Home / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 10 – Cinta yang Tertatih

Share

Bab 10 – Cinta yang Tertatih

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-04-08 08:30:06

Hujan turun perlahan di luar jendela. Tetesannya menari di atas atap seng, menciptakan irama yang dulu bisa membuat Nayla tertidur pulas. Tapi malam ini berbeda. Hujan bukan lagi lagu nina bobo, melainkan denting-denting kesepian yang memantul di dinding hatinya.

Di atas ranjang tipis itu, Nayla duduk bersandar pada dinding yang dingin. Tubuhnya lelah luar biasa. Tulang punggungnya nyeri karena duduk terlalu lama menjahit seragam pesanan pelanggan. Tangan kanannya masih terasa panas akibat setrika rusak yang menyemburkan uap tak teratur. Dan di matanya, kelelahan itu tak hanya berasal dari tubuh—tapi dari hati yang mulai retak, perlahan.

Ponselnya tergeletak di samping dompet tipis berisi uang kertas lima puluh ribu yang terlipat rapi. Uang itu adalah sisa dari pengiriman paket tadi sore. Nayla ingat betul ekspresi remeh dari ibu-ibu pelanggan yang berkata, “Masa ongkir segini mahal banget, padahal bajunya biasa aja.” Nayla hanya tersenyum, menunduk, dan mengangguk seperti biasa.

Lalu ia membaca pesan terakhir dari Galan:

"Malam ini aku pulang telat. Jangan tungguin ya."

Begitu singkat. Dingin. Seperti pesan dari rekan kerja, bukan dari seseorang yang dulu pernah menangis dalam pelukannya, berjanji ingin sukses bersama, dan bilang, “Kita akan melewati semuanya bareng.”

Tapi benarkah mereka masih ‘kita’?

Nayla memeluk lututnya, membiarkan kepala bersandar di antara kedua lengannya. Di luar, suara kendaraan lewat sesekali terdengar samar. Sementara dalam pikirannya, satu suara terus menggaung:

"Masih adakah aku… dalam hidupnya?"

**

Waktu bergerak pelan malam itu.

Jam berdetak pelan di dinding, seperti menertawai kesepiannya. Pukul sepuluh lewat. Lalu sebelas. Kemudian setengah satu.

Nayla tak tidur. Ia hanya duduk, sesekali berjalan ke dapur dan minum air putih untuk menahan lapar. Uang lima puluh ribu itu ia simpan rapat-rapat—itu harus cukup untuk bertahan dua hari ke depan, hingga honor les privat berikutnya cair.

Ia membuka ponsel dan mengetik pesan:

“Kamu sudah makan?”

Tapi tak jadi ia kirim. Ia hapus, lalu mengetik lagi:

“Kapan pulang?”

Tapi jari-jarinya berhenti di atas tombol kirim.

Ia tak ingin terdengar seperti pengganggu. Tidak ingin seperti wanita posesif yang tak mengerti dunia profesional. Bukankah itu yang sering Galan sampaikan akhir-akhir ini?

"Aku butuh ruang, Nay. Kamu harus ngerti. Ini bukan soal kamu—ini soal masa depan."

Masa depan.

Dulu kata itu begitu indah diucapkan bersama. Tapi sekarang, Nayla tak yakin apakah ia masih termasuk di dalamnya.

**

Pukul dua dini hari, suara motor terdengar mendekat. Nayla bangkit dan menyibak tirai jendela. Benar. Itu Galan.

Ia buru-buru membuka pintu sebelum Galan mengetuk, takut suara ketukan mengganggu tetangga kos lain.

Galan terlihat lelah, tapi senyumnya tipis. Ia mencium pipi Nayla sekilas—tanpa pelukan, tanpa tatapan hangat seperti dulu.

“Aku lapar,” katanya sambil melepas sepatu.

“Belum makan?” Nayla bertanya pelan.

“Baru sempat ngopi doang. Tadi diskusinya sampai panjang banget. Alya bawa temannya yang anak VC (Venture Capital). Jadi ya... aku harus stay terus. Ngerti, kan?”

