Home / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 6. Masuk ke Sarang Naga

Share

Bab 6. Masuk ke Sarang Naga

Author: Imgnmln
last update Last Updated: 2025-06-29 20:45:07

Ruang kerja Mireya diselimuti cahaya lampu malam yang temaram. Dari jendela besar di belakang meja, siluet gedung-gedung kota Malora tampak seperti bayangan mati yang diam menunggu badai. Rayden berdiri di sana, menatap pantulan samar wajahnya di kaca.

Di tangannya tergenggam selebaran undangan berwarna hitam keemasan, bagian tengahnya dicetak dengan tinta timbul yang.

“Balai Lelang Delvanca. Undangan terbatas. Barang spiritual langka.”

Suara langkah terdengar pelan di belakang. Mireya muncul di ambang pintu, menyilangkan tangan di dada. Wajahnya tegang, tapi tak menyembunyikan rasa cemas yang sudah muncul sejak sore tadi.

"Itu tempat milik Bramasta Group," ucapnya. "Kamu yakin mau datang?"

Rayden tidak langsung menjawab. Pandangannya tetap tertuju ke luar jendela. Di jalanan yang sepi itu, lampu jalan tampak seperti garis waktu yang menuntun pada masa lalu. Wajahnya tak menunjukkan emosi.

"Sudah sepuluh tahun," katanya akhirnya. "Waktunya mengambil kembali yang seharusnya milik keluargaku."

Ia membalikkan badan, lalu meletakkan selebaran itu di meja. Tangannya menunjuk pada peta denah bangunan yang tergelar di samping map kecil.

"Aku bisa coba hubungi seseorang," ujar Mireya, berjalan mendekat. "Namanya Harwin. Dulu kepala logistik Bramasta. Pernah kerja sama dengan ibuku. Orang itu dulu sangat loyal."

Rayden menatapnya sekilas. Tak perlu kata-kata lebih. Hanya sebuah anggukan kecil.

Beberapa menit kemudian, ponsel Mireya bergetar. Ia membaca pesan itu cepat, lalu menatap Rayden.

"Dia setuju. Tapi kamu cuma punya satu malam sebelum sistem pengamanan spiritual baru aktif sepenuhnya. Begitu itu hidup, tak ada jalur masuk yang aman."

"Itu cukup."

Rayden menutup map di meja, lalu mengambil selembar kertas kecil berisi catatan waktu patroli. Matanya menelusuri tiap titik masuk.

"Aku akan masuk malam ini. Dan keluar sebelum alarm pertama berbunyi."

Mireya mengangguk pelan, meski tatapannya ragu.

"Rayden," ucapnya. "Kalau kamu ditangkap..."

"Aku tidak akan ditangkap."

Kata-kata itu terdengar datar, tapi tegas. Ia melangkah keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi.

**

Udara malam menyelimuti kompleks Balai Lelang Delvanca dengan dingin yang menggigit. Bangunan tua bergaya kolonial berdiri kokoh di tengah halaman berbatu, dikelilingi pagar besi dan kamera pengawas. Di sisi barat, sebuah truk baru saja meninggalkan area setelah menurunkan peti-peti besar.

Di atas atap, Rayden berjongkok. Tubuhnya dibungkus pakaian hitam, wajahnya tertutup masker gelap. Gerakannya sangat tenang, hampir tak menimbulkan suara. Matanya menatap ke bawah, menunggu celah.

Begitu penjaga memutar arah, ia melompat turun. Kakinya mendarat di atas ventilasi logam. Dengan cekatan, ia membuka penutup dan masuk ke lorong servis yang sempit.

Dalam gelap, ia bergerak cepat. Lorong itu basah dan berbau logam, dindingnya dipenuhi kabel dan pipa. Rayden sudah menghafal jalurnya dari denah. Setiap langkah diatur dengan presisi.

Sampai di ujung, ia berhenti dan mengintip ruang utama gudang.

Lampu redup menyorot puluhan peti besar. Tapi di tengah ruangan, satu kotak kaca besar tampak berbeda. Di dalamnya ada tiga benda spiritual. Aura dari ketiganya terasa kuat bahkan dari jarak jauh.

Kristal hijau tua.

Gulungan kuno bersegel darah.

Dan akar tanaman berwarna ungu metalik yang tampak hidup.

Rayden turun dan berjalan mendekat. Ia berjongkok di sisi kaca, lalu mengeluarkan alat kecil berbentuk silinder. Dengan hati-hati, ia menyelipkan jarum pemindai ke sela segel.

Bip. 

Lampu hijau menyala.

Energi cocok.

‘Tanaman itu bisa memperbaiki Inti Jiwa Raelyn,’ pikirnya.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari lorong masuk. Rayden langsung menyelinap ke balik rak kayu.

Dua penjaga masuk, membawa senter.

"Sudah dipindai semua?" tanya salah satunya.

"Sudah. Tapi tadi sore Vania minta cek ulang. Dia bilang ada sisa aura asing di sekitar peti tengah."

