikut tersenyum, meski matanya sembab karena terlalu lama menatap layar laptop semalam—mengutak-atik prototype versi alpha dari aplikasi yang Galan bawa ke investor. Ia tahu betul, di balik angka-angka yang Galan sebut, di balik desain antarmuka yang katanya ‘inovatif’, ada dirinya. Ada tangannya. Ada pikirannya.“Aku bangga,” katanya pelan. “Kamu layak dapet itu.”Galan meny

    Huling Na-update : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 14 – Cinta yang Semakin Sepi

    Pagi itu dingin, tapi bukan karena cuaca. Bukan juga karena angin yang masuk dari celah jendela yang belum sempat diperbaiki. Dingin itu datang dari suara yang tak lagi hangat, dari tatapan yang mulai terasa jauh, dan dari kehadiran yang tak lagi menyentuh hati.Nayla terbangun lebih dulu seperti biasa. Ia menyeduh dua gelas kopi—satu manis tanpa gula untuknya, dan satu dengan krimer yang selalu jadi favorit Galan. Meja kecil sudah dirapikan, sarapan sederhana disiapkan: roti isi telur dadar dan irisan tomat sisa kemarin.Tapi Galan tak keluar dari kamar. Hanya suara ponselnya yang terdengar. Nada rendah, tawa pelan yang ditahan, lalu langkah cepat ke arah kamar mandi sambil menutup pintu.Nayla mematung.Beberapa hari terakhir, hal itu menjadi rutinitas baru. Galan lebih sering menerima telepon di kamar mandi, atau di luar kost, atau saat ia menyuruh Nayla membeli sesuatu ke warung. Dan tiap kali ia kembali, Galan sedang tertawa kecil dengan suara pelan—bukan tawa lega seperti dulu,

    Huling Na-update : 2025-04-12
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 15 – Akulah Fondasi yang Kau Lupakan

    Siang itu, ruangan co-working space tempat investor pitching digelar tampak megah. Dindingnya dihiasi layar-layar LED yang menampilkan logo berbagai startup baru, dan di antara semuanya, salah satu logo tampak lebih mencolok—warna biru tua dengan bentuk abstrak yang elegan, menggambarkan teknologi dan konektivitas.Itulah logo yang Nayla buat.Logo yang ia rancang semalaman, setelah puluhan coretan ditolak Galan. Logo yang mewakili gabungan nilai mereka berdua—keterbukaan, visi masa depan, dan semangat membangun dari nol. Ia yang memilih font, menyesuaikan gradasi warna, bahkan mengurus detail hak cipta secara administratif.Tapi saat siaran live presentasi dimulai dan kamera menyorot panggung, hanya satu nama yang disebut sang pembawa acara dengan penuh semangat:“Sambut CEO sekaligus pendiri SynVision, Galan Mahendra!”Tepuk tangan bergemuruh.Nayla menonton dari rumah, duduk di karpet tipis ruang tamu yang masih bau lem karena ia baru saja memperbaiki kaki mejanya yang patah. Ia me

    Huling Na-update : 2025-04-12
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 16 – Di Balik Pintu Kesempatan

    Udara di kafe kecil itu terasa hangat oleh aroma kopi dan kayu manis. Hujan baru saja berhenti di luar, meninggalkan jejak embun di kaca jendela. Di tengah keramaian lembut suara mesin kopi dan percakapan pelan, Nayla duduk di sebuah sudut meja dengan tangan bertaut di pangkuannya.Di hadapannya, seorang pria paruh baya dengan rambut separuh memutih sedang memutar cangkir tehnya. Ia mengenakan batik sederhana, kacamata bingkai emas menggantung di ujung hidung. Matanya tajam, tapi tak kehilangan kelembutan. Itulah Pak Handoko—mantan rekan bisnis almarhum ayah Nayla, sekaligus salah satu pengusaha senior yang dikenal sebagai investor konservatif tapi jujur.Nayla menarik napas dalam-dalam sebelum bicara.“Pak Handoko, saya tahu Bapak sedang cari peluang investasi baru. Saya tidak bisa menjanjikan banyak, dan saya juga tahu startup kami belum sempurna. Tapi saya percaya pada ide ini. Platform yang kami bangun punya potensi besar di sektor UMKM.”Pak Handoko mengangkat alis. “Kami?”Nayla

