Beranda / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 10 – Cinta yang Tertatih

Share

Bab 10 – Cinta yang Tertatih

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-08 08:30:06

Hujan turun perlahan di luar jendela. Tetesannya menari di atas atap seng, menciptakan irama yang dulu bisa membuat Nayla tertidur pulas. Tapi malam ini berbeda. Hujan bukan lagi lagu nina bobo, melainkan denting-denting kesepian yang memantul di dinding hatinya.

Di atas ranjang tipis itu, Nayla duduk bersandar pada dinding yang dingin. Tubuhnya lelah luar biasa. Tulang punggungnya nyeri karena duduk terlalu lama menjahit seragam pesanan pelanggan. Tangan kanannya masih terasa panas akibat setrika rusak yang menyemburkan uap tak teratur. Dan di matanya, kelelahan itu tak hanya berasal dari tubuh—tapi dari hati yang mulai retak, perlahan.

Ponselnya tergeletak di samping dompet tipis berisi uang kertas lima puluh ribu yang terlipat rapi. Uang itu adalah sisa dari pengiriman paket tadi sore. Nayla ingat betul ekspresi remeh dari ibu-ibu pelanggan yang berkata, “Masa ongkir segini mahal banget, padahal bajunya biasa aja.” Nayla hanya tersenyum, menunduk, dan mengangguk seperti biasa.

Lalu ia membaca pesan terakhir dari Galan:

"Malam ini aku pulang telat. Jangan tungguin ya."

Begitu singkat. Dingin. Seperti pesan dari rekan kerja, bukan dari seseorang yang dulu pernah menangis dalam pelukannya, berjanji ingin sukses bersama, dan bilang, “Kita akan melewati semuanya bareng.”

Tapi benarkah mereka masih ‘kita’?

Nayla memeluk lututnya, membiarkan kepala bersandar di antara kedua lengannya. Di luar, suara kendaraan lewat sesekali terdengar samar. Sementara dalam pikirannya, satu suara terus menggaung:

"Masih adakah aku… dalam hidupnya?"

**

Waktu bergerak pelan malam itu.

Jam berdetak pelan di dinding, seperti menertawai kesepiannya. Pukul sepuluh lewat. Lalu sebelas. Kemudian setengah satu.

Nayla tak tidur. Ia hanya duduk, sesekali berjalan ke dapur dan minum air putih untuk menahan lapar. Uang lima puluh ribu itu ia simpan rapat-rapat—itu harus cukup untuk bertahan dua hari ke depan, hingga honor les privat berikutnya cair.

Ia membuka ponsel dan mengetik pesan:

“Kamu sudah makan?”

Tapi tak jadi ia kirim. Ia hapus, lalu mengetik lagi:

“Kapan pulang?”

Tapi jari-jarinya berhenti di atas tombol kirim.

Ia tak ingin terdengar seperti pengganggu. Tidak ingin seperti wanita posesif yang tak mengerti dunia profesional. Bukankah itu yang sering Galan sampaikan akhir-akhir ini?

"Aku butuh ruang, Nay. Kamu harus ngerti. Ini bukan soal kamu—ini soal masa depan."

Masa depan.

Dulu kata itu begitu indah diucapkan bersama. Tapi sekarang, Nayla tak yakin apakah ia masih termasuk di dalamnya.

**

Pukul dua dini hari, suara motor terdengar mendekat. Nayla bangkit dan menyibak tirai jendela. Benar. Itu Galan.

Ia buru-buru membuka pintu sebelum Galan mengetuk, takut suara ketukan mengganggu tetangga kos lain.

Galan terlihat lelah, tapi senyumnya tipis. Ia mencium pipi Nayla sekilas—tanpa pelukan, tanpa tatapan hangat seperti dulu.

“Aku lapar,” katanya sambil melepas sepatu.

“Belum makan?” Nayla bertanya pelan.

“Baru sempat ngopi doang. Tadi diskusinya sampai panjang banget. Alya bawa temannya yang anak VC (Venture Capital). Jadi ya... aku harus stay terus. Ngerti, kan?”

Nayla mengangguk. Ia masuk ke dapur dan memanaskan nasi sisa tadi siang, menggoreng telur, dan menambahkan sambal botolan. Di meja, ia menyiapkan piring dan segelas air.

Galan makan lahap, sementara Nayla duduk di seberang, menatapnya dalam diam.

“Kayaknya pitch-ku bakal didengar sama orang penting minggu depan. Kalau deal ini jadi, bisa dapet funding awal 100 juta, Nay,” ucap Galan antusias di sela suapan.

Nayla tersenyum kecil. “Aku senang dengarnya.”

Tapi Galan tidak menatapnya.

Ia sibuk membuka ponsel, membalas pesan, mungkin dari Alya atau tim startup-nya. Mungkin soal ide baru, kemasan produk, atau pertemuan lanjutan. Nayla tak tahu pasti. Dan entah kenapa, ia tak ingin tahu.

Karena malam ini, ia terlalu letih untuk berharap.

