Malam turun dengan sunyi yang menusuk. Apartemen Nayla yang biasanya terasa tenang, kini seakan menekan dadanya dengan keheningan yang berat. Ia duduk di ruang tengah, cahaya lampu temaram menyinari wajahnya. Di tangannya, sebuah kotak kecil berisi benda-benda yang dulu nyaris ia buang, tapi entah mengapa masih ia simpan.Foto pernikahannya dengan Reyhan. Sebuah surat tangan dari Rania yang dulu berisi ucapan selamat atas pernikahannya. Dan... test pack yang bertanda positif, lima tahun lalu.Nayla terdiam lama. Tangannya gemetar ketika menyentuh benda terakhir itu.Ia pernah mengandung. Seorang anak... darah dagingnya dan Reyhan. Tapi semuanya direnggut sebelum sempat ia genggam. Karena tekanan. Karena pengkhianatan. Karena trauma yang tak sempat ia sembuhkan.Air mata jatuh tanpa suara.Ia sudah melangkah jauh dalam balas dendam ini. Terlalu jauh untuk berbalik. Tapi malam ini, luka yang selama ini ia pendam kembali menganga, mengingatkan bahwa dendam tidak selalu menyembuhkan.Ia b
Pagi itu, suasana kantor Reyhan mendadak tegang.Email tanpa nama masuk ke seluruh jajaran direksi, menyertakan lampiran rahasia yang berisi laporan keuangan mencurigakan, lengkap dengan bukti transaksi atas nama perusahaan namun mengalir ke rekening pribadi yang tak terdaftar di sistem.Reyhan menggebrak meja. "Siapa yang berani mengirim ini?!"Para staf saling pandang, ketakutan. Tidak ada yang tahu siapa dalangnya. Tapi seseorang sedang bermain dari balik bayangan, dan tahu persis di mana titik terlemah perusahaan Reyhan berada.Sementara itu, Nayla hanya duduk di balkon apartemennya yang menghadap kota. Angin pagi membelai wajahnya lembut, seakan ikut menyaksikan bagaimana satu demi satu benteng Reyhan mulai runtuh tanpa perlu membuang-buang waktu muncul di depan publik.Dia tahu Reyhan akan panik.Dia tahu Rania akan segera muncul dalam permainan ini.Dan dia juga tahu, ini baru langkah pertama.Hari itu juga, Reyhan menemui Rania secara diam-diam di sebuah kafe terpencil. Tatapa
Pagi itu, kantor Nayla terasa lebih sunyi dari biasanya. Langkah-langkah para staf terdengar seperti gema, seolah seluruh ruangan sedang menahan napas. Nayla berjalan dengan tenang menuju ruang rapat utama, jas hitamnya melambai mengikuti langkah kaki yang mantap. Di tangan kirinya, ia membawa berkas tebal bertuliskan “Rekonsiliasi Data Operasional 3 Tahun Terakhir.” Sebuah dokumen yang tak seharusnya dibuka sembarangan kecuali jika seseorang berniat membuka luka lama dan menggali bangkai yang sudah dikubur dalam-dalam. Di dalam ruangan, para petinggi perusahaan sudah duduk rapi, termasuk dua auditor eksternal yang sengaja didatangkan Nayla secara pribadi tanpa sepengetahuan Reyhan. Begitu Nayla membuka presentasinya, ruangan yang semula tenang berubah menjadi medan sunyi yang penuh ketegangan. “Data yang akan saya paparkan pagi ini tidak hanya berkaitan dengan operasional, tetapi juga... integritas internal perusahaan kita selama tiga tahun terakhir,” ucap Nayla pelan, namun tajam
Langkah Nayla terdengar mantap saat memasuki ruang kerjanya keesokan harinya. Tak ada yang berubah dari penampilannya masih rapi, elegan, dan tak bercela. Tapi auranya… berbeda. Sekretaris yang menyapanya pun merasa ragu sejenak, seolah bisa mencium aroma badai yang dibawa oleh wanita itu. Di balik pintu ruangannya yang tertutup, Nayla duduk. Ia menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Tapi pikirannya tidak kosong justru penuh strategi. Satu per satu, kepingan puzzle itu mulai tersusun. Dan kini, dia tahu arah permainan ini. Bukan hanya Rania, bukan hanya Reyhan. Tapi orang-orang di balik mereka. Dan yang paling menyakitkan: semuanya dimulai jauh sebelum dia tahu mereka ada. Ia membuka file dokumen yang Arga kirimkan melalui email bukti-bukti lanjutan. Transkrip pesan, tangkapan layar percakapan, dan informasi rekening. Semuanya mengarah pada satu hal: permainan lama yang menjadikannya pion. "Kamu pikir aku hanya akan menangis di sudut kamar setelah tahu semua ini, Rania? Kamu
Pagi itu, langit tampak bersih. Terlalu bersih, hingga membuat Nayla merasa seperti alam sedang mengejek kekacauan yang selama ini ia simpan di dalam. Tapi ia tidak lagi goyah. Sudah cukup malam yang ia habiskan untuk menangis tanpa suara. Sudah cukup hari-hari di mana dirinya merasa tidak cukup baik. Kini, Nayla berdiri tegak di depan cermin besar di kamarnya. Wajah yang menatap balik padanya bukan lagi wanita yang patah karena cinta. Tapi seorang wanita yang telah melewati badai dan masih berdiri utuh. Ia memakai blouse putih bersih dengan blazer abu terang, rambut diikat rapi, bibirnya diberi sentuhan nude lembut. Elegan. Tenang. Penuh kendali. Pagi ini ia punya pertemuan penting bukan hanya soal proyek kerja sama, tapi juga momen di mana ia akan duduk berdampingan dengan Reyhan dan Rania. Ironisnya, mereka tak tahu bahwa Nayla lah yang menjadi penghubung dua perusahaan itu. Ia yang menentukan apakah kerja sama ini akan berjalan... atau tidak. Dan ia menyukai posisi ini. Bukan
Senja berganti malam tanpa aba-aba, dan gedung-gedung yang menjulang di pusat kota mulai menyala satu per satu seperti barisan lilin dalam gelap. Di lantai tertinggi kantor Arsal Group, Reyhan duduk sendiri di ruang kerjanya. Lampu ruangan tidak ia nyalakan sepenuhnya, hanya cahaya dari jendela dan layar laptop yang menyinari wajahnya yang murung. Ia menatap layar kosong, kursor berkedip-kedip, menanti diketikkan sesuatu. Tapi pikirannya jauh. Terlalu jauh untuk dijangkau oleh urusan kerja. Sudah berhari-hari ini, wajah Nayla muncul di sela-sela waktunya yang sunyi. Diam-diam, tiba-tiba, tanpa permisi. Wajah itu... tidak lagi penuh luka. Tidak juga penuh harap. Wajah itu kini tenang, tapi asing. Dan itu membuat Reyhan gelisah. Dulu, Nayla adalah sosok yang selalu menunggu. Menunggu kabarnya. Menunggu perhatiannya. Menunggu malam pulang lebih awal. Tapi sekarang, ia justru merasa Nayla yang terus berjalan, dan dirinya yang tertinggal. Dan perasaan itu menusuk seperti duri tak kasa