    Huling Na-update : 2025-04-12

Pinakabagong kabanata

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 30

    Galan akhirnya memutar kursinya, menghadap Nayla sepenuhnya. Ada ekspresi waspada di wajahnya. "Nayla, apa sebenarnya yang ingin kau katakan?"Nayla menimbang, haruskah ia mengungkapkan tentang helaian rambut dan aroma parfum itu? Atau menunggu waktu yang lebih tepat?"Tidak ada," jawabnya akhirnya. "Hanya penasaran bagaimana acara gala itu. Kau hampir tidak bercerita apa-apa saat pulang malam itu."Galan menatapnya lama, seolah mencari tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Nayla. "Acaranya biasa saja. Formal, membosankan, banyak obrolan bisnis.""Dan Alya?" nama itu terasa pahit di lidah Nayla. "Apakah dia... menikmati acaranya?""Nayla," nada suara Galan berubah, ada kekesalan di dalamnya. "Bisakah kita tidak memulai ini lagi? Aku harus kembali ke kantor.""Memulai apa?" Nayla balik bertanya, kini ada tantangan dalam suaranya. "Aku hanya bertanya tentang kolegamu.""Kau tahu persis apa yang kau lakukan," Galan menutup laptopnya de

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 29

    Tiga hari berlalu sejak pembicaraan pagi itu. Tiga hari penuh dengan keheningan yang canggung, percakapan singkat tentang hal-hal remeh, dan malam-malam yang dihabiskan di ruangan terpisah. Galan kembali tenggelam dalam rutinitas kerjanya—berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam, kadang bahkan tidak pulang dengan alasan lembur atau meeting di luar kota. Nayla pun mulai sibuk dengan proyek barunya, membiarkan dirinya terserap dalam sketsa dan desain sebagai pelarian dari kenyataan rumah tangga yang perlahan runtuh.Pagi itu, Senin yang kelabu, Nayla menemukan setumpuk pakaian kotor di keranjang laundry. Sebagian besar milik Galan—kemeja-kemeja kerja, celana formal, dan di bagian paling bawah, jas navy yang ia kenakan minggu lalu ke acara gala perusahaan. Acara yang Nayla tidak diundang untuk hadir."Rutinitasmu tak berubah, ya?" gumam Nayla pada dirinya sendiri sambil memilah pakaian. Meski hubungan mereka sedang di ambang kehancuran, ia masih melak

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 28

    "Mungkin kita berdua," jawabnya akhirnya. "Mungkin kita berdua sama-sama membiarkan jarak itu tumbuh."Nayla menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak, Galan. Aku mencoba. Aku berusaha menjaga komunikasi kita, mengajakmu bicara, bertanya tentang harimu. Tapi kau selalu menjawab dengan singkat, selalu terburu-buru, selalu ada meeting berikutnya atau email yang harus dibalas."Galan menatap Nayla, ada rasa bersalah yang kini terpancar jelas di matanya. "Aku tidak menyadarinya," ucapnya pelan. "Aku pikir... aku pikir kau mengerti kesibukan pekerjaanku.""Aku mengerti, Galan. Tapi mengerti tidak berarti aku harus menerima diabaikan, ditinggalkan, dan digantikan pelan-pelan dalam hatimu."Kata-kata Nayla menggantung di udara, berat dan menusuk. Galan terlihat kehabisan kata-kata, seperti seseorang yang akhirnya menyadari kesalahan fatal yang telah ia lakukan, namun terlalu terlambat untuk diperbaiki."Apakah..." Galan memulai dengan ragu, "apakah artinya

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 27

    Pagi itu, Nayla berdiri di depan cermin kamar tamu. Matanya sembab, lingkaran hitam menghiasi bagian bawah kelopaknya yang bengkak. Rambutnya acak-acakan karena tak tidur semalaman. Tangannya menyentuh permukaan cermin, seolah ingin memastikan bahwa bayangan yang terpantul adalah benar dirinya."Siapa kau?" bisiknya pada refleksi yang menatap balik dengan sorot terluka.Suara air mengalir dari kamar mandi utama terdengar samar. Galan sudah bangun, bersiap-siap untuk berangkat kerja seperti pagi-pagi biasanya—seolah semalam tak pernah terjadi apa-apa, seolah topeng mereka tak pernah terlepas.Nayla menarik napas dalam-dalam. Aroma kopi menguar dari dapur, mengisi apartemen dengan kehangatan yang ironis. Galan selalu menyeduh kopi untuk mereka berdua setiap pagi—salah satu kebiasaan yang masih bertahan dari masa-masa awal pernikahan mereka. Namun pagi ini, rutinitas itu terasa hambar, seperti sebuah gerak refleks belaka, bukan lagi ungkapan kasih.

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 26

    "Ya," akhirnya ia mengakui. "Dengan Alya. Tapi itu murni profesional, Nayla.""Profesional?" Nayla tersenyum pahit. "Apakah 'aku juga senang bisa ngobrol sama kamu' termasuk percakapan profesional, Galan?"Galan mengacak rambutnya, kebiasaan lama saat ia merasa terdesak. "Kau mengambil kalimat itu dari konteksnya.""Kalau begitu jelaskan konteksnya padaku," tantang Nayla. "Jelaskan mengapa kau berbicara dengan nada seperti itu kepada CMO perusahaanmu di tengah malam. Jelaskan mengapa kau tertawa seperti itu—tawa yang sudah lama tidak kudengar di rumah ini."Galan tidak menjawab. Keheningan yang menyakitkan kembali menyelimuti mereka, hanya diinterupsi oleh suara hujan yang semakin deras di luar."Tidak bisa menjawab?" tanya Nayla akhirnya, suaranya bergetar. "Atau tidak mau jujur?""Apa yang ingin kau dengar dariku, Nayla?" tanya Galan, nada frustasi jelas terdengar dalam suaranya. "Kau sudah memutuskan apa yang kau percayai.""Aku ingin mend