Nayla mengangguk. Ia masuk ke dapur dan memanaskan nasi sisa tadi siang, menggoreng telur, dan menambahkan sambal botolan. Di meja, ia menyiapkan piring dan segelas air.

Galan makan lahap, sementara Nayla duduk di seberang, menatapnya dalam diam.

“Kayaknya pitch-ku bakal didengar sama orang penting minggu depan. Kalau deal ini jadi, bisa dapet funding awal 100 juta, Nay,” ucap Galan antusias di sela suapan.

Nayla tersenyum kecil. “Aku senang dengarnya.”

Tapi Galan tidak menatapnya.

Ia sibuk membuka ponsel, membalas pesan, mungkin dari Alya atau tim startup-nya. Mungkin soal ide baru, kemasan produk, atau pertemuan lanjutan. Nayla tak tahu pasti. Dan entah kenapa, ia tak ingin tahu.

Karena malam ini, ia terlalu letih untuk berharap.

**

Setelah Galan tidur, Nayla berdiri di depan cermin kecil. Ia menatap wajahnya sendiri—kulit kusam, mata sembab, bibir pucat. Dulu Galan sering bilang, “Kamu cantik meski pakai daster.” Tapi sudah lama kalimat itu tak terdengar lagi.

Ia membuka dompetnya. Lima puluh ribu rupiah. Itu harga yang ia bayarkan hari ini: untuk kesetiaan, kelelahan, dan rasa sunyi yang menyesakkan.

Kemudian matanya tertuju pada selembar kertas kecil yang terselip di antara uang receh. Sebuah catatan tua, tulisan tangan Galan di awal perjuangan mereka:

“Suatu hari nanti, aku akan sukses dan memperkenalkan kamu ke dunia sebagai wanita yang berdiri di sampingku sejak awal.”

Tangannya gemetar memegang kertas itu.

Karena hari yang dijanjikan itu... terasa semakin jauh.

Dan ia pun bertanya pada dirinya sendiri:

"Apakah aku masih cukup berharga di matanya? Atau hanya bayangan dari masa lalu yang ia toleransi karena rasa kasihan?"

**

Pagi datang, tapi kehangatan tak ikut serta.

Nayla menyiapkan kopi untuk Galan, lalu mencuci pakaian sebelum pergi mengajar. Di halte, ia duduk menunggu angkot dengan tubuh lunglai, tapi kepala penuh pertanyaan.

Di seberang jalan, ia melihat pasangan muda berjalan sambil tertawa. Pria itu membawakan tas sang wanita, sesekali menatapnya lembut. Wajah mereka berseri, seperti tak pernah merasakan lelah.

Nayla menunduk.

Bukan karena iri, tapi karena ia lupa kapan terakhir kali ia merasa seperti itu.

**

Hari itu, usai mengajar, Nayla duduk sendirian di taman kecil dekat tempat les. Di pangkuannya, ia membuka buku tulis tempat ia mencatat target pengeluaran harian. Ia menghitung, mencoret, lalu menghitung lagi.

Jika les minggu depan dibayar tepat waktu, dan tak ada pengeluaran mendadak, mungkin ia bisa beli vitamin. Atau sekadar masker wajah murah. Mungkin dengan itu, ia bisa terlihat lebih segar di mata Galan. Mungkin...

Tapi pikirannya tertahan.

“Kenapa aku harus berubah agar tetap dipandang orang yang dulu bilang mencintaiku apa adanya?” gumamnya lirih.

Pertanyaan itu datang tanpa ia undang. Tapi pertanyaan itu juga yang menuntut jawaban, malam itu, di atas ranjang tipis, di kamar kos yang sunyi.

Ia memegang dadanya sendiri.