**

Setelah Galan tidur, Nayla berdiri di depan cermin kecil. Ia menatap wajahnya sendiri—kulit kusam, mata sembab, bibir pucat. Dulu Galan sering bilang, “Kamu cantik meski pakai daster.” Tapi sudah lama kalimat itu tak terdengar lagi.

Ia membuka dompetnya. Lima puluh ribu rupiah. Itu harga yang ia bayarkan hari ini: untuk kesetiaan, kelelahan, dan rasa sunyi yang menyesakkan.

Kemudian matanya tertuju pada selembar kertas kecil yang terselip di antara uang receh. Sebuah catatan tua, tulisan tangan Galan di awal perjuangan mereka:

“Suatu hari nanti, aku akan sukses dan memperkenalkan kamu ke dunia sebagai wanita yang berdiri di sampingku sejak awal.”

Tangannya gemetar memegang kertas itu.

Karena hari yang dijanjikan itu... terasa semakin jauh.

Dan ia pun bertanya pada dirinya sendiri:

"Apakah aku masih cukup berharga di matanya? Atau hanya bayangan dari masa lalu yang ia toleransi karena rasa kasihan?"

**

Pagi datang, tapi kehangatan tak ikut serta.

Nayla menyiapkan kopi untuk Galan, lalu mencuci pakaian sebelum pergi mengajar. Di halte, ia duduk menunggu angkot dengan tubuh lunglai, tapi kepala penuh pertanyaan.

Di seberang jalan, ia melihat pasangan muda berjalan sambil tertawa. Pria itu membawakan tas sang wanita, sesekali menatapnya lembut. Wajah mereka berseri, seperti tak pernah merasakan lelah.

Nayla menunduk.

Bukan karena iri, tapi karena ia lupa kapan terakhir kali ia merasa seperti itu.

**

Hari itu, usai mengajar, Nayla duduk sendirian di taman kecil dekat tempat les. Di pangkuannya, ia membuka buku tulis tempat ia mencatat target pengeluaran harian. Ia menghitung, mencoret, lalu menghitung lagi.

Jika les minggu depan dibayar tepat waktu, dan tak ada pengeluaran mendadak, mungkin ia bisa beli vitamin. Atau sekadar masker wajah murah. Mungkin dengan itu, ia bisa terlihat lebih segar di mata Galan. Mungkin...

Tapi pikirannya tertahan.

“Kenapa aku harus berubah agar tetap dipandang orang yang dulu bilang mencintaiku apa adanya?” gumamnya lirih.

Pertanyaan itu datang tanpa ia undang. Tapi pertanyaan itu juga yang menuntut jawaban, malam itu, di atas ranjang tipis, di kamar kos yang sunyi.

Ia memegang dadanya sendiri.

Dan untuk pertama kalinya, Nayla mengakui:

Cinta ini sedang tertatih. Bukan karena ia menyerah. Tapi karena terlalu lama berjalan sendirian.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 351

    Hujan turun pelan malam itu, membasahi halaman depan gedung rumah sakit. Lampu-lampu parkir memantulkan cahaya kekuningan di atas aspal basah. Di bawah atap kecil dekat lobi, dua perempuan berdiri berhadapan—bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar selesai.Alya masih mengenakan mantel lusuhnya. Rambutnya basah, bibirnya pucat, tapi matanya menyala—bukan oleh kehidupan, melainkan oleh amarah yang terlalu lama dipendam.Nayla berdiri tegak di depannya, tenang, dengan payung kecil di tangan kanan dan tatapan lembut yang tidak menghindar.Beberapa jam sebelumnya, keduanya sama-sama menerima kabar: Galan Prasetya, lelaki yang pernah mengikat dan menghancurkan keduanya, dirawat dalam keadaan kritis setelah kecelakaan di jalan tol. Dunia yang dulu mengikat mereka dalam lingkaran ambisi dan luka kini menarik keduanya kembali ke tempat yang sama.Dan di situlah, di depan pintu rumah sakit, semua yang tak pernah diucapkan akhirnya meledak.“Kenapa kamu datang?” suara Alya pecah di antara

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 350

    Langit sore itu memantulkan warna oranye lembut ketika acara kewirausahaan tahunan diadakan di aula besar Hotel Arya. Spanduk besar bertuliskan “Empowering Women in Business” terpasang di depan panggung. Musik lembut mengalun dari pengeras suara, sementara para tamu—pebisnis muda, investor, dan mahasiswa—berkumpul, menunggu pembicara terakhir naik ke panggung: Nayla Arindya, CEO perempuan yang belakangan ini menjadi simbol kebangkitan bisnis etis dan kepemimpinan empatik di tengah dunia korporat yang keras.Namun di luar gedung yang megah itu, di parkiran yang sudah mulai gelap, seorang perempuan berdiri terpaku di balik tiang beton. Mantelnya lusuh, rambutnya acak-acakan, dan kacamata hitam menutupi mata yang sembab. Di genggamannya, sebuah ponsel dengan layar penuh notifikasi—semuanya tentang dirinya.ALYA PRAMESWARI: BISNISNYA RESMI BANGKRUT, TERLIBAT SKANDAL MANIPULASI LAPORAN KEUANGAN.INVESTOR MENARIK DANA, PROYEK BESAR GAGAL.Ia membaca judul-judul itu berulang kali, seperti in

