Beranda / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 67. Dua Bayangan dalam Kegelapan

Share

Bab 67. Dua Bayangan dalam Kegelapan

Penulis: Imgnmln
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-29 14:53:21

Rayden tidak berkata apa-apa menanggapi cerita sang Tetua. Ia hanya bergumam pelan, lebih pada dirinya sendiri, seolah menghidupkan kembali momen pahit saat ia mendorong adiknya pergi dan memilih jalan yang berbeda.

"Aku menyuruhnya lari."

Sang Tetua mengangguk, ekspresinya muram. "Dan tindakanmu itu," akunya, "Menciptakan kepanikan terbesar bagi kami di ruang komando."

Ia melukiskan suasana di balik layar malam itu. Bukan gambaran para pembunuh berdarah dingin yang memegang kendali, melainkan para perencana yang panik saat operasi sempurna mereka tiba-tiba berantakan.

"Perintah Lord Dragon absolut—tidak boleh ada saksi yang hidup," lanjut sang Tetua, suaranya dipenuhi oleh ketakutan lama. "Dua anak yang lolos dari genggaman kami bukan sekadar masalah. Itu adalah sebuah kegagalan total yang bisa berakibat pemusnahan bagi kami semua di tangan Brahma."

Di tengah kepanikan itu, sang Tetua mengakui, Lucien Dorne menunjukkan mengapa ia yang dipilih untuk memimpin. Sementara yang lain berte
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 80. Membuka Gudang Harta Karun

    Rayden menatap para wanita yang ada di hadapannya dengan tenang. "Baiklah," katanya dengan nada final yang mengakhiri semua diskusi. "Lyra, kau pimpin analisis. Alesia, kau bangun jaringannya. Kak Mire, kau danai operasinya. Sekarang, mari kita mulai perburuan yang sesungguhnya."Dengan kekuasaannya yang kini solid, Rayden akhirnya mendapatkan hak legal dari Dewan Kultivator untuk membuka segel dan mengakses semua aset yang disita dari Keluarga Bramasta dan Altair. Ia tidak tertarik pada tumpukan emas atau gudang senjata mereka. Hartanya yang sesungguhnya terkubur di tempat yang jauh lebih sunyi dan terlupakan.Beberapa hari kemudian, Rayden dan Kara berdiri di depan sepasang pintu kayu ek yang menjulang tinggi, di jantung kediaman Keluarga Bramasta yang kini kosong. Udara di dalam terasa pengap, dipenuhi oleh bau kertas tua, lilin segel yang meleleh, dan rahasia yang telah membusuk selama puluhan tahun. Ini adalah ruang arsip pribadi mereka."Kau yakin ingin ikut?" tanya Rayden pada

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 79. Mata di Setiap Sudut

    Rayden menatap Alesia, alisnya sedikit terangkat oleh pernyataan wanita itu yang penuh percaya diri. Ia mengambil koran lokal yang dilempar ke atas meja. Judulnya yang sensasional—Ketenangan Misterius Selimuti Dunia Bawah Malora—terasa seperti sebuah ironi. Ia meletakkan koran itu, lalu menatap kembali pada Alesia, matanya yang berwarna amber kini dipenuhi rasa penasaran yang tulus."Jelaskan."Satu kata itu adalah panggung yang Alesia butuhkan. Ia tersenyum, sebuah senyum yang bukan lagi senyum seorang model, melainkan senyum seorang ahli strategi yang bersemangat. Ia berjalan ke arah peta Malora yang besar di dinding, menyapukan tangannya di atasnya seolah sedang membelai sebuah kerajaan."Selama ini kalian berpikir tentang bagaimana cara mengendalikan para preman ini," mulainya dengan antusias. "Dengan aturan, dengan pajak, dengan rasa takut. Tapi kalian melihat mereka hanya sebagai bawahan. Sebagai sumber daya. Kalian salah."Ia menoleh, matanya berkilat. "Mereka bukan hanya sumbe

