Home / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 98. Janji di Ambang Gerbang

Share

Bab 98. Janji di Ambang Gerbang

Author: Imgnmln
last update Huling Na-update: 2025-08-07 18:51:56

Di sebuah ruang tersembunyi di bagian terdalam markas, udara terasa bergetar oleh energi spiritual yang murni. Di atas lantai batu yang dingin, sebuah pola formasi yang rumit dan indah bersinar dengan cahaya biru yang lembut, menerangi wajah Rayden yang sedang berkonsentrasi. Dengan ujung jarinya, ia menyelesaikan goresan terakhir dari rune spasial yang rumit.

"Ini akan membawamu langsung ke gerbang depan Desa Dewa," katanya pada Raelyn, yang menunggu dengan sabar di tepi formasi. Suaranya tenang, seolah ia baru saja menyelesaikan sebuah lukisan, bukan sebuah mahakarya formasi teleportasi jarak jauh.

Raelyn mengangguk, matanya yang jernih menatap pola yang bersinar itu dengan kagum. "Tempat di mana kau belajar semua ini," gumamnya.

"Tempat di mana kau akan sembuh total," balas Rayden.

Ini adalah adegan perpisahan mereka. Tidak ada Mireya, Alesia, atau Kara. Hanya mereka berdua, seperti dulu, di dunia kecil mereka sendiri. Rayden merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah token giok kecil
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 107. Cincin Ashura

    Rayden menatap pria tua yang berlutut di hadapannya, ekspresinya tetap tenang dan tak terbaca. Cahaya merah darah dari Cincin Ashura memantulkan kilat yang aneh di matanya yang berwarna amber. Ia membiarkan keheningan yang canggung itu berlangsung selama beberapa saat, mengamati pria tua yang tubuhnya sedikit gemetar karena emosi yang tertahan."Tuan Muda?" tanyanya pelan, suaranya memecah keheningan di toko yang pengap itu. "Jelaskan."Pria tua itu mengangkat kepalanya perlahan, matanya yang tadinya tampak mengantuk kini jernih dan dipenuhi oleh rasa hormat yang mendalam. "Maafkan kelancangan bawahan ini, Tuan Muda," katanya, suaranya kini mantap dan penuh wibawa. "Nama saya Kael. Dan tempat ini, bukanlah sekadar toko barang antik."Dengan gerakan yang masih penuh hormat, Kael bangkit. Ia berjalan ke dinding di belakang meja kasir dan menekan sebuah batu bata yang tampak biasa. Terdengar suara gemeretak pelan, dan seluruh rak buku di dinding itu bergeser ke samping tanpa suara, menam

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 106. Toko Peninggalan Zaman

    Rayden berdiri di depan pintu kayu yang lapuk itu, benang cahaya merah dari cincinnya berdenyut lembut sebelum akhirnya meresap kembali ke dalam batu utamanya, tugasnya selesai.Ia menatap papan nama yang nyaris tak terbaca itu. Dengan indra spiritualnya yang kini jauh lebih peka, ia bisa merasakan sebuah formasi penyembunyi yang samar namun sangat rumit menyelimuti seluruh bangunan. Formasi itu tidak dirancang untuk menyerang, melainkan untuk membuat toko kecil ini tampak biasa, membosankan, dan tidak layak untuk diperhatikan."Tempat ini..." gumamnya pada dirinya sendiri. "Bukan sekadar toko biasa."Dengan sedikit dorongan, pintu itu terbuka dengan suara derit panjang yang seolah memprotes karena tidurnya yang panjang diganggu.Bagian dalam toko itu remang-remang dan terasa sesak. Udara terasa pengap, dipenuhi oleh aroma khas dari kayu tua, debu yang telah mengendap selama puluhan tahun, dan aura samar dari kekuatan spiritual yang tertidur di dalam artefak-artefak yang terlupakan.

