Beranda / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 68. Pengejaran yang Sia-sia

Share

Bab 68. Pengejaran yang Sia-sia

Penulis: Imgnmln
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-29 14:53:25

"Aura lain?" tanya Rayden, mengerutkan kening. Firasatnya mengatakan bahwa anomali itu adalah kunci dari segalanya, namun ia menahan diri untuk tidak menekan lebih jauh. Ia membiarkan pria tua itu bercerita sesuai alurnya. "Siapa?"

Sang Tetua menggelengkan kepalanya, sebuah ekspresi kekesalan samar melintas di wajahnya saat mengingat kembali kekacauan malam itu. "Kami tidak tahu," jawabnya. "Saat itu, di tengah kepanikan, laporan itu kami abaikan. Kami menganggapnya sebagai kesalahan sensor spiritual atau mungkin hanya seekor binatang buas tingkat tinggi yang terusik oleh keributan. Fokus kami sepenuhnya tertuju pada kalian berdua, dua bara api kecil yang berpotensi membakar seluruh rencana kami."

Ia melanjutkan narasinya, suaranya yang tenang kini diwarnai oleh nada frustrasi yang samar. "Tim yang ditugaskan untuk mengejar adikmu melaporkan kemajuan yang stabil. Dia kelelahan dan ketakutan. Menangkapnya hanya masalah waktu. Tapi kau..."

Sang Tetua menatap Rayden. "Kau adalah hantu. L
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 75. Kekosongan Kekuasaan

    Peringatan terakhir dari Tetua Agung Altair masih menggema di telinga Rayden, meninggalkan jejak dingin dari paranoia. Namun, pria tua itu tidak menunggu jawaban. Ia mendorong piringan giok kusam itu ke seberang meja dengan gerakan final."Hutang keluargaku, baik pada Kalesvara maupun pada cucuku, tidak akan pernah bisa lunas," katanya dengan suara yang dipenuhi kelelahan. "Anggap ini sebagai bunga pertamanya."Ia menjelaskan dengan singkat. Piringan itu adalah Kunci Spasial, sebuah artefak kuno sekali pakai. Fungsinya hanya satu, membuka gerbang sementara menuju perbatasan Wilayah Nebulon, dimensi tersembunyi tempat para kultivator tingkat tinggi seperti Brahma Angkara bersemayam. Ini adalah satu-satunya cara bagi Rayden untuk melanjutkan perburuannya.Rayden menatap kunci di tangannya, lalu pada pria tua di hadapannya. Tujuannya kini jelas, dan jalan di hadapannya, meskipun berbahaya, telah terbentang. Ia mengambil kunci itu tanpa berkata apa-apa.***Di atap markas bawah tanahnya,

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 74. Kunci dan Konsekuensi

    Rayden menatap pria tua di hadapannya, matanya menyipit dengan tatapan menyelidik yang dingin. Secercah harapan yang ditawarkan sang Tetua terasa seperti umpan di atas sebuah perangkap yang rumit."Jalan masuk?" tanyanya skeptis, suaranya datar. "Setelah semua kebohongan dan manipulasi, kenapa aku harus percaya kau tidak sedang menuntunku ke dalam jebakan lain?"Menghadapi ketidakpercayaan itu, Tetua Agung Altair justru tersenyum getir. Itu bukan lagi senyum licik, melainkan senyum lelah dari seorang pemain catur yang telah kalah dan kini membuka semua strateginya."Kau tidak harus percaya padaku, anak muda," jawabnya, suaranya terdengar jujur untuk pertama kalinya. "Tapi kau harus percaya pada logikaku. Percaya pada kepentingan pribadiku."Ia menegakkan tubuhnya, kembali ke persona seorang ahli strategi. "Aku akan jujur padamu. Tindakanku ini bukan didasari oleh kebaikan hati atau keinginan untuk menebus dosa. Ini adalah pertaruhan terakhirku."Ia mengangkat satu jari. "Pertama, Brah

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 73. Penderitaan Yang Tidak Ada Artinya