Dan untuk pertama kalinya, Nayla mengakui:

Cinta ini sedang tertatih. Bukan karena ia menyerah. Tapi karena terlalu lama berjalan sendirian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 11 – Kamar Kosong, Hati Kosong

    Malam telah larut. Lampu redup menyala di ruang kerja sempit di sudut kamar kos mereka. Di antara tumpukan kertas, sketsa-sketsa desain produk digital berserakan. Gambar-gambar prototipe sederhana, alur kerja aplikasi, dan beberapa catatan strategi pemasaran ditulis tangan dengan pulpen hitam yang tintanya mulai habis.Nayla duduk bersila di lantai, tubuhnya menyandar pada dinding yang dingin. Rambutnya diikat sembarangan, matanya sembab dan lelah. Tapi tangannya masih bergerak—menghapus, menggambar ulang, mencoret, mencatat.Sudah tiga malam berturut-turut ia begadang, bukan untuk pekerjaannya sendiri, tapi untuk merapikan konsep yang dilempar Galan tanpa bentuk. Ide itu masih mentah—“aplikasi layanan berbasis komunitas”, katanya. Tapi tanpa detail, tanpa arah. Hanya semangat kosong yang mengandalkan energi dari kopi dan ambisi.Nayla mencoba menyusunnya ulang. Ia belajar dari forum, membaca artikel bisnis, bahkan menonton video tutorial dari internet yang kadang tersendat karena kuo

    Last Updated : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 12 – Otak di Balik Nama

    Langit pagi itu mendung. Jakarta seperti malas bangun, dan matahari enggan menampakkan diri. Tapi di kamar kos kecil yang pengap itu, Nayla sudah sibuk sejak subuh.Tangannya lincah menyetrika kemeja putih milik Galan—kemeja terbaik yang mereka punya, yang hanya dipakai kalau ada acara penting. Ia menyisir rapi lipatan lengan, lalu menyiapkan dasi hitam dan sepatu yang semalam ia bersihkan sendiri. Meski usang, Nayla ingin semuanya tampak terbaik. Hari ini penting bagi Galan. Hari ini, ia akan presentasi di inkubator bisnis kampus ternama—tempat yang bisa membuka jalan ke pendanaan besar.Di sisi lain kamar, Galan berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan satu tangan sambil melihat ke layar ponsel.“Kamu udah siapin slide-nya?” tanyanya tanpa menoleh.“Udah. Aku juga masukin semua analisis pasar dan peta kompetitor ke bagian akhir. Kalau ditanya soal revenue stream, kamu tinggal buka slide ke-17.”Galan mengangguk pelan. “Good. Nggak nyangka bisa lengkap juga, ya.”Nayla ter

    Last Updated : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 13 – Gema di Balik Panggung

    Malam itu hujan rintik-rintik. Di kamar sempit yang lampunya mulai berkedip karena kabel usang, Nayla dan Galan duduk bersila di atas lantai beralas tikar tipis. Di depan mereka dua bungkus mie instan tersaji dalam mangkuk plastik, masih mengepul hangat. Aroma gurih sederhana mengisi ruangan, menumpuk bersama rasa lelah dan rasa lega.Galan membuka berita di ponselnya—sebuah media kampus menulis singkat soal proyeknya yang mendapatkan investasi awal dari alumni sukses.“Tuh, lihat,” katanya sambil tersenyum lebar. “Gue masuk media, Nay. Katanya ini bukti langkah awal startup yang bisa tembus pasar nasional.”Nayla ikut tersenyum, meski matanya sembab karena terlalu lama menatap layar laptop semalam—mengutak-atik prototype versi alpha dari aplikasi yang Galan bawa ke investor. Ia tahu betul, di balik angka-angka yang Galan sebut, di balik desain antarmuka yang katanya ‘inovatif’, ada dirinya. Ada tangannya. Ada pikirannya.“Aku bangga,” katanya pelan. “Kamu layak dapet itu.”Galan meny

    Last Updated : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 14 – Cinta yang Semakin Sepi