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 25

    Malam itu hujan turun rintik-rintik di luar jendela apartemen. Nayla duduk sendirian di sofa ruang tengah, menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Cahaya dari layar laptop menerangi wajahnya yang lelah. Sudah hampir tengah malam, dan Galan belum juga pulang—tak ada kabar, tak ada pesan, seolah ia telah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya.Suara pintu terbuka membuat Nayla menoleh. Galan masuk dengan jas tersampir di lengan dan dasi yang sudah dilonggarkan. Wajahnya terlihat lelah, namun ada sesuatu yang berbeda dari sinarnya—sebuah keceriaan yang tak cocok dengan seseorang yang baru saja menghadiri meeting bisnis hingga larut malam."Oh, kau masih bangun," kata Galan, sedikit terkejut melihat Nayla."Deadline," jawab Nayla singkat, kembali menatap layar laptopnya. "Meeting sampai selarut ini?"Galan meletakkan tasnya di meja. "Ya, lalu kami melanjutkan diskusi di restoran. Kau tahu bagaimana orang-orang Singapura—mereka ingin membicarakan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 24

    "Kau selalu bilang begitu," bantah Nayla. "Setelah pendanaan awal, kau bilang semuanya akan lebih baik. Setelah ekspansi pertama, kau bilang hal yang sama. Sekarang pendanaan seri B. Nanti apa lagi? IPO? Akuisisi?"Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Di luar, senja mulai berganti malam, menyapu ruangan dengan bayangan panjang yang semakin gelap."Aku harus bersiap-siap," kata Galan akhirnya, memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebatan. "Meeting malam ini penting.""Tentu saja," balas Nayla, mengalah seperti biasa. "Semua meetingmu penting."Galan menatapnya sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Ia berbalik dan berjalan menuju kamar mereka untuk berganti pakaian.Nayla tetap berdiri di dapur, menyandarkan tubuhnya pada konter. Matanya menatap punggung Galan yang menjauh, mengamati caranya berjalan yang kini lebih tegap dan percaya diri—sangat berbeda dari langkah sedikit canggung yang dulu i

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 23 – Jam Tangan Baru, Waktu yang Hilang

    Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui jendela apartemen, menciptakan pola keemasan di lantai kayu ruang tamu. Nayla membaca buku di sofa saat mendengar suara lift terbuka di lorong, diikuti langkah kaki yang sudah terlalu familiar baginya—langkah kaki Galan yang ringan namun tegas, ritme yang selalu bisa ia kenali bahkan dengan mata tertutup.Pintu terbuka dan Galan masuk, mengenakan setelan biru tua yang rapi dengan kemeja putih tanpa dasi. Rambutnya tertata sempurna, tidak berantakan seperti dulu saat ia masih menghabiskan malam-malam untuk mengerjakan kode di apartemen sempit mereka."Hai," sapa Nayla, menurunkan bukunya dan menatap Galan dengan senyum tipis."Hai," balas Galan singkat, meletakkan tasnya di meja dan melonggarkan kancing teratas kemejanya. "Sudah makan?""Belum. Aku menunggumu. Kupikir kita bisa makan bersama malam ini."Galan melirik jam dinding. "Maaf, aku sudah ada janji makan malam dengan tim marketing dari Singapura j

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 22 – Sentuhan yang Hilang

    Nayla melangkah pelan ke ruang tengah, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek yang dulu selalu dikomentari Galan sebagai "outfit paling seksi" karena kesederhanaannya. Lampu ruangan sudah diatur redup—kebiasaan malam mereka sejak dulu. Galan duduk di sofa, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan acara bisnis yang biasanya tak pernah ia tonton."Mau kopi?" tanya Nayla, suaranya lembut memecah keheningan.Galan menoleh sekilas. "Boleh."Nayla mengangguk dan bergerak ke dapur. Tangannya dengan cekatan menyiapkan dua cangkir kopi—satu hitam tanpa gula untuk Galan, satu dengan sedikit susu dan satu sendok gula untuk dirinya sendiri. Rutinitas yang sudah ratusan kali ia lakukan, hingga tangannya bisa bergerak otomatis tanpa perlu berpikir.Ia masih ingat bagaimana dulu mereka sering berbagi cangkir yang sama, Galan akan menyesap dari sisi yang sama dengan bekas lipstik Nayla, mengatakan itu cara tidak langsung untuk menciumnya. Kenangan kecil yang dulu terasa remeh, ki

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status