Rayden menahan napas. Jadi, mereka bisa mendeteksi jejak aura. Vania bukan sekadar pewaris bisnis. Perempuan itu pasti seorang praktisi spiritual.

Kedua penjaga mendekat ke kotak kaca.

Sebelum mereka sampai, suara berat menghentikan langkah mereka.

"Keluar. Sekarang."

Seseorang muncul dari pintu sebelah. Seorang pria tua, tegap, berseragam logistik lengkap. Rambutnya memutih, tapi sorot matanya tajam.

"Pak Harwin?" tanya salah satu penjaga.

"Saya ambil alih. Perintah langsung. Kalian boleh istirahat," ucapnya sambil menunjukkan clipboard.

Penjaga itu saling pandang, lalu pergi tanpa banyak tanya.

Setelah ruangan kembali hening, Harwin mendekat ke rak tempat Rayden bersembunyi.

"Keluar. Cepat."

Rayden muncul.

Rayden muncul perlahan.

“Kamu orang yang dikirim Mireya?”

Harwin mendengus. “Dan kamu bocah yang katanya ingin menghancurkan Bramasta?”

Rayden berjalan ke arah kotak kaca. "Saya cuma butuh duplikasi pola segel. Tidak akan mengambil apa pun malam ini."

"Satu menit. Aku tidak bisa bantu lebih dari itu," sahut Harwin.

Rayden mulai menyalin pola dengan alat pemindai. Tangannya cepat dan fokus.

"Aku dengar kamu selamat waktu itu," lanjut Harwin. "Tapi tidak menyangka kamu kembali."

Rayden tidak menjawab. Setelah selesai, ia berdiri, menatap kotak kaca sekali lagi.

“Mereka menyimpan barang-barang yang tidak pernah menjadi milik mereka,” ucapnya.

"Dan kamu akan merebutnya semua?" tanya Harwin.

Rayden menatap pintu keluar. "Aku akan memulai dari yang satu ini."

Harwin diam. Lalu mengangguk kecil.

"Keluargamu tidak pantas berakhir seperti itu. Tapi hati-hati. Dunia ini jauh lebih beracun dari sepuluh tahun lalu."

Rayden berjalan ke lorong.

"Vania tahu kamu pernah masuk. Dia bukan musuh yang bisa diremehkan."

Rayden menoleh sedikit.

“Bagus. Aku sudah lama menunggu musuh sepadan.”

Tanpa suara, ia menghilang ke dalam kegelapan. Di belakangnya, Harwin berdiri diam, menatap kotak kaca dan menghela napas panjang.

Di luar, angin malam masih menusuk. Tapi di dada Rayden, nyala tekad telah menyala, tak akan padam sampai semua dikembalikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 177. Resonansi Darah

    Mereka akhirnya tiba di depan sebuah mulut gua kristal raksasa yang tersembunyi di balik sebuah air terjun beku. Gua itu dijaga oleh dua golem es raksasa yang duduk diam seperti gunung kecil.Saat para tetua mendekat, golem-golem itu terbangun, mata mereka yang terbuat dari safir biru murni bersinar terang. Setelah mengenali para tetua, mereka menyingkir tanpa suara, memperlihatkan jalan masuk yang gelap.Bagian dalam gua itu begitu indah hingga membuat napas tertahan. Dinding dan langit-langitnya sepenuhnya terbuat dari kristal es biru pucat yang memancarkan cahaya lembut dari dalam, seolah mereka telah melangkah masuk ke dalam sebuah berlian raksasa. Udara di sini berderak oleh energi murni yang begitu pekat hingga terasa seperti medan kekuatan yang hidup, membuat setiap tarikan napas terasa menyegarkan sekaligus menekan.Dan di tengah gua yang maha luas itu, mengambang beberapa inci di atas lantai kristal yang sempurna, adalah Jantung Es.Sebuah kristal biru pucat seukuran rumah ke

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 176. Vonis

    Lady Anya adalah yang pertama memecah keheningan yang pekat setelah cerita Rayden berakhir. Ia mengangkat kepalanya yang tadinya tertunduk, melepaskan topeng esnya, dan menatap lurus ke arah Tetua Agung Valerius di seberang ruangan."Tetua Agung," katanya, suaranya yang jernih dan kuat bergema di antara pilar-pilar gletser. "Ceritanya konsisten dengan apa yang kita ketahui tentang hilangnya Liana. Dan resonansinya dengan Segel Leluhur tidak bisa dibantah. Saya melihatnya dengan mata saya sendiri."Argumennya yang didasari oleh fakta dan logika itu seperti sebuah batu yang dilemparkan ke permukaan danau yang beku, menciptakan riak-riak di antara para tetua lainnya.Seorang tetua lain yang tampak lebih muda, dengan rambut hitam legam yang kontras dengan jubah putihnya, mengangguk setuju. "Lady Anya benar," katanya, suaranya dipenuhi oleh semangat yang terpendam. "Selama berabad-abad kita telah bersembunyi di sini, meratapi penghinaan di masa lalu. Jika Brahma Angkara benar-benar berada