    Pagi itu dingin, tapi bukan karena cuaca. Bukan juga karena angin yang masuk dari celah jendela yang belum sempat diperbaiki. Dingin itu datang dari suara yang tak lagi hangat, dari tatapan yang mulai terasa jauh, dan dari kehadiran yang tak lagi menyentuh hati.Nayla terbangun lebih dulu seperti biasa. Ia menyeduh dua gelas kopi—satu manis tanpa gula untuknya, dan satu dengan krimer yang selalu jadi favorit Galan. Meja kecil sudah dirapikan, sarapan sederhana disiapkan: roti isi telur dadar dan irisan tomat sisa kemarin.Tapi Galan tak keluar dari kamar. Hanya suara ponselnya yang terdengar. Nada rendah, tawa pelan yang ditahan, lalu langkah cepat ke arah kamar mandi sambil menutup pintu.Nayla mematung.Beberapa hari terakhir, hal itu menjadi rutinitas baru. Galan lebih sering menerima telepon di kamar mandi, atau di luar kost, atau saat ia menyuruh Nayla membeli sesuatu ke warung. Dan tiap kali ia kembali, Galan sedang tertawa kecil dengan suara pelan—bukan tawa lega seperti dulu,

    Last Updated : 2025-04-12
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 15 – Akulah Fondasi yang Kau Lupakan

    Siang itu, ruangan co-working space tempat investor pitching digelar tampak megah. Dindingnya dihiasi layar-layar LED yang menampilkan logo berbagai startup baru, dan di antara semuanya, salah satu logo tampak lebih mencolok—warna biru tua dengan bentuk abstrak yang elegan, menggambarkan teknologi dan konektivitas.Itulah logo yang Nayla buat.Logo yang ia rancang semalaman, setelah puluhan coretan ditolak Galan. Logo yang mewakili gabungan nilai mereka berdua—keterbukaan, visi masa depan, dan semangat membangun dari nol. Ia yang memilih font, menyesuaikan gradasi warna, bahkan mengurus detail hak cipta secara administratif.Tapi saat siaran live presentasi dimulai dan kamera menyorot panggung, hanya satu nama yang disebut sang pembawa acara dengan penuh semangat:“Sambut CEO sekaligus pendiri SynVision, Galan Mahendra!”Tepuk tangan bergemuruh.Nayla menonton dari rumah, duduk di karpet tipis ruang tamu yang masih bau lem karena ia baru saja memperbaiki kaki mejanya yang patah. Ia me

    Last Updated : 2025-04-12
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 16 – Di Balik Pintu Kesempatan

    Udara di kafe kecil itu terasa hangat oleh aroma kopi dan kayu manis. Hujan baru saja berhenti di luar, meninggalkan jejak embun di kaca jendela. Di tengah keramaian lembut suara mesin kopi dan percakapan pelan, Nayla duduk di sebuah sudut meja dengan tangan bertaut di pangkuannya.Di hadapannya, seorang pria paruh baya dengan rambut separuh memutih sedang memutar cangkir tehnya. Ia mengenakan batik sederhana, kacamata bingkai emas menggantung di ujung hidung. Matanya tajam, tapi tak kehilangan kelembutan. Itulah Pak Handoko—mantan rekan bisnis almarhum ayah Nayla, sekaligus salah satu pengusaha senior yang dikenal sebagai investor konservatif tapi jujur.Nayla menarik napas dalam-dalam sebelum bicara.“Pak Handoko, saya tahu Bapak sedang cari peluang investasi baru. Saya tidak bisa menjanjikan banyak, dan saya juga tahu startup kami belum sempurna. Tapi saya percaya pada ide ini. Platform yang kami bangun punya potensi besar di sektor UMKM.”Pak Handoko mengangkat alis. “Kami?”Nayla

    Last Updated : 2025-04-12
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 17 – Cahaya Panggung yang Menyilaukan

    Pagi itu matahari bersinar cerah, tapi di dalam rumah kecil mereka, dunia terasa dingin bagi Nayla. Ia duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah kehilangan uapnya. Di hadapannya, layar ponsel menyala, menampilkan sebuah artikel dari salah satu media startup lokal ternama: “Galan Pradipta: Pendiri Muda yang Siap Mengubah Dunia UMKM Digital”.Judulnya besar, mencolok. Wajah Galan memenuhi layar, mengenakan setelan kasual elegan, tersenyum percaya diri di bawah sorotan lampu. Di bawah fotonya, ada kutipan yang menonjol:“Kami memulai dari mimpi. Sekarang saatnya mimpi itu jadi kenyataan—berkat kerja keras dan visi saya.”Nayla membaca paragraf demi paragraf, matanya menelusuri kata-kata yang terasa seperti luka baru. Tak satu pun menyebut tentang orang lain di balik proyek itu. Tak satu pun menyebut tentang mereka—yang dulu memulai semua ini bersama.Tak ada "kami".Tak ada Nayla.Galan pulang sore itu dengan semangat meletup-letup, masih mengenakan jaket abu-abu dengan logo m