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 105. Cincin Kuno

    Rayden menatap cincin berukir rumit di jarinya. Di dalam kamar penginapannya yang remang-remang, logam kusam itu seolah menyerap cahaya, tidak memantulkannya. Kehangatan samar yang sempat ia rasakan tadi kini telah lenyap, meninggalkannya sekali lagi dalam keheningan."Kau bilang ini berharga," pikirnya, mengingat kembali kata-kata samar dari pria tua yang telah menjadi salah satu gurunya di Desa Dewa. "Sekarang saatnya membuktikannya."Dengan sedikit keraguan, ia memutuskan untuk mencoba. Ia telah mencoba kekuatan, ia telah mencoba kekayaan, dan keduanya gagal di hadapan nama terlarang itu. Mungkin, jawabannya terletak pada sesuatu yang tidak ia pahami.Ia duduk bersila di lantai kayu yang berderit, meletakkan inti spiritual Serigala Bertanduk Giok di sampingnya untuk berjaga-jaga. Ia memejamkan mata, menenangkan badai kekecewaan di dalam benaknya. Ia tidak mengharapkan ledakan kekuatan atau petunjuk yang tiba-tiba muncul. Ia hanya ingin tahu.Dengan hati-hati, ia menyalurkan seutas

  • Balas Dendam sang Kultivator    Bab 104. Nama yang Terlarang

    Bartender kekar itu menatap Rayden dengan mata terbelalak, seolah baru saja melihat hantu. Keringat dingin tiba-tiba membasahi pelipisnya yang tebal, dan warna di wajahnya yang penuh bekas luka terkuras habis."Brahma Angkara?" bisiknya, suaranya yang tadinya serak karena bir kini bergetar karena teror murni. Ia melirik ke kiri dan ke kanan dengan panik, seolah dinding-dinding kedai yang kotor ini memiliki telinga. "Tuan, sebaiknya Anda tidak menyebut nama itu di sini, atau di mana pun."Rayden mencondongkan tubuhnya ke depan, sama sekali mengabaikan peringatan itu. Matanya yang berwarna amber menatap bartender itu dengan dingin. "Aku tidak bertanya apakah aku boleh menyebut namanya," katanya dengan suara rendah yang tidak menyisakan ruang untuk perdebatan. "Aku membayarmu untuk informasi."Dengan satu gerakan jari yang disengaja, ia mendorong inti spiritual Serigala Bertanduk Giok yang berdenyut itu lebih dekat ke arah sang bartender. Cahaya biru esnya yang murni memantul di mata pri

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 103. Mata Uang Kekuatan

    Keheningan yang berat dan memusuhi menyelimuti kedai Tengkorak Menganga. Puluhan pasang mata yang keras menatap Rayden, seorang orang asing yang berani melangkah masuk ke sarang mereka. Udara terasa pengap oleh bau ale murah, asap tembakau yang aneh, dan permusuhan yang tak terucap.Rayden menatap bartender kekar itu dengan tenang, sama sekali tidak terintimidasi oleh penolakan kasarnya."Aku tidak datang untuk minum," katanya, suaranya yang jernih dan mantap terdengar kontras dengan gumaman rendah di sekelilingnya. "Aku datang untuk membeli informasi."Bartender itu tertawa, sebuah tawa mengejek yang membuat beberapa pelanggan di dekatnya ikut menyeringai. "Membeli informasi?" ulangnya. "Kau pikir ini balai kota, Nak? Di sini, informasi tidak dijual. Informasi didapatkan."Ia mencondongkan tubuhnya yang besar ke depan, menopang dirinya di atas meja kayu yang penuh dengan goresan pisau. "Dan bahkan jika kami menjualnya, apa yang bisa kau tawarkan? Beberapa keping emas dari duniamu yan

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 102. Kota Perbatasan Garnetfall

    Pemimpin perampok itu menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi yang kuning dan tidak rata. Bekas luka bakar di wajahnya berkerut, membuatnya tampak lebih mengerikan di bawah cahaya redup dari flora yang berpendar."Di Hutan Kristal Gelap ini," katanya dengan suara serak yang penuh percaya diri, "Kami yang membuat aturan."Rayden menatapnya dengan tenang. Ia bisa merasakan energinya yang terkuras setelah pertarungan melawan Serigala Bertanduk Giok. Ia tidak punya waktu atau tenaga untuk meladeni permainan para preman rendahan ini. Ia butuh informasi, dan ia butuh istirahat."Aturan dibuat untuk dilanggar," jawab Rayden datar.Seringai di wajah pemimpin perampok itu lenyap, digantikan oleh amarah. "Sombong sekali untuk seorang orang luar! Habisi dia! Ambil intinya!"Kelima perampok di belakangnya meraung dan menerjang maju secara bersamaan, senjata mereka yang berkarat terangkat tinggi.Rayden menghela napas, sebuah desahan yang lebih terdengar seperti kekecewaan daripada kelelahan. Ia bah

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status