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 175. Aula Penghakiman Es

    Lady Anya, yang berdiri sedikit di belakang, tampak ingin berbicara, membela keajaiban yang baru saja ia saksikan dengan matanya sendiri. Namun, satu tatapan tajam dari sang tetua agung membuatnya terdiam. Kata-kata yang hendak ia ucapkan seolah membeku di tenggorokannya. "Tetua Agung, mohon..." bisiknya, namun suaranya lenyap ditelan keheningan yang menindas.Valerius memberi isyarat dengan kepalanya, sebuah perintah tanpa kata. Dengan enggan, Lady Anya memandu Rayden masuk lebih dalam ke lembah. Mereka tiba di depan sebuah bangunan yang tak terpikirkan, sebuah aula besar yang tidak dibangun, melainkan diukir langsung di dalam jantung sebuah gletser kuno.Dindingnya yang transparan memancarkan cahaya biru pucat dari dalam, dan di tengahnya, beberapa kursi es raksasa yang diukir dengan pola kepingan salju yang rumit tersusun melingkar. Di sana, duduk dalam keheningan yang sakral, adalah para anggota Dewan Tetua Klan Salju Abadi lainnya, wajah-wajah mereka setua dan sekeras es abadi."

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 174. Langkah Pertama di Tanah Leluhur

    Rayden menatap wanita di hadapannya. Tanpa topeng es, wajahnya menunjukkan kecantikan yang tegas dan matang, namun matanya yang biru pucat masih menyimpan kewaspadaan yang dalam. Ia tidak membalas sapaan itu, hanya mengangguk singkat, lalu melangkah melewati gerbang cahaya.Dunia di sekelilingnya berubah seketika.Dinginnya Pegunungan Nafas Naga yang menusuk hingga ke tulang lenyap, digantikan oleh udara sejuk yang dipenuhi oleh energi spiritual yang begitu murni hingga terasa seperti nektar bagi Dantiannya yang baru pulih. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan energi murni itu membersihkan sisa-sisa kelelahan dari jiwanya.Ia telah memasuki sebuah surga yang tersembunyi. Lembah itu bahkan lebih indah dari yang terlihat dari luar. Di atasnya, langit tampak lebih biru, lebih jernih. Sungai-sungai kecil dengan air sejernih kristal mengalir dengan tenang di antara padang rumput hijau yang lembut.Di sepanjang tepi sungai, tumbuh bunga-bunga aneh yang kelopaknya terbuat dari es tipis, m

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 173. Gerbang yang Terbuka

    Di dalam sebuah aula megah di dalam lembah, Tetua Agung Valerius dan para tetua lainnya menatap sebuah cermin es raksasa yang menunjukkan pemandangan di luar. Saat badai itu tiba-tiba berhenti, semua tetua di dalam ruangan terkesiap.Di layar cermin itu, di dahi Rayden yang kini duduk tak sadarkan diri di tengah keheningan, sebuah simbol bunga es dengan enam kelopak yang bersinar dengan cahaya putih murni, seolah terbuat dari cahaya bulan yang membeku.Salah satu tetua yang paling tua di dewan itu, yang telah menyaksikan pergantian zaman, bangkit dari kursinya dengan tubuh gemetar, matanya yang keriput membelalak tak percaya."Tidak mungkin!" bisiknya dengan ngeri sekaligus kagum."Lambang Darah… Murni?!"Di dalam Aula Penghakiman Es yang agung, keheningan yang pekat menyelimuti Dewan Tetua. Semua mata terpaku pada cermin es raksasa di tengah ruangan, yang kini menampilkan pusaran badai spiritual biru yang mengamuk di luar lembah.Di pusat badai itu, sosok Rayden yang duduk bersila ta

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 172. Ujian Es dan Jiwa II

    Rayden berdiri sendirian, menatap tirai energi yang tadinya tenang, kini mulai bergejolak dengan firasat buruk. Ia bisa merasakan kekuatan kuno di dalamnya terbangun, seperti seekor binatang buas raksasa yang menggeliat dari tidurnya yang panjang."Ujian macam apa yang kau siapkan untukku, Pak Tua?" bisiknya pada angin, nadanya lebih merupakan sebuah tantangan yang getir daripada sebuah pertanyaan.Ia tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawabannya.Tanpa peringatan, formasi pelindung di hadapannya berubah. Cahaya auroranya yang lembut kini bergejolak hebat, warna-warni yang tadinya menenangkan kini memadat menjadi satu warna biru es yang menusuk mata. Tirai energi itu berubah menjadi badai, sebuah pusaran kekuatan spiritual es yang mengamuk.Namun, badai ini aneh. Ia tidak menyentuh salju di sekeliling Rayden. Ia tidak menerbangkan kerikil atau mengeluarkan suara gemuruh yang dahsyat. Seluruh kekuatannya terfokus pada satu target tunggal—Rayden.Bukan sebuah badai fisik. Tetap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status