    Last Updated : 2025-04-14
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 18 – Retak yang Tak Terdengar

    Waktu tak pernah benar-benar berhenti, tapi bagi Nayla, hari-hari belakangan terasa seperti pengulangan dari kesunyian yang menyakitkan.Pagi hari dimulai dengan meja makan yang kosong. Galan sudah pergi sebelum matahari naik, meninggalkan sisa kopi dalam gelas kaca dan serpihan roti di piring. Tak ada catatan. Tak ada pelukan. Hanya aroma parfum pria yang masih tertinggal di udara, mengabarkan kepergiannya lebih awal dari biasanya.Nayla mencuci piring-piring itu dengan gerakan lambat. Di pikirannya, terngiang suara tawa Galan dulu—ketika mereka masih duduk bersama, mencoret-coret buku sketsa, atau sekadar berbicara tentang mimpi. Sekarang, mimpi itu terasa seperti milik satu orang saja. Dan yang lainnya, tertinggal sebagai penonton yang tidak diundang.Malam-malam Nayla tak banyak berubah. Ia tetap duduk di depan mesin jahitnya, menyelesaikan pesanan pelanggan tetap dari toko daring kecil yang ia jalankan sendiri. Tangannya bergerak cekatan, menjahit renda di ujung gamis pelanggan,

    Last Updated : 2025-04-14

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 30

    Galan akhirnya memutar kursinya, menghadap Nayla sepenuhnya. Ada ekspresi waspada di wajahnya. "Nayla, apa sebenarnya yang ingin kau katakan?"Nayla menimbang, haruskah ia mengungkapkan tentang helaian rambut dan aroma parfum itu? Atau menunggu waktu yang lebih tepat?"Tidak ada," jawabnya akhirnya. "Hanya penasaran bagaimana acara gala itu. Kau hampir tidak bercerita apa-apa saat pulang malam itu."Galan menatapnya lama, seolah mencari tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Nayla. "Acaranya biasa saja. Formal, membosankan, banyak obrolan bisnis.""Dan Alya?" nama itu terasa pahit di lidah Nayla. "Apakah dia... menikmati acaranya?""Nayla," nada suara Galan berubah, ada kekesalan di dalamnya. "Bisakah kita tidak memulai ini lagi? Aku harus kembali ke kantor.""Memulai apa?" Nayla balik bertanya, kini ada tantangan dalam suaranya. "Aku hanya bertanya tentang kolegamu.""Kau tahu persis apa yang kau lakukan," Galan menutup laptopnya de

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 29

    Tiga hari berlalu sejak pembicaraan pagi itu. Tiga hari penuh dengan keheningan yang canggung, percakapan singkat tentang hal-hal remeh, dan malam-malam yang dihabiskan di ruangan terpisah. Galan kembali tenggelam dalam rutinitas kerjanya—berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam, kadang bahkan tidak pulang dengan alasan lembur atau meeting di luar kota. Nayla pun mulai sibuk dengan proyek barunya, membiarkan dirinya terserap dalam sketsa dan desain sebagai pelarian dari kenyataan rumah tangga yang perlahan runtuh.Pagi itu, Senin yang kelabu, Nayla menemukan setumpuk pakaian kotor di keranjang laundry. Sebagian besar milik Galan—kemeja-kemeja kerja, celana formal, dan di bagian paling bawah, jas navy yang ia kenakan minggu lalu ke acara gala perusahaan. Acara yang Nayla tidak diundang untuk hadir."Rutinitasmu tak berubah, ya?" gumam Nayla pada dirinya sendiri sambil memilah pakaian. Meski hubungan mereka sedang di ambang kehancuran, ia masih melak