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 349

    Pagi itu, matahari muncul perlahan dari balik perbukitan, menembus celah pepohonan dan menyinari halaman rumah kayu yang sudah berumur puluhan tahun. Aroma tanah basah sisa hujan semalam masih terasa. Burung-burung kecil berkicau di ranting, dan dari dapur terdengar bunyi air mendidih—pertanda teh sedang diseduh.Nayla duduk di beranda, mengenakan sweater lembut warna krem. Di sebelahnya, ibunya dengan kain batik melingkar di bahu, sibuk menata piring kecil berisi singkong rebus dan kelapa parut. Harra, yang kini beranjak remaja, duduk di tangga kayu, menatap pemandangan pagi dengan mata berbinar.Tiga perempuan, tiga generasi, dalam satu ruang yang penuh kenangan—dan kali ini, tanpa beban.“Ibu, ini enak banget,” kata Harra sambil menggigit singkong. “Aku nggak pernah makan yang kayak gini di rumah kota.”Ibunya Nayla terkekeh. “Ya iyalah, di kota semua serba instan. Di sini masih alami. Gula aja Ibu tumbuk sendiri.”Nayla tertawa kecil, menatap dua orang yang ia cintai dengan pandan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 348

    Hujan semalam sudah reda, tapi udara pagi masih menyisakan aroma basah dan dingin yang menempel di daun-daun jambu di halaman belakang. Dari dapur, terdengar bunyi sendok mengaduk perlahan di dalam cangkir. Uap tipis teh melayang, menciptakan semacam kehangatan yang lembut di antara dua perempuan yang duduk berhadapan di meja makan tua.Nayla diam, menatap wajah ibunya yang kini tampak lebih tua dari yang ia ingat. Ada garis-garis halus di sekitar mata, tapi di balik keriput itu, tersimpan ketenangan yang tidak pernah Nayla lihat dulu—ketenangan yang lahir setelah bertahun-tahun berjuang dalam diam.“Ma…” Nayla membuka suara pelan, “tadi malam aku nggak bisa tidur.”Ibunya menatap lembut. “Masih kepikiran tentang kita?”Nayla mengangguk. “Tentang semua yang nggak pernah kita omongin. Tentang hal-hal yang mungkin seharusnya kita tangisi dulu, tapi kita tahan.”Ibunya tersenyum kecil, mengaduk tehnya pelan. “Kadang diam itu cara bertahan, Nay. Kalau Ibu dulu bicara, mungkin Ibu bakal ha

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 347

    Di ruang tengah, dua perempuan duduk berdampingan di sofa lawas yang mulai melengkung di bagian tengahnya. Teh di meja sudah tak lagi hangat, tapi percakapan mereka justru semakin menghangat.Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, tidak ada jarak di antara mereka. Hanya ada dua hati yang sedang belajar bicara dengan jujur.“Ma,” Nayla memecah keheningan. “Aku masih ingat waktu aku kecil. Aku sering nunggu di depan jendela, berharap Ibu pulang lebih cepat.”Ibunya tersenyum samar, tapi matanya sudah mulai berkaca. “Ibu juga ingat. Waktu itu kamu selalu nulis di kertas, ‘Jangan lupa makan, Ma.’ Ibu masih simpan catatan-catatan kecil itu.”Nayla menatap ibunya, agak terkejut. “Masih?”“Iya. Di dalam kotak kayu di lemari kamar. Surat-surat kecil dari kamu, yang ditulis pakai spidol warna ungu.” Ibunya tertawa kecil, suaranya pelan. “Tulisanmu jelek sekali waktu itu.”Mereka berdua tertawa, tapi tawa itu segera mereda, berganti dengan keheningan lembut yang menyimpan banyak kenangan.

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 346

    Malam itu turun perlahan, menyelimuti rumah tua itu dengan cahaya lampu kuning temaram. Angin membawa aroma tanah basah dari kebun belakang, bercampur dengan wangi kayu tua yang selalu membuat Nayla merasa aneh—antara tenang dan sesak.Ia duduk di ruang tengah, di kursi rotan yang dulu jadi tempat favoritnya membaca buku saat SMA. Di depannya, ibunya sedang menata cangkir teh di atas meja, gerakannya pelan tapi pasti, seolah tak ingin memecahkan keheningan yang menggantung di antara mereka.Dari luar jendela, suara jangkrik terdengar bersahutan. Nayla menatap ke arah cahaya lampu di dapur, lalu beralih menatap ibunya. Ada sesuatu yang sudah lama ingin ia tanyakan, tapi baru malam ini ia berani.“Ma,” panggil Nayla pelan.Ibunya mendongak, menatap lembut. “Hm?”Nayla menarik napas panjang. “Waktu aku bilang mau ikut Galan dulu… kenapa Ibu nggak pernah melarang?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tapi begitu terdengar di udara, Nayla bisa merasakan betapa berat artinya. Ia seperti ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status