    "Aku adalah monster yang sebenarnya dalam cerita ini."Bisikan yang bergetar itu menggantung di udara paviliun teh yang kini terasa dingin, sebuah pengakuan akhir yang menyedihkan. Tetua Agung Altair menunduk, bahunya yang rapuh berguncang karena isak tangis yang tertahan, sosoknya tidak lebih dari seorang pria tua yang hancur oleh dosanya sendiri.Rayden terdiam untuk waktu yang sangat lama.Ia tidak merasakan kemenangan. Ia tidak merasakan kepuasan dari melihat musuhnya yang licik ini hancur. Ia bahkan tidak merasakan amarah yang meledak-ledak. Yang ia rasakan hanyalah hawa dingin yang menusuk dari sebuah kebenaran yang pahit, rumit, dan sangat melelahkan.Di dalam keheningan itu, pikirannya bekerja dengan kecepatan kilat, menyusun kembali semua masalah yang selama ini terasa salah tempat.Kara Kalderis.Sikapnya yang dingin namun penuh selidik saat pertama kali mereka bertemu. Itu bukanlah arogansi, melainkan kewaspadaan dari seseorang yang telah belajar untuk tidak mempercayai sia

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 72. Taring yang Dipatahkan

    Rayden menatap Tetua Agung Altair, matanya yang berwarna amber kini menyipit menjadi dua titik cahaya yang berbahaya. Udara di sekelilingnya terasa mendingin, dan suaranya keluar bukan sebagai teriakan, melainkan desisan yang jauh lebih menakutkan."Apa... yang telah kau lakukan padanya?"Pertanyaan itu menggantung di udara, sebuah tuntutan yang absolut. Wajah sang Tetua yang keriput kini basah oleh air mata yang akhirnya tak bisa lagi ia bendung. Ia tidak lagi terlihat seperti seorang penguasa licik, melainkan hanya seorang kakek tua yang hancur oleh penyesalannya sendiri."Aku melakukan dosa yang tak termaafkan," bisiknya, suaranya parau. Ia mulai menceritakan bagian terakhir dari kisahnya, bagian yang paling ia kubur dalam-dalam.Ia menceritakan hari saat Kara dengan mata berbinar penuh kebanggaan, mengumumkan bahwa ia telah siap. Siap untuk melakukan meditasi tertutup, untuk mengerahkan seluruh kekuatannya dan menerobos belenggu terakhir dari tingkat Master menuju alam Grandmaster

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 71. Pendosa

    Kalimat terakhir dari laporan Lucien Dorne—"saksi mata itu... adalah salah satu dari kita"—menggantung di udara seperti vonis mati. Rayden menatap Tetua Agung Altair, semua kepingan puzzle yang membingungkan itu akhirnya mulai mengarah pada satu nama, satu sosok yang tak terduga. Kesabarannya habis."Aku tidak tertarik dengan detail kegagalanmu," potong Rayden dengan tajam, suaranya dingin dan tidak menyisakan ruang untuk basa-basi. "Aku melihat seorang anak perempuan di belakang Lucien Dorne malam itu. Jelaskan tentang Kara."Saat nama itu disebut, topeng ketenangan dan kendali yang selama ini dikenakan oleh Tetua Agung Altair hancur berkeping-keping. Wajahnya yang keriput mengeras, dipenuhi oleh penderitaan yang begitu dalam dan nyata hingga membuat amarah Rayden seketika surut, digantikan oleh firasat buruk yang mencekam. Ini adalah inti dari penyesalannya."Kara..." bisik sang Tetua, suaranya serak seolah kata itu terasa sakit untuk diucapkan. Ia memejamkan matanya. "Dia adalah bi

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 70. Saksi Mata yang Tak Terduga

    "Masalah besar?" ulang Rayden, firasat terburuknya langsung mencengkeram hatinya. Seluruh tubuhnya menegang. "Apa yang terjadi pada Raelyn? Apa yang Lucien lakukan padanya?"Tetua Agung Altair menatap Rayden, dan untuk sesaat, topeng baja di wajahnya yang tua retak. Di kedalaman matanya yang keruh, ada secercah simpati yang tulus, sebuah kilatan rasa sakit yang beresonansi. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya tetap dingin dan faktual, seolah ia hanya membacakan kembali laporan dari malam terkutuk itu, sebuah mekanisme pertahanan yang telah ia asah selama sepuluh tahun."Bukan itu," jawab sang Tetua pelan. "Masalah yang ia maksud bukanlah adikmu. Menurut laporan singkat Lucien, Raelyn telah diurus. Dia tidak memberikan detailnya. Laporannya hanya menyatakan bahwa target kedua tidak lagi menjadi ancaman bagi rencana kita."Kata-kata 'diurus' dan 'tidak lagi menjadi ancaman' terdengar lebih kejam di telinga Rayden daripada deskripsi penyiksaan mana pun. Ia langsung mengerti apa ar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status