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 28

    "Mungkin kita berdua," jawabnya akhirnya. "Mungkin kita berdua sama-sama membiarkan jarak itu tumbuh."Nayla menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak, Galan. Aku mencoba. Aku berusaha menjaga komunikasi kita, mengajakmu bicara, bertanya tentang harimu. Tapi kau selalu menjawab dengan singkat, selalu terburu-buru, selalu ada meeting berikutnya atau email yang harus dibalas."Galan menatap Nayla, ada rasa bersalah yang kini terpancar jelas di matanya. "Aku tidak menyadarinya," ucapnya pelan. "Aku pikir... aku pikir kau mengerti kesibukan pekerjaanku.""Aku mengerti, Galan. Tapi mengerti tidak berarti aku harus menerima diabaikan, ditinggalkan, dan digantikan pelan-pelan dalam hatimu."Kata-kata Nayla menggantung di udara, berat dan menusuk. Galan terlihat kehabisan kata-kata, seperti seseorang yang akhirnya menyadari kesalahan fatal yang telah ia lakukan, namun terlalu terlambat untuk diperbaiki."Apakah..." Galan memulai dengan ragu, "apakah artinya

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 27

    Pagi itu, Nayla berdiri di depan cermin kamar tamu. Matanya sembab, lingkaran hitam menghiasi bagian bawah kelopaknya yang bengkak. Rambutnya acak-acakan karena tak tidur semalaman. Tangannya menyentuh permukaan cermin, seolah ingin memastikan bahwa bayangan yang terpantul adalah benar dirinya."Siapa kau?" bisiknya pada refleksi yang menatap balik dengan sorot terluka.Suara air mengalir dari kamar mandi utama terdengar samar. Galan sudah bangun, bersiap-siap untuk berangkat kerja seperti pagi-pagi biasanya—seolah semalam tak pernah terjadi apa-apa, seolah topeng mereka tak pernah terlepas.Nayla menarik napas dalam-dalam. Aroma kopi menguar dari dapur, mengisi apartemen dengan kehangatan yang ironis. Galan selalu menyeduh kopi untuk mereka berdua setiap pagi—salah satu kebiasaan yang masih bertahan dari masa-masa awal pernikahan mereka. Namun pagi ini, rutinitas itu terasa hambar, seperti sebuah gerak refleks belaka, bukan lagi ungkapan kasih.

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 26

    "Ya," akhirnya ia mengakui. "Dengan Alya. Tapi itu murni profesional, Nayla.""Profesional?" Nayla tersenyum pahit. "Apakah 'aku juga senang bisa ngobrol sama kamu' termasuk percakapan profesional, Galan?"Galan mengacak rambutnya, kebiasaan lama saat ia merasa terdesak. "Kau mengambil kalimat itu dari konteksnya.""Kalau begitu jelaskan konteksnya padaku," tantang Nayla. "Jelaskan mengapa kau berbicara dengan nada seperti itu kepada CMO perusahaanmu di tengah malam. Jelaskan mengapa kau tertawa seperti itu—tawa yang sudah lama tidak kudengar di rumah ini."Galan tidak menjawab. Keheningan yang menyakitkan kembali menyelimuti mereka, hanya diinterupsi oleh suara hujan yang semakin deras di luar."Tidak bisa menjawab?" tanya Nayla akhirnya, suaranya bergetar. "Atau tidak mau jujur?""Apa yang ingin kau dengar dariku, Nayla?" tanya Galan, nada frustasi jelas terdengar dalam suaranya. "Kau sudah memutuskan apa yang kau percayai.""Aku ingin mend