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 78. Emas dan Darah

    Pagi harinya, aroma teh herbal yang menenangkan bercampur dengan bau samar dari logam mulia dan sesuatu yang lebih anyir. Rayden sedang duduk bersila di tengah ruang utama, matanya terpejam dalam meditasi.Keheningan itu pecah saat Mireya masuk, langkahnya terdengar berat. Ia meletakkan sebuah tablet data di atas meja batu dengan desahan lelah yang tak bisa disembunyikan. Lingkaran hitam samar di bawah matanya menunjukkan bahwa ia tidak tidur semalaman."Pajak pertama sudah masuk," katanya, suaranya serak. Ia menatap Rayden yang kini membuka matanya. "Sebagian besar dalam bentuk emas batangan, permata, dan kristal spiritual tingkat rendah. Sisanya..." Ia berhenti, wajahnya sedikit mengernyit jijik. "Dalam bentuk darah yang belum kering."Rayden bangkit dan berjalan mendekati meja. Di layar tablet, Mireya menampilkan serangkaian laporan yang masuk dari berbagai pos pengumpulan yang baru mereka dirikan. Foto-foto menunjukkan tumpukan peti berisi harta, namun di beberapa laporan lain, te

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 77. Pelajaran tentang Rasa Takut

    Rayden menatap Goro, raksasa yang berdiri menjulang di hadapannya. Kapak perang di tangan pria itu memantulkan cahaya bulan yang pucat, tampak haus akan darah. Tantangannya yang kasar masih menggema di antara puing-puing alun-alun.Di hadapan ancaman yang begitu nyata, Rayden tidak menunjukkan emosi. Ia hanya mengangguk pelan, seolah menyetujui sebuah fakta yang sederhana."Kau benar," jawabnya pelan, suaranya yang tenang terdengar kontras dengan raungan Goro. "Hanya ada satu aturan."Mendengar jawaban yang begitu meremehkan, urat di leher Goro menonjol. Ia merasa dihina. "Bagus!" raungnya. "Kalau begitu mati saja dengan aturanmu!"“HAAA!”Dengan teriakan yang memekakkan telinga, ia menerjang maju. Tubuhnya yang kekar bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan, setiap langkahnya membuat tanah yang sudah retak semakin hancur. Ia mengangkat kapak besarnya tinggi-tinggi, menyalurkan seluruh kekuatan dan energi spiritualnya ke dalam satu ayunan vertikal yang bertujuan untuk membelah Rayde

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 76. Audiensi di Bawah Bulan

    Di sebuah kedai kumuh di Distrik Barat, seorang pemimpin geng veteran dengan wajah penuh bekas luka meludah ke lantai tanah yang basah oleh bir. Ia menatap letnannya yang tampak cemas, matanya yang kecil berkilat karena campuran antara keserakahan dan keraguan."Dia pikir, siapa dirinya?" geramnya, suaranya serak seperti kerikil yang digiling. "Seorang anak kemarin sore yang beruntung bisa menjatuhkan Bramasta? Dia pikir kita semua akan tunduk begitu saja pada panggilannya?"Malam berikutnya, keraguan itu membawa puluhan pemimpin dunia bawah Malora ke tempat yang sama—alun-alun kota yang telah hancur.Di bawah cahaya bulan purnama yang pucat, kawah-kawah bekas pertarungan dan puing-puing air mancur menjadi saksi bisu dari tatanan lama yang telah runtuh. Kini, di atas abu itu, mereka berkumpul, para serigala yang gelisah, untuk bertemu dengan raja hutan yang baru.Suasananya tegang. Udara dipenuhi oleh bau alkohol murah, keringat. Mereka berdiri dalam kelompok-kelompok kecil, saling me

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 75. Kekosongan Kekuasaan

    Peringatan terakhir dari Tetua Agung Altair masih menggema di telinga Rayden, meninggalkan jejak dingin dari paranoia. Namun, pria tua itu tidak menunggu jawaban. Ia mendorong piringan giok kusam itu ke seberang meja dengan gerakan final."Hutang keluargaku, baik pada Kalesvara maupun pada cucuku, tidak akan pernah bisa lunas," katanya dengan suara yang dipenuhi kelelahan. "Anggap ini sebagai bunga pertamanya."Ia menjelaskan dengan singkat. Piringan itu adalah Kunci Spasial, sebuah artefak kuno sekali pakai. Fungsinya hanya satu, membuka gerbang sementara menuju perbatasan Wilayah Nebulon, dimensi tersembunyi tempat para kultivator tingkat tinggi seperti Brahma Angkara bersemayam. Ini adalah satu-satunya cara bagi Rayden untuk melanjutkan perburuannya.Rayden menatap kunci di tangannya, lalu pada pria tua di hadapannya. Tujuannya kini jelas, dan jalan di hadapannya, meskipun berbahaya, telah terbentang. Ia mengambil kunci itu tanpa berkata apa-apa.***Di atap markas bawah tanahnya,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status