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 25

    Malam itu hujan turun rintik-rintik di luar jendela apartemen. Nayla duduk sendirian di sofa ruang tengah, menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Cahaya dari layar laptop menerangi wajahnya yang lelah. Sudah hampir tengah malam, dan Galan belum juga pulang—tak ada kabar, tak ada pesan, seolah ia telah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya.Suara pintu terbuka membuat Nayla menoleh. Galan masuk dengan jas tersampir di lengan dan dasi yang sudah dilonggarkan. Wajahnya terlihat lelah, namun ada sesuatu yang berbeda dari sinarnya—sebuah keceriaan yang tak cocok dengan seseorang yang baru saja menghadiri meeting bisnis hingga larut malam."Oh, kau masih bangun," kata Galan, sedikit terkejut melihat Nayla."Deadline," jawab Nayla singkat, kembali menatap layar laptopnya. "Meeting sampai selarut ini?"Galan meletakkan tasnya di meja. "Ya, lalu kami melanjutkan diskusi di restoran. Kau tahu bagaimana orang-orang Singapura—mereka ingin membicarakan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 24

    "Kau selalu bilang begitu," bantah Nayla. "Setelah pendanaan awal, kau bilang semuanya akan lebih baik. Setelah ekspansi pertama, kau bilang hal yang sama. Sekarang pendanaan seri B. Nanti apa lagi? IPO? Akuisisi?"Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Di luar, senja mulai berganti malam, menyapu ruangan dengan bayangan panjang yang semakin gelap."Aku harus bersiap-siap," kata Galan akhirnya, memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebatan. "Meeting malam ini penting.""Tentu saja," balas Nayla, mengalah seperti biasa. "Semua meetingmu penting."Galan menatapnya sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Ia berbalik dan berjalan menuju kamar mereka untuk berganti pakaian.Nayla tetap berdiri di dapur, menyandarkan tubuhnya pada konter. Matanya menatap punggung Galan yang menjauh, mengamati caranya berjalan yang kini lebih tegap dan percaya diri—sangat berbeda dari langkah sedikit canggung yang dulu i

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 23 – Jam Tangan Baru, Waktu yang Hilang

    Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui jendela apartemen, menciptakan pola keemasan di lantai kayu ruang tamu. Nayla membaca buku di sofa saat mendengar suara lift terbuka di lorong, diikuti langkah kaki yang sudah terlalu familiar baginya—langkah kaki Galan yang ringan namun tegas, ritme yang selalu bisa ia kenali bahkan dengan mata tertutup.Pintu terbuka dan Galan masuk, mengenakan setelan biru tua yang rapi dengan kemeja putih tanpa dasi. Rambutnya tertata sempurna, tidak berantakan seperti dulu saat ia masih menghabiskan malam-malam untuk mengerjakan kode di apartemen sempit mereka."Hai," sapa Nayla, menurunkan bukunya dan menatap Galan dengan senyum tipis."Hai," balas Galan singkat, meletakkan tasnya di meja dan melonggarkan kancing teratas kemejanya. "Sudah makan?""Belum. Aku menunggumu. Kupikir kita bisa makan bersama malam ini."Galan melirik jam dinding. "Maaf, aku sudah ada janji makan malam dengan tim marketing dari Singapura j

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 22 – Sentuhan yang Hilang

    Nayla melangkah pelan ke ruang tengah, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek yang dulu selalu dikomentari Galan sebagai "outfit paling seksi" karena kesederhanaannya. Lampu ruangan sudah diatur redup—kebiasaan malam mereka sejak dulu. Galan duduk di sofa, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan acara bisnis yang biasanya tak pernah ia tonton."Mau kopi?" tanya Nayla, suaranya lembut memecah keheningan.Galan menoleh sekilas. "Boleh."Nayla mengangguk dan bergerak ke dapur. Tangannya dengan cekatan menyiapkan dua cangkir kopi—satu hitam tanpa gula untuk Galan, satu dengan sedikit susu dan satu sendok gula untuk dirinya sendiri. Rutinitas yang sudah ratusan kali ia lakukan, hingga tangannya bisa bergerak otomatis tanpa perlu berpikir.Ia masih ingat bagaimana dulu mereka sering berbagi cangkir yang sama, Galan akan menyesap dari sisi yang sama dengan bekas lipstik Nayla, mengatakan itu cara tidak langsung untuk menciumnya. Kenangan kecil yang dulu terasa remeh, ki

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status